Bagi pakar hukum tata negara, Prof. Mahfud MD, agama dan politik di Indonesia bisa rukun karena di rukunkan oleh Pancasila. Tapi secara serius bisa ditegaskan bahwa, seperti pernah ditulis oleh Tahir Azhary, Indonesia ini bukan negara agama dan bukan negara sekuler.
“Melainkan negara kebangsaan yang berketuhanan, religious nation state,” kata Mahfud di harian Sindo, 1/4.
Di dalam cita-negara yang demikian, lanjut jebolan Universitas Islam Indonesia ini, negara tidak diatur berdasar ajaran satu agama tertentu, tetapi dibangun dengan spirit nilai-nilai ketuhanan yang dianut sebagai agama-agama yang diyakini dan hidup di tengah-tengah masyarakat.
“Berdasar ide itu pula, negara tidak memberlakukan hukum agama, tetapi melindungi warganya yang ingin melaksanakan ajaran agamanya masing-masing,” katanya.
Oleh sebab itu hukum-hukum publik yang berlaku di Indonesia adalah hukum nasional yang merupakan produk eklektisasi (peleburan atau penyatuan nilai-nilai yang beragam di dalam masyarakat). Adapun hukum-hukum privatnya diserahkan kepada warga negara untuk memilih ketundukkan dirinya sesuai dengan kesadaran hukum dan agama masing-masing.
“Kalau meminjam istilah Nurcholish Madjid, hukum-hukum publik kita merupakan produk kalimatun sawaa (kesepakatan nasional) atau unifikasi tentang hal-hal yang menjadi concern bersama,” jelasnya.
Lalu bagaimana hukum-hukum privat seperti soal-soal ibadah ritual (salat, kebaktian, pembaptisan) dan hukum keluarga (seperti perkawinan, waris, pemberkatan)? Menurut pria 59 tahun ini, yang berlaku ialah hukum agama atau keyakinan masing-masing sesuai dengan fakta pluralitas kita.
Jadi dalam hukum publik kita menganut kesatuan hukum, sedangkan dalam hukum privat menganut keberagaman hukum. Paham yang demikian, dalam konteks yang lebih umum, biasa disebut pluralisme.
“Kalau meminjam penjelasan yang pernah dikemukakan Gus Dur, pluralisme itu ibarat kita hidup di satu rumah besar yang banyak kamarnya dengan ruang keluarga dan ruang tamu yang juga besar,” katanya.
Pada saat kita berada di kamar masing-masing kita boleh melakukan atau memakai apa saja yang tidak harus sama dengan penghuni-penghuni kamar lain, tetapi ketika kita berada di ruang tamu, kita harus kompak dan tunduk pada tata cara perilaku yang disepakati.
Begitu pula jika kita berada di luar rumah, semua penghuninya harus memastikan rumah itu aman dari kerusakan dan perusakan. Pemahaman pluralisme yang seperti itulah yang dapat kita terapkan di rumah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“NKRI adalah rumah besar kita yang dibangun dengan fondasi Pancasila dengan kita sebagai penghuni-penghuni yang memiliki kamar-kamar dengan beragam primordialitas masing-masing,” katanya. []
(Harian-Sindo/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email