Oleh: Zuhairi Misrawi*
Tidak salah bila ada yang menyatakan Timur Tengah sebagai teater konflik. Sederetan masalah berjibun tak kunjung selesai: konflik Israel-Palestina, Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), Yaman, dan Bahrain. Kini, Arab Saudi berseteru dengan Qatar, yang melibatkan beberapa negara tetangga, seperti Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, dan Mesir.
Perseteruan itu menambah runyam situasi kawasan. Stabilitas politik Timur Tengah akan semakin terganggu, terutama agenda memerangi NIIS dan menyelesaikan masalah Palestina.
Sikap yang diambil Arab Saudi dalam memutus hubungan diplomatik dengan Qatar sangat mengejutkan. Apalagi langkah itu disertai dengan penutupan jalur perbatasan darat, laut, dan udara dengan Qatar. Tidak hanya itu, Arab Saudi bersama sekutunya di Teluk memerintahkan warga Qatar untuk keluar dari wilayahnya dalam jangka waktu 14 hari.
Bahkan, saluran televisi Al Jazeera resmi diputus dan ada larangan keras bagi warga Arab Saudi dan sekutunya untuk bersimpati pada Qatar. Warga mereka yang bersimpati pada Qatar akan dikenai denda yang lumayan besar. Konon jersey Barcelona yang ada logo Qatar juga dilarang beredar di Arab Saudi.
Langkah ini sekali lagi mengejutkan. Saya yakin, orang-orang Teluk dan warga Arab umumnya pun tidak bisa menalar apa yang terjadi saat ini karena mereka selama ini ibarat sebuah keluarga besar di bawah payung Dewan Kerja Sama Teluk (GCC).
Akar penyebab
Sejatinya Arab Saudi bisa menempuh jalur duduk bersama dan melakukan dialog dengan Qatar. Namun, hal tersebut tidak dilakukan, dan sekarang dampak terberat yang harus dibayar dari keputusan tersebut, yaitu bubarnya lembaga GCC yang selama ini paling solid di Timur Tengah. Kuwait yang sedang menempuh jalur mediasi pun mengalami kebuntuan.
Jika ditelisik lebih dalam lagi, sebenarnya perseteruan Arab Saudi dan Qatar bukan hal yang baru. Ibarat sebuah bom, hubungan panas-dingin antara kedua negara bisa meledak sewaktu-waktu, karena kedua negara mempunyai perbedaan yang mendasar dalam menyikapi perubahan besar Musim Semi Arab dan pergeseran geopolitik di Timur Tengah.
Yang paling mencolok adalah konflik politik di Yaman dan Bahrain. Arab Saudi mengerahkan segala kekuatannya untuk mendukung penuh rezim yang berkuasa di Yaman dan Bahrain di tengah guncangan politik yang sangat dahsyat. Selain kedua rezim negara tersebut dianggap sebagai loyalis terhadap Arab Saudi, keduanya secara geografis juga berbatasan langsung dengan Arab Saudi. Jika salah satu negara lepas ke tangan rezim yang loyal terhadap negara lain, khususnya Iran, maka akan memberikan dampak yang serius bagi masa depan rezim Arab Saudi saat ini.
Posisi Qatar terhadap kedua negara yang sedang bergejolak sebenarnya netral. Hal tersebut bisa dilihat dari pemberitaan Al Jazeera yang memberikan porsi yang sama terhadap rezim dan pihak oposisi. Setidak-tidaknya Qatar memandang bahwa warga Yaman dan Bahrain bisa menentukan masa depan negara mereka sendiri tanpa intervensi terhadap pihak lain. Karena itu, Al Jazeera berusaha obyektif melihat gelanggang perseteruan politik di Yaman dan Bahrain.
Saat ini, jujur saja, posisi Yaman dan Bahrain sama sekali tidak menguntungkan Arab Saudi. Setelah bertahun-tahun konflik meledak, pihak oposisi di Yaman dan Bahrain masih belum bisa ditaklukkan oleh rezim yang loyal terhadap Arab Saudi. Bahkan, posisi kelompok oposisi makin menguat. Qatar melalui televisi Al Jazeera selalu membuat framing, bahwa Iran adalah pihak yang dituduh sebagai otak di balik kukuhnya perlawanan oposisi, baik di Yaman maupun Bahrain.
Dalam hal ini harus diakui, bahwa Qatar sekali lagi berusaha obyektif tidak memihak pada Iran. Bahkan, jika dilihat dari pemberitaan di Al Jazeera, Iran sendiri menganggap Qatar cenderung berpihak kepada Arab Saudi, karena memberikan porsi pemberitaan yang lebih besar bagi pihak rezim yang berkuasa daripada pihak oposisi.
Namun, sepertinya Arab Saudi menganggap sikap Qatar tersebut bermain di atas dua kaki. Di satu sisi, Qatar tidak ingin kehilangan kakinya di GCC, tetapi di sisi lain tidak ingin kehilangan perannya dalam perubahan besar pasca-Musim Semi Arab. Karena fakta yang terakhir ini pula, Qatar harus bersitegang dengan Mesir karena cenderung menolak kudeta yang akhirnya memenangi militer sebagai penguasa saat ini. Qatar memandang Ikhwanul Muslimin adalah pemenang secara demokratis, karenanya tidak layak dikudeta dengan cara-cara yang tidak demokratis.
Di samping itu, Qatar juga mulai melihat perubahan peta geopolitik di Timur Tengah. Iran menjadi pemain utama yang benar-benar hadir dan mempunyai pengaruh riil. Iran semakin menancapkan kekuatan di Irak, Suriah, Lebanon, Yaman, dan Bahrain. Bahkan Iran mendapat sokongan penuh dari Rusia sebagai mitra strategisnya di kawasan.
Begitu pula Turki yang mulai memandang Amerika Serikat sebagai pihak yang tidak bisa diajak bekerja sama setelah menolak menyerahkan Fethullah Gulen yang dianggap mereka sebagai otak kudeta. Turki akhirnya mulai merapat ke Rusia dan Iran.
Fakta-fakta itu menjadi perhatian Qatar untuk tidak tunduk pada kepentingan Arab Saudi di kawasan. Bagaimanapun Timur Tengah sekarang, bukanlah Timur Tengah lama, yang selalu tunduk pada kepentingan AS melalui kaki tangannya, Arab Saudi.
Timur Tengah saat ini sudah berubah karena negara-negara di kawasan sendiri juga mengalami pertumbuhan yang cepat, baik secara ekonomi, media, maupun militer. Meskipun Qatar tidak mempunyai kekuatan militer, tetapi harus diakui Qatar saat ini mempunyai kekuatan ekonomi dan media sehingga mempunyai pengaruh yang tidak bisa dianggap sepele di kawasan.
Karena itu, isu soal keterlibatan Qatar dalam jaringan terorisme adalah isapan jempol. Arab Saudi sengaja membungkus isu ini untuk menutupi masalah utama yang sedang dihadapi, yaitu Yaman dan Bahrain, dan membesarnya pengaruh Qatar di Timur Tengah.
Tanpa solusi
Semua tahu, kalau para teroris di Timur Tengah sebenarnya lebih dekat secara ideologis dan politis dengan Arab Saudi. Narasi-narasi ideologis yang dimainkan Al Qaeda dan NIIS sebenarnya lebih dekat dengan Arab Saudi daripada Qatar. Mereka adalah kaum takfiri yang mendapatkan inspirasi dari ideologi yang dianut rezim Arab Saudi.
Memang Qatar melindungi Hamas dan Ikhwanul Muslimin. Namun, kedua kelompok tersebut masih diperdebatkan untuk disebut teroris. Karena itu, keduanya adalah kelompok perlawanan politik yang selama ini diperlakukan tidak adil, baik di Palestina maupun di Mesir. Lagi pula kedua kelompok tersebut tidak mengancam Arab Saudi.
Bagaimanapun sikap yang diambil Arab Saudi dengan memboikot Qatar sangat berlebih-lebihan, bahkan dianggap memaksakan kehendak dan tidak menghormati kedaulatan negara lain. Karena itu, langkah yang diambil Arab Saudi semakin tidak menguntungkan pihaknya.
Saat ini Qatar sudah mendapatkan sokongan penuh dari Turki dan Iran. Itu artinya, pihak oposisi Yaman dan Bahrain juga mendapatkan dukungan moral untuk melakukan perlawanan terhadap rezim yang selama ini disokong Arab Saudi. Dan, akhirnya, Timur Tengah akan terus bergejolak tanpa ada solusi. []
*Peneliti Pusat Pemikiran dan Politik Timur Tengah, The Middle East Institute
(Kompas/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email