Pesan Rahbar

Home » » Apakah Dalam Islam Terdapat Pembatasan-pembatasan Bagi Menerima Anak Angkat?

Apakah Dalam Islam Terdapat Pembatasan-pembatasan Bagi Menerima Anak Angkat?

Written By Unknown on Friday 28 July 2017 | 11:17:00

Anak Angkat Zaskia Sungkar Jago Hafalan Quran (Foto: Dream)

Apakah dalam Islam terdapat batasan-batasan tertentu untuk menerima anak angkat?
*****

Mengambil tanggung jawab pengasuhan anak yang tak memiliki pelindung, atau para penanggung jawabnya tidak mampu membiayainya dan mereka menyerahkan anak-anaknya di bawah tanggung jawab orang lain dengan kerelaan sepenuhnya, dari segi syariat tidaklah bermasalah, akan tetapi dengan memperhatikan kondisi anak yang saat itu belum memiliki kewenangan yang mencukupi, negera-negara telah menetapkan aturan-aturan khusus untuk masalah ini (seperti karena alasan mandul, yaitu kedua pasangan tidak bisa memiliki keturunan dan ingin mengambil anak angkat).

Agama Islam menganggap anak angkat, dari segi hukum tidak sama dengan anak kandung, bahkan al-Quran al-Karim dalam masalah ini mengisyarahkannya dengan kalimat “Allah tidak meletakkan anak-anak angkat kalian sebagai anak-anak kandung kalian”, oleh karena itu diantara pembahasan yang berkaitan dengan anak angkat adalah masalah batasan hubungannya dengan orang-orang di sekitarnya, bisakah anak angkat bermahram dengan lelaki dan perempuan yang mengangkatnya, dan cara-cara apa yang diusulkan untuk menciptakan kemahraman.
*****

1. Mengasuh dan mengangkat anak yang tak memiliki pelindung atau para pelindungnya tidak mampu membiayainya dan mereka memberikan anaknya dalam tanggung jawab orang lain dengan kerelaan sepenuhnya, dalam pandangan syar’i tidak ada masalahnya, bahkan persoalan seperti ini merupakan perbuatan yang sangat terpuji dalam agama Islam.

Sedemikian hingga mengenai orang yang mengambil tanggung jawab pengasuhan anak yatim, Rasulullah Saw bersabda, Orang yang seperti ini akan bersamaku di surga.[1]
 
2. Dengan memperhatikan kondisi anak yang saat itu tidak memiliki kewenangan penuh atas dirinya, negara-negara telah menetapkan aturan-aturan tertentu untuk masalah ini, dimana sebagian dari aturan ini (seperti kemandulan pasangan yang ingin mengambil tanggung jawab mengasuh anak) ditentukan karena alasan ini, dan jika tidak, secara syar’i, pasangan yang memiliki anak pun bisa menerima anak lain sebagai anak angkat.

3. Tentunya dalam hukum Islam, anak angkat tidak sama dengan anak kandung, bahkan al-Quran mengisyarahkan “Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri).”[2]
Demikian penjelasannya:

Pada masa jahiliyyah, menjadi hal yang biasa bagi masyarakat waktu itu untuk memilih sebagian anak sebagai anak mereka, dan mereka akan menyebut anak ini sebagai anak lelakinya, selanjutnya, setelah memberikan nama, mereka juga akan memberikan seluruh hukum-hukum yang dimiliki oleh anak laki-laki dari ayahnya, seperti, ia akan menjadi pewaris ayah angkatnya, ayah angkat juga akan menjadi pewarisnya, hukum haram abadi menikahi istri ayah angkat atau istri anak angkat juga berlaku dalam masalah ini.

Agama Islam, menolak keras aturan yang tak logis dan khurafat ini, dan bahkan Rasulullah Saw sendiri, untuk menghapus tradisi salah ini telah menikahi istri anak angkatnya Zaid bin Harits setelah ia bercerai dari Zaid.[3]

4. Salah satu dari bahasan mengenai anak angkat adalah masalah pembatasan hubungan dengan orang-orang di sekitarnya, dan pertanyaan yang banyak diutarakan adalah bagaimana anak angkat bisa bermahram dengan ayah dan ibu angkatnya?

Sebagian dari fukaha dalam kaitannya dengan masalah ini menyampaikan berbagai cara, di antaranya:
a. Jika anak angkat tersebut adalah seorang anak perempuan yang masih menyusu, dan ia menyusu dari salah satu dari orang-orang berikut (dengan syarat-syarat yang telah ditentukan sekaitan dengan hal ini)[4], maka antara ia dengan lelaki (ayah angkatnya) akan tercipta hubungan kemahraman, dan mereka ini adalah: istri, ibu, saudara perempuan, anak perempuan dari saudara perempuan, istri saudara laki-laki, anak peremuan dari saudara laki-laki, dimana dalam seluruh keadaan ini ia akan menjadi mahram dengan ayah angkatnya secara ridhâ’î (sepersusuan).
b. Jika anak perempuan tersebut bukan anak yang masih menyusu, atau jika masih menyusu akan tetapi tidak ada orang-orang yang dimaksudkan di atas, maka melalui shighah nikah muwakkat antara anak tersebut dengan ayah lelaki (ayahnya ayah angkatnya), yaitu kakek angkatnya, maka akan tercipta kemahraman. Dimana dalam keadaan ini, anak angkat ini akan menjadi istri ayahnya (ayahnya ayah angkat), akan tetapi harus diingat, jika anak ini masih belum baligh, pernikahan di atas harus dilakukan dengan izin dari wali syar’inya, dan jika tidak ada wali, harus dengan meminta izin dari mujtahid yang memenuhi syarat. Bagaimanapun, shighah mahramiah ini tidak boleh membawa keburukan bagi anak perempuan ini, melainkan dilakukan karena mempedulikan kebaikannya.
c. Jika anak angkat adalah anak laki-laki yang masih menyusu, dan ia menyusu dari salah satu orang-orang di bawah ini (dengan syarat-syarat yang berkaitan) maka antara dia dan ibu angkatnya akan tercipta kemahraman, dan mereka ini adalah: dia sendiri (ibu angkat), ibu, saudara perempuan, anak saudara perempuan, istri saudara laki-laki dan anak perempuan dari saudara laki-lakinya, dimana dalam keseluruhan kondisi ini, ibu angkat, secara ridhâ’î akan bermahram dengannya.[5]
d. Jika anak angkat laki-laki bukan anak yang menyusu, atau orang-orang yang telah tersebut untuk menyusui tidak ada, jika perempuan dan suaminya memiliki anak perempuan, maka anak perempuan ini bisa dinikahkan secara daim atau sementara dengan anak angkat aki-laki, dimana dalam keadaan ini ibu angkat, akan menjadi mertuanya, dan setelah pisah dengan anak perempuannya, ia masih akan bermahram dengan ibu angkatnya. Atau jika ayahnya anak angkat ini masih hidup, ayah angkat bisa mentalak istrinya, dan setelah habis masa iddahnya, ia (istri) menikah secara sementara dengan ayah kandung anak angkatnya (kendati dengan syarat tidak ada penetrasi), dan setelah lewat waktu, ayah angkat kembali akad dengan mantan istrinya. Dengan cara ini, anak lelaki tersebut telah bermahram dengan ibu angkatnya, karena ia pernah menikah dengan ayah kandungnya, akan tetapi anak perempuan kandung dari ibu angkat ini tidak bisa bermahram dengan anak laki-laki ini.[6] Selain hal ini, tidak ada cara untuk membuat kemahraman anak angkat laki-laki.
e. Terakhir, perlu untuk disebutkan bahwa kendati anak angkat, dari segi fikih dan hak, tidak memiliki hukum seperti anak kandung, akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa pemeliharaan dan pertanggungjawaban terhadap anak angkat, bersyarat pada kemahramannya atau seluruh hukum-hukum khusus anak, melainkan masalah ini bisa diselesaikan dengan cara-cara syari dan akhlaki. Demikian juga dengan memberikan informasi kepada anak angkatnya bahwa ia bukan anak kandung. Tentunya jelas bahwa masalah ini jangan disampaikan dengan cara yang bisa mengguncangkan mental anak, ada baiknya untuk bermusyawarah dengan penasehat-penasehat keluarga sebelum melakukan hal ini.


Catatan Kaki:

[1]. Abdullah bin Ja’far Humairi, Qurb al-Isnâd, hal.9, hadis 315, Muasasah Ali al-Bait As, Qom, cet. Pertama, 1413 H.
[2]. QS. Al-Ahzab [33]: 4.
[3]. Makarim Syirazi, Tafsîr Nemune, jil. 17, hal. 196, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Teheran, cet. Pertama, 1374 Hsy.
[4]. Silahkan lihat indeks: Syarat-syarat Pemberian Air Susu dan Kemahraman dalam pandangan Syiah dan Ahli Sunnah, pertanyaan 2293.
[5]. Muhammad Fadhil Langkarani, Jâmi’ al-Masâil, jil. 1, hal. 408, Intisyarate Amir Qalam, Qom, cet. Sebelas, tanpa tahun.
[6]. Jawad Tabrizi,, Istiftâ’âte Jadîd, jil. 1, hal. 336, tanpa penerbit, Qom, cet. Pertama, tanpa tahun; Makarim Syirazi, Ahkâm Bânawân, hal. 157, Intisyarate Madrasah Imam Ali bin Abi Thalib As, Qom, cet. Sebelas, 1428 H.

(Islam-Quest/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: