Oleh : Emha Ainun Nadjib
Sejak kecil saya merendam pertanyaan di lubuh hati. Kenapa di keluarga saya tidak pernah saya alami dan rasakan tradisi atau suasana ritual puasa seperti yang saya jumpai di keluarga lain. Memang setiap Ramadan terdapat suasana khusus, semacam kegembiraan dan kekhusyukan yang tidak terjadi pada bulan-bulan yang lain. Tetapi sejumlah “perilaku” atau “upacara” yang di mana-mana terjadi, tidak ada di keluarga kami.
Yang menonjol di masa kanak-kanak saya dari Ramadan adalah bunyi “tedur” atau bedug yang ditabuh oleh dua orang di dua sisi dengan aransemen khas. Bunyi “tedur” atau bedug sore hari menjelang Magrib di mana ba’da Isya nya mengawali salat Tarawih, juga pada hari terakhir puasa yang besoknya Idul Fitri – sangat menawan. Membuat kami anak-anak kecil tersenyum lebar, tanpa pernah mampu merumuskan perasaan apa yang sedang kami alami.
Tatkala menjelang remaja, bedug dan tedur lenyap, ditelan oleh pertengkaran tentang bid’ah, ketelingsut dan terkubur oleh konflik berkepanjangan oleh para ulama, kyai, ustad tentang mazhab, aliran, tafsir dan berjenis-jenis kuasa san kesombongan ilmu. Kayu, kulit kerbau dan potongan batang pohon petai penabuh bedug, tidak lagi dilibatkan dalam pernyataan Allah “sabbaha lillahi ma fis-samawati wa ma fil-ardil”, bertasbih kepada-Ku semua yang ada di langit dan bumi. Alam dihardik oleh keangkuhan ilmu manusia. Pepohonan dan hewan disingkirkan oleh supremasi syariat hubungan manusia dengan Tuhan. Kekayaan alam di perbudak, ditindas, di jajah, dikuras dan dihabiskan oleh kehebatan peradaban manusia untuk membangun materialisme, teknologisme, industrialisme, dan hedonisme.
Dikeluarga saya hampir tidak pernah ada kemewahan materi, pertunjukan spiritual, dramatisasi ibadah, buka puasa yang lebay dan over-romantik. Kalau sahur ya sahur saja seperti makan biasanya. Kalau berbuka ya berbuka saja, tanpa takjil (makan ringan) dilanjutkan buka-berat, sebab adanya makanan minuman ya hanya itu. Kalau tarawih ya tarawih saja. Tadarus ya tadarus saja. Tarhiman ya tarhiman saja. Puasa seharian ya puasa saja. Semua tanpa kehebatan, tanpa kegagahan. Tanpa menteater-kannya. Tanpa merayakannya. Tanpa menyadar-nyadarinya. Tanpa dibungkus-bungkus dengan kealiman, kesalehan atau kesurga-nerakaan. Seingat sejak kecil di keluarga saya juga tidak ada atmosfir “nafsu” terhadap pahala seratus kali lipat, ganjaran seribu kali lipat. Kami melakukan semua itu karena sewajarnya kami lakukan.
Kalau Idul Fitri saja, sehabis salat bersama di lapangan desa, kami kembali ke rumah, tidak ada bersalaman panjang, berpelukan, sungkem kepada yang lebih tua di antara 15 bersaudara. Hanya bersalaman malu-malu, dan kalau ada yang mengucapkan sesuatu, paling jauh “nol-nol ya…”. Atau “sepure sing dowo rek” (kereta yang panjang) maksudnya simbolik dari “mohon maaf sepanjang-panjangnya.”
Bahkan kepada Ibu dan Ayah. Karena saya lama di Yogyakarta, saya pernah membungkuk, hampir bersimpuh, mencium lutut Ibu dan Ayah. Tapi ibu tertawa terpingkal-pingkal dan Ayah tersenyum-senyum.
Ketika ada peluang saat coba menggali pandangan Ibu tentang tradisi yang kami jalani itu. Hal “sungkem” Ibu berkata : ”Nak, maaf memaafkan itu kepastian hati setiap manusia hidup. Apalagi pada kita sekeluarga. Kita ucapkan atau tidak, kita sampaikan atau tidak, mustahil kita pernah tidak memaafkan dan tidak minta maaf kalau kita benar-benar bersalah. Maaf memaafkan itu setiap saat, sepanjang waktu, di dunia sampai di akhirat. Tiap hari adalah Idul Fitri bagi kita. Tidak ada hari di mana kita tidak memaafkan di antara kita”.
Hal puasa, karena kebetulan itu merupakan naluri dan hobi saya sejak balita, di samping senang tidur di wuwungan genting atau di dahan pohon, atau duduk lama di kuburan – saya pernah memancing pandangan beliau. Beliau menjawab: “Sebenarnya, Nak, yang paling nikmat itu kita berpuasa selama hidup di dunia, hari rayanya besok-besok saja di surga, mudah-mudahan Pangeran ngijabahi”.
Memang beliau keterlaluan puasanya. Tidak pernah punya kerudung atau jilbab, baju dan jarit, lebih dari tiga helai. Kami selalu mengoleh-olehinya bermacam pakaian, tapi besoknya selalu sudah dipakai oleh tetangga sana sini. Ibu rajin keliling kampung bertamu ke penduduk miskin, menanyakan bagaimana makan dan pakaian anak-anak mereka, sekolahnya dan berbagai keperluan sehari-harinya. Kakak dan adik saya yang mengurusi sekolah sering mendapat perintah untuk memberi keringanan biaya kepada ini itu.
Saya menempuh kehidupan dengan sangat dipengaruhi oleh Ibu dan Ayah. Juga kami semua 15 bersaudara. Sejak kecil saya menjalani puasa, di dalam atau di luar Ramadan, senin kamis cara Kanjeng Nabi atau puasa Daud. Bahkan saya memperluas lelaku nilai, prinsip, ilmu dan metode puasa ke semua ranah kehidupan: sosial budaya, karier, pendidikan, politik dan relatif semua wilayah.
Buka puasa sejarah saya hanya kalau saya bisa men’saleh’kannya. Menghitungnya, mensimulasinya, memuhasabahinya, sampai optimis bahwa kemaslahatan ekspresi saya lebih besar dari mudaratnya. Kalau tidak mengamankan dan menyamankan orang lain, kalau tidak merupakan sumbangan terhadap “rahmatan lil’alamin” lebih baik saya simpan seribu kebenaran saya di tabung rahasia.
Artikel ini disarikan dari: www.caknun.com
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email