Sengketa perbatasan membuat RRC dan Vietnam berperang. Kesamaan ideologi komunis tetapi berbeda garis politik, malah menjadi bahan bakarnya.
Demonstrasi anti-China terjadi di Vietnam pada Minggu (2/6) lalu. Para demonstran memprotes kesewenang-wenangan Negeri Tirai Bambu, di mana kapal angkatan lautnya menangkapi kapal-kapal pukat nelayan Vietnam di perairan yang disengketakan: Laut China Selatan.
Selain memblokade jalan-jalan di Hanoi, polisi Vietnam menangkap sekira 20 demonstran dan dua wartawan Vietnam yang bekerja untuk media asing.
Demonstrasi anti-China bukan kali ini terjadi di Vietnam. Pasang-surut hubungan kedua negara komunis yang bertetangga itu jadi penyebabnya. Belakangan, kedua negara terlibat sengketa wilayah perbatasan (Teluk Tonkin) dan Kepulauan Spartly yang terletak di Laut China Selatan. Banyak kalangan khawatir perang kembali pecah.
Kedua negara komunis dan bertetangga itu, yang pernah bahu-membahu mengusir agresor dua negara Barat (Prancis dan Amerika Serikat) dari Vietnam, sudah beberapa kali adu senjata. Salah satunya Perang Vietnam-China, yang dikenal dengan Perang Indochina Ketiga, pada 1979.
Perbedaan garis politik menjadi “bahan bakar” yang mengobarkan api peperangan. Pasca-keretakan hubungan China-Uni Soviet pada 1960-an, Vietnam condong memihak Soviet. China tak terima. Hubungan kedua negara memburuk. Sengketa perbatasan memperparah keadaan. Dan dengan dalih melindungi etnis Tionghoa, yang menjadi minoritas di Vietnam, China memutuskan –dalam bahasa Deng Xiao Ping– “memberi pelajaran” kepada tetangganya.
Pada 17 Februari 1979, China mengerahkan lebih dari 200 ribu prajuritnya beserta 200-an tank dan kendaraan tempur lain ke 26 titik di perbatasan kedua negara yang merentang sejauh 1.400 km. Dalam waktu singkat, Tentara Pembebasan Rakyat China merangsek masuk sejauh 20 km ke wilayah Vietnam.
Taktik dan strategi China, dengan pengerahan infanteri sebanyak mungkin, membuat jumlah personel yang dikerahkannya begitu besar. Pasukan reguler dikerahkan dari pangkalan militer di provinsi perbatasan seperti Guangzhou dan Kunming. China juga mengerahkan ribuan milisi, sebagian besar berasal dari provinsi-provinsi yang berbatasan dengan Vietnam seperti Guangxi.
Vietnam merespon dengan taktik berbeda. Negeri itu hanya mengerahkan sedikit pasukan regulernya, yang tetap dikonsentrasikan untuk menjaga ibukota Hanoi. Vietnam justru mengandalkan sekira 150 ribu personel yang terdiri dari pasukan reguler penjaga perbatasan ditambah milisi setempat.
Pertempuran demi pertempuran pun pecah. China mendapati kenyataan, strategi militernya tak lagi mumpuni. Dalam dua hari pertempuran, diperkirakan 4.000 tentara China tewas. Dukungan satelit Amerika Serikat –kala itu bersekutu dengan Deng Xiao Ping dalam menghadapi Uni Soviet– yang memberi bantuan penginderaan tak banyak membantu dalam menghadapi perang gerilya Vietnam.
Strategi dan taktik Vietnam, yang menghindari perang frontal, jauh lebih jitu. Keterlibatan banyak gerilyawan veteran membuat pasukan Vietnam memenangi beberapa pertempuran. Mereka juga mendapat dukungan persenjataan modern dan logistik dari Soviet, yang tak mau terlibat langsung dalam perang. Meski harus membagi konsentrasi ke dua titik, di utara lawan China dan selatan melawan Khmer Merah (Kamboja), kurang dari sebulan kemudian Vietnam akhirnya mempermalukan China.
Namun, China juga mengklaim menang perang. Deng Xiao Ping berargumen, penarikan seluruh pasukannya disebabkan karena “pelajaran” yang ingin diberikan kepada Vietnam dirasa sudah cukup. Betatapun, China menanggung jumlah korban lebih banyak. Lebih dari 25 ribu jiwa China tewas dan ribuan lain luka-luka, sementara Vietnam kehilangan sekira 10 ribu rakyatnya dan ribuan lain luka-luka di samping rakyat sipil yang jadi korban.
Tak ada yang menang ataupun kalah dalam perang itu. Yang pasti, China membayar mahal atas keputusan yang sebenarnya untuk mengusir militer Soviet dari Asia Tenggara –Soviet dan Vietnam terikat perjanjian militer 25 tahun untuk saling mendukung sehingga Soviet punya pangkalan militer di Vietnam. “Beijing berteori, kerjasama Soviet-Vietnam sebagai perangkat hegemonik untuk mengepung China,” tulis King C. Chen dalam China’s War With Vietnam, 1979: Issues, Decisions, and Implications.
Sebaliknya, Vietnam menuduh China melakukan kejahatan hegemonik dengan terus menekan dan menyerang Vietnam. “Akibatnya,” tulis King, “ideologi bersama itu dimanfaatkan kedua belah pihak untuk mendasari bantahan mereka.”
