Akun jejaring sosial Facebook milik Afi Nihaya Faradisa, siswi SMA di Banyuwangi, Jawa Timur, sempat dibekukan.
Pembekuan oleh Facebook tersebut dilakukan setelah Afi mengunggah tulisan berjudul 'WARISAN' yang sempat viral dan menjadi bahan perbincangan warganet.
Ihwal pembekuan itu dilontarkan Afi melalui tulisan yang diunggah ke akun Facebook-nya yang kini sudah aktif kembali, Kamis (18/5/2017).
Afi mempertanyakan sikap orang-orang yang merasa dirugikan dengan tulisannya hingga mereka melaporkan akun Facebook-nya secara bersamaan.
Pelaporan tersebut berimbas pada dilumpuhkannya akun milik Afi selama hampir 24 jam.
Berikut curhat Afi melalui akun Facebook-nya:
Saya ingin tahu apa kerugian yang saya timbulkan sampai-sampai banyak orang melaporkan akun saya secara bersamaan.
Pihak Facebook telah men-suspend/melumpuhkan akun saya selama hampir 24 jam, saat tulisan berjudul WARISAN sedang ramai-ramainya dibagikan.
Selama kurun waktu tersebut, akun saya menghilang. Saya sedih.
Di depan mata, upaya saya sejak lama tiba-tiba sirna. Saya merasa bahwa inilah akhirnya.
Saya tidak menyangka, ternyata masih banyak orang yang menentang takdir Tuhan dengan meludahi perbedaan.
Saya bertanya-tanya,
Mengapa jika ego berbicara, gaungnya melebihi nurani kita yang sama-sama ciptaan-Nya?
Siang tadi, saat saya masih ada di balai kota, saat saya menjawab pertanyaan rekan media, ada gerimis dalam hati ini ketika menyaksikan beberapa teman dan followers FB sedang mencoba memviralkan hashtag #FACEBOOKbringbackAFI dengan harapan agar akun saya bisa segera pulih.
Padahal orang-orang itu tidak pernah bertemu secara langsung dengan saya, tapi mereka begitu peduli.
Mereka percaya pada niat baik dan kesungguhan saya dalam menebarkan kebermanfaatan.
Masih banyak orang yang mendukung kedamaian dalam diam.
Masih banyak orang yang menopang saya untuk berdiri, walau mereka 'sunyi'.
Peristiwa ini menguji saya pribadi.
Menguji apakah saya benar-benar bisa sebaik tulisan saya saat menghadapi persoalan sungguhan, sekaligus mengetahui mana teman yang bukan hanya datang saat senang.
Beribu terima kasih pada Anda semua.
Tanpa Anda, saya tidak akan bisa apa-apa.
Saya TIDAK memiliki akun lain di situs facebook kecuali www.facebook.com/afinihaya
Saya memiliki akun instagram di @afi.nihayafaradisa dan email afinihayafaradisa@gmail.com
Selain yang saya sebutkan di atas, semuanya palsu termasuk fanpage, website, twitter, dan lainnya.
Saya muslim dan saya cinta saudara-saudara lain agama.
Saya percaya bahwa saya bukanlah satu-satunya muslim yang menghargai perbedaan, mentoleransi keragaman yang adalah bagian dari kehendak Tuhan.
Masih ada banyak orang yang saya rasa perlu untuk membaca tulisan WARISAN.
Sayangnya, viralnya tulisan itu berusaha dihentikan oleh "berbagai pihak" selama beberapa waktu.
Maka, jika Anda berkenan, saya meminta dengan sangat agar Anda yang belum/sudah share untuk share tulisan itu lagi.
Tulisan menohok itu berjudul 'Warisan'
Ditulis oleh Afi Nihaya Faradisa
Kebetulan saya lahir di Indonesia dari pasangan muslim, maka saya beragama Islam. Seandainya saja saya lahir di Swedia atau Israel dari keluarga Kristen atau Yahudi, apakah ada jaminan bahwa hari ini saya memeluk Islam sebagai agama saya? Tidak.
