Pesan Rahbar

Home » » Menuai Hanya Apa Yang Kita Tanam

Menuai Hanya Apa Yang Kita Tanam

Written By Unknown on Thursday, 6 July 2017 | 07:33:00


Siapa di antara kita yang tahu dengan pasti, kapan tepatnya kita akan kembali pulang kepada-Nya?

Di sini, saat ini, kita semua menunggu sembari berbuat apapun yang kita mau. Dalam penantian ini, kita semua menghabiskan jatah waktu dengan “menanam”, karena tak bisa tidak, kelak kita berharap untuk dapat “memanen”. Persis seperti yang pepatah bilang, “Man yazra’ yahshud; barang siapa menanam pasti akan memetik.”

Ya. Dunia memang tak ubahnya bank tempat kita menyimpan, yang hanya akan memberi kita izin untuk menarik simpanan sejumlah nominal yang pernah kita tabung; tidak lebih, tidak pula kurang. Sebagaimana nasihat Lukman kepada putranya, yang dengan indah dilukiskan dalam Al-Qur’an: “(Lukman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (QS. Lukman: 16).

Demikian pula halnya dalam perjalanan hidup yang entah akan panjang atau pendek ini, kita mengukir jejak langkah kita, mematri baik-buruk di batu marmer kehidupan kita sendiri-sendiri. Apakah marmer kehidupan kita akan berkilau gemerlap dengan hiasan warna-warni bak lukisan maestro yang kental dengan nuansa keindahan dan estetika, ataukah marmer kehidupan yang kita punya bakal penuh dengan retakan, bahkan hampir pecah dan nyaris tak utuh lagi? Atau siapa tahu di permukaan batu marmer kehidupan kita masing-masing, justru diselimuti dan didominasi warna gelap pekat, tak ubahnya warna alami batu kali? Semua itu tentu tergantung diri kita sendiri dan sepenuhnya adalah tanggung jawab kita pribadi.

Maka alangkah baiknya bila kita sempatkan walau sesekali, meluangkan waktu untuk merenungkan kembali perjalanan yang telah berhasil kita tempuh hingga kini. Ibarat seorang peserta lomba pendakian perorangan ke puncak tertinggi sebuah gunung, dengan tebing curam dan terjal, paling tidak kita sudah dapat menghitung berapa kali kita terpeleset dan sesekali melorot terjun kembali ke titik awal. Atau paling tidak, kita juga tahu di titik manakah posisi kita berada saat ini, berapa langkah lagi jarak ke atas yang harus kita daki, dan yang tak kalah penting, kita mesti dapat mengukur seberapa fit stamina dan kondisi fisik kita untuk mencapai titik puncak, batas terakhir dari pendakian kita itu.

Keberhasilan kita menaklukkan sekian banyak puncak tertinggi dalam kehidupan, pasti memberikan segudang pengalaman berharga kepada kita tentang berbagai hal. Keberhasilan tertunda—istilah yang lebih disukai oleh sebagian orang dalam memaknai kegagalan— yang seringkali kita alami, mengajarkan kepada kita berbagai formula yang lebih efektif dan efisien dalam menempuh berbagai tujuan di masa mendatang.

Tak salah kiranya bila ada yang mengatakan bahwa ketika kita mengalami apa yang biasa dipahami orang sebagai kegagalan, sesungguhnya pada saat itulah Tuhan mengajarkan dan sekaligus menunjukkan kepada kita rambu pengingat atau semacam perangkat early warning agar kita tahu dan sadar, bahwa sebenarnya kita sudah salah jalan. Karena bila kita sudah berada di jalan yang tepat dan benar setiap kali menempuh segala tujuan, mestinya hanya keberhasilan nan pastilah yang akan kita raih.

Begitulah upaya melukis jejak hidup kita merupakan langkah perjuangan panjang. Dalam prosesnya kita selayaknya lebih sering instropeksi dan mengevaluasi diri. Buatlah jejak hidup yang indah, bertanyalah kepada diri sendiri: dengan keberadaan kita, bagaimanakah warna dunia di sekeliling kita?

Bukankah akan sangat membahagiakan jika kita mampu menjadi penerang bagi sesama yang tengah berada dalam kubangan kegelapan? Dan bukankah untuk itu, kita perlu perkuat pancaran “sinar” kita untuk menularkan cahaya ke berbagai titik penjuru?

Mungkin akan juga sangat bermanfaat bila kita senantiasa asah kalbu kita agar mampu meredam gejolak panas aneka nafsu tak berguna.

Menjadikan jejak hidup kita, manis dirasa, indah untuk dikenang. Menjadikan jejak hidup kita sebagai penunjuk arah yang pasti, suluh yang menerangi, dan teladan utama bagi para penempuh jalan yang lain, yang masih hendak menyusul kemudian, bukankah suatu prestasi yang layak dibanggakan?

Bukankah dengan itu semua, kita layak tersenyum dan merasa lega karena telah menunaikan amanah agung berupa karunia hidup ini dengan sebaik-baiknya?

Semoga kita senantiasa berkesiapan optimal jika sewaktu-waktu Tuhan menghendaki kita kembali ke haribaan-Nya. Tentu saja dengan ridha dan diridhai-Nya.

Ya Rabb, jadikanlah sebaik-baik umurku pada ujungnya dan sebaik-baik amalku pada akhir hayatku, dan (jadikanlah) sebaik-baik hariku adalah hari ketika aku bertemu dengan-Mu.

Akhirilah hidup kami dengan husnul-khatimah (akhir yang baik), dan jangan Kau akhiri hidup kami dengan suu’ul-khatimah (akhir yang buruk).[]

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: