Massa FPI ditenangkan Aparat
Front Pembela Islam (FPI) menyatakan akan terus melanjutkan aksi bela ulama di Pontianak, Kalimantan Barat, jika ulama mereka kembali diusir dari wilayah itu. Pernyataan ini dikeluarkan setelah massa FPI sempat bersitegang dengan massa yang menggelar Pekan Gawai Dayak, hari Sabtu (20/05).
Sejumlah laporan menyebutkan massa kedua pihak sempat bersitegang, walaupun polisi memastikan tidak ada bentrokan.
Aksi FPI ini dilatari pengusiran oleh sekelompok orang di Bandara Supadio, Kalimantan Barat, terhadap pimpinan FPI Ahmad Sobri Lubis ketika akan menghadiri sebuah acara di Pontianak, awal Mei lalu.
Ketua DPW FPI Pontianak Ishak Ali Al-Mutakhar mengatakan pihaknya akan terus mengusung aksi serupa.
“Kalau ada orang mengusir ulama ya tetap dilanjut (bela ulama). Siapapun orangnya, siapapun. Khususnya di Kalimantan Barat,” kata Ishak merujuk pada pidato Gubernur Kalimantan Barat Cornelis.
Gubernur Cornelis, pada awal Mei lalu berpidato kepada warga bahwa dia siap mengusir pemimpin FPI Rizieq Shihab jika mendatangi Kalimantan Barat.
“Di Jawa itu, penduduknya sekian ratus juta tidak semua Islam… Islam itu tidak seperti yang Rizieq tawarkan dengan Tengku Zulkarnaen itu. Kalau dia datang di tempat kita di Kalimantan Barat, usir! Saya jadi provokatornya,” seru Cornelis dalam pidatonya.
Aksi bela ulama berlangsung pada saat pembukaan Pekan Gawai Dayak pada Sabtu (20/05) yang sempat menimbulkan ketegangan antara kedua kelompok massa.
Pengamat dari Universitas Tanjungpura Pontianak, Jumadi, mengatakan bahwa aksi ini dimanfaatkan elit politik untuk meniru politik SARA di Pilkada Jakarta.
“Ini bukan hanya persoalan pada komunitas Melayu yang mayoritas Islam dan komunitas Dayak yang beragama Katolik atau Protestan. Ketika persoalan etnik dimunculkan lagi dengan persoalan agama memang ini bisa memantik ketersinggungan antara kelompok-kelompok yang memang Kalbar ini sangat plural,” jelas Jumadi.
“Nuansa politik dan memanasnya situasi ini tidak lepas dari dampak dan persoalan di DKI Jakarta kemudian terduplikasi ke daerah Kalimantan Barat yang memang setiap event demokrasi itu sangat kental.”
Tahun 2018 mendatang Kalimantan Barat akan menyelenggarakan Pilkada untuk lima kabupaten kota dan provinsi.
Namun belum ada kandidat yang paling populer hingga sejauh ini, “Semua saya pikir punya kans yang sama,” kata Jumadi.
Jumadi pun memaparkan bahwa ada kemungkinan elit politik nantinya menggunakan isu agama dan etnik, karena hasil lembaga survei menunjukkan bahwa hampir 60% pertimbangan orang memilih di pilkada di daerah yang plural cenderung pada pertimbangan etnik dan agama.
“Takaran-takaran politik di Kalbar ini tidak lepas dari politik identitas. Disertasi saya menemukan seperti itu,” terang Jumadi.
“Ada anggapan begini, kalau ada komunitas dari elit tertentu yang terpilih maka menjadi ancaman komunitas elit yang lain. Prasangka-prasangka politik seperti itu yang kemudian memperkuat tarikan-tarikan ketika menggunakan agama dan etnik itu, menjadi menu politik yang sangat subur.”
FPI sendiri, menurut Jumadi, masih belum menjadi organisasi yang besar di Kalimantan Barat, dan sejauh ini belum ada kandidat di provinsi itu yang memiliki kedekatan khusus dengan FPI.
Oleh karena penggunaan isu agama dapat dimanfaatkan dalam pilkada mendatang, Jumadi meminta semua elit politik di provinsi itu tidak menggunakan isu agama untuk kepentingan politik praktis.
“Nuansa SARA di DKI itu berbeda eskalasinya dengan Kalbar. Karena DKI tidak pernah punya pengalaman konflik horizontal yang bernuansa SARA sampai menimbulkan korban jiwa yang cukup besar. Tapi di Kalbar pernah punya sejarah, banyak memakan korban – harta dan jiwa,” terang Jumadi.
“Untuk itu pentinglah untuk memiliki kesadaran yang tinggi dari semua elit politik. Mari jangan korbankan kekuasaan itu hanya demi kepentingan kekuasaan sesaat. Itu saja kuncinya.”
(BBC/Gerilya-Politik/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email