Awalnya Soeharto enggan menjabat presiden. Setelah diangkat malah terlalu lama jadi presiden.
Setelah pidato pertanggungjawabannya yang berjudul Nawaksara ditolak, kekuasaan negara Presiden Sukarno ditarik Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Tak ada wakil presiden, Soeharto sebagai penerima Supersemar diangkat sebagai pejabat presiden. Namun Soeharto tak mau disebut pejabat presiden.
Apa pasal? Dalam pertemuan di kediamannya di Jalan Haji Agus Salim Menteng, Jakarta Pusat, 11 Maret 1967 malam, Soeharto mengungkapkan alasannya. Pertemuan ini dihadiri para pendukungnya dari kalangan militer, organisasi politik, mahasiswa dan pemuda.
Jusuf Wanandi, aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), mengatakan, Soeharto tak mau menjadi pejabat presiden karena dia secara emosional merasa dekat dengan Sukarno, bapak pendiri bangsa yang mengangkat banyak pemimpin sipil dan militer. “Soeharto juga pernah bergantung pada Soekarno. Dia tidak ingin terkutuk karena mengkhianati penolongnya,” kata Jusuf dalam memoarnya, Menyibak Tabir Orde Baru. Soeharto juga tidak ingin menjadi lawan politik Sukarno, tetapi dia tidak dapat menerima PKI dan tiga kali meminta agar PKI dibubarkan, tapi Sukarno menolaknya.
Peserta lain yang hadir, anggota DPR-GR/MPRS, Ismail Suny dalam Misteri Supersemar karya Eros Jarot, mengungkapkan bahwa sebenarnya, “Soeharto itu takut sama Soekarno.” Pengaruh Sukarno masih kuat dan angkatan perang (Angkatan Udara, Angkatan Laut, polisi, dan sebagian besar Angkatan Darat) masih memihaknya. Semua siaga tinggal menunggu komando Sukarno untuk melawan Soeharto. Kalau terjadi kesalahan kecil saja, “Bisa-bisa semua melawan saya,” kata Soeharto kepada mereka.
Namun, menurut Jusuf, Soeharto membangun argumennya dengan cerita pewayangan Mahabharata. Ketika Abiyasa, pendiri dinasti Pandawa dan Kurawa, sudah tua, ia menarik diri dari urusan dunia dan menjadi pertapa. Pemerintahan diserahkan kepada generasi berikutnya. Soeharto ingin Sukarno menjadi Abiyasa, sementara dialah yang menjalankan tugas sehari-hari kepresidenan. “Tujuannya bukan menjadi pejabat presiden karena ini berarti dia menggantikan Sukarno, melainkan menjadi orang yang melaksanakan tugas presiden,” kata Jusuf.
Soeharto mengatakan, “Saya hanya ingin menjadi pengawal kepresidenan. Kalau saya menggunakan istilah pejabat presiden, rakyat akan mengutuk saya.”
Menolak istilah “pejabat presiden”, Soeharto mengusulkan “Pd Presiden” artinya “pemangku djabatan presiden.”
“Kami menolak karena istilah itu seharusnya pejabat presiden,” kata Jusuf. Perdebatan berjam-jam. “Baik bapak,” Jusuf melanjutkan, “bapak tidak ingin pejabat; mahasiswa tidak menerima istilah pemangku djabatan. Kenapa kita tidak menafsirkan masing-masing saja. Bapak satu tafsir, kami tafsir lain.”
Soeharto yang semula enggan menjadi pejabat presiden, kata Ismail Suny, “kita bujuk terus dia hingga akhirnya mau.”
Soeharto setuju. Jam menunjukkan pukul lima pagi. Beberapa jam kemudian, Sukarno diturunkan dari jabatan sebagai presiden. “Sementara Soeharto diangkat sebagai pejabat atau pemangku djabatan tergantung siapa yang menafsirkan: MPRS atau Soeharto,” kata Jusuf.
Waktu dilantik menjadi pejabat presiden oleh ketua DPR-GR/MPRS A.H. Nasution, “Soeharto dalam sumpahnya tidak mau mengucapkan kata-kata pejabat presiden,” kata Ismail Suny. “Eh, setahun kemudian Soeharto minta diangkat menjadi presiden. Alasannya, Jepang enggan memberi utang pada Indonesia kalau Soeharto berstatus pejabat presiden.”
Soeharto dilantik sebagai presiden dalam Sidang Umum MPRS V tanggal 27 Maret 1968. Hal ini sebenarnya melanggar Tap MPRS No. XXXI-11/1967 yang menyebutkan Soeharto diangkat menjadi pejabat presiden sampai pemilihan umum.
“Jika awalnya Soeharto sangat sederhana dan tidak ingin menjadi presiden penuh menggantikan Soekarno,” kata Jusuf, “kelak dia berubah dan malah terlalu lama menjabat sebagai presiden.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Presiden Soeharto dan Menteri Pertahanan Amerika Serikat, William Cohen, di Jakarta, Januari 1998. (Foto: RD Ward/commons.wikimedia.org).
