Al Quran dan Ahlul Bayt as
Ahlul Bait Dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzab: 33
Dalam ayat ini Allah menyebut mereka Ahlulbait. Dia berfirman: “Innamâ yuridu l’llâhu liyudzhiba ‘ankumu l’rijsa ahla l’bayt wa yuthahhirakum tathhirâ”. Artinya: “Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan al-rijs dari kamu wahai Ahlulbait dan mensucikanmu sesuci-sucinya.” (QS. 33:33).
Imam Ja’far Al-Shadiq ditanya mengenai al-rijs yang terdapat pada ayat diatas. Beliau menjawab: “Al-Rijsu itu adalah al-syak (keraguan)”. (Ma’ani l’Akhbar).
Sebagian muslim beranggapan bahwa tafsir ahlulbayt pada ayat di atas adalah istri-istri Rasulullah saw. Penafsiran itu terjadi karena awal ayat ini memang ditujukan kepada istri-istri Nabi, yaitu : “Dan hendaklah kamu (istri-istri Nabi) tinggal di rumah-rumah kamu, dan janganlah kamu bersolek seperti kaum jahiliah yang pertama, dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah serta Rasul-Nya…”. Tafsir itu tidak benar karena kata ganti (personal pronoun atau dhamir) bagi istri-istri Nabi dan untuk ahlulbaitnya jelas berbeda; untuk istri-istri Nabi, kata gantinya mu’annats atau feminin, sedangkan untuk Ahlulbait kata gantinya mudzakkar atau maskulin.
Selain itu, penafsiran untuk istri-istri Nabi ini tidak bisa diterima karena penjelasannya bukan dari Rasulullah. Padahal, orang yang paling mengetahui tafsir ayat ini adalah Nabi saw sendiri. Dan Al-Quran juga telah memerintahkan kita untuk mengikuti beliau sebagaimana dalam firmanNya: “Dan telah Kami turunkan Al-Dzikr (Al-Quran) untuk kamu jelaskan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka agar mereka berpikir”. (Al-Nahl:44).
“Dan tidak Kami turunkan Al-Kitab melainkan agar kamu jelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan dan sebagai petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman”. (Al-Nahl:64).
“Apa yang diperintahkan Rasul kepadamu maka laksanakan dan apa-apa yang dia larang maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat keras siksa-Nya”. (QS. 59:7).
“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul serta Uli l’amri (para khalifah Rasulullah yang dua belas) dari kamu…”. (QS 4:59).
Jika demikian, maka siapakah Ahlulbait yang disebutkan dalam Al-Ahzab ayat 33 ini menurut Nabi dan sebagian sahabatnya itu? Dalam hadis Sahih Muslim diriwayatkan sebagai berikut:
Aisyah mengatakan: “Pada suatu pagi Rasulullah saw keluar dari rumah) dengan membawa kain berbulu yang berwarna hitam. Kemudian datang (kepada beliau) Hasan putra Ali, lalu beliau memasukkannya (ke bawah kain); lalu datang Husayn lantas dia masuk bersamanya; kemudian datang Fathimah, lantas beliau memasukannya; kemudian datang Ali, lalu beliau memasukannya. Kemudian beliau membaca ayat : “Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan keraguan dari kalian wahai Ahlulbait dan mensucikan kalian sesuci-sucinya”. (Lihat Shahih Muslim bab fadha’il Ahli bayt Nabiy; Al-Mustadrak ‘ala l’Shahihayn 3/147; Sunan Al-Bayhaqi 2/149 dan Tafsir Ibnu Jarir Al-Thabari 22/5).
Amir putra Abu Salamah–anak tiri Rasulullah–mengatakan: “Ketika ayat ini “innama yuridu l’llahu liyudzhiba ‘ankumu l’rijsa ahla l’bayt wa yuthahhirakum tathhira” diturunkan di rumah Ummu Salamah, beliau memanggil Fathimah, Hasan dan Husain sedangkan Ali as berada di belakang beliau. Kemudian beliau mengerudungi mereka dengan kain seraya beliau berdoa: “Ya Allah mereka ini ahlulbaitku maka hilangkanlah dari mereka keraguan dan sucikan mereka sesuci-sucinya”. Ummu Salamah berkata: “Dan aku bersama mereka wahai Nabi Allah?” Beliau bersabda: “Engkau tetap di tempatmu, engkau dalam kebaikan”. (Al-Turmudzi 2:209, 308 ; Musykilu l’Atsar 1:335; Usudu l’Ghabah 2:12; Tafsir Ibni Jarir Al-Thabari 22: 6-7).
Dari Ummu Salamah bahwa Nabi saw telah mengerudungkan sehelai kain ke atas Hasan, Husaun, Ali, Fatimah lalu beliau berkata, “Ya Allah, mereka ini Ahlulbaitku dan orang-orang terdekatku, hilangkanlah dari mereka keraguan dan sucikan mereka sesuci-sucinya”. Kemudian Ummu Salamah berkata: “Aku ini bersama mereka wahai Rasulullah?”. Beliau bersabda, “Sesungguhnya engkau berada di atas kebaikan”. (HR Al-Turmudzi 2:319).
Anas bin Malik berkata: “Rasulullah saw pernah melewati pintu rumah Fatimah as selama enam bulan, apabila beliau hendak keluar untuk shalat subuh, beliau berkata, ‘Salat wahai Ahlulbait! Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan keraguan darimu wahai Ahlulbait dan mensucikanmu sesuci-sucinya”. (HR Al-Turmudzi 2:29).
Itulah beberapa kesaksian dari beberapa kitab Sunni bahwa Ahlulbait dalam surah Al-Ahzab itu sebenarnya bukanlah istri-istri Nabi saw melainkan Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, sekalipun ayat itu penulisannya digabungkan dengan ayat yang menceriterakan istri-istri Nabi saw. Alasannya, terkadang terselip di dalam Al-Quran itu beberapa ayat madaniyah atau makiyah atau sebaliknya atau satu ayat mengandung dua cerita seperti pada ayat di atas dan tentu saja para ulama telah memaklumi hal tersebut.
Surah Al-Syura:23
Ketika orang-orang musyrik berkumpul di satu tempat pertemuan mereka, tiba-tiba berkatalah sebagian dari mereka kepada yang lainnya: Apakan kalian melihat Muhammad meminta upah atas apa yang dia berikan? Lalu turunlah ayat: “Katakanlah aku tidak meminta upah dari kalian selain kecintaan (mawaddah) kepada al-qurba”. (Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya Al-Kasyaf).
Kemudian beliau berkata: Telah diriwayatkan ketika ayat tersebut turun bahawa ada orang yang bertanya: “Wahai Rasulullah, siapakah kerabatmu yang telah diwajibkan atas kami mencintai mereka? Beliau menjawab: “Mereka itu adalah Ali, Fathimah dan kedua putranya (Hasan dan Husain)”.
Ayat di atas telah mewajibkan seluruh manusia khususnya kaum Muslim untuk mencintai dan mengikuti keluarga Nabi atau Ahlulbait. Dan kecintaan kepada mereka adalah dasar dalam ajaran Islam. Rasulullah saw bersabda: “Segala sesuatu ada asasnya dan asas Islam adalah mencintai Ahlulbaitku”. (Hadis). Dan membenci mereka akan menjadilan seluruh amal kita sia-sia dan menyeret kita ke dalam neraka. Nabi saw bersabda: “Maka seandainya seseorang berdiri (beribadah) lalu dia salat dan puasa kemudian dia berjumpa dengan Allah (mati), sedangkan dia benci kepada Ahlulbait Muhammad, niscaya dia masuk neraka.” Al-Hakim memberikan komentar terhadap sabda Nabi ini sebagai berikut: “Ini hadits yang baik lagi sah atas syarat Muslim”. (Kitab Al-Mustadrak Shahihayn 3:148).
Surah Ali ‘Imran:61
Ayat ini disebut ayat mubahalah karena di dalamnya ada ajakan untuk bermubahalah dengan para pendeta Nasranim yaitu: “Siapa yang menbantahmu tentang dia (Al-Masih) setelah datang kepadamu ilmu, maka katakanlah (kepada mereka): Marilah, kami memanggil anak-anak lelaki kami dan (kamu memanggil) anak-anak lelaki kamu, perempuan-perempuan kami dan perempuan-perempuan kamudan diri-diri kami serta diri-diri kamu, kita bermubahalah dan kita tetapkan laknat Allah atas mereka yang berdusta”.
Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya Al-Kasyaf berkata: “Sesungguhnya ketika mereka diseru untuk bermubahalah mereka mengataakan: ‘Nanti akan kami pertimbangkan terlebih dahulu’. Tatkala mereka berpaling (dari mubahalah) berkatalah mereka kepada Al-Aqib—yang menjadi juru bicara mereka: ‘Wahai hamba Al-Masih, bagaimanakah menurutmu?’ Dia berkata: ‘Demi Allah wahai umat Nasrani, kalian tentu tahu bahwa Muhammad adalah seorang Nabi dan Rasul. Dia datang kepadamu membawa penjelasan mengenai Isa (Yesus). Demi Allah tidak ada satu kaum pun yang bermubahalah dengan seorang Nabi lalu mereka hidup. Dan jika kalian melakukan mubahalah dengannya niscaya kalian semua pasti akan binasa, dan apabila kalian ingin tetap berpegang kepada ajaran kalian, maka tinggalkan orang ini dan pulanglah ke kampung halaman kalian”.
Keesokan harinya Nabi saw datang dengan menggendong Husain dan menuntun Hasan dan Fatimah berjalan di belakang beliau sedangkan Ali berjalan di belakang Fatimah. Nabi bersabda: “Bila aku menyeru kalian maka berimanlah!”. Saat melihat Nabi dan Ahlulbaitnya, berkatalah uskup Najran : “Wahai umat Kristen, sungguh aku melihat wajah-wajah yang sendainya mereka berdoa kepada Allah agar Dia (Allah) menghilangkan sebuah gunung dari tempatnya pasti doa mereka akan dikabulkan. Oleh karena itu, tinggalkan mubahalah ini sebab kalian akan celaka dan nantinya takkan tersisa seorang Kristen pun sampai hari kiamat”.
Akhirnya mereka berkata: “Wahai Abul Qasim, kami telah mengambil keputusan bahwa kami tidak jadi bermubahalah, namun kami ingin tetap memeluk agama kami.” Rasul bersabda: “Jika kalian enggan bermubahalah, maka terimalah Islam bagi kalian dan akan berlaku hukum atas kalian sebagaimana berlaku atas mereka (muslim yang lain).”
Surah Al-Maidah:55
“Sesungguhnya wali kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat dalam keadan ruku’”. (Al-Maidah: 55).
Berdasarkan hadis-hadis yang dinukil baik oleh kalangan ulama Syi’ah maupun Ahlussunnah bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Imam Ali as, dan sesuai dengan kajian para ahli tafsir dan hadis dari kalangan Syi’ah serta pengakuan ulama Ahlussunnah yang tidak sedikit, orang yang menyedekahkan cincinnya kepada si faqir dalam keadaan shalat (waktu ruku’) itu adalah pribadi agung Ali as.
Allamah Mar’asyi dalam kitab-Nya Ihqâqul Haqq berpendapat bahwa ada sekitar 85 kitab hadis dan tafsir Ahlussunnah yang menegaskan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan Imam Ali as.
Dengan riwayat-riwayat ini, jelas bahwa yang dinginkan dari kata jamak pada ayat di atas adalah kata tunggal dan itu adalah Imam Ali as. Akan tetapi, yang perlu dicermati di sini adalah apa arti sebenarnya dari kata wali yang terdapat dalam ayat ini.
Surah Al-Maidah:67 dan ayat 3
Peristiwa Ghadir berkaitan dengan sebuah momen yang terjadi di penghujung kehidupan Nabi saw. Peristiwa ini terjadi sewaktu beliau kembali dari menunaikan haji Wadâ’. Peristiwa besar ini terjadi di sebuah tempat yang bernama Ghadir Khum. Tempat ini adalah tempat berpisahnya para jamaah haji dari Mesir, Irak, dan para jamaah haji yang berangkat dari Madînah.
Pada tahun ke-10 H, Nabi saw bersama sekelompok besar dari sahabatnya pergi ke Mekah untuk menunaikan haji. Setelah menunaikan ibadah tersebut, beliau memberi titah kepada para sahabat untuk kembali ke Madînah. Namun, ketika rombongan sampai di kawasan Râbigh, sekitar tiga mil dari Juhfah, Jibril datang dan turun menjumpai Rasul di Ghadir Khum dengan menyampaikan misi dan wahyu dari Tuhan:
“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika kamu tidak melakukannya, niscaya kamu tidak menyampaikan risalah-Nya, dan (ketahuilah) Allah akan menjagamu dari manusia.” (Al-Maidah: 67)
Dengan turunnya ayat ini, Rasulullah memerintahkan rombongan untuk berhenti dan menyuruh mereka yang telah berlalu untuk kembali serta memerintahkan untuk menunggu rombongan yang masih tertinggal di belakang. Saat itu adalah waktu Zuhur. Hawa sangat panas sekali dan mimbar pun didirikan. Shalat Zhuhur didirikan secara berjamaah. Kemudian setelah semua berkumpul, beliau berdiri di atas mimbar setinggi 4 onta, dan dengan suara lantang beliau berpidato:
“Segala puji bagi Allah, dari-Nya kita minta pertolongan, dan kepada-Nya kita beriman dan berserah diri, dan kita berlindung kepada-Nya dari kejelekan amal perbuatan kita. Tuhan yang tiada pembimbing dan pemberi hidayah selain-Nya. Siapa yang diberi petunjuk oleh-Nya, tidak akan ada seorangpun yang sanggup menyesatkannya. Aku bersaksi bahwa tiada yang layak disembah selain-Nya, dan Muhammad adalah utusan dan Hamba-Nya.
Wahai Manusia, sudah dekat rasanya aku akan memenuhi panggilan-Nya, dan akan meninggalkan kalian. Aku akan dimintai pertanggung jawaban, kalian pun juga demikian. Apakah yang kalian pikirkan tentang diriku?”
Lalu mereka menjawab:
“Kami bersaksi bahwa anda telah menjalankan dan berupaya untuk menyampaikan misi yang anda emban. Semoga Allah swt memberi pahala kepadamu.”
Nabi saw melanjutkan:
“Apakah kalian bersaksi bahwa Tuhan hanya satu dan Muhammad adalah hamba sekaligus Nabi-Nya, surga, neraka, dan kehidupan abadi di dunia lain adalah benar dan pasti?” Lalu mereka menjawab lagi: “Iya, kami bersaksi”.
Kemudian Nabi saw berkata:
“Wahai manusia, aku akan menitipkan dua hal berharga pada kalian supaya kalian beramal sesuai dengan dua hal tersebut”.
Pada saat itu, berdirilah seorang dari mereka seraya berkata, “Apa kedua hal tersebut?”
Nabi saw menjawab:
“Pertama adalah kitab suci Allah di mana satu sisinya berada di tangan-Nya, sedang yang lain berada di tangan kalian, sedang hal lainnya yang akan aku titipkan pada kalian adalah itrah dan Ahlul Baytku. Tuhan telah memberitahukan kepadaku bahwa kedua hal tadi tidak akan berpisah sampai kapanpun. Wahai manusia, janganlah kalian mendahului Al-Qur’an dan Itrahku dan sekali-kali janganlah kalian tinggalkan keduanya, karena kalian akan binasa dan celaka”.
Tak lama Kemudian nabi mengangkat tangan Ali as setinggi-tingginya sehingga tampaklah sisi bawah tangan dari kedua pribadi yang agung itu dan beliau memperkenalkan Imam Ali kepada khalayak seraya berkata:
“Wahai manusia, siapa gerangan yang lebih layak dan lebih berhak terhadap kaum Mukminin dari pada mereka sendiri?”
Mereka menjawab:
“Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu”.
Nabi saw berkata:
“Sesungguhnya Allah maulâ-ku dan aku adalah maulâ bagi mukminin, dan aku lebih berhak atas diri mereka ketimbang mereka. Maka barangsiapa yang maulâ-nya adalah diriku, maka ketahuilah bahwa Ali adalah maulâ-nya”.
Sesuai dengan penuturan Ahmad bin Hanbal, nabi mengulang ungkapan ini sebanyak empat kali. Kemudian beliau melanjutkan dengan do’a:
“Ya Allah, cintailah mereka yang mencintai Ali, dan musuhilah mereka yang memusuhinya, kasihanilah mereka yang mengasihinya, murkailah mereka yang membuatnya murka, tolonglah mereka yang menolongnya, hinakanlah mereka yang menghina dan merendahkannya, dan jadikanlah ia sebagai sendi dan poros (mihwar) kebenaran”.
Setelah selesai dan sebelum khalayak berpencar, Jibril datang kembali dengan membawa wahyu: “Hari ini telah Kusempurnakan bagimu agamamu…” (QS. 5: 3) dan pada saat itu Rasulullah bersabda, “Maha Besar Allah atas penyempurnaan agama dan nikmat. Ia telah ridha dengan misiku dan kepemimpinan Ali as setelahku.” Atas dasar ini, apakah ada penafsiran lain selain imâmah dan kepemimpinan Ali as dari penyempurnaan agama dan nikmat itu?
Koreksi Sanad Hadis
Hadis Al-Ghadir adalah salah satu hadis yang sangat populer, baik dalam Syi’ah maupun Ahlussunnah. Sebagian ahli hadis mengklaim bahwa hadis ini adalah mutawâtir. Selain para ulama Syi’ah, sekelompok ulama Ahlussunnah pun secara independen membahas dan mengenalisanya, seperti: Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Thabari (wafat 310 H.), Abu Abbas Ahmad bin Ahmad bin Said Hamadani (wafat 333 H.), dan Abu Bakar Muhammad bin Umar bin Muhammad bin Salim Tamimi Baghdadi (wafat 355 H.). Dan masih banyak lagi. (Lihat: Allamah Amini, jilid ke-1 kitab al-Ghadîr hal. 152-157, beliau telah menyebutkan nama-nama ulama yang menulis kitab untuk mengomentari dan menganalisa hadis ini. Beliau juga menjelaskan metode yang digunakan oleh para penulis tersebut di dalam memaparkan penjelasannya.
Untuk lebih memperjelas sejauh mana perhatian tâbi’în dan tâbi’ut-tâbi’în serta para ilmuwan dan fuqaha terhadap penukilan hadis ini dan kesahihan sanad-Nya, kami bawakan secara singkat sejumlah perawi hadis ini dari Ahlussunnah di setiap abad. Untuk membahasnya lebih detail, bisa dirujuk kepada kitab-kitab yang memuat hal ini lebih jauh. Para penukil hadis ini adalah:
1. 110 sahabat.
2. 84 tâbi’în.
3. 56 ulama abad kedua.
4. 92 ulama abad ketiga.
5. 43 ulama abad keempat
6. 24 ulama abad kelima.
7. 20 ulama abad keenam.
8. 20 ulama abad ketujuh.
9. 19 ulama abad kedelapan.
10. 16 ulama abad kesembilan.
11. 14 ulama abad kesepuluh.
12. 12 ulama abad kesebelas.
13. 13 ulama abad keduabelas.
14. 12 ulama abad ketigabelas.
15. 19 ulama abad keempatbelas.
Para muhaddis atau ahli hadis Ahlussunnah yang menukil hadis ini diantaranya adalah Ahmad bin Hanbal asy-Syaibânî dengan 40 sanad, Ibn hajar al-’Asqallânî dengan 25 sanad, al-Jazri Syafi’î dengan 80 sanad, Abu Said as-Sajistani dengan 120 sanad, Amir Muhammad al-Yamani dengan 40 sanad, Nasai dengan 250 sanad, Abu Ya’la al-Hamadani dengan 100 sanad, Abul ‘Irfân Haban dengan 30 sanad. Jumlah ini diambil dari buku Al-Ghadîr jilid pertama. Sedang pembahasan sanad hadis ini terdapat pada kitab-kitab tersendiri, di antaranya Ghâyatul Marâm, karya Allamah Sayyid Hasyim al-Bahrânî (wafat 1390), dan Al-’Aqabât, karya Sayyid Mir Hamid Husain Hindi (wafat 1306).
Dengan demikian, peristiwa Ghadir Khum dan pelantikan yang dilakukan oleh Nabi saw merupakan salah satu kejadian yang pasti dalam sejarah, sehingga siapapun yang mengingkarinya, maka dia takkan bisa menerima peristiwa historis lainnya.
Arti Hadis
Poin utama dari hadis ini adalah penggalan riwayat yang berbunyi “man kuntu maulâh fa ‘Aliyun maulâh”. Dengan memperhatikan berbagai konteks yang ada, maksud dari kata maulâ dalam hadis ini berarti aulâ (lebih utama). Pada akhirnya, hadis ini mengindikasikan bahwa Ali as adalah wali setelah Nabi dan penanggung jawab kaum muslimin dan ia lebih utama dari diri mereka. Konteks-konteks (qarînah) tersebut adalah:
1. Di pembukaan hadis Nabi saw bersabda, “Tidakkah aku terhadap diri kalian lebih utama dari diri kalian sendiri?” Ungkapan setelahnya yang mengatakan man kuntu maulâhu berdasar pada ungkapan ini. Dengan demikian, keserasian keduanya memberikan pengertian di sini bahwa maulâ berarti awlâ dalam mengurusi urusan muslimin (tasharruf).
2. Pada akhir hadis Rasul bersabda, “Allôhumma wâli man wâlâh”.Doa ini merupakan penjelasan atas kedudukan Imam Ali as dan hal ini dapat bermakna sebagaimana mestinya jika wali itu berarti kepemimpinan dan wilayah.
3. Rasulullah saw meminta penyaksian dari khalayak dan ungkapan “man kuntu …” dalam kontek penyaksian terhadap keesaan Allah swt dan kerasulan. Sehingga nilai tersebut (yakni kewalian Ali as) dapat dipahami dari konteks tadi, yakni penyaksian atas keesaan Allah dan kerasulan).
Selain konteks-konteks yang telah disebutkan ini, masih terdapat konteks-konteks lain yang mengindikasikan keagungan misi yang harus disampaikan oleh Rasulullah pada saat itu. (Ditulis: Sayyid Chairul Umam Jamalullail)
*****
Berdasarkan keterangan diatas sangat jelas bahwa: Mengimani Wilayah Ahlul Bait as Adalah Jaminan Keselamatan Dari Api Neraka Jahannam
Perhatikan dalam kitab Nahjul Balaghah disebutkan:
WILAYAH KEPADA AHLULBAIT AS.
Pembicaraan kita selanjutnya akan berkisar tentang elemen-elemen keberwilayahan (berpegang teguh) pada Ahlulbait as. Kita usahakan untuk lebih sering menarik unsur-unsur itu dari teks-teks doa ziarah Ahlulbait as. itu sendiri. Karena teks-teks yang diriwayatkan dari mereka as. ini kaya akan muatan pemikiran dan konsep tentang wilayah atau kepe-ngikutan terhadap Ahlulbait as. dan baro’ah atau penolakan musuh-musuh mereka. Dengan merenungkan teks-teks doa ziarah itu, kita akan dapat menarik sebuah pandangan yang menyempurna dari wilayah dan baro’ah tersebut.
Namun pada bagian ini kita tidak ingin mempelajarinya secara luas. Tulisan ringkas ini tidak cukup ruang untuk mempelajarinya secara detail dan mengajukan konsep yang terperinci tentang dua hal di atas. Kita hanya mengisyarat-kan beberapa elemen wilayah atau kepengikutan terhadap Ahlulabait as. yang dimengerti dari teks doa ziarah dan hadis Ahlulbait yang lain.
Kesadaran Berwilayah
Elemen pertama wilayah kepada Ahlulbait as. ialah kesa-daran, dan nilai pengikutan seseorang terhadap mereka dihitung sesuai kadar pengetahuan dan kesadarannya akan wilayah itu sendiri. Maka itu, orang yang lebih sadar akan konsep wilayah tentu lebih kokoh dalam berwilayah kepada Ahlulbait as.
Disinyalir dalam doa ziarah Jami’ah: “Aku bersaksi ke-pada Allah dan bersaksi kepada kalian (Ahlulbait as.) bah-wasanya aku beriman pada kalian dan pada apa yang kalian imani, aku ingkar terhadap musuh kalian dan terhadap apa yang kalian ingkari, aku sadar akan kedudukan dan urusan kalian, begitu juga mawas akan kesesatan mereka yang menentang kalian, aku beriman pada rahasia dan kejelasan kalian, beriman pada kehadiran dan kegaiban kalian”.
Kami bersaksi pada Allah dan pada Ahlulbait as. atas pengetahuan dan kesadaran ini, karena kami yakin penuh dan beriman akan hal itu, serta sama sekali tidak ada kera-guan terhadapnya.
Wilayah dalam penggalan kalimat di atas tersusun dari dua sisi:
Pertama, sisi positif, yaitu: “beriman pada kalian dan pada apa yang kalian imani”.
Kedua, sisi negatif, yaitu: “ingkar terhadap musuh kalian dan terhadap apa yang kalian ingkari”. Ingkar berarti peno-lakan. Oleh karena itu, maksud dari kalimat di atas adalah aku menolak musuh kalian dan menolak apa yang kalian tolak.
Nilai wilayah terbentuk dari dua sisi positif dan negatif tersebut secara bersamaan; penerimaan sekaligus penolakan. Penerimaan semata—tanpa penolakan—tidak menentukan banyak tugas bagi seseorang selama tidak dibarengi dengan penolakan terhadap lawannya.
Oleh karena itu, penerimaan dan penolakan harus se-kaligus serta dilandasi oleh pengetahuan dan kesadaran, bukan sekedar ikut-ikutan seperti sebagian orang yang me-ngikuti sebagian lainnya, melainkan “sadar akan kedudu-kan kalian Ahlulbait dan mawas terhadap kesesatan mereka yang menentang kalian”.
Penerimaan di sini adalah penerimaan penuh yang mencakup tiga poin di bawah ini sebagaimana juga termuat dalam penggalan doa ziarah di atas itu:
Pertama, penerimaan mutlak; “iman pada apa yang rahasia dan tersembunyi dari kalian”.
Kedua, penolakan mutlak; “menolak musuh kalian serta apa yang kalian tolak”.
Ketiga, penerimaan dan penolakan ini akan lengkap apabila didasari oleh pengetahuan dan kesadaran; “sadar akan kedudukan kalian dan mawas terhadap kesesatan mereka yang menentang kalian”.
Pengakuan
Wilayah dan kepengikutan pada Ahlulbait as. tidak bisa dipisahkan dari pengakuan. Tidak ada sesuatu yang lebih merusak daripada ragu dan bimbang terhadap wilayah, dan Allah swt. sama sekali tidak meninggalkan kesamaran di dalamnya. Sungguh Allah telah mengaitkan wilayah dengan tauhid, menetapkan wilayah sebagai poros gerakan, baik individu maupun sosial, dan mengarahkan umat manusia kepada wilayah setelah menyeru mereka kepada pengesaan-Nya. Dia berfirman:
﴿ اِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَ رَسُولُهُ وَ الَّذِينَ آمَنُوا ... ﴾
“Sesungguhnya wali dan pemimpin kalian adalah Allah dan Rasul-Nya serta mereka yang beriman yang…”[1]
Dia juga berfirman:
﴿ اَطِيعُوا اللهَ وَ اَطِيعُوا الرَّسُولَ وَ اُولِي الأمرِ مِنكُم ﴾
“Taatilah Allah dan Rasul-Nya serta ulul amr (pe-mimpin) dari kalian”[2]
Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bahwa jalan menuju wilayah mesti jelas, sehingga umat manusia ber-wilayah atas dasar bukti yang kuat. Singkatnya, wilayah tidak terpisahkan dari pengakuan, dan pengakuan tidak terpisahkan dari keyakinan dan keyakinan tidak terpisahkan dari bukti.
Ziarah Jami’ah memperlihatkan kedudukan Ahlulbait as. sebagai berikut: “Beruntunglah orang yang berwilayah pada kalian, binasalah orang yang memusuhi kalian, seng-saralah orang yang mengingkari kalian, tersesatlah orang yang berpisah dari kalian, menanglah orang yang berpe-gang teguh pada kalian, amanlah orang yang berlindung pada kalian, selamatlah orang yang membenarkan kalian, dan berpetunjuklah orang yang memegang erat kalian”.
Ikatan Organik
Untuk berbicara tentang elemen-elemen yang membentuk wilayah kepada Ahlulbait as., terlebih dahulu kita harus menerangkan arti harfiah wala’ sebagaimana mestinya da-lam literatur kontemporer. Hal itu penting sekali dan tidak mudah. Literatur sosial kontemporer kita sekarang tidak sanggup menjangkau arti kata ini,. Maka dari itu, kita tidak menemukan hubungan erat antar manusia selain wala’ dalam dua dimensi sekaligus, yaitu hubungan secara vertikal dan secara horisontal dalam kepemimpinan politik, hukum, peradaban, ketaatan, pengikutan dan … Hubungan wilayah adalah hubungan khas di tengah umat manusia secara vertikal dan horisontal:
Wilayah secara vertikal adalah hubungan antara umat dengan Allah swt., Rasulullah dan wali amr atau pemimpin Islam. Hubungan ini akan mengejewantah dalam ketaatan, cinta, pembelaan, nasihat, pengikutan dan … Semua itu ber-arti apabila kita memandang wilayah vertikal ini dari bawah ke atas. Allah berfirman:
“Taatilah Allah dan taatilah Raslulullah dan wali amr kalian”.
Sementara, jika kita mengamati wilayah vertikal ini dari atas ke bawah. yang tampak adalah kekuasaan, pemerintahan dan perlindungan. Allah swt. berfirman:
“Sesungguhnya wali dan pemimpin kalian adalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman yang mendirikan sha-lat dan memberi zakat saat mereka rukuk”.[3]
Inilah arti singkat dari wilayah vertikal yang dipandang dari dua arah atas dan bawah. Yang dimaksud dari arah ke atas adalah hubungan umat dengan pemimpin-pemimpinnya. Sedangkan maksud dari arah ke bawah adalah hubungan para pemimpin Islam dengan umatnya. Dengan demikian, hubungan wilayah di satu sisi adalah kepemimpinan, dan di sisi lain adalah kepatuhan.
Adapun wilayah secara horisontal adalah hubungan yang mengikat manusia antara satu sama yang lain dalam kehidupan sosial mereka. Al-Qur’an mengungkapkan hal ini dalam kalimat yang singkat, padat dan teliti:
﴿ اِنَّمَا المُؤمِنُونَ اِخوَةٌ ﴾
“Sesungguhnya orang-orang beriman adalah saudara”.[4]
Imam Hasan Askari as. menerangkan ayat ini kepada pen-duduk kota Abah dan Qom dalam sebuah kalimat yang juga singkat: “Seorang mukmin adalah saudara seibu dan seayah orang mukmin yang lain”.[5]
Ini merupakan jalinan istimewa yang tidak kita dapat-kan padanannya di tengah umat, agama dan syariat yang lain.
Diriwayatkan dari Rasulullah saw. bersabda: “Orang-orang mukmin adalah saudara yang berdarah sama. Mereka adalah tangan bagi yang lain, yang-di-atas berusaha untuk menanggung mereka yang-di-bawahnya”[6].
Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Mukmin adalah saudara mukmin lainnya. Mereka seperti satu tubuh; apa-bila salah satu anggotanya mengadu, maka dia akan mera-sakan derita itu pada seluruh anggota tubuhnya yang lain”[7].
Beliau mewasiatkan orang-orang berimana seraya berkata: “Hendaknya kalian saling bersilaturrahmi, saling berbakti dan saling menyayangi, jadilah kalian saudara yang rukun sebagaimana Allah swt. perintahkan pada kalian”[8].
Inilah penjelasan tentang wilayah secara horisontal. Dan berulang kali disebutkan bahwa kita tidak menemukan ikatan sosial di tengah kehidupan manusia yang lebih kuat dan kokoh dari pada ikatan wilayah.
Uraian di atas menjelaskan bahwa ikatan wilayah me-rupakan ikatan organik pada satu bangunan keluarga yang kokoh bertautan seperti benteng yang kuat, sebagaimana disinyalir al-Qur’an dengan ibarat bunyanun marshush. Dan hubungan antara individu-individunya seperti hubungan yang terjalin antarorgan tubuh. Dan tentunya, hubungan ini jauh lebih kuat daripada hubungan antaranggota keluarga biasa.
Dengan demikian, wilayah adalah struktur yang khas dalam sebuah hubungan umat manusia yang merupakan ikatan organik bagi seseorang dengan sebuah keluarga atau anggota dengan satu tubuh.
Pilar-pilar wilayah secara horisontal adalah gotong royong, silaturahmi, nasihat, kebajikan, persaudaraan, ke-murahan, kasih sayang, bantuan, solidaritas, penyempur-naan dan … Adapun pilar-pilar wilayah secara vertikal adalah ketaatan, kepatuhan, kepasrahan, cinta, pembelaan, pengikutan, komitmen, peneladanan, keakraban, cinta pada mereka dan pada wali-wali mereka, benci dan perlawanan terhadap musuh-musuh mereka, dan lain sebagainya.
Tersisa satu poin yang penting untuk disampaikan di akhir pembahasan tentang ikatan organik ini, bahwa wilayah atau pengikutan kepada Ahlulbait as. dan baro’ah atau pelepasan diri dan perlawanan terhadap musuh-musuh mereka bukan merupakan kasus sejarah yang sama sekali terputus hubungan dari kehidupan politik dan peradaban kita sekarang. Jelas wilayah yang dilukiskan oleh Imam Ja’far Ash-Shadiq as.—begitu besar dalam ucapannya: “Di Hari Kiamat nanti, tidak ada panggilan yang lebih penting daripada panggilan mengenai wilayah”, tidak mungkin sebatas kepercayaan yang sama sekali terputus dari realitas dan gerakan politik yang kita jalani sekarang.
Wilayah adalah ketaatan, cinta, keanggotaan, perlawa-nan terhadap musuh, damai, perang, dan penentuan sikap sosial politik kontemporer di bawah naungan pemimpin penerus yang sah. Maka selama wilayah dan baro’ah ter-sebut tidak berbasis pada kepercayaan akan sebuah gerakan, tindakan, sikap politik damai atau perang yang menjadi ketentuan wilayah lanjutan atau pengganti yang sah untuk masa sekarang niscaya wilayah dan baro’ah tersebut tidak memiliki nilai yang besar seperti apa yang kita simak dalam teks-teks riwayat dari Ahlulbait as.
Berikut ini kita akan membicarakan elemen-elemen lain wilayah secara ringkas yang kita tarik dari teks doa ziarah Ahlulbait as., karena sungguh doa-doa yang diriwayatkan dari mereka penuh dengan konsep dan elemen wilayah.
Baro’ah
Wajah lain dari wilayah adalah baro’ah itu sendiri. Wilayah dan baro’ah merupakan dua wajah dari satu permasalahan yaitu keterikatan dan keanggotaan pada Ahlulbait as. Beda-nya baro’ah adalah wajah dan dimensi yang lebih berat dalam keanggotaan tersebut. Wilayah tanpa baro’ah adalah wilayah yang kurang dan buta.
Ada seorang lelaki mendatangi Amirul Mukminin Ali as. seraya berkata kepada beliau: “Sungguh aku mencin-taimu juga mencintai musuh-musuhmu”. (Inilah yang kami maksud dari wilayah yang kurang dan buta).
Amirul Mukminin Ali as. menukas: “Namun sampai ini kamu masih juling dan bermata satu (pandangan orang bermata satu adalah pandangan yang setengah dan kurang). Berikutnya, tidak ada kecuali dua pilihan bagimu yaitu buta (maka di samping kehilangan wilayah dia juga kehilangan baro’ah) atau melihat (yakni berwilayah kepada Ahlulbait as. sekaligus menentang musuh-musuh mereka)”.
Dalam ziarah Jami’ah disebutkan: “Aku bersaksi kepada Allah dan bersaksi kepada kalian (Ahlulbait as.), sesung-guhnya aku beriman pada kalian dan pada apa yang kalian imani, aku menolak musuh kalian dan apa yang kalian kafirkan. Aku sadar akan perkara dan kedudukan kalian dan mawas akan kesesatan mereka yag menentang kalian. Aku berwilayah dan mendukung kalian serta wali-wali kalian, aku benci dan melawan musuh-musuh kalian”.
Ziarah Asyura terhitung sebagai ziarah yang paling banyak menyatakan penolakan dan perlawanan terhadap musuh-musuh Allah swt., seperti penggalan berikut ini: “Semoga Allah melaknat umat yang membunuh kalian (Ahlulbait as.), semoga Allah mengutuk orang-orang yang membuka jalan bagi mereka dengan cara pengerahan massa untuk memerangi kalian, aku berlindung dari mereka di bawah naungan Allah dan kalian, sungguh aku berlindung dari mereka, dari pengikut dan wali-wali mereka serta siapa saja yang ikut bersama mereka”.
Teks di atas menyatakan baro’ah bukan hanya terhadap musuh-musuh Allah, melainkan juga penolakan terhadap sekutu dan pengikut musuh-musuh Allah serta siapa saja yang setuju dengan perbuatan mereka. Maka sebagaimana kita mendekatkan diri pada Allah melalui wilayah, pengi-kutan dan cinta terhadap wali-wali Allah, kita juga mende-katkan diri pada-Nya dan pada wali-Nya melalui perlawa-nan terhadap musuh-musuh Allah beserta pengikut mereka.
Disebutkan juga dalam ziarah Asyura sebagai berikut: “Sesungguhnya aku mendekatkan diri pada Allah dan pada Rasul-Nya … dengan berwilayah pada kalian, juga dengan penolakan terhadap mereka yang memerangi kalian, mena-buh genderang pertempuran melawan kalian, dan dengan penolakan terhadap siapa saja yang menyediakan basis perlawanan serta menyusun barisan penentang kalian”.
Ikatan Imbal Balik Tauhid dalam Kerangka Wilayah
Pada hakikatnya, wilayah masuk kategori tauhid, sebagai-mana berulang kali kita ingatkan sebelum ini. Dan sebe-tulnya, nilai wilayah dalam Islam mengalir turun dari tauhid dan merupakan perpanjangan dari pengesaan Tuhan itu sendiri. Oleh karena itu, tiada wilayah bagi selain Allah kecuali dengan seijin dan perintah-Nya. Allah berfirman:
﴿ اَللهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا ﴾
“Allah adalah wali orang-orang yang beriman”.[9]
Adapun wilayah Rasulullah saw. dan para imam atau wali amr adalah wajib di bawah wilayah Allah dan atas dasar perintah-Nya. Maka, barang siapa yang berwilayah pada Allah dalam artian hanya Dia pemimpin jagat raya, maka dia juga harus menerima wilayah Rasulullah saw. dan para imam as. setelahnya. Tidak bisa dipisahkan atara wilayah Rasulullah saw. dengan wilayah Allah, begitu pula tidak mungkin dipisahkan antara wilayah Ahlulbait as. dan wila-yah Rasulullah saw. Allah berfirman:
﴿ إنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَ رَسُولُهُ وَ الَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَ يُؤتُونَ الزَّكَاةَ وَ هُم رَاكِعُونَ ﴾[10]
“Sesungguhnya wali kalian adalah Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman yang menegakkan shalat dan memberi zakat ketika rukuk”.
Hadis-hadis yang mengatakan ayat ini turun mengenai Ali bin Abi Thalib as. mencapai tingkat mustafidh.[11] Hadis-hadis itu menegas bahwa yang dimaksud oleh al-Qur’an sebagai orang yang menegakkan shalat dan memberi zakat dalam keadaan rukuk adalah Ali bin Abi Thalib as.
Dalam ayat itu Allah menegaskan wilayah adalah milik Dia dan Rasul-Nya serta orang beriman yang menegakkan shalat dan memberi zakat dalam keadaan rukuk. Mereka adalah wali amr ‘imam segenap Muslimin’.
Hanya saja, wilayah Rasulullah saw. dan Ahlulbaitnya hanyalah sebagai lanjutan dari wilayah Allah swt. dan tidak sejajar, sebagaimana ketaatan kepada Rasulullah dan para wali amr setelahnya merupakan kelanjutan dari ketaatan kepada Allah.
Inilah wilayah dan ketaatan. Hal yang sama juga ber-laku dalam cinta. Diriwayatkan dari Rasulullah saw. ber-sabda: “Cintailah Allah yang telah memberi nikmat pada kalian, cintailah aku karena cinta Allah dan cintailah Ahlul-baitku karena cinta padaku”[12].
Rasulullah saw. juga bersabda: “Cintailah Allah yang telah memberi nikmat pada kalian, dan cintailah aku karena kalian mencintai Allah, dan cintailah Ahlulbaitku karena kalian mencintaiku”[13].
Jadi, barang siapa yang berwilayah pada Allah maka dia juga harus berwilayah pada Rasulullah dan keluarganya. Dan barang siapa yang mentaati Allah maka dia juga harus mentaati mereka. Dan barang siapa yang mencintai Allah maka dia juga harus mencintai mereka.
Ini salah satu sisi keseimbangan tauhid. Adapun sisi lainnya menyatakan adalah barang siapa yang berwilayah kepada mereka berarti dia berwilayah kepada Allah, dan barang siapa mentaati mereka maka dia mentaati Allah, dan barang siapa yang mencintai mereka maka dia mencintai Allah Dengan demikian sempurnalah keseimbangan tauhid tersebut dalam jalinan wilayah dari dua belah pihak.
Coba renungkan teks-teks berikut ini yang menunjuk-kan kedua sisi keseimbangan tauhid tersebut:
Dalam ziarah Jami’ah disebutkan: “Barang siapa yang berwilayah kepada kalian maka dia telah berwilayah kepada Allah, dan barang siapa yang memusuhi kalian maka dia telah memusuhi Allah”.
Disebutkan juga di dalamnya: “Barangsiapa yang men-taati kalian maka dia telah mentaati Allah dan barangsiapa yang membangkang pada kalian maka dia telah bermaksiat pada Allah”.
Disebutkan pula di sana: “Barang siapa yang mencintai kalian maka dia telah mencintai Allah, dan barang siapa membenci kalian maka dia telah membenci Allah”. Dan kita semua seyogyanya mendekatkan diri pada Allah swt. mela-lui wilayah dan dukungan kita terhadap Rasulullah serta Ahlulbaitnya serta menolak musuh-musuh mereka.
Disebutkan dalam ziarah Asyura sebagai berikut: “Se-sungguhnya aku mendekatkan diri kepada Allah dengan berwilayah kepadamu (wahai Imam Husain as.), begitu pula dengan menentang orang-orang yang membunuhmu dan menyulut api peperangan melawanmu”.
Dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa mentaatiku, dia telah mentaati Allah, dan barang siapa bermaksiat padaku, dia telah ber-maksiat pada Allah, dan barang siapa bermaksiat pada Ali dia telah bermaksiat padaku”.[14]
Ibnu Abbas meriwayatkan sebuah kejadian; ketika itu Rasulullah saw. melihat Ali as. seraya bersabda: “Wahai Ali, aku adalah tuan di dunia dan di akhirat, kekasihmu adalah kekasihku, dan kekasihku adalah kekasih Allah, musuhmu adalah musuhku dan musuhku adalah musuh Allah”.[15]
Satu poin yang amat penting dari konsep wilayah dan baro’ah dalam Islam terletak pada kecermatan kita akan ikatan tauhid yang berbasis pada wilayah Allah dan wilayah wali amr (Ahlulbait as). Kita harus mengerti keseimbangan tauhid yang membaur-utuh antara dua wilayah ini. Dan wilayah hakiki dalam Islam harus tumbuh sebagai konse-kuensi dari wilayah Allah, dan selain itu hanyalah wilayah yang batil. Begitu pula ketaatan dan cinta yang sebenarnya, menurut Islam, harus digenggam sebagai konsekuensi dari ketaatan dan cinta pada Allah. Maka selain itu sama sekali tidak berarti menurut tolok ukur dan timbangan Allah swt.
Atas dasar ini, Ahlulbait as. adalah rambu-rambu petun-juk menuju Allah. Mereka adalah pemimpin sesuai dengan perintah-Nya. Mereka memasrahkan segala urusan kepada Allah dan orang yang memberi hidayah menuju Allah swt.
Ini dari satu sisi. Adapun di sisi lain, orang yang meng-hendaki Allah, jalan, keridhaan, hukum dan batas-batas-Nya, dia harus menapaki jalan mereka dan menyerap ajaran mereka.
Untuk lebih jelasnya, marilah kita perhatikan dua sisi keseimbangan tauhid ini dalam teks-teks berikut:
Disebutkan dalam ziarah Jami’ah: “Kepada Allah kalian mengajak, kepada-Nya kalian menunjukkan, kepada-Nya kalian beriman, untuk Dia kamu pasrahkan, sesuai perintah-Nya kalian beramal, kepada jalan-Nya kalian arahkan, dan dengan firman-Nya kalian menghakimi”.
Berikut ini dua sisi permasalahan dalam satu kalimat singkat yang disinyalir juga oleh ziarah Jami’ah: “Barang siapa menghendaki Allah, dia harus memulainya dengan kalian, dan barang siapa yang mengesakan-Nya dia harus menerima dari kalian, dan barang siapa yang menuju-Nya maka dia harus memperhatikan kalian”.
Saya tekankan untuk kesekian kalinya bahwa kita tidak akan bisa mengerti wilayah kecuali dari sudut pandang tauhid, dan bahwa wilayah Ahlulbait as. adalah kelanjutan dari wilayah Allah swt.. Bentuk apapun dari pemahaman wilayah, ketaatan dan cinta pada Ahlulbait as. yang tidak bersaambung dengan wilayah Allah, maka itu bertentangan dengan ucapan dan ajaran Ahlulbait itu sendiri.
Salam dan Nasihat
Dua aspek berikutnya dari wilayah adalah salam dan na-sihat dalam kaitannya dengan wali amr atau para imam. Salam adalah sisi negatif dari hubungan ini, sedangkan nasihat adalah sisi positif jalinan bersama pemimpin Islam. Berikut ini penjelasannya:
Salam
Arti salam kepada wali amr ‘para imam as.’ yaitu hendaknya kita tidak membiarkan mereka sendiri dalam kesulitan dan bahaya, hendaknya kita tidak melawan, tidak berontak atau berdurhaka kepada mereka, tidak mengusir mereka, tidak menentang mereka dalam urusan apa pun, tidak memihak pada yang lain dalam mengambil keputusan, tidak meng-hinakan mereka, tidak mengharapkan keburukan menimpa mereka, tidak merusak kehormatan mereka baik saat hadir ataupun gaib, tidak berbuat makar dan tipu daya terhadap mereka, tidak berjalan bersama musuh-musuh mereka, tidak memperdaya mereka, tidak merekayasa mereka, tidak melangkahi mereka, tidak menelantarkan mereka, tidak me-nyerahkan mereka kepada musuh, tidak menzalimi mereka, tidak berkedok di hadapan mereka dan lain sebagainya.
Itu aspek peniadaan dari hubungan dan pergaulan dengan Ahlulbait as. sebagai wali amr dan pemimpin Islam.
Salam kepada wali amr as. memanjang dari salam dalam hubungan kita dengan Allah swt. Dan seperti halnya ele-men lain, salam juga masuk dalam kategori tauhid, karena salam kepada wali-wali amr as. adalah juga salam kepada Allah, dan sungguh Allah telah memerintahkan kita untuk menyikapi-Nya dengan salam dan damai serta hendaknya kita tidak masuk ke lingkungan musuh-Nya atau orang yang memihak kepada selain-Nya. Allah swt. berfirman:
﴿يَا أيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادخُلُوا فِي السِّلمِ كَافَّةً وَ لَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيطَان﴾
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah dalam kedamaian dan Islam secara utuh, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan”.[16]
Silm ‘salam’ yang dianjurkan oleh Allah dalam ayat di atas adalah salam itu sendiri dalam hubungan kita dengan-Nya. Dan lawan dari salam dalam berhubungan dengan Allah adalah memerangi, memihak pada yang lain dan menen-tang-Nya. Allah berfirman:
﴿ فَإن لَم تَفعَلُوا فَأذَنُوا بِحَربٍ مِنَ اللهِ وَ رَسُولِهِ ﴾
“Apabila kalian tidak melakukannya, maka ijinkan pepe-rangan Allah dan Rasul-Nya”.[17]
﴿ اِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللهَ وَ رَسُولَهُ وَيَسعَونَ فِي الاَرضِ فَسَادًا أن يُقتَلُوا... ﴾
“Sesungguhnya balasan orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan berusaha menebarkan kerusa-kan di muka bumi ialah dibunuh dan diperangi …”.[18]
﴿ وَ ذلِكَ بِأنَّهُم شَاقُّوا اللهَ وَ رَسُولَهُ وَ مَن يُشَاقِقِ اللهَ وَ رَسُولَهُ فَإنَّ اللهَ شَدِيدُ العِقَاب ﴾
“Hal itu karena mereka telah memihak pada selain Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa memihak pada yang lain dan menentang Allah dan Rasul-Nya, maka Allah sungguh keras dalam siksa-Nya”.[19]
﴿ اَلَم تَعلَمُوا أنَّهُ مَن يُحَادِدِ اللهَ وَ رَسُولَهُ فَإنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدًا فِيهَا ذلِكَ هُوَ الخِزيُ العَظِيمُ ﴾
“Tidakkah kalian tahu bahwa orang yang menentang keras Allah dan Rasul-Nya akan masuk neraka jahanam selama-lamanya dan itu kehinaan yang sangat besar”.[20]
Maksud dari kata muhadadah dalam ayat ini adalah sikap seseorang yang berpihak pada selain garis dan batas yang ditentukan Allah swt.
Demikian arti salam kita kepada Allah swt. Adapun salam antara kita dan pemimpin-pemimpin Islam atau wali amr as. adalah kepanjangan dari salam kita kepada Allah dan bagian dari prinsip tauhid.
Secara umum, semua elemen wilayah kepada Ahlulbait as. sebagai pemimpin Islam berpijak pada asas tauhid; peng-esaan Allah dan menolak wujud sesuatu yang independen dari ijin dan perintah Allah swt.
Salam kepada wali amr atau pemimpin Islam (yaitu Rasulullah dan Ahlulbaitnya), sebagaimana termuat dalam teks-teks ziarah, bukan dari kategori sapa dan pesan, tetapi dari kategori sikap, pergaulan dan hubungan.
Kedalaman arti dari salam kepada mereka yaitu hendak-nya kita tidak mengusik mereka dengan tingkah laku yang buruk, karena sesungguhnya mereka hadir dalam tindakan kita sebagaimana ditegaskan oleh surah al-Qadr dan hadis. Oleh karena itu, perilaku buruk, maksiat dan dosa pengikut Rasulullah saw. dan Ahlulbait as. akan mengganggu mereka sebagaimana mengganggu dua malaikat pencatat amal. Sebaliknya, perbuatan saleh akan menyenangkan mereka.
Kiranya cukup sampai di sini saja perbincangan kita seputar salam kepada wali amr dan tidak perlu diperpanjang lebih dari ini.
Ziarah-ziarah para iamam maksum penuh dengan salam dan pengulangan salam kepada mereka, seperti dalam ziarah Jami’ah Kedua yang tidak begitu populer, yaitu ziarah Jami’ah yang diriwayatkan oleh Syaikh Shaduq dari Imam Ali Ridha as. dalam kitab Man La Yahdluruhul Faqih, terdapat sekelompok salam kepada mereka. Berikut ini kami akan menyebutkan sebagian salam-salam itu sebagai bukti:
“Salam kepada wali-wali Allah dan pilihan-pilihan-Nya, salam kepada orang-orang terpercaya Allah dan kekasih-kekasih-Nya, salam kepada penolong-penolong Allah dan para khalifah-Nya (khalifah artinya pemimpin yang dilantik Allah untuk mengatur urusan umat manusia, bukan kha-lifah yang dicatat dalam sejarah pasca wafat Rasul), salam kepada ruang-ruang makrifat Allah, salam kepada rumah-rumah zikir Allah, salam kepada pemenang perintah Allah dan larangan-Nya, salam kepada penuntun-penuntun yang mengajak kepada Allah, salam kepada mereka yang bersemayam dalam keridhaan Allah, salam kepada mereka yang ikhlas dalam ketaatan Allah, salam kepada petunjuk-petunjuk Allah, salam kepada mereka yang barang siapa berwilayah kepada mereka niscaya Allah berwilayah ke-padanya dan mencintainya, salam kepada mereka yang barang siapa memusuhi mereka Allah akan memusuhinya, salam kepada mereka yang barang siapa yakin pada mereka niscaya telah yakin pada Allah, salam kepada mereka yang barang siapa bodoh akan mereka ia telah bodoh akan Allah, salam kepada mereka yang barang siapa berpegang teguh pada mereka dia telah berpegang teguh pada Allah, dan salam kepada mereka yang barang siapa menyempal dari mereka dia telah menyempal dari Allah”.
Nasihat
Nasihat adalah aspek positif dari hubungan manusia de-ngan wali amr ‘pemimpin Islam’ as. Nasihat pada mereka juga masuk kategori tauhid, dan merupakan kepanjangan dari nasihat untuk Allah dan Rasul-Nya. Nasihat adalah salah satu dari tiga perkara politik yang diumumkan oleh Rasulullah di masjid Khif, di Mina, kepada mayoritas Mus-limin yang hadir di tahun Haji Wada’ atau Haji Perpisahan.
Syaikh Shaduq meriwayatkan dalam kitab Khisal dari Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Rasulullah saw. Ber-pidato pada Haji Wada’ di Mina tepatnya di masjid Khif. Beliau memuja dan memuji Allah kemudian bersabda: ‘Semoga Allah menyegarkan dan peduli pada hamba-Nya yang mendengar sabdaku kemudian menyadarinya, lalu menyampaikan sabdaku ini pada orang yang belum men-dengarnya. Dan betapa banyak pembawa ilmu agama atau fiqih yang tidak alim dan faqih, dan betapa banyak pem-bawa ilmu agama kepada orang yang lebih alim dan faqih daripada dirinya. Ada tiga perkara yang tidak akan menim-bulkan dengki pada hati seorang Muslim: pertama, ikhlas dalam beramal hanya demi Allah. Kedua, nasihat terhadap pemimpin-pemimpin Muslimin. Ketiga, komitmen terhadap masyarakat Islam. Sesungguhnya dakwah dan doa mereka mencakup masyarakat Muslim yang lain. Dan orang-orang Muslim adalah saudara yang berdarah sama, orang yang unggul berupaya untuk menanggung orang yang di bawah-nya, dan mereka adalah tangan bagi yang lain’”.[21]
Nasihat untuk wali amr dan pemimpin Muslimin as. yaitu seorang Muslim harus menjadi pembela dan mata bagi mereka mengajukan aspirasi dan konsultasi yang tulus ke-pada mereka, melindungi mereka, memaparkan problem, kegelisahan dan penderitaan Muslimin pada mereka, dan inilah sisi positif yang dimaksudkan.
Figur Keteladanan
Salah satu elemen wilayah kepada Ahlulbait as. adalah peneladanan pada mereka. Allah swt. telah menjadikan Nabi Ibrahim as. sampai Rasulullah saw. sebagai teladan yang unggul bagi umat manusia. Mereka harus mengikuti figur-figur teladan tersebut dan mengukur diri dengan keutamaan mereka. Allah berfirman:
﴿ قَد كَانَت لَكُم اُسوَةٌ حَسَنَةٌ فِي اِبرَاهِيمَ وَ الَّذِينَ مَعَه ﴾
“Sungguh terdapat teladan yang baik bagi kalian pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya”.[22]
﴿ لَقَد كَانَ لَكُم فِي رَسُولِ اللهِ اُسوَةٌ حَسَنَةٌ ﴾
“Sungguh, sungguh dan sungguh terdapat teladan yang baik bagi kalian pada diri Rasulullah”.[23]
Adapun setelah Rasulullah saw., teladan baik yang harus kita panuti dalam hidup ini adalah Ahlulbait sebagai pengganti beliau, baik dalam hubungan kita bersama keluarga maupun hubungan kita dengan diri kita sendiri. Tentunya, awal dari semua hubungan ini adalah hubungan kita dengan Allah swt.
Peneladanan bukan pelajaran. Di samping sebagai guru kita, Ahlulbait as. juga teladan kita. Mereka adalah guru yang kita serap anjuran dan ajaran mereka, teladan yang kita tapaki bekas-bekas langkah mereka, kita jalani jalur mereka, kita ikuti aliran mereka dalam kehidupan, dan kita hidup sebagaimana mereka hidup serta bergaul bersama masyarakat dan keluarga sebagaimana mereka bergaul.
Imam-imam Ahlulbait as. adalah maksum atau suci dari dosa dan kesalahan. Artinya, mereka adalah model yang sempurna bagi kemanusiaan. Allah telah menjadikan mere-ka sebagai tolok ukur dan timbangan yang harus kita gunakan untuk mengukur diri kita dengan mereka. Maka, apa yang sesuai dengan mereka dalam praktek, ucapan, diam, gerak perilak serta sikap kita adalah kebenaran. Dan sebaliknya, segala hal yang bertentangan dengan mereka adalah kesalahan, entah itu karena berlebihan atau keku-rangan. Hakikat ini juga termuat dalam ziarah Jami’ah: “Orang yang tertinggal dari kalian adalah celaka, dan orang yang melampaui kalian adalah binasa, sedangkan orang yang bersama kalian adalah ikut bergabung”.
Marilah kita membaca sejarah dan tradisi Ahlulbait as. untuk menyesuaikan perilaku kita dengan mereka. Amirul Mukminin as. sering berkata: “Sadarlah bahwa kalian tidak akan mampu untuk itu, tapi bantulah aku dengan warak dan kesungguhan”.
Ziarah Jami’ah menyifati Ahlulbait as. dengan matsal a’la atau model tertinggi, yaitu standar yang benar bagi umat manusia untuk mengukur dirinya dengan mereka sebisa mungkin untuk berjalan bersama mereka.
Ahlulbait as. mewarisi hal-hal berharga dari Nabi Ibra-him dan Rasulullah saw., seperti akhlak, penyembahan, ikhlas, ketaatan dan takwa. Dengan demikian, orang yang ingin mendapatkan petunjuk para nabi dan mengikuti jalan mereka, dia bisa mendapatkannya dengan mengikuti petun-juk Ahlulbait as. dan meneladani mereka. Ziarah Jami’ah membawakan sebuah doa yang berbunyi: “Semoga Allah menggolongkanku bersama orang yang mengikuti jejak mereka, menempuh jalur mereka, dan mengambil petunjuk hidayah mereka”.
Sedih dan Gembira
Sedih dan gembira adalah kondisi kejiwaan dalam berwi-layah dan merupakan tanda-tanda cinta. Orang yang men-cintai seseorang secara alami akan sedih karena kesedihan kekasihnya, dan gembira karena kegembiraannya. Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Syi’ah kami adalah dari kami, apa-apa yang menyakitkan kami akan menyakitkan mereka dan apa-apa yang menggembirakan kami juga akan menggembirakan mereka”.[24]
Ada sebuah riwayat sahih dari Rayyan bin Syabib, paman Mu’tasim Abbasi dari ibunya; dia meriwayatkan dari Imam Ali Ar-Ridha as. yang berkata: “Wahai putera Syabib, apabila kamu ingin bersama kami pada derajat-derajat tertinggi di surga maka bersedihlah karena kesedihan kami, dan bergembiralah karena kegembiraan kami, dan hendak-nya kamu berwilayah kepada kami dan mencintai kami, karena sesungguhnya seseorang mencintai batu sekalipun, niscaya Allah akan mengumpulkannya bersama batu itu di Hari Kiamat nanti”.[25]
Masma’ meriwayatkan: “Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata kepadaku: ‘Wahai Masma’ kamu adalah orang Irak, apakah kamu mendatangi kuburan Husain bin Ali?’ Aku menjawab: “Tidak, aku dikenal dari kota Basrah dan di tengah kita ada orang-orang yang menuruti keingi-nan khalifah sekarang, musuh-musuh kita banyak dari berbagai kabilah; mulai dari mereka yang mencaci maki keluarga Nabi sampai yang lain. Aku tidak aman dari mereka yang kapan saja melaporkan keadaanku ini pada putera Sulaiman sehingga mereka pun mengejarku”.
“Maka beliau berkata kepadaku: “Apakah kamu ingat apa yang telah diperbuat terhadap Husain bin Ali?”
“Iya”, jawabku pendek.
Beliau berkata lagi: “Apakah kamu sedih?”
Aku menjawab: “Demi Allah iya, aku menangis karena-nya sehingga keluargaku melihat bekas tangisan itu pada diriku sampai-sampai aku meninggalkan makan sehingga tanpak kelesuan pada wajahku”.
“Imam as. berkata: ‘Semoga Allah merahmati tetesan air matamu! Sungguh kamu dari orang-orang yang gelisah karena kami, gembira karena kami gembira, sedih karena kami sedih, takut karena kami takut, aman karena kami aman. Sungguh kamu akan menyaksikan kehadiran ayah-ayahku untukmu, mereka mewasiatkan pada malaikat maut untukmu, dan apa yang mereka kabarkan baik kepadamu akan menjadi cendra matamu sebelum mati, malaikat maut akan lebih lembut dan sayang padamu daripada seorang ibu yang sayang pada anaknya’”.[26]
Aban bin Taghlib meriwayatkan dari Imam Ja’far Ash-Shadiq as.: “Nafas orang yang sedih karena ketertindasan kami adalah tasbih, kegelisahan karena kami adalah ibadah, dan menjaga rahasia kami adalah jihad fi sabilillah”.[27]
Kita adalah bagian dari keluarga ini; kita beranggota bersama mereka dalam keyakinan, asas-asas agama, cinta, kebencian, wilayah dan baro’ah. Tanda kecintaan dan wila-yah itu adalah kesedihan kita atas kesedihan mereka dan kegembiraan kita atas kegembiraan mereka.
Hanya pertanyaan yang muncul di sini: kenapa kita menampakkan kesedihan dan kegembiraan kita serta me-ngeluarkannya dari kondisi subjektif menjadi slogan dan syiar yang kita tunjukkan di ruang sosial di hadapan kawan dan lawan? Dan kenapa hadis-hadis Ahlulbait menekankan agar kita menampakkan kesedihan dan tangisan itu, khusus-nya dalam menangisi kesyahidan Imam Husain as.?
Bakar bin Muhammad Azdi meriwayatkan: “Berkata Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as. kepada Fudlail: “Apakah kalian duduk (membuat majlis) dan membicara-kan?”
Dia menjawab: “Iya, semoga aku menjadi tebusan untukmu!”
Beliau berkata: “Sungguh aku mencintai majlis-majlis itu. Maka hidupkanlah urusan kami, dan semoga Allah merahmati orang yang menghidupkan urusan kami!”[28]
Motif penampakkan dan penyi’aran itu dalam rangka menyatakan identitas iman kita; yaitu keanggotaan kita dalam peradaban, politik dan kultur Ahlulbait as. Penam-pakkan seperti inilah yang telah mampu menjaga kita sepanjang abad, dan melindungi kita dari gelombang pera-daban serta politik zalim musuh-musuh sampai detik ini.
Kebersamaan dan Keikutsertaan
Mungkin kata kebersamaan merupakan ungkapan terindah tentang keanggotaan dalam mazhab Ahlulbait as. Kebersa-maan dalam suka dan duka, kesulitan dan kemudahan, kedamaian dan peperangan. Kata-kata ini juga dimuat oleh ziarah Jami’ah dengan alunan syahdu yang menggairahkan seakan lirik-lirik dari lagu wilayah:
مَعَكُمْ مَعَكُمْ لَا مَعَ عَدُوِّكُمْ
“Bersama kalian, bersama kalian tidak bersama musuh kalian”.
Di doa ziarah yang lain disebutkan:
لَا مَعَ غَيْرِكُمْ
“Tidaklah bersama selain kalian”.
Kalimat ini lebih luas daripada kalimat pertama itu, yakni “Tidak bersama musuh kalian”.
Kesertaan Kultural
Kesertaan dan pengikutan adalah konsep yang luas dalam berwilayah; mencakup ikut serta dalam perang dan damai, ikut serta dalam cinta dan benci, ikut serta dalam pemikiran, budaya, makrifat dan hukum.
Kita bebas mengambil pengetahuan dari mana saja kita temukan, baik dari timur maupun dari barat. Akan tetapi, tidak dibenarkan kita mengambil peradaban dan makrifat kecuali dari sumber wahyu. Nah, Ahlulbait as. menyerap jernihnya makrifat dan peradaban dari sumber wahyu tersebut. Mereka adalah rumah kenabian, wadah kerasulan, tempat kunjung malaikat, alamat turunnya wahyu dan penyimpan ilmu sebagaimana disebutkan juga dalam ziarah Jami’ah.
Berbeda antara pengetahuan dan peradaban. Pengeta-huan tidak memiliki hasil yang secara langsung berhubu-ngan dengan perilaku manusia, kepercayaan atau akidah, metode berpikir, cara beribadah, relasi, pergaulan, gerakan, aksi sosial, aktivitas politik dan komunikasi serta hal-hal lain yang berkaitan. Adapun peradaban dan budaya memiliki hasil yang secara langsung berhubungan dengan perilaku manusia, intelektualitas, gaya hidup dan per-gaulan, ibadah, dan gambarannya tentang Allah, jagat raya serta manusia … dan seterusnya.
Ilmu pengetahuan banyak sekali seperti kedokteran, bisnis, ekonomi, akuntansi, matematika, teknik arsitektur, elektronika, ilmu atom, bedah, kedokteran, fisiologi, meka-nik, fisika dan lain sebagainya. Manusia bebas mengambil pengetahuan dari sumber ilmu manapun yang dia dapat-kan. Bahkan dari orang kafir sekalipun, dia bebas mem-pelajari ilmu pengetahuan, karena ilmu adalah senjata dan kekuatan. Dan seyogyanya orang mukmin menerima senjata dan kekuatan itu dari musuh mereka juga.
Adapun peradaban adalah seperti etika, irfan, filsafat, akidah, fikih atau hukum, doa, pendidikan, pembersihan, tradisi pergaulan, gaya hidup sosial, perjalanan spiritual, adab dan lain sebagainya.
Peradaban tidak seperti pengatahuan. Seyogyanya kita tidak mengambil peradaban dan makrifat kecuali dari sumber wahyu. Hal itu karena peradaban memiliki penga-ruh yang secara langsung berhubungan dengan perilaku manusia, pemahamannya, jalan hidupnya, pengalaman spiritualnya, hubungannya dengan Allah swt, hubungannya dengan masyarakat, hubunganya dengan diri sendiri dan dengan alam. Peradaban menjaga ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang tidak disertai peradaban dan budaya yang saleh serta terarah akan berubah fungsi menjadi alat dekonstruksi dan perusak. Sedangkan peradaban yang de-wasa dan berhidayah akan menjaga ilmu pengetahuan dan menjadikannya sebagai sarana efektif bagi umat manusia.
Al-Qur’an adalah kitab peradaban bagi kehidupan manusia. Allah swt. menurunkannya untuk mengarahkan pikiran manusia dan perilakunya. Al-Qur’an bukan buku ilmu pengetahuan, kendatipun ulama mendapatkan banyak ilmu di sana seperti astronomi, ilmu bintang, ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu binatang, kedokteran, fisiologi dan lain sebagainya. Namun, tetap saja al-Qur’an adalah kitab pera-daban dan hidayah. Salah bila kita menerimanya sebagai buku ilmu pengetahuan yang diturunkan oleh Allah swt. untuk mengajarkan ilmu fisika, kimia dan ilmu tumbuh-tumbuhan pada manusia. Tidak lain, al-Qur’an adalah kitab peradaban dan budaya yang diturunkan oleh Allah untuk membina manusia bagaimana hidup, bagaimana mengenal Tuhan, alam dan manusia, dan bagaimana menilai sesuatu, tradisi dan pemikiran. Allah swt. berfirman:
﴿ شَهرُ رَمَضَانَ الَّذِي اُنزِلَ فِيهِ القُرآنَ هُدًی لِلنَّاسِ وَ بَيِّنَاتٍ مِنَ الهُدَی وَ الفُرقَانَ ﴾
“Bulan Ramadhan yang padanya al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi umat manusia, dan bukti-bukti dari hidayah dan pemisah antara yang baik dan buruk”.[29]
﴿ وَ اذكُرُوا نِعمَةَ اللهِ عَلَيكُم وَ مَا اُنزِلَ عَلَيكُم مِنَ الكِتَابِ وَ الحِكمَةِ يَعِظُكُم بِهِ ﴾
“Dan ingatlah kalian pada nikmat Allah terhadap kalian, dan apa yang telah diturunkan pada kalian berupa kitab dan hikmah yang menasihati kalian denganya”.[30]
﴿ هذَا بَيَانٌ لِلنَّاسِ وَ هُدًی وَ مَوعِظَةً لِلمُتَّقِينَ ﴾
“Ini adalah keterangan bagi umat manusia dan petunjuk serta nasihat bagi orang-orang yang bertakwa”.[31]
﴿ يَا أيُّهَا النَّاسُ قَد جَاءَكُم بُرهَانٌ مِن رَبِّكُم وَ أنزَلنَا إلَيكُم نُورًا مُبينًا ﴾
“Wahai umat manusia sungguh telah datang pada kalian bukti dari Tuhan kalian, dan telah kami turunkan pada kalian cahaya yang menerangi”.[32]
﴿ وَ لَقَد جِئنَاهُم بِكِتَابٍ فَصَّلنَاهُ عَلَی عِلمٍ هُدًی وَ رَحمَةً لِقَومٍ يُؤمِنُونَ ﴾
“Dan sungguh telah kami datangkan pada mereka kitab yang telah kami perinci atas dasar ilmu sebagai hidayah dan rahmat bagi kaum yang beriman”.[33]
﴿ هذَا بَصَائِرُ مِن رَبِّكُم وَ هُدًی وَ رَحمَةٌ لِقَومٍ يُؤمِنُونَ ﴾
“Ini adalah saksi-saksi dari Tuhan kalian, dan hidayah serta rahmat bagi kaum yang beriman”.[34]
Oleh karena itu, al-Qur’an adalah kitab peradaban, cahaya kehidupan manusia, saksi kebajikan bagi manusia, petunjuk dan nasihat. Kendatipun dibenarkan bagi kita untuk me-ngambil ilmu pengetahuan dari sumber mana saja, dan dari tangan siapa pun walau dari tangan musuh kita sendiri. Akan tetapi tidak dibenarkan bagi kita untuk mengambil peradaban dan budaya kecuali dari media yang suci. Allah menyampaikannya kepada kita dari sumber wahyu, karena sesungguhnya kemungkinan salah dan penyimpangan da-lam peradaban adalah malapetaka yang besar, bukan seperti ilmu pengetahuan.
Rasulullah saw. adalah sumber maksum atau suci yang kepadanya wahyu diturunkan. Beliau menyampaikannya kepada kita, dan wahyu itu terputus setelah wafatnya. Akan tetapi, beliau mengangkat khalifah dari Ahlulbaitnya untuk kita; mereka adalah padanan-padanan al-Qur’an. Mereka telah mengambil peradaban dan makrifat dari Rasulullah saw., mereka telah mewarisi makrifat, budaya, batas-batas ketentuan Allah, halal dan haram, tradisi dan adab, akhlak, pokok agama dan cabangnya dari Rasulullah saw. Beliau melantik mereka sebagai tempat umat merujuk setelah keti-adaannya dalam segala urusan tersebut di atas. Beliau juga mengumumkan mereka sebagai padanan al-Qur’an dari generasi demi generasi sampai akhirnya Allah swt. mewariskan bumi dan seisinya pada mereka. Kandungan ini terdapat dalam hadis yang sahih, baik menurut Ahli Sunnah maupun Syi’ah, yaitu hadis yang dikenal dengan nama hadis Tsaqalain (dua pusaka). Di sana Rasulullah saw. me-merintahkan umat Islam untuk kembali pada al-Qur’an dan Ahlulbaitnya setelah kepergian beliau sampai Hari Kiamat. Beliau menetapkan bahwa berpegang teguh pada dua pusaka itu menjamin manusia keamanan dari kesesatan dan penyimpangan:[35]
إنِّي تَارِكٌ فِيكُمُ الثَّقَلَينِ كِتَابَ اللهِ وَ عِترَتِي أهلَ بَيتِي وَ انَّهُمَا لَن يَفتَرِقَا حَتَّی يَرِدَا عَلَيَّ الحَوضَ َما إن تَمَسَّكتُم بِهِمَا لَن تَضِلُّوا بَعدِي
“Sesungguhnya aku tinggalkan dua pusaka pada kalian, yaitu kitab Allah dan keluargaku, Ahlulbaitku, dan sesungguhnya dua pusaka itu tidak akan berpisah sam-pai keduanya menjumpaiku di telaga. Selama berpegang teguh pada keduanya, kalian tidak akan pernah tersesat setelahku”.
Hadis ini diriwayatkan dengan redaksi-redaksi yang mirip antara satu dengan yang lain dalam referensi-referensi yang ada. Dan dari perbedaan literal hadis ini, kita pahami bahwa Rasulullah saw. telah mengulangnya beberapa kali di berbagai tempat dan kesempatan, salah satunya di Ghadir Khum (lembah Khum) seperti yang disinyalir oleh Shahih Muslim menurut riwayat Zaid bin Arqam.
Rasulullah saw. juga bersabda:
مَثَلُ أهلِ بَيتِي مَثَلُ سَفِينَةِ نُوحٍ مَن رَكِبَهَا نَجَا وَ مَن تَخَلَّفَ عَنهَا غَرِقَ
“Perumpamaan Ahlulbaitku adalah bahtera Nabi Nuh, barang siapa yang menaikinya akan selamat dan barang siapa tertinggal darinya akan tenggelam”.[36]
Beliau juga bersabda:
أهلُ بَيتِي أمَانٌ لِاُمَّتِي مِنَ الإختِلَافِ
“Keluargaku adalah jaminan bagi umatku dari perse-lisihan”.[37]
Begitu pula hadis-hadis lain yang secara jelas meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. senantiasa mewasiatkan umat Islam setelahnya agar kembali pada Ahlulbaitnya dan mengambil ajaran-ajaran agama, makrifat, batas-batas ketentuan Allah, sunnah nabi, halal dan haram dari mereka as. Fairuz Abadi mengumpulkan hadis-hadis ini dalam kitabnya yang berharga Fadlail Khamsah min Shihah Sittah (keutamaan-keutaman lima manusia dari enam kitab Shihah). Karena itu, kita tidak perlu lagi membahasnya panjang lebar.
Dari uraian di atas, jelas sudah bahwa Ahlulbait as. adalah ‘wadah kerasulan, tempat kunjung malaikat, alamat turunnya wahyu, khazanah ilmu Illahi, lentera kegelapan, panji ketakwaan, pemimpin hidayah, pewaris para nabi, bukti-bukti Allah terhadap penghuni dunia”, sebagaimana pula termuat dalam ziarah Jami’ah.
Disebutkan juga di sana bahwa mereka adalah “tempat-tempat makrifat pada Allah, tambang-tambang hikmah Allah, pemikul kitab Allah, mereka adalah bukti, shirat, cahaya dan burhan Allah”.
Maka, orang yang berpisah dari mereka pasti masuk jalur kesesatan, cepat ataupun lambat, karena shirat Allah tidak lebih dari satu dan tidak beragam. Orang yang mena-paki jalan mereka menuju Allah akan memperoleh hidayah, dan orang yang beralih dari mereka dalam suluk tidak akan pernah mencapai apa yang Dia kehendaki. Sungguh Rasulu-llah telah berulang kali mengumumkan hal ini di berbagai tempat dan kesempatan. Yang kita sebutkan di sini hanya satu contoh dari semua itu, yaitu hadis Tsaqalain ‘dua pusaka’; “Yang apabila kalian berpegang teguh pada dua pusaka itu niscaya kalian tidak akan sesat setelahku”.
Tidak seperti yang mereka katakan. Masalah ini tidaklah termasuk dalam medan ijtihad sehingga sebagian orang terarah secara benar dan sebagian yang lain tersesat, kemudian Allah memberi dua pahala pada mereka yang benar dan memberi satu pahala pada yang salah.
Maka dari itu, tidak dibenarkan bagi seseorang untuk berijtihad di saat ada teks yang jelas, dan sungguh Rasu-lullah saw. telah bersabda secara nash (teks harfiah yang jelas, tegas, tidak ambigu atau berkemungkinan lebih dari satu arti)[38] agar umat manusia merujuk Ahlulbaitnya dalam segala perkara yang mereka perselisihkan setelah beliau.
Dalam ziarah Jami’ah disebutkan bahwa: “Yang benci kalian adalah pembangkang, yang bersama kalian adalah gabung, orang yang lalai akan hak kalian adalah binasa, dan kebenaran bersama kalian, di dalam kalian, dari kalian, dan untuk kalian. Kalianlah tambang kebenaran dan keputusan akhir ada pada kalian, ayat-ayat Allah di sisi kalian, cahaya dan burhan Allah ber-sama kalian”.
Siapa saja yang hendak menuju Allah dan mengingin-kan jalan, hidayah dan sabil-Nya, ia harus mengambil semua itu dari Ahlulbait as. dan mengikuti jalan mereka, karena Ahlulbait as. tidak mengajak selain kepada Allah, dan tidak menunjukkan kecuali kepada-Nya.
Disebutkan dalam ziarah Jami’ah: “Kepada Allah kalian mengajak, kepada-Nya kalian tunjukkan, untuk-Nya kalian pasrahkan, sesuai perintah-Nya kalian bertindak, ke jalan-Nya kalian arahkan, dan atas dasar firman-Nya kalian menghakimi. Sungguh bahagia orang yang berwilayah pada kalian, dan celakalah orang yang memusuhi kalian, meru-gilah orang yang mengingkari kalian, tersesatlah orang yang berpisah dari kalian, menanglah orang yang berpegang teguh pada kalian, amanlah orang yang berlindung pada kalian, selamatlah orang yang membenarkan kalian dan terarahlah orang yang memegang erat kalian”.
Ketaatan
Inti sari wilayah adalah ketaatan dan kepasrahan. Ketaatan akan bernilai positif apabila dilakukan pada tempatnya, dan sebaliknya akan bernilai negatif apabila bukan pada tem-patnya. Begitu pula maksiat atau pembangkangan dan penolakan bernilai positif apabila terhadap tiran, dan ber-nilai negatif apabila terhadap Allah, Rasulullah dan Ahlul-baitnya sebagai pemimpin urusan Muslimin.
Ayat ketujuh belas dari surah Az-Zumar mengumpul-kan dua masalah di atas dalam satu firman sebagai berikut:
﴿ وَ الَّذِينَ اجتَنَبُوا الطَّاغُوتَ أن يَعبُدُوهَا وَ أنَابُوا إلَی اللهِ لَهُمُ البُشرَی﴾
“Orang-orang yang menghindari pengabdian dari pengu-asa zalim dan kembali kepada Allah maka bagi mereka berita gembira”.
Dalam surah an-Nahl disebutkan:
﴿ أنِ اعبُدُوا اللهَ وَ اجتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ﴾
“Dan hendaknya kalian menyembah Allah dan meng-hindari penguasa zalim”.[39]
Taat dan ibadah, penolakan dan penghindaran adalah satu hal, Allah telah memerintahkan kita untuk taat kepada-Nya, kepada Rasul-Nya, dan kepada wali amr (imam maksum) setelah Rasul-Nya:
﴿ أطِيعُوا اللهَ وَ أطِيعُوا الرَّسُولَ وَ اُولِي الأمرِ مِنكُم ﴾
“Taatlah pada Allah dan taatlah pada Rasulullah serta ulul amr (pemimpin-pemimpin Islam) dari kalian”.
Dia juga memerintahkan kita agar menolak orang-orang zalim dan melawan mereka.
﴿ يُرِيدُونَ أن يَتَحَاكَمُوا إلَی الطَّاغُوتِ وَ قَد اُمِرُوا أن يكفُرُوا بِه ﴾
“Mereka ingin mempercayakan pemerintahan kepada pemimpin zalim padahal mereka diperintahkan untuk mengingkarinya”.[40]
Ahlulbait as. adalah para wali amr tersebut setelah Rasu-lullah saw. yang harus dipatuhi dan pasrah terhadap apa yang mereka tuntut. Mereka adalah “pemimpin-pemimpin hamba Allah dan pilar negara”, dan mereka adalah “bukti-bukti Allah atas penghuni dunia”.
Tauhid dalam Ketaatan
Kita memiliki iman tertentu. Tidak ada iman yang lebih tinggi dari itu, yaitu bahwa ketaatan hanya untuk Allah semata, dan sama sekali tidak ada ketaatan untuk selain Allah kecuali dengan seijin dan perintah Dia, dan sesung-guhnya ketaatan kepada Rasulullah dan keluarganya adalah termasuk ketaatan kepada Allah swt.
مَن أطَاعَكُم فَقَد أطَاعَ اللهَ وَ مَن عَصَاكُم فَقَد عَصَی اللهَ
“Barangsiapa yang taat pada kalian sungguh dia taat pada Allah dan barang siapa membangkang pada kalian sungguh dia membangkang pada Allah”.[41]
Pasrah
Salah satu bukti ketaatan adalah pasrah, yaitu kondisi kepatuhan yang seutuhnya tanpa perlawanan dan penola-kan sedikitpun. Dan salah satu kepasrahan yang paling menonjol adalah kepasrahan hati: “Dalam hal itu aku pasrah pada kalian, kuserahkan hatiku sepenuhnya untuk kalian dan ku-ikutkan pendapatku pada kalian”.[42]
Damai dengan Siapa yang Damai dengan Kalian dan Perang dengan Siapa yang Memerangi Kalian
Damai dan perang juga merupakan dua wajah wilayah dan baro’ah. Wilayah bukan hanya damai dengan para wali amr dan pemimpin Islam, melainkan ada dua kelanjutan yang sulit yaitu damai dengan mereka dan dengan siapa saja yang damai dengan mereka. Bahkan ini tidak cukup hanya dengan mereka saja, tetapi juga perang melawan siapa saja yang memerangi mereka as.
Pengertian yang dalam akan wilayah dan baro’ah ini, “silmun li man salamakum wa harbun li man harabakum”, akan mengatur peta politik masyarakat dalam sistem yang baru menuju kawasan damai dan kawasan perang. Dan bila saja diteliti lebih cermat, kata harb berarti pemisahan diri dari sesuatu, bukan pertempuran, tentu beda antara pemisahan atau penghindaran diri dari sesuatu dengan pertempuran.
Sesungguhnya hubungan sosial kita tidak tersistem sesuai dengan maslahat material dan politik, melainkan atas dasar wilayah dan baro’ah. Maka dari itu, ada kalanya kita memutuskan hubungan dari kerabat atau tetangga sendiri, sementara kita mempererat hubungan kita dengan orang-orang yang jauh secara ruang dan waktu.
Dalam ziarah Asyura disebutkan bahwa:
إنِّي سِلمٌ لِمَن سَالَمَكُم وَ حَربٌ لِمَن حَارَبَكُم وَ وَلِيٌّ لِمَن وَالَاكُم وَ عَدُوٌّ لِمَن عَادَاكُم
“Sesungguhnya aku damai dengan siapa saja yang damai pada kalian, aku putus dari siapa saja yang memutuskan hubungan dengan kalian (perang), aku mendukung dan mencintai siapa yang mendukung kalian, dan aku musuh bagi siapa saja yang memusuhi kalian”.
Ada sebuah hadis musnad[43] dari Ammar yang meriwayatkan Rasulullah saw. bersabda tentang Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as.: “Sesungguhnya dia dariku dan aku darinya … melawan dia berarti melawanku, damai dan pasrah padanya berarti pasrah padaku, dan pasrah padaku berarti pasrah pada Allah”.
Tirmidzi dalam Shahihnya meriwayatkan dari Zaid bin Arqam bahwa Rasulullah saw. bersabda tentang Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as., Siti Fatimah, Imam Hasan dan Imam Husain sebagai berikut: “Aku lawan mereka yang menentang kalian, dan damai dengan mereka yang damai dengan kalian”.[44]
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah dalam Sunan, Rasulullah bersabda: “Aku damai dengan siapa saja yang damai dengan kalian dan lawan bagi siapa saja yang melawan kalian”.[45] Hadis ini diriwayatkan juga oleh Hakim dalam Mustadrak[46]. Begitu pula Ibnu Atsir Jazri dalam Usud ul-Ghabah,[47] Muttaqi dalam Kanzul Ummal,[48] Suyuthi dalam Durul Mantsur ketika menafsirkan ayat Tathhir dari surah al-Ahzab, juga Haitsami dalam Majma’ Zawa’id..[49]
Inilah arti tauhid dalam perlawanan dan damai. Maka perlawanan terhadap Ahlulbait as. dan damai dengan mere-ka berarti perlawanan terhadap Rasulullah saw. dan damai dengan beliau. Dan, perlawanan terhadap beliau dan damai adalah perlawanan terhadap Allah dan pasrah pada-Nya, begitulah seterusnya unsur-unsur wilayah dan baro’ah yang merupakan kategori pengesaan Tuhan.
Pembelaan dan Penuntutan
Masalah wilayah adalah masalah yang berat. Ia adalah sikap damai disertai perlawanan baik dalam kemudahan maupun dalam kesulitan. Andaikan masalah wilayah terbatas hanya pada kedamaian dan kemudahan niscaya ia sebagai perkara yang ringan. Akan tetapi, salah satu tuntutan wilayah yang berat ini adalah pertolongan dan penuntutan hak. Wilayah tidak akan berarti tanpa pembelaan sebagaimana Allah swt. berfirman:
﴿ وَ الَّذُينَ آوَوا وَ نَصَرُوا اُولئِكَ بَعضُهُم أولِيَاءُ بَعضٍ ﴾
“Orang-orang yang kembali dan membela; sebagian adalah wali bagi sebagian yang lain”.[50]
Wilayah yang benar juga tidak terlepas dari penuntutan balas. Wilayah yang tidak menugaskan pemiliknya untuk bertempur, melawan, memutus hubungan, usaha dan meng-hadapi bahaya bukanlah wilayah yang sebenarnya, dan wilayah seperti itu tidak lebih hanya sebuah gambar saja.
Kita berharap dan meminta pada Allah dalam ziarah Asyura agar Dia memberi kesempatan kepada kita akan penuntutan balas darah-darah suci yang tumpah secara terzalimi di padang Karbala:
فَاسألُ اللهَ الّذي أكرَمَ مَقَامَكَ وَ أكرَمَنِي بِكَ أن يَرزُقَنِي طَلَبَ ثَارِكَ مَعَ إمَامٍ مَنصُورٍ مِن أهلِ بَيتِ مُحَمَّدٍ صَلَّی اللهُ عَلَيهِ وَ آلِه
“Maka aku memohon pada Allah Yang telah memuliakan kedudukanmu dan memuliakanku karena dirimu agar Dia memberiku rejeki menuntut balas darahmu bersama imam yang tertolong dari Ahlulbait Rasululullah saw.”
Disebutkan juga di sana yang artinya: “Dan aku memohon Dia agar menyampaikanku pada kedudukan yang termulia (maqom mahmud) bagi kalian di sisi Allah, dan semoga Dia memberiku rejeki menuntut balas darah kalian bersama imam pembawa hidayah yang akan menang dan berbicara secara benar dari Ahlulbait as.”.
Dan di ziarah Jami’ah kita mengikrarkan secara jelas akan kesiapan kita yang seutuhnya dalam membela: “Dan pembelaanku terhadap kalian sudah siap”.
Cinta dan Kasih Sayang
Unsur wilayah terhadap Ahlulbait yang berikutnya adalah cinta dan kasih sayang. Turun satu firman Allah mengenai masalah ini yang dimuat oleh al-Qur’an dan senantiasa dibaca oleh orang, yaitu:
﴿ قُل لَا أسألُكُم عَلَيهِ أجرًا إلَّا المَوَدَّةَ فِي القُربَی ﴾
“Katakanlah—wahai Muhammad—aku tidak meminta kalian upah kecuali cinta kasih terhadap kerabatku”.[51]
Maksud dari kerabat Rasulullah adalah Ahlulbait beliau, dan tidak ada perselisihan pendapat dalam hal ini.
Inilah cinta kasih yang wajib yang diisyaratkan oleh teks ziarah Jami’ah: “Dan bagi kalian cinta kasih yang wajib dan kedudukan-kedudukan yang sangat tinggi”. Taat dan cinta merupakan ruh wilayah itu sendiri. Pernah suatu saat Imam Ja’far Ash-Shadiq as. ditanya tentang cinta; apakah cinta termasuk agama? Beliau menjawab: “Tiada lain agama adalah cinta, dan andaikan seseorang mencintai batu nisca-ya Allah akan mengumpulkannya bersama batu itu di Hari Kiamat nanti”.
Telah disebutkan berulang kali sebelum ini, cinta juga masuk dalam kategori tauhid. Barang siapa mencintai Allah dia harus mencintai Rasulullah dan Ahlulbaitnya. Demikian juga sebaliknya, orang yang mencintai Rasulullah saw. dan Ahlulbaitnya, maka dia mencintai Allah swt.
Rasulullah saw. bersabda tentang bagian pertama di atas: “Cintailah aku karena cinta Allah, dan cintailah Ahlul-baitku karenca cinta aku”.[52] Dan mengenai bagian kedua cinta beliau menyebutkan: “Barang siapa mencintai kalian sungguh dia telah mencintai Allah, dan barang siapa yang membenci kalian sungguh dia telah membenci Allah”.[53]
Begitu pula, orang yang mencintai Allah tentu mencintai orang-orang mukmin karena cinta mereka pada Allah, dan orang yang mencintai orang-orang beriman pasti mencintai Allah. Sudah barang tentu, seyogyanya kecintaan kepada Allah berada pada tingkat yang tertinggi dan terkuat dalam diri manusia. Dan hendaknya cinta kepada Allah mendomi-nasi kehidupan manusia sehingga dia tidak lagi mencintai yang lain; hanya di jalan Allah.
Tentang bagian pertama di atas Allah berfirman sebagai berikut:
﴿ قُل إن كَانَ آبَاؤُكُم وَ أبنَاؤُكُم... أحَبَّ إلَيكُم مِن اللهِ وَ رَسُولِهِ وَ جِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّی يَأتِيَ اللهُ بِأمرِهِ وَ اللهُ لَا يَهدِي القَومَ الفَاسِقِينَ﴾
“Katakanlah –wahai Muhammad- apabila orang-orang tua dan anak-anak kalian serta… lebih kalian cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya serta jihad di jalan-Nya maka nantikanlah sampai Allah mendatangkan perkara-Nya, dan Allah tidak memberi petunjuk pada kaum yang fasiq”.[54]
﴿ وَ الَّذِينَ آمَنُوا أشَدُّ حُبًّا لِلّه ﴾
“Dan orang-orang yang beriman, mereka sangat lebih mencintai Allah”.[55]
Dan disebutkan juga dalam do’a sebagai berikut:
اَللّهُمَّ اجعَل حُبَّكَ أحَبَّ الأشيَاءِ إلَيَّ وَ اجعَل خَشيَتَكَ أخوَفَ الأشيَاءِ عِندِي وَاقطَع عَنِّي حَاجَات الدُّنيَا بِالشَّوقِ إلَی لِقَائِكَ
“Ya Allah, jadikanlah cinta padamu sebagai sesuatu yang paling kucintai dalam diriku, jadikanlah takut kepadamu sebagai sesuatu yang paling kutakuti dalam diriku, putuslah dariku segala ketergantungan pada dunia dengan kerinduan untuk bertemu denganmu”.[56]
Adapun mengenai bagian kedua dari cinta tersebut di atas, terdapat banyak sekali hadis Nabi saw. dan Ahlulbait yang menjelaskannya. Termasuk di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan dari Imam Muhammad Al-Baqir as. dari Rasu-lullah saw. bersabda: “Sungguh orang yang mencintai di jalan Allah, benci di jalan Allah, memberi di jalan Allah dan mencegah karena Allah, dia tergolong sahabat dekat Allah yang beriman di sisi-Nya. Sadarlah bahwa apabila orang-orang mukmin saling mencintai di jalan Allah swt. saling bersahabat di jalan Allah, sungguh mereka seperti satu tubuh; jika salah satunya mengeluhkan bagian tertentu yang sakit, yang lain turut merasakan sakit itu”.[57]
Ada dua macam cinta: cinta sederhana yang dangkal, dan cinta sadar yang mengalir dari cinta kepada Allah swt. Cinta sederhana tidak begitu berharga, baik dalam sejarah maupun dalam kehidupan manusia dan nasibnya. Cinta itu tidak lain adalah hawa nafsu yang menimpa seseorang. Adapun cinta sadar yang berkembang dari cinta pada Allah adalah cinta yang kita perbincangkan tentang cinta kepada Ahlulbait as.. Cinta ini bukanlah cinta biasa yang dangkal sebagaimana dirasakan manusia dalam kehidupan mereka pada umumnya. Cinta sadar kepada Ahlulbait as. adalah cinta yang berawal dari cinta Allah swt.
Cinta sadar ini memiliki beberapa kriteria yang menon-jol sebagai berikut:
Kriteria pertama: cinta sadar tidak terpisah dari baro’ah dan perlawanan. Semua cinta bersisipan dengan permusu-han dan kebencian, rela dengan amarah, wilayah dengan baro’ah dan penentangan. Adapun cinta tanpa permusuhan dan kebencian hanyalah cinta sederhana yang dangkal.
Ada seorang lelaki menemui Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. dan berkata: “Aku mencintaimu dan mencintai musuh-musuhmu”. Maka beliau berkata padanya: “Adapun sekarang kamu juling dan bermata satu (kamu melihat dengan pandangan yang kurang), kamu antara dua pilihan; buta atau melihat”.
Disebutkan juga dalam ziarah: “Aku berwilayah pada kalian dan pada wali-wali kalian, dan aku benci pada mu-suh kalian serta melawannya”.
Kriteria kedua: cinta sadar memiliki perpanjangan dan perluasan di tengah masyarakat sebagaimana dia adalah kelanjutan dari cinta Allah, karena sesungguhnya cinta pada Allah meluas pada mereka dan juga pada kekasih mereka; “berwilayah pada kalian dan pada wali atau kekasih ka-lian”. Tidak mungkin manusia mencintai seseorang di jalan Allah tapi tidak mencintai orang yang dicintai-Nya.
Kriteria ketiga: cinta sadar akan berevolusi menjadi sikap praktis di medan peperangan dan perdamaian; “aku damai dengan siapa saja yang damai bersama kalian, dan aku melawan siapa saja yang melawan kalian”.
Kriteria keempat: cinta pada Allah dan benci di jalan Allah menggariskan peta politik yang sempurna dalam hubungan sosial, baik konstruktif atau destruktif, damai atau permu-suhan, penyambungan atau pemutusan hubungan di tengah masyarakat yang luas secara terperinci.
Pembenaran dan Pembatilan
Wilayah kepada Ahlulbait as. mengharuskan kita untuk melindungi kehormatan budaya dan khazanah ilmu mereka. Oleh karena itu, kita harus membenarkan apa yang mereka benarkan dan menyalahkan apa yang mereka salahkan.
Area peradaban dan pemikiran dalam sejarah Ahlulbait as. merupakan sasaran utama bagi serangan yang dilan-carkan musuh-musuh mereka. Dan para faqih Ahlulbait as. dan ulama mazhab ini bertanggung jawab menjaga ajaran, budaya, sistem hukum dan khazanah mereka demi Islam.
Pembenaran dan pembatilan dalam kerangka ini akan terealisasi dalam bentuk jihad, perlawanan, damai dan peperangan, sebagaimana dilukiskan juga oleh ziarah Jami’ah: “Aku damai dengan siapa saja yang damai dengan kalian, aku lawan siapa saja yang melawan kalian, aku pembenar apa yang kalian benarkan dan aku penyalah apa yang kalian batilkan”.
Pusaka dan Penantian
Wilayah dan berwilayah senantiasa berlangsung sepanjang sejarah sampai masa depan. Jaman tidak akan pernah mengalami kekosongan dari wilayah sejak awal sejarah manusia, yaitu Nabi Adam dan Nabi Nuh as. sampai penghujung sejarah nanti di saat Imam Mahdi af, putera Nabi, muncul kembali dan memenuhi muka bumi dengan keadilan serta mewarisi bumi dengan mengambilnya dari tangan orang-orang yang zalim. Semua itu adalah realisasi dari janji Allah swt. sebagaimana dimuat dalam Taurat dan Injil.
﴿وَ لَقَد كَتَبنَا فِي الزَّبُورِ مِن بَعدِ الذِّكرِ أنَّ الأرضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ﴾
“Telah Kami tetapkan dalam Zabur setelah kami tetapkan juga dalam Taurat, bahwa bumi akan diwarisi oleh hamba-hambaku yang saleh”.[58]
Kata dzikr dalam ayat itu ialah Taurat. Ini janji Allah dalam Taurat, Zabur dan al-Qur’an, bahwa Ahlulbait as. mewarisi para nabi dan orang-orang saleh sepanjang sejarah. Mereka mewarisi shalat, puasa, zakat, haji dan dakwah kepada Allah. Ziarah Warits kepada Imam Husain as. mengutarakan dengan baik kepewarisan ilmu, peradaban, budaya, jihad dan risalah untuk beliau dari para nabi as. Ziarah ini memaparkan konsep peradaban dan khazanah yang dalam:
“Salam bagimu—Imam Husain—wahai pewaris Adam, pilihan Allah. Salam bagimu wahai pewaris Nuh, nabi Allah. Salam bagimu wahai pewaris Ibrahim, kekasih Allah. Salam bagimu wahai pewaris Musa, kalimullah. Salam bagi-mu wahai pewaris Isa, ruh Allah…!”
Pewarisan ini terus berdenyut di sepanjang nadi sejarah semenjak Nabi Adam dan Nuh as. sampai Rasulullah saw. dan Ali bin Abi Thalib as. Sedangkan Imam Husain as. di padang Karbala, di Hari Asyura, telah mengejewantahkan semua warisan dan pusaka tersebut; warisan khazanah, kultur, peradaban dan jihad yang tegar.
Maka dari itu, seperti yang kita amati di atas, wilayah memiliki gugusan historis yang tertanam sangat dalam di lubuk sejarah. Ahlulbait as. adalah orang yang mewarisi perjalanan panjang dan saleh ini dari para nabi. Sementara kita mewarisi sejarah ini dari Ahlulbait as.
Kita mewarisi shalat, puasa, haji, zakat, amar makruf dan nahi munkar, jihad, dakwah pada Allah, zikir, ikhlas, dan seluruh nilai-nilai tauhid yang lain. Dengan demikian kita tidak menjadi seperti orang yang difirmankan Allah:
﴿ فَخَلَفَ مِن بَعدِهِم خَلفٌ اَضَاعُوا الصَّلَاةَ ﴾
“Maka datang generasi berikutnya setelah mereka yang menghilangkan shalat”.[59]
Melainkan kita senantiasa menjaga dan mendirikan shalat dan mengajak orang lain kepadanya, sebagaimana ulama-ulama dulu kita menjaganya sebelum kita, dan semoga kita tergolong orang yang menerima firman Allah swt. ini:
﴿ وَأمُر أهلَكَ بِالصَّلَاةِ وَ اصطَبِر عَلَيهَا ﴾
“Dan perintahkan keluargamu untuk shalat dan sabar-lah untuk itu”.[60]
Maka itu, kita akan senantiasa menjaga warisan Ilahi yang agung ini dan yang telah kita warisi dari salaf kita yang saleh, dari generasi ke generasi, baik di dalam diri kita sendiri maupun di tengah keluarga dan masyarakat. Inilah perjalanan wilayah sepanjang sejarah dan ini adalah warisan kita dari sejarah masa lalu.
Di samping itu, wilayah juga memiliki perjalanan ke masa depan menusuk sampai ke era mendatang, di saat kita menantikan munculnya Imam Mahdi as. dan menunggu kelapangan serta kemenangannya yang besar. Yaitu sebuah revolusi universal sebagaimana diberitakan oleh Allah kepa-da kita dalam al-Qur’an juga dalam Taurat serta Zabur:
﴿وَ لَقَد كَتَبنَا فِي الزَّبُورِ مِن بَعدِ الذِّكرِ أنَّ الأرضَ يَرِثُها عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ﴾
“Telah Kami tetapkan dalam Zabur setelah kami tetap-kan juga dalam Taurat, bahwa bumi akan diwarisi oleh hamba-hambaku yang saleh”.
Penantian tidak berarti pasif seperti orang yang menunggu gerhana bulan atau matahari, akan tetapi aktif dan positif sebagaimana yang tampak dari teks-teks yang menjelaskan konsep penantian tersebut; yaitu penyiapan secara politis, kultur dan aktif di bumi ini demi mempersiapkan tanah air dan masyarakat untuk kehadiran Imam Mahdi af. sebagai pemimpin revolusi universal yang besar.
Berdasarkan arti positif, penantian ialah amar makruf dan nahi munkar, menyeru kepada Allah, berjihad melawan orang-orang dzalim, mengangkat kalimat Allah, menegak-kan shalat, nilai-nilai Ilahi di bumi dan hal-hal lain yang berperan dalam persiapan revolusi universal yang besar.
Ziarah Jami’ah juga mengisyaratkan aspek masa depan dari wilayah ini: “Aku menanti pemerintahan dan negara kalian”, “Sampai akhirnya Allah menghidupkan agama-Nya dengan kalian, mengembalikan kalian di hari-hari-Nya, memenangkan kalian demi keadilan-Nya, dan memudah-kan kalian di muka bumi-Nya”. Kalimat terakhir ini mengacu pada bagian pertama surah al-Qashash:
﴿وَ نُرِيدُ أن نَمُنَّ عَلَی الَّذِينَ استُضعِفُوا فِي الأرضِ وَ نَجعَلَهُم أئِمَّةً وَ نَجعَلَهُمُ الوَارِثِينَ ﴾﴿ وَ نُمَكِّنَ لَهُم فِي الأرضِ... ﴾
“Dan kami hendak memberi anugerah pada mereka yang tertindas di bumi dan kami jadikan mereka sebagai pemimpin serta kami jadikan mereka pewaris, dan kami mudahkan bagi mereka di muka bumi…”.[61]
Penantian ini mengkristal secara praktis dalam gerakan, kesungguhan, kesabaran, ketegaran, penghancuran, pemba-ngunan, upaya ke arah penegakan agama Allah di muka bumi, dan persiapan untuk berdirinya daulat Ilahi di atas bumi. Caranya ialah mengajak kepada Allah, memerin-tahkan yang makruf dan mencegah yang munkar, meme-rangi kebatilan dan kemunkaran serta berjuang melawan pemerintahan dan pemimpin yang kafir.
Berikut ini nada syahdu dari ratapan kaum mukmin karena berpisah dari imam dan menanti kedatangannya:
Di manakah baqiyyatullah yang tidak akan pernah kosong dari keluarga pemberi hidayah
Di manakah dia yang dipersiapkan untuk menumpas pangkal kedzaliman?
Di manakah dia yang dinanti untuk meluruskan yang simpang?
Di manakah dia yang diharapkan untuk memusnah-kan kezaliman dan kejahatan?
Di manakah dia yang disimpan untuk menghidupkan kewajiban dan sunnah?
Di manakah dia yang dipilih untuk mengembalikan agama dan syariat?
Di manakah dia yang didambakan untuk menghidup-kan kitab dan batas-batasnya?
Di manakah dia sang penghidup ajaran-ajaran agama dan penganutnya?
Di mana dia penghantam kekuatan manusia-manusia jahat?
Di manakah dia sang penghancur kesyirikan dan kemunafikan?
Di manakah dia sang pemusnah kaum fasik, durjana dan tiran?
Di manakah dia sang pemutus jaring kebohongan dan fitnah?
Di manakah dia sang pemusnah kaum penerjang, sang pencabut akar para perusak, sesat dan kafir?
Di manakah dia yang memuliakan para wali dan menghinakan semua lawan?
Di manakah dia sang penghimpun kata takwa?
Di manakah dia sang gerbang Allah yang harus dimasuki?
Di manakah dia sang pemilik hari kejayaan dan pengibar bendera hidayah?
Di manakah dia sang penyusun damai dan rela?
Di manakah dia sang penuntut balas para nabi dan anak-anak mereka?
Di manakah dia sang penuntut darah Husain yang terbunuh di Karbala?
Di manakah dia yang dibantu melawan para pem-bangkang dan penebar fitnah?
Di manakah orang terdesak yang dikabulkan jika berdoa?
Di manakah dia sang putera Nabi Mustafa, putera Ali Murtadha, putera Khadijah yang mulia, putera Fathimah yang agung?”[62]
Penantian adalah gabungan antara ratapan syahdu dan praktek yang serius dalam amar makruf dan nahi munkar serta jihad melawan orang-orang zalim demi memper-siapkan bumi untuk kemunculan, kelapangan dan kebang-kitan Imam Mahdi af.
Ratapan syahdu dalam hati orang mukmin akan ber-ubah menjadi tindakan, gerakan, usaha keras, revolusi, kebangkitan, kesabaran, keteguhan, perlawanan, ketabahan, perjuangan, dakwah, penghancuran dan pembangunan. Semua itu untuk mempersiapkan bumi untuk kemunculan Imam Mahdi af. dan kebangkitannya dalam rangka mendiri-kan kedaulatan Ilahi yang universal sebagaimana dijanjikan oleh Allah dalam al-Qur’an: “wa laqod katabna fiz zaburi min ba’diz dzikri”.
Sudah barang tentu, kebangkitan Imam Mahdi af. akan berlangsung pasca generasi yang melapangkan bumi untuk kemunculan dan kebangkitan tersebut. Hal ini dipertegas oleh teks-teks Islam yang mutawatir. Generasi itulah yang mempersiapkan bumi sehingga Imam Mahdi af. muncul. Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa penantian adalah gerak mempercepat persiapan tersebut dengan cara-cara: amar makruf, nahi munkar, jihad, gerakan dan amal.
Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, wilayah adalah pusaka sekaligus juga penantian. Pusaka, karena wilayahlah yang menarik kita ke perjalanan para nabi dan orang-orang saleh sepanjang sejarah silam. Dan penantian, karena wilayahlah mengajak kita menuju harapan cerah yang akan dibuka lebar oleh Allah di hadapan kita di masa yang akan datang. Namun begitu, harapan itu harus selalu dibarengi dengan usaha keras, jihad dan amal sehingga dengan ijin Allah menjadi kenyataan, tidak sekedar menanti dan menunggu tanda-tanda kemunculan Imam Mahdi af.
Ziarah
Elemen dan pengaruh lain dari wilayah adalah ziarah. Yang dimaksud dengan ziarah di sini adalah kondisi yang sudah jelas saat kita menjalin hubungan dengan Ahlulbait as. Kita komitmen pada mereka, mengajak orang lain agar mengi-kuti mereka. Ziarah dalam ruang lingkup wilayah memuat budaya, tradisi, dan teks-teks yang selalu kita baca dan kaya akan pemikiran serta konsep peradaban tentang wilayah yang mendalam dan luas dalam kehidupan manusia.
Tujuan dari ziarah adalah solidarisasi organik dan ku-ltural melalui pembinaan yang terarah sepanjang sejarah. Dan kita adalah bagian dari perjalanan yang sarat dengan nilai-nilai tauhid ini; penuh ikhlas, takwa, shalat, jihad, zakat, amar makruf, zikir, syukur, sabar, kekuatan dan…
Kita adalah bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan penuh berkah ini, yang berawal dari Ahlulbait as. dan bersambung sampai ke gerakan para nabi; mulai dari Nabi Adam sampai Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan nabi-nabi yang lain … Ya, inilah bagian dari gugusan panjang, bagian dari pergulatan sejarah antara Islam dan Jahiliyah, antara tauhid dan syirik pada setiap fase perjalanan, dan bagian dari pohon mulia yang akarnya terhujam di lubuk sejarah yang paling dalam.
Kita adalah dahan-dahan pohon itu, dan sepantasnya kita menjaga keanggotaan kita dalam pohon tersebut:
﴿ ألَم تَرَ كَيفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أصلُهَا ثَابِتٌ وَ فَرعُهَا فِي السَّمَاءِ ﴾
“Tidakkah kamu lihat bagaimana Allah membawakan perumpamaan kalimat yang indah dengan pohon mulia yang pokoknya kokoh dan cabangnya di langit”.[63]
Kita harus memperdalam komitmen kita pada keanggotaan pohon tersebut dalam intuisi, hati dan akal kita. Sejauh komitmen organik dengan syajarah thayyibah dan Keluarga penuh berkah ini menguat dan mendalam, sejauh itu pula kita akan bertambah kesabaran dan kesolidan kita melawan tantangan yang bertubi-tubi, dan kita akan bertambah teguh dalam menjalani lintas yang berduri dan melampaui krisis yang kita hadapi sepanjang jalan.
Dan ziarah merupakan bagian dari faktor utama dalam upaya penguatan tersebut. Ziarah menciptakan atmosfir emosional yang kental sehingga keanggotaan kita bersama Keluarga penuh berkah ini dalam peradaban, pergerakan dan perjalanan yang mulia menjadi lebih kuat.
Teks-teks yang datang dari Ahlulbait untuk berziarah kepada Rasulullah saw., Imam Ali bin Abi Thalib as., Fatimah Az-Zahra, Imam Hasan, Imam Husain dan Imam-imam yang lain serta para nabi, wali Allah dan orang-orang mukmin yang saleh, penuh dengan kekayaan peradaban dan budaya yang jelas, memuat konsep-konsep penguatan jalan yang lurus, keanggotaan dalam Keluarga yang penuh berkah, dan penegasan atas perlawanan terhadap musuh-musuh mereka, terhadap siapa saja yang anti mereka serta yang menyulut api permusuhan terhadap mereka.
Sebelumnya, saya telah menulis kajian seputar ziarah di pasal akhir dari buku yang berjudul ad-Du’a ‘Inda Ahlilbait as. (doa menurut Ahlulbait as.), dan saya cukupkan sampai di sini sekilas tentang ziarah. Adapun perinciannya, pem-baca bisa merujuk buku tersebut.[]
Catatan Kaki:
1. QS. Maidah: 55.
2. QS. Al-Nisa': 59.
3. Al-Thabari dalam tafsirnya meriwayatkan dari dua sanad bahwa ayat ini turun pada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as: Jil. 6/186. Fakhruddin Razi dalam Tafsir Kabir: Jil. 12/26. Suyuthi dalam tafsir Durul Mantsur: Jil. 3/104. Wahidi dalam Asbabun Nuzul: hal. 137, dan lain-lain. Penulis buku Fadhoil Khamsah: Jil. 2/13, menghumpun riwayat-riwayat yang berkaitan dengan masalah ini.
4. QS. Hujurat 10.
5. Biharul Anwar: 50/317.
6. Amali karya Syaikh Mufid: 110.
7. Biharul Anwar: 74/268.
8. Ushul Kafi: 2/175.
9. QS. Al-Ma’idah 55.
10. Ayat ini turun berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib as., sebagaimana dica-tat Fakhruddin Razi dalam tafsirnya tepat di bawah ayat ini. Diriwayat-kan pula dalam Nurul Abshar; Syablanji, hal. 170, Al-Kasyyaf; Zamakh-syari, Tafsir Al-Baidhawi, tafsir Abu Sa’ud dari berbagai jalur, Durul Mantsur: As-Suyuthi dari berbagai jalur, Asbabun Nuzul; Al-Wahidi, hal. 148, Kanzul Ummal; Al-Muttaqi, Jil. 6/319 dan 7/305, Majma’; Haitsami, Jil. 7/17, Dakhoirul ‘Uqba; Muhib Ath-Thabari, Jil. 8/102, dan Fadlail al-Khamsah Min Sihah Sittah; Al-Fairuz Abadi: Jil. 2/18-24.
11. Tentang hadis mustafidh, silakan merujuk hal. 24 dari buku ini!
12. Shahih Tirmidzi: Jil. 13/261, Tarikh Baghdad: Jil. 4/160. Syaikh Amini meriwayatkan hadis ini dari keduanya dalam kitabnya yang berharga yaitu Siratuna wa Sunnatuna.
13. Shahih Tirmidzi, kitab al-manaqib, babu manaqib Ahlilbait as. Dalam al-Mustadrak: Jil. 3/149, al-Hakim menegaskan kesahihan hadis ini.
14. Dalam Mustadrak Shahihain: Jil. 3/121-128, hadis ini diriwayatkan oleh al-Hakim sebagai hadis shahih. Juga diriwayatkan oleh Muhib Thabari dalam Riyadlun Nadlirah: Jil. 2/167. Rujuk Fadlail Khamsah; Firuz Abadi: Jil. 2/118.
15. Dalam Mustadrak Shahihain: Jil. 3/127, hadis ini dikuatkan oleh al-Hakim, baik dengan syarat Bukhari maupun dengan syarat Muslim. Juga diriwayatkan oleh Khatib dalam Tarikh Baghdad: Jil. 3/40 dengan lima jalur dari Ibn Abbas. Di dalam riwayatnya termaktub: “Barang siapa mencintaimu maka dia mencintaiku, dan cinta kepadaku adalah cinta kepada Allah”. Ini juga dibawakan oleh Muhib dalam Riyadl Nadlirah: Jil. 2/166. Fairuz Abadi dalam Fadlail Khamsah: Jil. 2/244, menyebutkan beberapa jalur hadis ini.
16. QS. al-Baqarah: 208.
17. QS. al-Baqarah: 279.
18. QS. al-Ma’idah: 33.
19. QS. al-Anfal: 13.
20. QS. at-Taubah: 63.
21. Biharul Anwar: Jil. 27/68.
22. QS. Al-Mumtahanah: 4.
23. QS. Al-Ahzab: 21.
24. Al-Amali: Syaikh Thusi: Jil. 1/305.
25. Al-Amali: Syaikh Shaduq: hal. 79, majlis ke-27.
26. Kamil Ziarat: 101.
27. Amali Syaikh Mufid: 200, Biharul Anwar: 44/278.
28. Biharul Anwar: 44/282.
29. QS. Al-Baqarah: 185.
30. QS. Al-Baqarah: 231.
31. QS. Al-Imran: 138.
32. QS. Al-Nisa': 174.
33. QS. Al-A’raf: 52 .
34. QS. Al-A’raf: 203.
35. Hadis ini diriwayatkan Muslim dalam Shahih-nya pada bab fadlail sahabah, Tirmidzi dalam Shahih: Jil. 2/308, Ahmad bin Hanbal dalam Musnad pada beberapa tempat, Darami dalam Sunan: Jil. 2/431 dengan berbagai sanad, al-Hakim an-Nisyaburi dalam Mustadrak dengan berbagai sanad dan meyakininya sebagai hadis yang shahih baik menurut syarat Bukhari maupun menurut syarat Muslim: Jil. 3/109, Baihaqi dalam Sunan: Jil. 2/148 dan Jil. 7/30, diriwayatkan pula oleh Ibn Hajar dalam Shawa’iq: hal. 89, dan meyakininya sebagai hadis shahih, Ibn Atsir Jazri dalam Usudul Ghabah: Jil. 2/12, dll. Kita tidak perlu lagi memperpanjang data-data seputar sanad hadis ini ataupun pensha-hihannya, karena masalah ini jauh lebih utama dari itu semua, sudah cukup sebetulnya dengan apa yang dibawakan oleh Muslim dan Tirmidzi dalam Sahih mereka.
36. Hadis ini diriwayatkan al-Hakim sebagai hadis shahih menurut syarat Muslim dalam Mustadrak: Jil. 2/343, al-Muttaqi dalam Kanzul Ummal: Jil. 6/216, Haitsami dalam Majma’: Jil. 9/18, Abu Na’im dalam Hilyatul Awliya’: Jil. 4/306, Khatib dalam Tarikh Baghdad: Jil. 12/19, Shuyuthi da-lam Durul Mantsur tentang ayat dari surah al-Baqarah, “wa idza qulnad khulu hadzihil qoryata fa kulu minha haytsu syi’tum”, ath-Thabari dalam Dzakhair Uqba, al-Manawi dalam Kasyful Haqa’iq: hal. 132, Ibn Hajar dalam Shawa’iq, dan Sayid Fairuz Abadi menyebutkan sanad-sanadnya dalam Fadlail Khamsah: Jil. 2/67-71.
37. Hadis ini diriwayatkan Mustadrak: Jil. 3/149 sebagai hadis shahih, Ibn Hajar dalam Shawa’iq: hal. 111, Haitsami dalam Majma’: Jil. 9/174, al-Manawi dalam Faidlul Qadir: Jil. 6/297, al-Muttaqi dalam Kanzul Ummal: Jil. 7/217 dan referensi-referensi lain. Fairuz Abadi menyebutkan seba-gian jalur-jalur riwayat ini dalam Fadlail Khamsah: Jil. 2/71-73.
38. Nash ialah maksud sebuah teks yang sebegitu jelasnya sehingga tidak memungkinkan maksud yang lain. Dan dzohir yaitu maksud sebuah teks yang tidak sejelas nash dan masih memungkinkan maksud yang lain, walaupun kemungkinan itu kecil.
39. QS. Al-Nahl: 36.
40. QS. Al-Nisa’: 60.
41. Ziarah Jami’ah.
42. Ibid.
43. Musnad ialah hadis yang silsilah sanad dan perawinya di setiap tingka-tan bersambung sampai ke Rasulullah saw.
44. Shahih Tirmidzi, kitabul manaqib, bab ke16, mengenai keutamaan Fati-mah binti Muhammad saw.: Jil. 2/319, cet. 1292 H.
45. Sunan karya Ibn Majah, muaqoddimah, bab 11, hal. 145.
46. Mustadrak Shahihain karya Hakim Nisyaburi: Jil. 13/149, kitab ma’rifatis shaha-bah “mubghilu Ahlilbaiti yadkhulun naro wa law shoma wa sholla” (pembenci Ahlulbait as akan masuk neraka meskipun dia berpuasa dan shalat).
47. Usudul Ghabah: Jil. 5/523.
48. Kanzul Ummal: Jil. 6/216.
49. Majma’ Zawa’id: Jil. 9/169, dinukil dalam kitab Fadlail Khmasah, Firuz Abadi: Jil. 1/396-399.
50. QS. Al-Anfal: 74.
51. Asy-Syura’: 23. Untuk mengetahui sumber-umber yang menerangkan bahwa ayat ini turun mengenai Ahlulbait as., silakan merujuk Dala’il Shaduq: Jil. 2/120-126 cet. Cairo. Ghadir: Jil. 2/306-310 dan Jil. 3/171 cet. Teheran.
52. Shahih Tirmidzi: 13/261.
53. Kalimat ini disebutkan dua kali dalam Ziarah Jami’ah.
54. QS. At-Taubah: 24.
55. QS. Al-Baqarah: 165.
56. Kanzul Ummal: Jil. 8/37.
57. Biharul Anwar: Jil. 74/279-280.
58. QS. Al-Anbiya’: 105.
59. QS. Maryam: 59.
60. QS. Taha: 132.
61. QS. Al-Qashas: 5-6.
62. Petikan dari doa Nudbah.
63. QS. Ibrahim: 24.
(Kompasiana/Nahjul-Balaghah/Al-Shia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email