Nama Kiai Haji Raden Asnawi bagi warga Kudus sudah tak asing lagi karena merupakan salah seorang ulama panutan di daerah tersebut. Hal itu tak lepas dari sepak terjangnya ketika masih hidup. Tak heran, jika sampai sekarang jejak keilmuannya masih terus berkembang.
KH Raden Asnawi lahir pada 1861, di Kudus, Jawa Tengah dengan nama Raden Ahmad Syamsi. Dia merupakan putra dari pasangan H Abdullah Husnin dan Raden Sarbinah.
Raden Ahmad Syamsi termasuk keturunan ke-14 dari Sunan Kudus (Raden Ja’far Shodiq) dan keturunan ke-lima dari Kiai Haji Mutamakin seorang wali di Desa Kajen, Margoyoso Pati, yang hidup pada zaman Sultan Agung Mataram.
Sang ayah Abdullah Husnin menginginkan kelak Raden Ahmad Syamsi anaknya pandai di bidang agama dan piawai dalam berdagang.
Demi keinginannya itu Abdullah Husnin mulanya mengajari anaknya sendiri. Pada 1876, orang tuanya memboyong ke Tulungagung, Jawa Timur. Husnin mengajari Syamsi berdagang saat pagi hari, dan saat sore hingga malam mengaji di Pondok Pesantren Mangunsari Tulungagung.
Sesudah mendapat asuhan dan didikan dari orang tuanya, dia kemudian mengaji di pondok pesantren Tulungagung, lalu berguru dengan Kiai H Irsyad Naib Mayong Jepara sebelum menunaikan ibadah haji.
Sewaktu umur 25 tahun dia menunaikan ibadah haji yang pertama, Setelah di Mekkah dia berguru dengan Kiai H Saleh Darat Semarang, Kiai H Mahfudz Termas dan Sayid Umar Shatha.
Sepulang dari haji pertama pada 1886, namanya diganti jadi Raden Haji Ilyas dan sepulangnya dari ibadah haji ini dia mulai mengajar dan melakukan tabligh agama.
Kira-kira umur 30 tahun beliau diajak oleh ayahnya untuk pergi haji yang kedua dengan niat untuk bermukim di tanah suci.
Di saat-saat melakukan ibadah haji, ayahnya pulang ke rahmatullah, meskipun demikian, niat bermukim tetap diteruskan selama 20 tahun.
Selama itu dia juga pernah pulang ke Kudus beberapa kali untuk menjenguk ibunya yang masih hidup beserta adiknya, H Dimyati, yang menetap di Kudus hingga wafat.
Ibunya wafat di Kudus sewaktu dia telah kembali ke tanah suci untuk meneruskan cita-citanya. Pada haji kali ketiga ini namanya pun berganti jadi Kiai Haji Raden Asnawi.
Beberapa karomah yang dimilikinya adalah, membuat gentar penjajah Belanda. Kiai Haji Raden Asnawi sempat ditahan oleh pemerintah Belanda karena dianggap sebagai penggerak kerusuhan. Ketika di penjara itulah KH Raden Asnawi banyak menghabiskan waktu untuk mengajar ilmu agama dan membaca shalawat kepada para penghuni penjara.
Konon, petugas penjara tidak sanggup menjaga KH Raden Asnawi karena setiap saat membaca shalawat. Ruangannya dibanjiri rakyat yang ingin belajar agama. Hingga para penjaga penjara menyerah dan akhirnya KH Raden Asnawi dibebaskan.
Karomah lain yang dimiliki KH Raden Asnawi adalah sanggup membuat musuh-musuhnya lari ketakutan dari jarak jauh. Hal itu dibuktikan ketika KH Raden Asnawi hendak ditangkap oleh penjajah untuk ketiga kalinya. Para penjajah kabur karena takut sebelum menangkap KH Raden Asnawi. Karena sering masuk penjara namun selalu berakhir bebas.
Selama hidup, KH R Asnawi memiliki pendirian teguh. Prinsip hidupnya keras dan watak perjuangannya terkenal galak. Bahkan tidak segan-segan KH R Asnawi menyatakan, produk kolonial diharamkan.
Kehidupannya dihabiskan untuk menegakkan Islam. Beberapa daerah menjadi lokasi dakwahnya. Di antaranya, Kudus, Jepara, Demak, Tegal, Pekalongan, Semarang, Gresik, Cepu, Blora dan lainnya. KH R Asnawi juga aktif mengikuti pertemuan ulama nasional mulai 1926-1956.
Karya dan peninggalannya yaitu Kitab Fashalatan, Kitab Soal Jawab Mu’takad Seket, Syair Nasionalisme Relijius, dan Shalawat Asnawiyah. Karya-karya itulah yang sampai sekarang dilestarikan oleh murid-muridnya.
Jelang wafatnya, KH R Asnawi seolah mengetahui kalau dirinya akan pergi selama-lamanya. Pada Muktamar NU XII di Jakarta, KH R Asnawi mengikuti kegiatan. Dia menginap di rumah H Zen Muhammad, adik kandung KH Mustain di Jalan H Agus Salim Jakarta. Muktamar digelar 12-18 Desember 1959.
Saat KH Mustain menjemput KH R Asnawi untuk datang ke lokasi muktamar. KH Mustain mendengar kalimat yang tak biasa. “Hai Mustain, inilah yang merupakan terakhir kehadiranku dalam Muktamar NU, mengingat keadaanku dan kekuatan badanku.”
Tercenganglah KH Mustain. “Kalau Kiai tidak dapat hadir dalam muktamar, maka sangat kami harapkan doanya.” Benar saja, pada pukul 02.30 WIB Sabtu (26/12/1959) itu, KH R Asnawi bangun dari tidurnya untuk mengambil air wudu. Istrinya, Hamdanah menemaninya. Setelah itu, KH R Asnawi kembali berbaring di atas tempat tidur. Kondisinya semakin tak berdaya.
Kalimat Syahadat adalah kalimat terakhir yang mengantarkan arwahnya. Sekitar pukul 03.00 WIB, KH R Asnawi pulang ke Rahmatullah.
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email