Dalam Kata Pengantar yang ditulisnya untuk buku Menapak Jejak Mengenal Watak (Kehidupan Ringkas 29 Tokoh NU) terbitan Yayasan Saifuddin Zuhri, Gus Mus secara panjang lebar memaparkan keprihatinan mendalamnya soal mengapa ulama Nusantara (khususnya Indonesia) tak begitu dikenal namanya di Timur Tengah. Salah satu penyebabnya, kata Gus Mus, adalah akibat kurang berkembangnya budaya menulis di kalangan pesantren.
“Entah mengapa budaya menulis, khususnya menulis sejarah kehidupan tokoh-tokohnya sendiri tidak berkembang di kalangan pesantren. Padahal semua menyadari pentingnya hal itu. Padahal khazanah mereka sarat dengan kitab-kitab tarikh kehidupan tokoh, baik tentang seorang tokoh maupun tentang sejumlah tokoh macam tarajim dan thabaqat-thabaqat,” tulis Gus Mus dalam Kata Pengantar buku terbitan Yayasan milik keluarga Menag Lukman Hakim Saifuddin tersebut.
Menag Lukman di laman pribadinya menyatakan bahwa buku yang diberi Kata Pengantar oleh Gus Mus ini mengisahkan secara garis besar kehidupan para Kiai pendiri dan penggagas organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU). Kisah-kisah yang tersaji di dalamnya menggambarkan tentang jejak langkah perjuangan dan peran historis para ulama sejak dalam penumbuhan kesadaran Nasionalisme awal di Nusantara, perlawanan terhadap imperialisme, hingga berdirinya Republik Indonesia merdeka. Di sisi lain, tentu saja juga menggambarkan pasang surut pengabdian NU dalam kancah pembangunan bangsa serta potret kepribadian atau watak para tokohnya yang patut menjadi suri tauladan.
Seraya menyambut baik penerbitan buku itu, Gus Mus tetap menyayangkan mengapa buku atau kitab tentang tokoh NU yang ada saat ini bisa dihitung dengan jari. Menyitir pendapat Syaikh Yasin bin Isa al-Faddani al-Makky, yang dikunjunginya bersama Gus Dur di Tanah Suci 29 tahun silam, Gus Mus menyatakan, “Kesulitannya adalah memperoleh bahan-bahan bagi penulisan tokoh-tokoh Kiai tersebut. Dari kalangan pesantren sendiri, jarang sekali dijumpai tulisan tentang tokoh ulama.”
“Lha coba saja,” kata beliau, “Anak-anak mereka sendiri (anak-anak para Kiai-red) dimintai bahan tentang orangtua mereka, nggak kunjung mengirimkannya!” tutur Gus Mus menirukan keluhan Syaikh Yasin ketika tokoh alim dan penulis kenamaan di Timur Tengah berkebangsaan Indonesia itu memerlukan bahan-bahan penulisan untuk bukunya Thabaqat al-‘Ulama al-Indonesia.
“Kualitas keulamaan mereka (para Kiai di Indonesia-red),” kata Syaikh Yasin, “tidak banyak dikenal di dunia Islam karena tidak ada yang memperkenalkan mereka. Tulisan tentang mereka hampir tak ada.”
Di tengah fakta langkanya ulama sekaligus penulis itulah Gus Mus menyebut bahwa Ayah Menag Lukman, KH. Saifuddin Zuhri sebagai tokoh ulama yang istimewa.
“Berbicara tentang ‘budaya tulis-menulis’ di kalangan NU, mungkin Pak Saifuddin Zuhri termasuk, kalau tidak satu-satunya, pengecualian. Beliau bukan saja penulis yang produktif, tapi juga aktif merekam sejarah tentang tokoh-tokoh Kiai pesantren. Dari tangan beliau lahir banyak tulisan yang bukan saja sangat bermanfaat bagi NU dan warganya, tapi juga bangsa Indonesia secara umum. Fajazaahullahu ‘anna ahsanal jaza,” tulis Gus Mus.
“Dari tangan beliau, muncul buku-buku antara lain: Almaghfurlah K.H. Abdul Wahab Chasbullah Bapak dan Pendiri NU yang sudah disinggung di atas, Guruku Orang-orang dari Pesantren, dan Berangkat dari Pesantren, sebuah otobiografi beliau sebagai pelaku dan pembuat di republik kita ini. Maka tidaklah mengherankan―bahkan mungkin sudah seharusnya―jika sekarang ini, sebuah yayasan bernama Yayasan Saifuddin Zuhri menerbitkan suatu buku kumpulan tokoh-tokoh pesantren, tokoh-tokoh NU,” lanjut Gus Mus.
Barangkali seperti apa yang ingin ditulis Syaikh Yasin, Allah yarhamuh―seperti juga thabaqat-thabaqat yang lain―apa yang ingin dipersembahkan oleh Yayasan Saifuddin Zuhri adalah kumpulan biografi para tokoh dengan satu kriteria dasar, dalam hal ini adalah ke-kiaian (baca:ke-ulama-an, dan ke-Indonesia-an di NU).
Kiai mengenal banyak buku-buku atau kitab kumpulan tokoh-tokoh dengan satu kriteria dasar yang ― galibnya bisa dilihat dari judulnya ― seperti Thabaqat-nya Syaikh Yasin itu. Ambil contoh Asad al-Ghabah oleh Ibn al-Atsir tentang para sahabat Nabi; Tarikh al-Khulafa oleh al-Hafifdz Jalaluddin as-Suyuthi dengan kriteria dasar ke-khalifah-an; Thabaqat ash-Shufiyah oleh Abu Abdurrahman as-Sulami dengan kriteria dasar ke-sufi-an; Jamharat al-Auliya oleh as-Sayyid Mahmud Abu al-Faidh al-Manuti al-Husaini dengan kriteria dasar ke-wali-an; The 100, Rangking of the Most Influental Persons in History oleh Michael H. Hart (diterjemahkan oleh H. Mahbub Djunaidi dengan judul Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah) dengan kriteria dasar ke-berpengaruh-an (?) dalam sejarah; The Dictators oleh Jules Archer dengan kriteria dasar, tentu saja, ke-diktator-an; dan masih banyak lagi.
Menurut Gus Mus, kecuali bila kita akan menulis semua tokoh Kiai dan ini tentu tidak mungkin, maka kriteria dasar ke-kiai-an itu saja tentulah tidak cukup. Apalagi meskipun sudah dipersempit dengan tambahan “NU”, kriteria Kiai ternyata tidak sejelas, misalnya, kriteria sahabat Nabi, kriteria khulafa, atau diktator. Karena itu Yayasan Saifuddin Zuhri telah menetapkan kriteria-kriteria lain, di samping kriteria ke-kiai-an tersebut, antara lain pernah menjadi pengurus syuriah, mustasyar NU atau jabatan struktural lain di dalam NU pada tingkat nasional atau lokal; sudah wafat dan diutamakan yang memimpin pesantren dan seterusnya.
Kiai asal Rembang itu pun memaklumi kesulitan Yayasan Saifuddin Zuhri dan para penulisnya yang hampir seluruhnya angkatan muda. Menurutnya, rentang waktu yang cukup panjang dan sedikitnya literatur yang tersedia, merupakan alasan yang cukup masuk akal sebagai jawaban.
Sedangkan kesulitan lain yang mungkin lebih penting lagi: tampaknya yayasan dan para penulisnya ― karena alasan yang barangkali sama ― juga mengalami kesulitan untuk menangkap “sudut pandang” yang tepat dalam membidik sosok masing-masing tokoh yang ditampilkan. Dan inipun, bila benar, juga bisa dimaklumi.
Satu dan lain hal karena rata-rata tokoh yang ditampilkan memang memiliki tidak hanya satu “sudut keistimewaan” yang menonjol. Contoh yang segera dapat kita lihat adalah sosok tokoh KH. Hasyim Asy’ari. Beliau tidak hanya pendiri NU dan tokoh sentral yang memberi inspirasi perjuangan para Kiai; apalagi sekadar pembela kaum bermazhab. Mereka yang membaca Muqaddimah Qanun Asasi NU saja, akan segera tahu bahwa beliau lebih dari semua. Bahkan Sayyid Muhammad Asad Shihab ― konon kakek dari Dr. Quraish Shihab ― menulis biografi beliau dalam bahasa Arab berjudul agak panjang, Al-‘Allamah Asy-Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari Wadhi’ al-Binati Istiqlali Indonesia (Al-Allamah Kiai Muhammad Hasyim Asy’ari Peletak Batu Pertama Kemerdekaan Indonesia).
“Namun itu semua bagi saya tidak mengurangi arti penting dari usaha penerbitan ini. Bahkan menurut saya, yang lebih penting dan pantas sekarang adalah mensyukuri terbitnya buku ini. Buku yang sudah lama dinanti dan sudah sering diusulkan oleh banyak warga NU sendiri di berbagai kesempatan. Penyempurnaan berikutnya akan dapat dilakukan atau malahan untuk itu, saya yakin, akan mendapat bantuan dari berbagai pihak yang telah membacanya,” harap Gus Mus.
“Dengan demikian keteladanan para tokoh NU yang selama ini hanya menjadi ‘buah bibir’ sepenggal-sepenggal dalam konteks mau’idhah atau nostalgia, akan dapat dibaca dan dipelajari dengan lebih intens dalam porsi yang lebih utuh.
Mengakhiri Kata Pengantarnya, Gus Mus berharap buku ini masih akan “bersambung” bahkan menjadi semacam “serial tokoh NU” yang akan menyempurnakan manfaatnya bagi generasi NU khususnya dan masyarakat ramai pada umumnya. Wallahu Yuwaffiquna ila ma fiehi khairul Islami wal Muslimin.
Seperti halnya Gus Mus kita patut berharap bahwa ke depan, di kalangan para ulama atau Kiai NU akan lebih berkembang budaya tulis-menulis, sehingga karya-karya mereka dapat memberikan sumbangsih berharga bagi bangsa, khususnya warga Nahdliyin dan kaum Muslimin di Indonesia.
(Metro-Islam/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email