Saya tidak bisa memilih dari mana saya akan lahir dan di mana saya akan tinggal setelah dilahirkan.
Kewarganegaraan saya warisan, nama saya warisan, dan agama saya juga warisan.
Untungnya, saya belum pernah bersitegang dengan orang-orang yang memiliki warisan berbeda-beda karena saya tahu bahwa mereka juga tidak bisa memilih apa yang akan mereka terima sebagai warisan dari orangtua dan negara.
Setelah beberapa menit kita lahir, lingkungan menentukan agama, ras, suku, dan kebangsaan kita.
Setelah itu, kita membela sampai mati segala hal yang bahkan tidak pernah kita putuskan sendiri.
Sejak masih bayi saya didoktrin bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar.
Saya mengasihani mereka yang bukan muslim, sebab mereka kafir dan matinya masuk neraka.
Ternyata, teman saya yang Kristen juga punya anggapan yang sama terhadap agamanya.
Mereka mengasihani orang yang tidak mengimani Yesus sebagai Tuhan, karena orang-orang ini akan masuk neraka, begitulah ajaran agama mereka berkata.
Maka, Bayangkan jika kita tak henti menarik satu sama lainnya agar berpindah agama, bayangkan jika masing-masing umat agama tak henti saling beradu superioritas seperti itu, padahal tak akan ada titik temu.
Jalaluddin Rumi mengatakan, "Kebenaran adalah selembar cermin di tangan Tuhan; jatuh dan pecah berkeping-keping. Setiap orang memungut kepingan itu,
memperhatikannya, lalu berpikir telah memiliki kebenaran secara utuh."
Salah satu karakteristik umat beragama memang saling mengklaim kebenaran agamanya.
Mereka juga tidak butuh pembuktian, namanya saja "iman".
Manusia memang berhak menyampaikan ayat-ayat Tuhan, tapi jangan sesekali mencoba jadi Tuhan.
Usah melabeli orang masuk surga atau neraka sebab kita pun masih menghamba.
Latar belakang dari semua perselisihan adalah karena masing-masing warisan mengklaim,
"Golonganku adalah yang terbaik karena Tuhan sendiri yang mengatakannya".
Lantas, pertanyaan saya adalah kalau bukan Tuhan, siapa lagi yang menciptakan para Muslim, Yahudi, Nasrani, Buddha, Hindu, bahkan ateis dan memelihara mereka semua sampai hari ini?
Tidak ada yang meragukan kekuasaan Tuhan. Jika Dia mau, Dia bisa saja menjadikan kita semua sama. Serupa. Seagama. Sebangsa.
Tapi tidak, kan?
Apakah jika suatu negara dihuni oleh rakyat dengan agama yang sama, hal itu akan menjamin kerukunan?
Tidak!
Nyatanya, beberapa negara masih rusuh juga padahal agama rakyatnya sama.
Sebab, jangan heran ketika sentimen mayoritas vs. minoritas masih berkuasa, maka sisi kemanusiaan kita mendadak hilang entah kemana.
Bayangkan juga seandainya masing-masing agama menuntut agar kitab sucinya digunakan sebagai dasar negara. Maka, tinggal tunggu saja kehancuran Indonesia kita.
Karena itulah yang digunakan negara dalam mengambil kebijakan dalam bidang politik, hukum, atau kemanusiaan bukanlah Alquran, Injil, Tripitaka, Weda, atau kitab suci sebuah agama, melainkan Pancasila, Undang-Undang Dasar '45, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam perspektif Pancasila, setiap pemeluk agama bebas meyakini dan menjalankan ajaran agamanya, tapi mereka tak berhak memaksakan sudut pandang dan ajaran agamanya untuk ditempatkan sebagai tolok ukur penilaian terhadap pemeluk agama lain.
Hanya karena merasa paling benar, umat agama A tidak berhak mengintervensi kebijakan suatu negara yang terdiri dari bermacam keyakinan.