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Demonstrasi anti-China terjadi di Vietnam pada Minggu (2/6) lalu. Para demonstran memprotes kesewenang-wenangan Negeri Tirai Bambu, di mana kapal angkatan lautnya menangkapi kapal-kapal pukat nelayan Vietnam di perairan yang disengketakan: Laut China Selatan.
Selain memblokade jalan-jalan di Hanoi, polisi Vietnam menangkap sekira 20 demonstran dan dua wartawan Vietnam yang bekerja untuk media asing.
Demonstrasi anti-China bukan kali ini terjadi di Vietnam. Pasang-surut hubungan kedua negara komunis yang bertetangga itu jadi penyebabnya. Belakangan, kedua negara terlibat sengketa wilayah perbatasan (Teluk Tonkin) dan Kepulauan Spartly yang terletak di Laut China Selatan. Banyak kalangan khawatir perang kembali pecah.
Kedua negara komunis dan bertetangga itu, yang pernah bahu-membahu mengusir agresor dua negara Barat (Prancis dan Amerika Serikat) dari Vietnam, sudah beberapa kali adu senjata. Salah satunya Perang Vietnam-China, yang dikenal dengan Perang Indochina Ketiga, pada 1979.
Perbedaan garis politik menjadi “bahan bakar” yang mengobarkan api peperangan. Pasca-keretakan hubungan China-Uni Soviet pada 1960-an, Vietnam condong memihak Soviet. China tak terima. Hubungan kedua negara memburuk. Sengketa perbatasan memperparah keadaan. Dan dengan dalih melindungi etnis Tionghoa, yang menjadi minoritas di Vietnam, China memutuskan –dalam bahasa Deng Xiao Ping– “memberi pelajaran” kepada tetangganya.
Pada 17 Februari 1979, China mengerahkan lebih dari 200 ribu prajuritnya beserta 200-an tank dan kendaraan tempur lain ke 26 titik di perbatasan kedua negara yang merentang sejauh 1.400 km. Dalam waktu singkat, Tentara Pembebasan Rakyat China merangsek masuk sejauh 20 km ke wilayah Vietnam.
Taktik dan strategi China, dengan pengerahan infanteri sebanyak mungkin, membuat jumlah personel yang dikerahkannya begitu besar. Pasukan reguler dikerahkan dari pangkalan militer di provinsi perbatasan seperti Guangzhou dan Kunming. China juga mengerahkan ribuan milisi, sebagian besar berasal dari provinsi-provinsi yang berbatasan dengan Vietnam seperti Guangxi.
Vietnam merespon dengan taktik berbeda. Negeri itu hanya mengerahkan sedikit pasukan regulernya, yang tetap dikonsentrasikan untuk menjaga ibukota Hanoi. Vietnam justru mengandalkan sekira 150 ribu personel yang terdiri dari pasukan reguler penjaga perbatasan ditambah milisi setempat.
Pertempuran demi pertempuran pun pecah. China mendapati kenyataan, strategi militernya tak lagi mumpuni. Dalam dua hari pertempuran, diperkirakan 4.000 tentara China tewas. Dukungan satelit Amerika Serikat –kala itu bersekutu dengan Deng Xiao Ping dalam menghadapi Uni Soviet– yang memberi bantuan penginderaan tak banyak membantu dalam menghadapi perang gerilya Vietnam.
Strategi dan taktik Vietnam, yang menghindari perang frontal, jauh lebih jitu. Keterlibatan banyak gerilyawan veteran membuat pasukan Vietnam memenangi beberapa pertempuran. Mereka juga mendapat dukungan persenjataan modern dan logistik dari Soviet, yang tak mau terlibat langsung dalam perang. Meski harus membagi konsentrasi ke dua titik, di utara lawan China dan selatan melawan Khmer Merah (Kamboja), kurang dari sebulan kemudian Vietnam akhirnya mempermalukan China.
Namun, China juga mengklaim menang perang. Deng Xiao Ping berargumen, penarikan seluruh pasukannya disebabkan karena “pelajaran” yang ingin diberikan kepada Vietnam dirasa sudah cukup. Betatapun, China menanggung jumlah korban lebih banyak. Lebih dari 25 ribu jiwa China tewas dan ribuan lain luka-luka, sementara Vietnam kehilangan sekira 10 ribu rakyatnya dan ribuan lain luka-luka di samping rakyat sipil yang jadi korban.
Tak ada yang menang ataupun kalah dalam perang itu. Yang pasti, China membayar mahal atas keputusan yang sebenarnya untuk mengusir militer Soviet dari Asia Tenggara –Soviet dan Vietnam terikat perjanjian militer 25 tahun untuk saling mendukung sehingga Soviet punya pangkalan militer di Vietnam. “Beijing berteori, kerjasama Soviet-Vietnam sebagai perangkat hegemonik untuk mengepung China,” tulis King C. Chen dalam China’s War With Vietnam, 1979: Issues, Decisions, and Implications.
Sebaliknya, Vietnam menuduh China melakukan kejahatan hegemonik dengan terus menekan dan menyerang Vietnam. “Akibatnya,” tulis King, “ideologi bersama itu dimanfaatkan kedua belah pihak untuk mendasari bantahan mereka.”
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email