Hamas_AK-47. (Foto: davidmerhav.wordpress.com)
Suasana Timur Tengah memanas. Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain dan Mesir memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar. Kondisi ini merupakan salah satu perpecahan terburuk sepanjang sejarah Liga Arab.
Arab Saudi meminta warga negara Qatar meninggalkan negaranya dalam waktu 14 hari. Penerbangan Qatar Airlines dari Doha ke Riyadh dihentikan. Kairo juga menutup bandaranya untuk maskapai ungu tersebut.
Tak mau kalah, Qatar pun meminta warga negaranya segera meninggalkan Uni Emirates Arab. Sampai saat ini situasi masih tegang.
Apa sebenarnya masalah di antara Qatar dan para pentolan Liga Arab. Kenapa perpecahan bisa separah ini?
1. Tak sejalan dengan Arab Saudi soal Iran
Pengamat masalah Timur Tengah dari Universitas Indonesia (UI) Yon Machmudi PhD menilai isolasi oleh sejumlah negara terhadap Qatar tidak lepas dari upaya penguasa Arab Saudi untuk mengukuhkan pengaruhnya di kawasan Timur Tengah.
"Saudi menginginkan negara-negara Arab yang beraliansi dengan Saudi terutama negara-negara Teluk memiliki kebijakan politik luar negeri yang seragam," kata Yon, Selasa (6/6).
Menurut dia, Qatar merupakan negara di Teluk yang menunjukkan sikap independen dan ini terbukti dengan sikap Qatar yang tetap membangun hubungan dengan Iran walaupun Arab Saudi telah memutuskan hubungan diplomatik dengan Teheran.
Sikap Qatar yang tidak sejalan ini, katanya, menimbulkan ketidaknyamanan bagi penguasa Saudi. Qatar justru ingin memainkan peran penyeimbang di antara dua kekuatan, Saudi dan Iran.
"Demikian juga Qatar lebih memperkuat hubungan dengan Turki ketika beberapa negara Teluk cenderung dingin dengan kebijakan Turki di Timur Tengah dan Dunia Islam," ujar dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI itu seperti dikutip Antara.
2. Berita Hoax di media
Sebenarnya, tak sejalannya Qatar dengan negara-negara Teluk telah berlangsung sejak dua dekade silam. Puncaknya pidato Emir Tamim bin Hamad al-Thani pada Bulan Mei lalu yang dianggap menyatakan dukungan terhadap Iran.
Hal ini diperuncing dengan berita dari QNA, kantor berita pemerintah Qatar. Mereka menurunkan berita yang menyebut Doha menarik duta besar dari Arab Saudi, Bahrain, Mesir dan Uni Emirat Arab karena menemukan ada upaya untuk melawan Qatar.
Pemerintah Qatar membantah berita ini dan menyebut ada pembobol situs kantor berita itu. Namun laporan tersebut sudah memicu ketegangan politik di Teluk.
3. Tudingan Qatar mendukung Islam garis keras
Persoalan utama adalah sikap Qatar yang cenderung memberi tempat kepada para kelompok oposisi dari beberapa negara di Timur Tengah seperti Mesir, Libya, Yaman maupun Palestina. Kelompok ini yang dilabeli Islam Garis Keras.
Mesir sangat marah ketika Qatar melindungi ulama Ikhwanul Muslimin (IM) yang terkenal yaitu Yusuf Qaradawi dan menolak untuk menyerahkan kepada Mesir untuk diadili.
Kelompok IM sendiri di Mesir telah dijadikan sebagai kelompok terlarang dan Mesir menginginkan agar kelompok ini dimasukkan dalam list organisasi terorisme. Mesir juga meminta negara-negara Arab di Teluk untuk menyerahkan orang-orang Mesir yang berafiliasi dengan IM untuk diawasi.
Qatar juga membantu perjuangan Hamas di Palestina. Sementara Arab Saudi Cs lebih dekat dengan kelompok Fatah.
4. Buntut kunjungan Trump ke Arab Saudi
Setelah kunjungan Donald Trump ke Riyadh, Arab Saudi berusaha menekan negara-negara Timur Tengah yang masih menjalin hubungan baik dengan Iran. Tudingan bahwa
Kementerian Luar Negeri Qatar menyatakan mereka kini tengah menghadapi kampanye kebohongan dan akal-akalan.
"Kampanye hasutan ini berpijak pada kebohongan yang sudah mencapai tahap akal-akalan," kata kementerian luar negeri Qatar.
Diplomat Iran Hamid Abutalebi menyebut kunjungan Presiden Amerika Serikat Donald Trump ke Saudi beberapa waktu lalu sebagai penyebab timbulnya perpecahan di Teluk ini.
"Apa yang terjadi hari ini adalah hasil dari tarian Trump di Riyadh," kata dia.
Pengamat UI Yon Machmudi juga menilai ketidaksukaan Trump pada Qatar yang dekat dengan Hamas. "Oleh Trump kan Hamas disebut sebagai kelompok radikal yang membahayakan perdamaian di Timur Tengah. Sementara Saudi sendiri tidak simpatik pada perjuangan Hamas dan lebih dekat dengan kelompok Fatah,"
5. Tudingan aliran dana dari Qatar pada para pemberontak
Situs Berita DW.com menulis, Qatar tidak hanya menyokong Dewan Transisi Nasional di Libya, tetapi juga mendanai kelompok pemberontak Suriah dengan dana sebesar tiga miliar Dollar AS pada dua tahun pertama perang saudara.
Financial Times juga melaporkan Doha menawarkan paket evakuasi senilai 50.000 Dollar AS untuk keluarga para gerilyawan.
Negara-negara Teluk pernah berupaya menghentikan kebijakan Doha pada 2014. Namun saat itu pemerintah Qatar mengklaim dukungan terhadap kelompok bersenjata di Timur Tengah berasal dari masyarakat, bukan pemerintah.
Antara tahun 2002 hingga 2008 Arab Saudi bahkan menarik duta besarnya untuk memaksa Doha mengubah haluan. Namun manuver tersebut gagal menggerakkan Qatar.
Bagaimana akhir krisis Liga Arab ini? Akankah rencana mediasi yang diserukan oleh Kuwait memberikan titik terang?
(Merdeka/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email