Oleh: Emha Ainun Nadjib
Kita semakin kehilangan kemampuan untuk benar tanpa menyalahkan. Kita semakin tidak sanggup untuk benar, kecuali harus dengan menyalahkan. Yang benar kita, orang lain salah. Semua dan setiap pihak, berdiri pada posisi itu.
Di wilayah hukum, harus jelas benar dan salahnya. Tetapi di wilayah budaya, ada faktor kebijaksanaan. Di wilayah poilitik, ada kewajiban untuk mempersatukan. Agama menuntun kita dengan menghamparkan betapa kayanya dialektika antara Sabil (arah perjalanan), Syari’ (pilihan jalan), Thariq (cara menempuh jalan) dan Shirath (presisi keselamatan bersama di ujung jalan).
Itulah “kemanusiaan yang adil dan beradab”, “persatuan Indonesia”, “hikmat kebijaksanaan” serta “keadilan sosial bagi seluruh”, bukan “bagi sebagian”. Tetapi kita muter-muter di dalam lingkaran setan, di mana kita harus selalu menyalahkan, demi supaya kita benar. Supaya kita benar, diperlukan orang dan pihak lain yang salah. Kita tidak bisa benar dengan kebenaran itu sendiri secara otentik dan mandiri.
Rakyat kecil sanggup melaksanakan “organisme kebenaran”nya secara natural dan kultural, tetapi kaum menengah dan elit pemimpin belum pernah berhasil menyelenggarakan “organisasi kebenaran” Negara dan Pemerintahannya untuk menciptakan zona nyaman bagi rakyatnya. Istilah Jawanya: di bawah sudah berlangsung “deso mowo coro”, tapi di atas belum berlangsung “Negoro mowo toto”.
Apakah itu disebabkan oleh ketidakyakinan atas kebenaran yang kita pilih. Atau ketidakjelasan pengetahuan dan ilmu tentang kebenaran. Ataukah semacam kelemahan mental, di mana kita selalu memerlukan orang untuk kita salahkan, sebagai syarat psikologis agar kita merasa benar.
Atau memang ini hakikat hidup: ada benar dan salah, baik dan buruk, indah dan jelek. Saya mengkritik keras diri saya sendiri dan memeriksa ulang seluruh pengetahuan dan sikap hidup saya. Seberapa kadar keterlibatan saya dalam kelemahan ilmu dan penyakit mental jenis ini. Saya tidak pernah mengemukakan kebenaran kalau yang saya maksudkan adalah kebatilan. Saya tidak pernah meluluskan keburukan sebagai kebaikan, dengan akibat-akibat sosial yang sebenarnya luar biasa besar dan berbahaya.
Saya berbicara dan menulis apa adanya. Tetapi saya kasih tahu diri saya, bahwa yang dimaksud apa adanya itu tidak berarti pasti benar dan baik. Saya apa adanya adalah saya dengan kelemahan mental, ketidakcukupan ilmu, kesempitan pengetahuan. Mungkin juga ketidakterbimbingan oleh kebijaksanaan.
Kalau saya menengok keluar jendela hidup saya, menatap Indonesia dan dunia, rasanya beberapa tahun belakangan ini sangat digaduhkan oleh situasi-situasi “benar ialah menyalahkan”, “baik ialah menjelek-jelekkan”, sebagaimana “menang ialah mengalahkan”. Nenek moyang jadul saja punya “menang tanpo ngasorake”. Apalagi kalau tak diperjelas peta nilainya, kita bisa terpeleset: karena menang maka kita merasa benar dan baik.
Yang saya pandang di luar jendela itu ternyata bukan tidak ada saya di hamparannya. Saya tidak steril dari merasa benar dan merasa baik. Saya tidak merdeka dari keterpelesetan ilmu, kesembronoan mental dan ketidakwaspadaan sikap sosial. Saya merasa tidak terikat oleh kepentingan keduniaan apapun, tetapi tidak berkepentingan itu sendiri adalah suatu jenis kepentingan. Sebagaimana konsistensi untuk tidak berpamrih sebenarnya adalah perjuangan pamrih juga, meskipun pamrihnya adalah tidak berpamrih.
Jangan-jangan manusia memang “dipermainkan” oleh hakikat hidupnya sendiri. Cahaya disadari dan dirindukan dari area kegelapan. Malam menerbitkan kebutuhan terhadap siang. Penderitaan menyeretkan dambaan untuk memperoleh kebahagiaan. Tuhan sendiri adalah “muqallibul qulub”, yang membolak-balik hati manusia. Tuhan penyelenggara “ikhtilafil laili wannahar”, arsitek pergantian siang malam. Meskipun Tuhan menolong kita di tengah pusaran kebingungan: “muhawwilul hal wal ahwal”, mengurus segala urusan. “Balighul amr”, mengantarkan kita menuju keberesan sesuatu yang kita perjuangkan.
Saya pernah mendengar dari nenek moyang bahwa gagasan orisinalnya Tuhan ketika menciptakan Adam adalah positivisme. Ia menciptakan makhluk-makhluk untuk diajak bermesraan. Menciptakan hamba-hamba untuk mematuhi kehendak-Nya, karena Ia memenuhi segala kebutuhan kesejahteraan dan kebahagiaannya. Sampai kemudian Iblis mengacaukannya.
Makhluk senior yang dulunya paling dekat dengan Tuhan ini memang usil dan iseng punya. Tujuh ribu tahun ia paling rajin mengabdi, paling khusyu’, paling ruku’ dan paling sujud. Tapi ternyata diam-diam menyimpan kelelahan dan dendam di dalam jiwanya. Ketika Tuhan memberinya waktu untuk istirahat, diiringi ribuan Malaikat lainnya berkeliling-keliling jagat raya, sesampainya di bumi, ia tak mau kembali ke kampungnya di langit tujuh.
Ternyata Kanjeng Idajil ini hedonis materialistik. Makhluk “hubbud-dunya”, pecinta dunia, penggemar benda dan segala sesuatu yang kasat mata dan bisa dinikmati dengan pancaindera. Ia cemburu pada gagah dan atletisnya tubuh Sang Adam, wajah handsome-nya, kesempurnaan konstruksinya serta proporsi struktur badannya. Lebih dengki lagi kepada jabatan Adam yang diserahi Tuhan untuk memimpin kehidupan di dunia.
Maka Iblis bersumpah akan mempelesetkan langkah Adam, mengaburkan ilmunya, membalik pengetahuannya, menggoda hatinya dan menggerogoti iman dalam jiwanya. Lancang dan gagah berani Smarabhumi Idajil ini. Maka terjadilah polarisasi. Pemetaan protagonis dan antagonis. Densitas positif dan kerapatan negatif. Pergantian siang dan malam. Pertentangan cahaya dengan kegelapan. Kesucian dan kemaksiatan. Ketundukan dan keingkaran. Efisiensi dan pemborosan. Bahkan kesabaran dan ketergesaan.
Tuhan memperkenankan tantangan Iblis. Mereka bikin kontrak. Berlaku sampai Hari Kiamat. Iblis diberi peluang dan “tenggang waktu sejenak”, “amhilhum ruwaida”. Untuk mencelakakan manusia. Menyesatkan jalannya. Menipu pengetahuannya dan memecah ilmunya. Visi misi Iblis adalah membuat manusia merusak dirinya, menganiaya sesamanya, menipu dan mencuri, membikin bumi luka parah, juga memprovokasi untuk konflik permanen, perang dan penumpahan darah. Dan Tuhan menadahi output-nya dengan menyediakan sorga dan neraka.
Tuhan menyiagakan para Malaikat untuk membantu manusia mengantisipasi intervensi Iblis. Sayangnya manusia tidak menyelenggarakan pendidikan budaya, Sekolah atau Universitas, dalam keluarga dan rumah-rumah ibadah – untuk mendidik generasi barunya bagaimana mengaktivasi Malaikat di dalam dirinya. Bahkan tidak ada pendidikan dan pembiasaan yang membuat anak-anak rajin menyapa para Malaikat. Baik Malaikat yang tugas ronda di alam semesta di bawah koordinasi Jibril, Mikail, Isrofil dan Izroil, sampai kelak Ridwan, Zabaniyah dan Malik. Juga yang mengiringi manusia, Muaqqibat, Muhafadlah, Syakhlatus Syams, Mutalaqqiyan, Raqib, Atid, dan banyak lagi. Kalau tidak sempat disapa satu per satu, mestinya boleh dijamak: “Assalamu ‘alaikum ya Malaikatallah”.
Kita berharap para Malaikat memaklumi bahwa manusia sibuk dengan globalisasi. Rakyat Indonesia tidak punya waktu karena suntuk memikirkan impor garam, tarif dasar listrik naik, dan uang tabungan untuk haji mereka akan dipakai untuk membangun infrastruktur. Sebagian mereka bahkan bingung mencari tahu infrastruktur itu apa. Masih familinya Fatkhur ataukah keponakan Gus Dur.
Rakyat Indonesia tidak sempat menoleh dan melambaikan tangannya kepada Malaikat. Jangankan Muqorrobin, ke Jibril pun tak sempat. Maaf-maaf ada urusan reklamasi pantai utara sepanjang Pulau Jawa. Belum lagi tol laut, kereta cepat dan Meikartapolitan. Persoalan rakyat Indonesia bukan hanya bertumpuk-tumpuk, bahkan tumpukan masalah itu menimbun dan menindih mereka. Terakhir ini bahkan ada benda yang sangat besar dan berat menimpa punggung mereka. Ada patung raksasa di kampung halaman Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang. Di tengah merasakan punggung serasa patah-patah, mereka berdebat apakah itu patung Malaikat kah atau patung Iblis.
(Cak-Nun/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email