Suatu hari di masa depan, kita akan menceritakan pada anak cucu kita betapa negara ini nyaris tercerai-berai bukan karena bom, senjata, peluru, atau rudal, tapi karena orang-orangnya saling mengunggulkan bahkan meributkan warisan masing-masing di media sosial.
Ketika negara lain sudah pergi ke bulan atau merancang teknologi yang memajukan peradaban, kita masih sibuk meributkan soal warisan.
Kita tidak harus berpikiran sama, tapi marilah kita sama-sama berpikir
Pada bagian kolom komentar, Afi sempat menuliskan lagi pendapatnya soal tulisan yang ia buat tersebut
"Ini adalah tulisan untuk membenahi landasan berpikir kita, jangan apa-apa dihubungan ke Pilkada Jakarta.
Mengutip perkataan John Dewer, "Pikiran itu seperti parasut; hanya berfungsi ketika terbuka." tulis Afi.
Sontak, tulisan yang kritis, menohok, tegas, dan lugas ini pun langsung dibanjiri dengan komentar-komentar netizen yang terkagum-kagum dengan cara berpikir Afi.
Namun akibat daripostingannya itu akun Afi sempat kena suspend oleh Facebook karena kena report oleh orang-orang yang merasa kebakaran jenggot dengan tulisan tersebut.
Contohnya akun ini, dengan gagahnya memposting balasan terkait postingan Afi Nihaya. Namun kalau dibaca, tulisan ini tidak menjawab dari tulisan menohok Afi.
Bahkan di postingan ini beberapa netizen menyebut Afi sebagai Ahoker. Padahal dalam semau tulisannya Afi netral dan tidak memihak siapapun.
Berikut kutipannya:
Terimalah Warisanmu, jangan campuri warisan orang lain
Saya pikir tulisan anak kemarin sore berjudul warisan itu hebat bagaimana gitu sampai akunnya disuspend, ternyata teori basi yg telah lama diungkapkan dedengkot pemikiran liberal.
Allah yang telah memberi hidayah atau menyesatkan siapa saja yg Dia kehendaki, maka tentukan di mana kau berpihak, pada hidayah (petunjuk) ataukah pada dhalalah (kesesatan).
Tuhan menuntut kita untuk patuh dalam doktrin-Nya, dan keberpihakan serta permusuhan karena kayakinan adalah keniscayaan, dan yg menjalankan kodrat itu bukan hendak menjadi Tuhan, tapi justru melaksanakan perintah Tuhan.
Menihilkan arti perbedaan keyakinan, tak menghargai hidayah, dan bingung surga neraka punya siapa adalah bentuk penentangan terhadap Tuhanmu.
Kecuali bila dirimu tak mengakui Dia sebagai Tuhan, atau Al-Qur`an sebagai kitab suci.
Kau tak dituntut untuk mengamalkan konsep Tuhan orang lain, tapi kau dituntut untuk jadi hamba Tuhanmu sendiri, agama yg jadi warisanmu itu.
Sama ketika kau dilahirkan dalam masyarakat jawa, apakah kau akan bicara kepada keluarga, tetangga dan temanmu dengan bahasa Afrika atau Eropa?
Agama warisanmu itu punya konsep, yg kalau tak kau yakini atau amalkan maka sama saja dgn keluar dari agama itu. Apa mau bikin agama sendiri, adik manis? Nanti kalau bikin agama sendiri jodohnya susah lho?!
Jadi, jangan kau ajak orang untuk tak jadi Tuhan, tapi kau sendiri malah jadi pesaing Tuhan.
KITA MEMANG TIDAK HARUS BERPIKIRAN SAMA, KARENA ALLAH MENCIPTAKAN ADA ADAM ADA IBLIS, ADA MUHAMMAD ADA ABU JAHAL, TINGGAL DI MANA KITA BERPIHAK ATAUKAH PENGEN JADI WASIT UNTUK MEREKA?
Bagaimana menurut anda?
(Info-Teratas/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email