“Innã liLlãhi wainnã ilaiHi rãji’űn. Kita kehilangan lagi seorang tokoh, mantan Ketum PBNU, KH. Hasyim Muzadi. Semoga husnul Khãtimah …”
Demikian kata Pengasuh Ponpes Raudhatu Thalibin KH. Mustafa ‘Gus Mus’ Bisri via akun twitternya pagi tadi (16/3) setelah mendengar kabar wafatnya anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu. Satu demi satu ucapan belasungkawa pun mengalir deras dari berbagai tokoh dan kalangan masyarakat atas berita duka ini.
Sebagai ulama senior yang lahir dari salah satu ormas Islam Indonesia tertua ini, sosok Hasyim tentu menjadi kenangan tersendiri di benak masyarakat. Apalagi perjalanan hidupnya menyentuh berbagai aspek seperti sebagai santri, ulama, intelektual, aktivis sosial, hingga Wantimpres.
Seperti diketahui, Kyai Haji Ahmad Hasyim Muzadi lahir di Bangilan, Tuban, 8 Agustus 1944. Ayah beliau bernama H. Muzadi dan Ibunda beliau bernama Hj. Rumyati. Sedangkan istri beliau bernama Hj. Mutammimah.
Beliau juga pernah menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), salah satu organisasi keagamaan tertua di Indonesia. Hingga akhir hanyatnya, ia dikenal sebagai pengasuh pondok pesantren Al-Hikam, Malang, Jawa Timur.
Hasyim memulai pendidikannya di Madrasah lbtidaiyah Tuban-Jawa Timur, 1950. Setamat SMP di Tuban, Hasyim kecil melanjutkan pendidikan agamanya di Pondok Pesantren Darusslam Gontor Ponorogo yang didirikan oleh KH. Imam Zarkasyi dan dua saudaranya.
Tak hanya sampai di situ, Hasyim remaja juga sempat belajar di Ponpes Senori Tuban, Ponpes Lasem, Jawa Tengah, sebelum kemudian lanjut ke IAIN Malang pada 1964-1969.
Hasyim muda sepertinya tak puas dengan hanya belajar di ruang-ruang kelas. Hal ini tercermin dari sederet organisasi yang ia tekuni sejak 1960 di PII (Pelajar Islam Indonesia). Ia juga mengabdikan dirinya pada Nahdlatul Ulama sejak dari ranting Buluwalang, Ketua Cabang GP Ansor, PMII, KAMI, PCNU Jawa Timur hingga dipercaya sebagai nahkoda PBNU selama dua periode.
Selain sebagai ulama, sosok Hasyim dikenal “nasionalis dan pluralis”. Itu sebabnya, ketika terjadi peristiwa ‘Black September’ yang menempatkan umat Islam sebagai pelaku teroris, kiai yang dikaruniai enam orang putra ini, tampil dengan memberikan penjelasan kepada dunia internasional bahwa umat Islam Indonesia adalah umat Islam yang moderat, kultural, dan tidak memiliki jaringan dengan organisasi kekerasan internasional.
Ia adalah sekian dari tokoh umat di Indonesia yang dijadikan referensi oleh dunia barat dalam menjelaskan karakteristik umat Islam di Indonesia.
Integritas Hasyim yang lintas sektoral kini diuji. Ijtihad politik pria berusia 60 tahun ini yang menerima lamaran PDI Perjuangan untuk menjadi cawapres, merupakan bagian dari sosok dirinya yang moderat.
“Saya ingin menyatukan antara kaum nasionalis dan agama,” ujarnya ketika berorasi dalam deklarasi pasangan capres dan cawapres Megawati-Hasyim Muzadi.
Walaupun memang, tak sedikit yang mencibir dan menyayangkan langkah Hasyim yang terjun ke politik praktis. Kebesaran nama baik NU, bagi Muzadi, tidak boleh dipertaruhkan demi kepentingan kekuasaan.
Ia juga ingin menjaga agar Umat Islam, terutama kaum nahdliyin, tidak terkotak-kotak dalam politik aliran. Namun, bila ada warga NU yang ingin aktif di politik, sama sekali tidak ada halangan. Tetapi, tidak membawa bendera NU secara kelembagaan dalam kiprah politiknya. Paling tidak, hal itu berlaku untuk masa sekarang.
Mengenai pemimpin bangsa, menurut Muzadi, NU itu tidak berpikir bagaimana mengajukan calon dari NU. Tapi, yang dipikirkan, adakah calon dari mana pun yang mampu melakukan recovery, penyembuhan terhadap Indonesia. Hal itu menurutnya harus lebih dulu dipikirkan daripada intern NU, apalagi ramai-ramai membuat NU terjun langsung di dunia politik.
Seperti diketahui, Hasyim Muzadi mengembuskan napas terakhir sekitar pukul 06.00 WIB pagi tadi. Rencananya, jenazah tokoh Nahdlatul Ulama itu akan dikebumikan di Ponpes Al-Hikam, Depok. Dia sempat menjalani perawatan intensif di RS Lavalette, Malang, sebelum akhirnya wafat di usia 72 tahun.
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan, KH Hasyim Muzadi menitipkan pesan agar menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Itu disampaikan Khofifah ketika bersilaturrahmi seminggu yang lalu. Kiai Hasyim berpesan menjaga harmoni merupakan kunci Indonesia menjadi bangsa yang baik.
“Kalau harmoni dijaga maka NKRI akan bisa terjaga dengan baik,” ujar Khofifah, menyampaikan pesan Kiai Hasyim, di kompleks Ponpes Al Hikam, Depok, seperti dikutip republika.co.id (16/3).
Khofifah mengungkapkan, empat hal perlu dibangun guna mencapai keharmonisan antara lain menjaga ukhuwah wathaniyah, ukhuwah Islamiah, Ukhuwah Insaniyah dan Ukhuwah Nahdiniyah. Keempat tersebut merupakan akar dari keharmonisan.
Khofifah yang juga Ketua Umum Muslimat NU itu menegaskan, Kiai Hasyim selalu memberikan pesan damai kepada siapapun. Pesan tersebut disampaikan kepada semua golongan masyarakat.
“Supaya menghadirkan Islam yang rahmatan lil alamin, Islam penyemai perdamaian, penyemai kasih,” kata Khofifah.[]
Sumber: republika.co.id, wikipedia, madinatuliman.com dll
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email