Setelah pidato pertanggungjawabannya yang berjudul Nawaksara ditolak, kekuasaan negara Presiden Sukarno ditarik Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Tak ada wakil presiden, Soeharto sebagai penerima Supersemar diangkat sebagai pejabat presiden. Namun Soeharto tak mau disebut pejabat presiden.
Apa pasal? Dalam pertemuan di kediamannya di Jalan Haji Agus Salim Menteng, Jakarta Pusat, 11 Maret 1967 malam, Soeharto mengungkapkan alasannya. Pertemuan ini dihadiri para pendukungnya dari kalangan militer, organisasi politik, mahasiswa dan pemuda.
Jusuf Wanandi, aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), mengatakan, Soeharto tak mau menjadi pejabat presiden karena dia secara emosional merasa dekat dengan Sukarno, bapak pendiri bangsa yang mengangkat banyak pemimpin sipil dan militer. “Soeharto juga pernah bergantung pada Soekarno. Dia tidak ingin terkutuk karena mengkhianati penolongnya,” kata Jusuf dalam memoarnya, Menyibak Tabir Orde Baru. Soeharto juga tidak ingin menjadi lawan politik Sukarno, tetapi dia tidak dapat menerima PKI dan tiga kali meminta agar PKI dibubarkan, tapi Sukarno menolaknya.
Peserta lain yang hadir, anggota DPR-GR/MPRS, Ismail Suny dalam Misteri Supersemar karya Eros Jarot, mengungkapkan bahwa sebenarnya, “Soeharto itu takut sama Soekarno.” Pengaruh Sukarno masih kuat dan angkatan perang (Angkatan Udara, Angkatan Laut, polisi, dan sebagian besar Angkatan Darat) masih memihaknya. Semua siaga tinggal menunggu komando Sukarno untuk melawan Soeharto. Kalau terjadi kesalahan kecil saja, “Bisa-bisa semua melawan saya,” kata Soeharto kepada mereka.
Namun, menurut Jusuf, Soeharto membangun argumennya dengan cerita pewayangan Mahabharata. Ketika Abiyasa, pendiri dinasti Pandawa dan Kurawa, sudah tua, ia menarik diri dari urusan dunia dan menjadi pertapa. Pemerintahan diserahkan kepada generasi berikutnya. Soeharto ingin Sukarno menjadi Abiyasa, sementara dialah yang menjalankan tugas sehari-hari kepresidenan. “Tujuannya bukan menjadi pejabat presiden karena ini berarti dia menggantikan Sukarno, melainkan menjadi orang yang melaksanakan tugas presiden,” kata Jusuf.
Soeharto mengatakan, “Saya hanya ingin menjadi pengawal kepresidenan. Kalau saya menggunakan istilah pejabat presiden, rakyat akan mengutuk saya.”
Menolak istilah “pejabat presiden”, Soeharto mengusulkan “Pd Presiden” artinya “pemangku djabatan presiden.”
“Kami menolak karena istilah itu seharusnya pejabat presiden,” kata Jusuf. Perdebatan berjam-jam. “Baik bapak,” Jusuf melanjutkan, “bapak tidak ingin pejabat; mahasiswa tidak menerima istilah pemangku djabatan. Kenapa kita tidak menafsirkan masing-masing saja. Bapak satu tafsir, kami tafsir lain.”
Soeharto yang semula enggan menjadi pejabat presiden, kata Ismail Suny, “kita bujuk terus dia hingga akhirnya mau.”
Soeharto setuju. Jam menunjukkan pukul lima pagi. Beberapa jam kemudian, Sukarno diturunkan dari jabatan sebagai presiden. “Sementara Soeharto diangkat sebagai pejabat atau pemangku djabatan tergantung siapa yang menafsirkan: MPRS atau Soeharto,” kata Jusuf.
Waktu dilantik menjadi pejabat presiden oleh ketua DPR-GR/MPRS A.H. Nasution, “Soeharto dalam sumpahnya tidak mau mengucapkan kata-kata pejabat presiden,” kata Ismail Suny. “Eh, setahun kemudian Soeharto minta diangkat menjadi presiden. Alasannya, Jepang enggan memberi utang pada Indonesia kalau Soeharto berstatus pejabat presiden.”
Soeharto dilantik sebagai presiden dalam Sidang Umum MPRS V tanggal 27 Maret 1968. Hal ini sebenarnya melanggar Tap MPRS No. XXXI-11/1967 yang menyebutkan Soeharto diangkat menjadi pejabat presiden sampai pemilihan umum.
“Jika awalnya Soeharto sangat sederhana dan tidak ingin menjadi presiden penuh menggantikan Soekarno,” kata Jusuf, “kelak dia berubah dan malah terlalu lama menjabat sebagai presiden.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email