Di tengah hawa hangat sisa-sisa Pilkada Jakarta, berkembang isu soal adanya kesepakatan takmir dan sebagian jemaah salah satu masjid di Ibu Kota, yang tak mau mengurusi jenazah warga sekitar yang pada ajang Pilkada lalu mencoblos Cagub non-Muslim.
Terlepas apakah kabar itu benar atau hoax, ada satu hal yang layak direnungkan bersama terkait bagaimana seharusnya sesama warga Jakarta tetap harus mampu menjaga kerukunan, saling menghormati dan menghargai pilihan masing-masing dalam ajang demokrasi lima tahunan itu. Sehingga mereka tetap bisa menjaga sikap proporsionaldan tak hilang kendali. Atau dengan kata lain, tak terlalu ambil hati soal beda pilihan dan beda jagoan. Apalagi bila kita tahu, hidup guyub-rukun mestinya ditempatkan sebagai prioritas daripada sekadar urusan Pilkada.
Mencermati fenomena itu, ada kisah menarik yang konon terkait dengan seorang Kiai asal Rembang, sebut saja Gus M, yang suatu ketika pernah diminta seorang warga non-Muslim untuk menshalati jenazah ayahnya. Entah benar atau tidak, mungkin hanya Gus M yang layak mengklarifikasi. Namun terlepas dari itu, yang layak dicatat adalah moral story dari kisah tersebut, yakni tentang bagaimana kita mesti mampu menjaga hubungan baik dengan siapapun, tanpa memandang agama atau keyakinan yang dianutnya, selama hubungan itu menyangkut etika sosial di tengah masyarakat dengan latar belakang yang beragam. Intinya, dihadapkan pada situasi kritis dan kondisi dilematis pun, tetap saja banyak cara bisa dilakukan, agar kita tak menyakiti hati sesama, bahkan mereka yang beda agama dengan kita.
*****
Alkisah, suatu hari seorang warga Tionghoa non-Muslim, sowan ke kediaman Gus M, Kiai kharismatik sekaligus Budayawan itu. Warga Tionghoa ini tetangga sekaligus sahabat dekat Gus M.
“Gus, ayah kami telah meninggal, tadi kami sekeluarga sudah sepakat untuk minta tolong Gus, agar sore nanti menshalati jenazah ayah kami,” kabar sekaligus pinta si tamu.
Gus M (tanpa pikir panjang, langsung menjawab), “Ooo ….. yoohh, mengko (nanti) sore tak kesana ….”
Gus M lantas memanggil para santrinya. Mereka segera mendatangi rumah duka dan mendekati jenazah.
“Ayo segera kita shalat,” ajak Gus M.
Para santrinya bertanya-tanya, “Shalat nopo Kiai??? Bukannya nyolati non-Muslim itu anu???”
“Shalat Ashar tho yooo …..” sahut Gus M singkat, tak mau santrinya berpolemik.
“Lha itu mayitnya pripun Kiai?” para santri masih kebingungan.
“Hwalah ….. angkat, pindahno ke belakang sana, kan beres…!” perintah Gus M.
“Ooo…. Nggih Kiai….” sahut para santri, nurut.
Selesai shalat Ashar, anak almarhum bertanya heran,”Maaf, Gus. Biasanya orang menshalati jenazah itu, jenazahnya ditaruh di depan. Lha ini kok ditaruh di belakang?”
“Yang ditaruh di depan itu yang sudah ngerti jalan…! Lha karena ayahmu belum apal dalane, maka tak taruh di belakang…” jawab Gus M.
“Ooo… Gitu thoo… Ya… Ya… Saya paham. Matur nuwun Gus…” timpalnya, lega.
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email