Pesan Rahbar

Home » » Fitrah Manusia dan Hakikat Kehambaan

Fitrah Manusia dan Hakikat Kehambaan

Written By Unknown on Thursday, 6 July 2017 | 07:26:00


Pada surah Ar-Rum (30) ayat 30, Allah berfirman: “Maka hadapkanlah wajah-mu kepada ad-din selurus-lurusnya, fithrah Allah yang dengannya Dia menciptakan (f-th-r) manusia, tiada perubahan pada fithrah Allah, itulah ad-din yang kukuh meskipun kebanyakan orang tidak mengetahuinya.”

Ayat di atas menyebut tiga idiom yang saling berkaitan. Idiom pertama ialah wajh (wajah). Dalam Al-Futuhaat Al-Makkiyyah, bab taharah, di soal yang berkaitan dengan membasuh wajah, Ibn Arabi mengatakan, “Wajh (wajah) seseorang—atau benda—sesungguhnya berarti hakikat, zat dan jatidirinya. Karenanya, orang (Arab) biasa mengatakan: ‘wajah suatu benda’, ‘wajah suatu masalah’ atau ‘wajah suatu hukum’ untuk merujuk pada hakikat, zat dan inti dari apa-apa yang disebutkan.

Allah Swt berfirman, “Pada hari itu ada wajah-wajah yang berseri-seri memandangi Tuhan mereka. Dan ada pula wajah-wajah yang muram-durja. Mereka menduga akan datangnya malapetaka (QS Al-Qiyâmâh [75]: 22–25).

Jelas bahwa wajah yang berada di bagian depan “manusia” tidak bisa “menduga”, karena tindak menduga-sangka hanya bisa dilakukan oleh jiwa manusia.

Idiom kedua ialah ad-din. Menurut Al-Raghib Al-Ishfahani, ad-din dipakai untuk menunjukkan arti ketaatan dan kepatuhan. Kaitannya dengan agama (millah) ialah pada sisi ketaatan yang terdapat di dalamnya.

Sebagian arti kata ad-din dalam Al-Quran merujuk kepada arti asalnya dan sebagian lain merujuk kepada ketaatan dalam beragama. Lebih khususnya ketaatan dalam beragama Islam.

Idiom ketiga ialah fithrah (fitrah). Fitrah berasal dari tiga akar huruf f-th-r yang berarti membentangkan atau menghamparkan sesuatu. Bila dikaitkan dengan Tuhan, maka kata ini berarti menciptakan sesuatu dengan pola dasar tertentu.

Dengan demikian, ungkapan “fitrah Allah pada manusia” dalam surah Al-Rum ayat ke-30 tersebut di atas berarti pola dasar yang dengannnya Tuhan menciptakan manusia.

Ayat ke-30 surah Al-Rum itu, pertama-tama, berbicara kepada jatidiri kita dengan kata-kata: “Hadapkanlah wajahmu!” Itulah ungkapan yang dalam bahasa Arab dipakai untuk menarik perhatian dan menggugah kesadaran.

Selanjutnya, ayat itu berbicara mengenai ad-din, yakni ketaatan dan kepatuhan primordial manusia yang juga barangkali mengacu kepada perjanjian primordial antara manusia dan Tuhannya seperti tertera dalam ayat 172-173 surah Al-A’raf.

Kemudian ayat itu mengaitkan ad-din dengan fitrah yang dengannya Allah menciptakan manusia. Dan terakhir ayat itu menyimpulkan bahwa penghadapan wajah kepada ketaatan itu merupakan fitrah (baca: keadaan sejati) yang tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan.

Ada dua ciri-khas fitrah manusia. Pertama, ia bukan merupakan hasil upaya atau rekayasa. Sebaliknya, ia ada pada kedalaman manusia secara primordial dan intrinsik. Kedua, fitrah ada pada segenap individu manusia, terlepas dari rupa-rupa perbedaan yang ada.

Para sufi menyebut dua manifestasi fitrah: pertama pada tataran pengetahuan dan kesadaran; dan kedua pada tataran keinginan dan kecenderungan.

Para sufi menegaskan bahwa fitrah manusia mengantarkannya kepada kehambaan dan penghambaan. Sejenak saja manusia menengok pada dirinya, dia akan menemukan hakikat kehambaan di dalamnya.

Hakikat itu terungkap jelas dalam segenap kekurangan, kebergantungan, kefakiran, kehinaan dan kesementaraan yang menyelubungi hidupnya. Dan hakikat itulah yang akan mengarahkannya kepada kesadaran dan penghayatan mengenai Pencipta alam.

Sedikit teguran dan gugahan sudah memadai untuk menyadarkan seorang manusia akan keberadaan dan kehadiran Ilahi di alam semesta. Bagi para sufi, ada dua jenis teguran: yang diupayakan oleh manusia itu sendiri dengan perenungan dan pengendalian-diri; dan yang dilakukan langsung oleh Tuhan melalui berbagai kejadian dan peristiwa.

Kecenderungan kuat pada Tuhan ini memang bisa saja “tergantikan” oleh tuhan-tuhan palsu, sebagaimana puting dot bisa saja menggantikan air susu ibu. Akan tetapi, sebagaimana bayi akan segera kembali menangis dan meraung hingga parau begitu dia sadar bahwa dot tidak dapat memuaskannya, demikian pula halnya dengan penghambaan manusia kepada tuhan-tuhan palsunya.

Fitrah menuntut manusia untuk kembali kepada hakikatnya sebagai hamba yang hanya merunduk-rendah di hadapan Tuhan sejati. Dan sebelum kehambaan (‘ubudiyyah) dan penghambaan (‘ibadah) kepada Tuhan dan Pemilik sejati itu tercapai, manusia akan senantiasa berada dalam keadaan sesat, sakit, lalai, keluar dari keasliannya, hina-dina dan sebagainya.

Allah berfirman, “Dan jangan kamu bikin-bikin tuhan selain Allah sehingga kamu menjadi hina dina. Dan Tuhanmu telah memerintahkanmu untuk tidak menyembah selain-Nya…”(QS 17: 22-23)

Dalam pandangan para sufi, bagian pertama ayat ini menegaskan bahwa penghambaan pada berbagai manifestasi tuhan palsu hanya akan memerosokkannya kepada kehinaan dan kenistaan. Sedangkan, bagian setelahnya mengungkapkan bahwa Allah telah menurunkan perintah dan putusan (qadha`) pada manusia, baik dalam konteks hukum kemanusiaan (tasyri’i) maupun hukum kealaman (takwini), agar tidak menyembah selain-Nya.

Dan perintah Allah pastilah terlaksana berdasarkan firman-Nya, “Sesungguhnya perintah-Nya bilamana Dia menghendaki sesuatu ialah dengan mengatakan kepadanya: ‘Jadilah!’, maka menjadilah ia.” (QS 36: 83).

Dalam konteks yang sama Allah berfirman, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama selurus-lurusnya, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (QS Al-Bayyinah [98]:5).

Senada dengan itu, dalam doa Nabi Khidr a.s. disebutkan, “Sesungguhnya Engkau telah memutuskan (qadha`) hamba-hamba-Mu agar mereka hanya menyembah-Mu, dan Engkau perintahkan mereka agar hanya berdoa kepada-Mu, lalu Engkau menjamin akan menerima dan menjawab semua itu.”

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: