Pesan Rahbar

Home » » Mengabdi Pada Ibu

Mengabdi Pada Ibu

Written By Unknown on Wednesday 16 August 2017 | 00:00:00


“Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua.”—Al-Hadis.

Suatu hari, Abu Yazid sedang berada dalam majelis ilmu. Pada saat itu, gurunya menjelaskan makna salah satu surat Luqman, “Bersyukurlah kepada-Ku (Allah) dan kepada kedua orang tuamu.”

Mendengar bunyi ayat tersebut, hati Abu Yazid tergetar dan segera bergegas izin pamit meninggalkan majelis untuk menemui ibunya.

“Guru, izinkanlah saya pulang untuk mengatakan sesuatu pada ibuku,” katanya seraya meletakkan buku catatan.

Gurunya mengizinkan, dan Abu Yazid pun bergegas pulang.

“Ada apa anakku? Mengapa engkau pulang?” tanya sang ibu.

“Pelajaranku telah sampai pada ayat yang menjelaskan tentang kewajibanku mengabdi pada-Nya dan pada ibu. Aku tidak akan sanggup mengisi rongga dadaku untuk dua hal sekaligus. Aku tidak akan mampu melaksanakan perintah keduanya secara bersamaan. Maka, berikan aku keputusan, Ibu memintaku sepenuhnya dari Allah, atau Ibu menyerahkanku sepenuhnya untuk Allah.”

“Anakku, aku serahkan engkau sepenuhnya kepada Allah dan membebaskanmu dari kewajibanmu padaku. Pegilah, Nak! Jadilah milik Allah sepenuhnya!” Ujar sang ibu berkaca-kaca.

Namun, suatu malam, saat Abu Yazid sedang melakukan shalat tahajud, sang ibu memintanya untuk mengambilkan air minum.

Ia yang tengah shalat, sadar bahwa ibunya memanggil. Belum usai merampungkan jumlah rakaat shalat sunnah, Abu Yazid bergegas memenuhi perintah ibunya. Ia segera mengambil air minum untuknya. Namun, tak ada air di teko. Ia pun mengambil kendi, namun tak jua dapat meneteskan air.

Tanpa pikir panjang dan menunggu waktu lagi, ia pun segera menuju sungai dan mengisi kendinya dengan air. Namun, saat kembali ke rumah, sang ibu sudah tertidur.

Malam itu udara begitu dingin. Tapi, Abu Yazid memilih duduk di samping ibunya sembari memegang teko tersebut. Tak lama kemudian sang ibu terbangun. Melihat putranya berada di sampingnya kedinginan akibat teko berisi air itu, sang ibu segera mencium kening anaknya, sembari melantunkan beragam doa.

“Mengapa kau tak letakkan saja teko itu, Nak?” tanya sang ibu haru.

“Aku takut tatkala ibu bangun, aku tidak ada di sisi Ibu,” jawab Abu Yazid penuh sesal karena membuat ibunya lama menunggu untuk sekadar mendapatkan air minum.
*****

Fariduddin Aththar berkisah tentang Abu Yazid Al Bisthami, atau yang memiliki nama lengkap Abu Yazid Thaifur ibnu Isa ibnu Surusyan al Bisthami.

Ia dikenal sebagai seorang sufi yang lahir di Bishtam, timur laut Persia dan wafat di tempat yang sama pula pada 264/877 M, dan hingga kini makamnya masih ada.

Konon, ia merupakan pioner aliran ekstatik dalam sufisme dan mempengaruhi imajinasi mereka, terutama tentang penggambarannya dalam perjalanan menuju surga sebagai imitasi dari mikrajnya Rasulallah.

Selain itu, Abu Yazid juga dikenal sebagai sosok laki-laki yang begitu mencintai ibunya. Ia yang terlahir dari kalangan orang terpandang di kota Bishtam, dulu sempat mengira bahwa tugas mengabdi pada orangtua merupakan tugas terbelakang dari semua tugasnya sebagai manusia.

Namun kemudian, dengan bergulirnya waktu, terutama setelah ia mempelajari banyak disiplin ilmu, termasuk tasawwuf, ia mengakui bahwa tugas mengabdi kepada orangtua terbukti sebagai tugas terdepan di antara tugas lainnya.

“Dalam menyenangkan ibuku, aku bisa meraih semua yang aku cari, baik dalam hal pendisiplinan diri terhadap hal duniawi, hingga ibadah pada Tuhanku,” kenang Abu Yazid pada suatu waktu.

“Bukankah satu tugas besar manusia untuk mengabdi pada Allah? Dan, bukankah mengabdi pada ibu merupakan bentuk pengabdian terbesar kita pada-Nya?” lanjut Abu Yazid, di saat para sahabatnya bertanya, ‘mengapa begitu rela menggugurkan shalat sunnahnya dan segera bergegas menuju panggilan sang ibu?’

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: