Beberapa saat sebelum peristiwa Ghadir Khum beberapa ayat dari surat al-Maidah turun kepada Rasulullah saww, dan pada saat Rasul saww melakukan pelatihan amalan-amalan haji kepada kaum muslimin serta menjelaskan pembahasan hadits Tsaqalain.
Shabestan News Agency, Hujjatul Islam Miqdad Tabesh dalam sebuah kajiannya menjelaskan bahwa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as sejak hari pertama diutusnya Rasul saww ia selalu bersamanya, Imam as adalah orang yang pertama beriman kepada Islam dan sejak hari pertama Rasulullah saww mengabarkan kenabiannya kepada keluarganya Amirul Mukminin as sudah diperkenalkan sebagai pendamping, washi dan khalifah Rasulullah saww.
Terkait dengan pembahasan wilayat Imam Ali as, Hujjatul Islam Tabesh menekankan bahwa kaum muslimin pada saat itu sudah akrab dan mengetahui hal ini, karena dalam setiap kesempatan seperti perang Uhud, Khaibar dan lain sebagainya Rasulullah saww sudah sering menyampaikannya.
Dan pada haji wada’ merupakan kali terakhir Rasul saww menyampaikan dan menjelaskan hal ini, dimana pada kesempatan tersebut malaikat Jibril turun kepada Rasulullah saww sebanyak 3 kali untuk menyampaikan perintah bahwa Rasul saww harus menyampaikan masalah ini kepada semua orang.
Di hari-hari haji wada’ turun juga surat An-Nashr kepada Rasulullah saww, dimana dengan turunnya surat ini menandakan bahwa hari-hari tersebut merupakan masa-masa terakhir usia Rasulullah saww.
Beberapa saat sebelum peristiwa Ghadir Khum beberapa ayat dari surat al-Maidah turun kepada Rasulullah saww, dan pada saat Rasul saww menjelaskan tentang amalan-amalan haji kepada kaum muslimin juga dijelaskan tentang pembahasan hadits Tsaqalain, yakni hingga tiba pada hari Ghadir Khum hadits Tsaqalain telah disampaikan sebanyak 3 kali, hal ini tidak lain adalah sebagai persiapan untuk menyampaikan wilayah dan kepemimpinan Imam Ali as, demikian jelasnya.
Berikut Penjelasan Hadits Tsaqalain
Hadis Tsaqalain
Teks Riwayat Hadis Tsaqalain
Hadis Tsaqalain (Bahasa Arab: حديث الثقلين) adalah sebuah hadis yang sangat masyhur dan mutawatir dari Nabi Muhammad saw yang bersabda, “Sesungguhnya kutinggalkan dua pusaka bagi kalian, Kitab Allah (Al-Quran) dan itrahku (Ahlulbait). Keduanya tidak akan terpisah sampai hari kiamat.”
Hadis ini diterima oleh seluruh kaum Muslimin baik Syiah maupun Sunni, dan termaktub dalam kitab-kitab hadis dari kedua mazhab besar tersebut. Bagi muslim Syiah, hadis ini merupakan pegangan utama untuk menguatkan doktrin pentingnya keimamahan, menguatkan dalil kemaksuman para Imam as dan juga sebagai dalil yang menetapkan keharusan adanya imam di setiap zaman.
Teks Hadis
Hadis ini meski diriwayatkan dengan jalur yang berbeda, dan dengan bunyi teks yang beragam namun tetap mengandung muatan pesan yang sama. Dalam Ushul Kāfi, yang merupakan salah satu dari empat kitab utama mazhab Syiah menyebutkan:
إِنِّی تَارِک فِیکمْ أَمْرَینِ إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضِلُّوا- کتَابَ اللَّهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَ أَهْلَ بَیتِی عِتْرَتِی أَیهَا النَّاسُ اسْمَعُوا وَ قَدْ بَلَّغْتُ إِنَّکمْ سَتَرِدُونَ عَلَی الْحَوْضَ فَأَسْأَلُکمْ عَمَّا فَعَلْتُمْ فِی الثَّقَلَینِ وَ الثَّقَلَانِ کتَابُ اللَّهِ جَلَّ ذِکرُهُ وَ أَهْلُ بَیتِی
"Sesungguhnya aku tinggalkan di tengah-tengah kalian dua pusaka yang jika kalian mengambil (mengikuti) keduanya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, (yaitu) Kitab Allah swt dan Ahlulbaitku dari keturunanku (itrahku). Wahai manusia, dengarlah dan sesungguhnya telah aku sampaikan kepada kalian bahwa sesungguhnya kalian akan menemuiku di tepi telaga (al-Haudh), maka aku akan mempertanyakan kalian, atas apa yang telah kalian perbuat terhadap dua pusaka berharga ini, yaitu Kitab Allah yang sangat agung penyebutannya dan Ahlulbaitku.”[1]
Sunan Nasai, salah satu dari enam kitab sahih Ahlusunnah (kutub sittah), meriwayatkan:
کأنی قد دعیت فاجبت، انی قد ترکت فیکم الثقلین احدهما اکبر من الآخر، کتاب الله و عترتی اهل بیتی، فانظروا کیف تخلفونی فیهما، فانهما لن یفترقا حتی یردا علی الحوض
“seakan-akan ajalku sudah mendekat. Sesungguhnya telah aku tinggalkan pada kalian dua hal yang sangat berharga, yang salah satu lebih besar dari yang lainnya, (yaitu) Kitab Allah dan keturunanku (Itrahku) Ahlulbaitku. maka lihat dan perhatikan bagaimana kalian memperlakukan keduanya. maka sesungguh keduanya tidak akan terpisah sampai kalian menemuiku di tepi telaga (al-Haudh).”[2]
Sumber dan Sanad Hadis
Hadis ini termasuk dalam riwayat yang diterima oleh semua ulama Islam baik dari kalangan Syiah maupun Sunni, yang dari sisi sanadnya tidak seorangpun yang mampu melemahkan dan mengkritiknya.
Sumber dari Literatur Ahlusunnah
Menurut kitab Hadits al-Tsaqalain wa Maqāmāt Ahl al-Bait [3], hadis Tsaqalain ini diriwayatkan lebih dari 25 orang perawi dari kalangan sahabat yang mendengarkan langsung dari Nabi Muhammad saw. Berikut di antara nama-nama sahabat yang meriwayatkan hadis Tsaqalain:
1. Zaid bin Arqam. Darinya terdapat 6 jalur periwayatan sebagaimana yang tertulis dalam kitab Sunan Nasai [4], al-Mu’jam al-Kabir Thabrani [5], Sunan Tirmidzi [6], Mustadrak Hākim [7], Musnad Ahmad [8] dan sejumlah kitab yang lain.
2. Zaid bin Tsabit. Dimuat dalam Musnad Ahmad [9] dan al-Mu’jam al-Kabir Thabrani. [10]
Jabir bin Abdullah. Dimuat dalam kitab Sunan Tirmidzi [11], al-Mu’jam al-Kabir [12], dan al-Mu’jam al-Ausath [13] Thabrani.
3. Huzaifah bin Asid. Dalam kitab al-Mu’jam al Kabir Thabrani. [14]
4. Abu Sa’id Khudri. Dalam empat bab dari Musnad Ahmad [15] dan Dhua’fa al-Kabir al-Aqili. [16]
Imam Ali as, dengan dua jalur periwayatan yang terdapat dalam Dar al-Bahr al-Zakhār atau juga dikenal dengan kitab Musnad al-Bazzar [17] dan Kanz al-‘Ummāl. [18]
5. Abu Dzar Ghifari. Dalam kitab al-Mu’talaf wa al-Mukhtalaf Dāruqutni. [19]
6. Abu Huraira. Dalam kitab Kasyf al-Atsār ‘an Zawaid al-Bazār. [20]
7. Abdullah bin Hanthab. Dalam Usd al-Ghabah. [21]
8. Jubair bin Math’am. Dalam Dhalāl al-Jannah. [22]
9. Sejumlah orang dari para sahabat. [23]
Bahrani, penulis kitab Ghayatul Maram wa Hujjatul Khisham menukil hadis ini melalui 39 jalur dari buku-buku Ahlusunnah. Menurut penukilan buku tadi, hadis ini dimuat dan bisa ditemukan dalam beberapa buku seperti Musnad Ahmad, Shahih Muslim, Manāqib Ibnul Maghazili, Sunan Tirmidzi, al-‘Umdah Tsa’labi, Musnad Abi Ya’la, al-Mu’jamul Ausath Thabrani, al-‘Umdah Ibn al-Bathriq, Yanābi'ul Mawaddah Qunduzi, al-Tharaif Ibnul-Maghāzili, Faraidus Simthain dan Syarah Nahj al-Balāgah Ibnu Abi al-Hadid. [24]
Sumber dari Literatur Syiah
Bahrani, penulis kitab Ghāyatul Marām wa Hujjatul Khishām menyebutkan dalam sumber periwayatan Syiah terdapat 82 hadis yang mengandung muatan sebagaimana hadis Tsaqalain, diantaranya terdapat dalam kitab al-Kāfi, Kamaluddin, Amāli Shaduq, Amāli Mufid, Amāli Thusi, ‘Uyun Akhbar al-Ridha, al-Ghaibat Nu’māni, Bashāir al-Darajāt dan banyak lagi dari kitab yang lain. [25]
Monografi
Ulama-ulama Syiah yang secara khusus membahas hadis Tsaqalain dalam karya-karya mereka diantaranya terdapat dalam kitab-kitab berikut:
Hadits Tsaqalain sebuah buku yang ditulis dengan berbahasa Persia, karya Qawamuddin Muhammad Wesynawi Qumi dan buku Sa’ādatu Darain fi Syarhi Haditsu Tsaqalain, karya Abdul Aziz Dahlawi. dan buku yang ditulis dalam bahasa Arab: seperti Hadits Tsaqalain karya Najmuddin Askari, Hadits Tsaqalain karya Sayyid Ali Milani dan Hadits Tsaqalain wa Maqāmātu Ahl al-Bait karya Ahmad al-Mahwazi.
Waktu dan Tempat Pengeluaran Hadis
Mengenai kapan dan dimana hadis Tsaqalain disampaikan oleh Rasulullah saw, terdapat perbedaan pendapat. Misalnya, Ibnu Hajar Haitami [26] menyebutkan bahwa hadis Tsaqalain disebutkan Nabi Muhammad saw sekembalinya dari Fathu Mekah di Thaif, namun yang lain menyebutkan waktu dan tempat yang berbeda dari pendapat tersebut.
Perbedaan pendapat yang terjadi tidak bisa ditinggalkan begitu saja, namun setidaknya bisa diambil kesimpulan bahwa terjadinya perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena memang Nabi Muhammad saw telah menyampaikan hadis tersebut di berbagai tempat dan waktu yang berbeda-beda. Terutama di waktu-waktu terakhir dari kehidupannya, beliau sering mengingatkan kaum muslimin akan keutamaan Tsaqalain (dua pusaka berharga) yang ditinggalkannya, yaitu Al-Quran dan Ahlulbait. [27]
Berikut riwayat-riwayat yang menyebutkan tempat dan waktu pengeluaran hadis ini:
1. Pada hari Arafah, di saat menunggangi unta [28] pada saat penyelenggaran haji wada’ [29]
2. Di persimpangan jalan, di sekitar wilayah Ghadir Khum, sebelum para jemaah haji berpisah satu sama lain, [30] dan setelahnya dilanjutkan dengan disampaikannya hadis Ghadir. [31]
3. Disampaikan saat khutbah di hari Jum’at bersamaan dengan disampaikannya hadis Ghadir. [32]
4. Sehabis shalat berjama’ah di masjid Khaif, di hari terakhir hari Tasyrik. [33]
5. Di atas mimbar. [34]
6. Di penghujung khutbah yang dibacakan untuk seluruh jama’ah. [35]
7. Di dalam khubah setiap selesai shalat berjamaah. [36]
8. Di ranjang, saat Nabi saw terbujur sakit, sementara para sahabat berdiri mengelilinginya. [37]
Sunnah atau Itrah?
Sebagian literatur Ahlusunnah menyebutkan “sunnati” sebagai pengganti “itrahti” dalam hadis Tsaqalain. [38] Namun teks tersebut jarang ditemukan, bahkan tidak terdapat sama sekali dalam kitab-kitab masyhur Ahlusunnah. Para ulama Ahlusunnah sendiri tidak memberikan perhatian yang cukup besar terhadap hadis yang memuat teks “sunnati” termasuk dari kalangan teolog khususnya dalam pembahasan perbedaan antar mazhab.
Siapakah yang Dimaksud Itrah?
Dalam banyak periwayatan, kata ‘Ahlulbait’ mucul sebagai penjelas dari ‘Itrahti’, namun sebagian riwayat hanya menyebutkan ‘Itrah[39] dan sebagian lainnya hanya menyebut ‘Ahlulbait’ [40] yang kemudian terulang lagi ketika Nabi saw menyampaikan pesannya. [41]
Pada sebagian periwayatan-periwayatan Syiah dari hadis Tsaqalain, mengenai penjelasan Ahlulbait Nabi saw mengisyaratkan keberadaan 12 Imam maksum. [42]
Keutamaan Hadis
Para ulama Syiah meriwayatkan hadis ini dalam banyak kitab mereka, yang dengan keberadaan hadis tersebut, mereka menggunakannya sebagai dalil yang menguatkan aqidah Syiah mereka. Mir Hamid Husain Kunturi Hindi (w. 1306 H) dalam kitab ‘Abaqāt al-Anwar, jilid 1 sampai 3 menukil hadis ini dengan menyandarkan pada periwayatan Ahlusunnah, dan menyebutkan betapa penting dan tingginya posisi hadis ini di sisi mereka. Dalam pembahasan mengenai imamah, hadis ini ia dahulukan sebagai hujjah dibandingkan hadis yang lain.
Dari hadis ini, dapat diambil beberapa poin penting yang dapat menetapkan dan membuktikan kesahihan ajaran Syiah:
Kewajiban Mengikuti Ahlulbait
Dalam riwayat ini, Ahlulbait diposisikan berdampingan dengan Al-Qur'an. Sebagaimana kaum muslimin diwajibkan untuk menataati Al-Qur'an, maka menaati Ahlulbait juga wajib hukumnya.
Kemaksuman Ahlulbait
Ada dua poin penting yang terdapat dalam hadis Tsaqalain yang menguatkan bukti kemaksuman Ahlulbait:
1. Menegaskan jika Al-Qur'an dan Ahlulbait dijadikan pedoman dan petunjuk, maka tidak akan terjadi penyimpangan dan penyelewengan. Hal ini menunjukkan dalam bimbingan dan ajaran Ahlulbait tidak terdapat kesalahan sedikitpun.
2. Ketidakterpisahan Al-Qur'an dan Ahlulbait, Posisi keduanya sama sebagai pusaka Nabi Muhammad saw yang sangat berharga dan menjadi pedoman bagi umat manusia. Sebagimana telah menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin bahwa dalam kitab Al-Qur'an tidak terdapat kesalahan, maka "tsiql" (perkara} lainnya yaitu Ahlulbait, sudah tentu juga tidak terdapat kesalahan padanya.
Sebagian dari peneliti Ahlusunnah juga menjadikan hadis Tsaqalain sebagai dalil yang menunjukkan keutamaan besar yang dimiliki Ahlulbait dan hujjah atas kesucian mereka dari kekotoran, kekejian dan kesalahan. [43]
Keharusan Adanya Imam
Pada matan hadis, juga terdapat poin penting yang menguatkan dalil akan keharusan adanya imam sampai akhir zaman.
1. Ketidakterpisahan Ahlulbait dengan Al-Qur'an menunjukan bukti akan keniscayaan imam dari kalangan Ahlulbait Nabi saw yang akan terus bersama Al-Qur'an. Sebagaimana diyakini, Al-Qur'an adalah sumber abadi pedoman dalam Islam, maka meniscayakan akan selalu ada dari kalangan Ahlulbait yang akan mendampingi Al-Qur'an untuk memberikan penjelasan dan sebagai sumber rujukan.
2. Nabi saw menegaskan bahwa kedua pusaka berharga yang diwariskannya, tidak akan terpisah sampai bertemu Nabi Muhammad saw di tepi telaga Kautsar.
3. Nabi saw menjamin, barangsiapa mengikuti keduanya, tanpa memisahkannya, maka tidak akan tersesat selama-lamanya.
Imam Zarqani Maliki, salah seorang ulama Ahlusunnah, dalam kitab Syarhul Mawāhib [44] menukil dari Allamah Samhudi yang menyatakan, “Dari hadis ini dapat dipahami bahwa, sampai kiamat akan tetap ada dari kalangan Itrah Nabi saw yang layak untuk dijadikan pegangan. Jadi sebagaimana yang tersurat, maka hadis ini menjadi dalil akan keberadaannya. Sebagaimana kitab (Al-Qur'an) tetap ada, maka mereka (yaitu Itrah) juga tetap ada di muka bumi. [45]
Ilmu Ahlulbait Sebagai Narasumber
Sebagaimana diketahui bahwa Al-Qur'an adalah rujukan utama aqidah dan hukum-hukum praktis semua kaum muslimin, sementara hadis ini menyebutkan bahwa Ahlulbait tidak akan pernah terpisah dengan Al-Qur'an, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Ahlulbait adalah juga sumber rujukan keilmuan Islam yang tidak terdapat di dalamnya kesalahan.
Sayid Abdul Husain Syarafuddin dalam dialognya dengan Syaikh Salim Bisyri –sebagaimana dimuat dalam kitab al-Murāja’āt- menjelaskan dengan sangat baik mengenai kemarjaan ilmu Aimmah as dan wajibnya untuk mengikuti petunjuk dan ajaran-ajaran mereka. [46]
Hadis Tsaqalain dan Pendekatan antar Mazhab
Sebagaimana telah disebutkan bahwa hadis Tsaqalain adalah hadis mutawatir yang diakui kesahihannya oleh Syiah dan Sunni, maka sepatutnya keberadaan hadis ini menjadi penyebab dan pendorong upaya persatuan Islam dan upaya pendekatan antar mazhab. Sebagaimana misalnya, yang pernah diupayakan oleh Sayid Abdul Husain Syarafuddin, salah seorang ulama Syiah dengan Syaikh Salim Bisyri dari ulama Ahlusunnah. Dialog keduanya yang penuh semangat ukhuwah dan persaudaraan Islami dapat dirujuk dalam kitab al-Murājā’at. Atau sebagaimana upaya keras dan konsisten dari Ayatullah Burujerdi untuk menggalakkan aktivitas pendekatan antar mazhab yang terinspirasi dari pesan hadis Tsaqalain ini. [47]
Catatan Kaki
1. Kulaini, Kāfi, jld. 1, hlm. 294.
2. Nasai, al-Sunan al-Kubra, hadis 8148.
3. Atsar Ahmad Mahauzi.
4. Nasai, al-Sunan al-Kubra, hadis 8148.
5. Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, jld. 5, hlm. 186.
6. Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, hadis 3876.
7. Hakim Naisyaburi, al-Mustadrak, jld. 3, hlm. 110.
8. Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, jld. 4, hlm. 371.
9. Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, jld. 5, hlm. 183, 189.
10. Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, jld. 5, hlm. 166.
11. Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, jld. 5, hlm. 328.
12. Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, jld. 3, hlm. 66.
13. Thabrani, al-Mu’jam al-Ausath, jld. 5, hlm. 89.
14. Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, jld. 3, hlm. 180.
15. Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, jld. 3, hlm. 13, 17, 26, 59.
16. Al-‘Aqili, Dhu’afa al-Kabir, jld. 4, hlm. 362.
17. Al-Bazzar, al-Bahr al-Zakkhār, hlm. 88, hadis 864.
18. Mutqi Hindi, Kanz al-‘Ummāl, jld. 14, hlm. 77, hadis 37981.
19. Daruquthni, al-Mutalaf wal Mukhtalaf, jld. 2, hlm. 1046.
20. Al-Haitami, Kasyf al-astār, jld. 3, hlm. 223, hadis 2617.
21. Ibnu Atsir, Usd al-Ghabah, jld. 3, hlm. 219, no. 2907.
22. Al-Bani, Dhalāl al-Jannah, hadis 1465.
23. Penukilan hadis ini secara lengkap dimuat dalam buku Istijlabu Irtiqa'il Ghuraf karya Syamsuddin Sakhawi, hlm.23, dan dalam buku Yanabiul Mawaddah, Qunduzi , jld.1, hlm.106-107 dan al-Ishabah, Ibnu Hajar al-Asqalani, jld. 7, hlm. 245-274, juga telah disinggung.
24. Bahrani, Ghayatul Maram wa Hujjatul Khisham, jld. 2, hlm. 304-320.
25. Bahrani, Ghāyat al-Marām wa Hujat al-Khishām, jld. 2, hlm. 320-367.
26. Al-Haitami, al-Shawā'iq al-Muhriqah, hlm. 150.
27. Mufid, al-Irsyād, jld. 1, hlm. 180; Haitami, al-Shawā'iq al-Muhriqah, hlm. 150; Syarafuddin, al-Murājā’at, hlm. 74.
28. Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, jld. 5, hlm. 662, hadis 3786.
29. Ahmad bin Ali Tabarsi, al-Ihtijāj, jld. 1, hlm. 391.
30. Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, jld. 4, hlm. 371; Naisyaburi, Shahih Muslim, jld. 2, hlm. 1873.
31. Shaduq, Kamāl al-Din wa Tamām al-Ni’mah, jld. 1, hlm. 234, hadis 45 dan hlm. 268, hadis 55; Hakim Naisyaburi, al-Mustadrak, jld. 3, hlm. 109; Syamhudi, Jawāhir al-‘Aqidain, hlm. 236.
32. Ayyasyi, Kitāb al-Tafsir, jld. 1, hlm. 4, hadis 3.
33. Shafar Qumi, Bashāir al-Darajāt, hlm. 412-414.
34. Shaduq al-Amāli, hlm. 62; Juwaini Khurasani, Faraid al-Simthain, jld. 2, hlm. 268.
35. Ayyasyi, Kitāb al-Tafsir, jld. 1, hlm. 5, hadis 9; Ahmad bin Ali Thabarsi, al-Ihtijāj, jld. 1, hlm. 216.
36. Dailami, Irsyād al-Qulub, jld. 2, hlm. 340.
37. Al-Haitami, al-Shawā'iq al-Muhriqah, hlm. 150.
38. Rujuk ke: Muttaqi Hindi, Kanz al-‘Ummāl, jld. 1, hlm. 187, hadis 948.
39. Rujuk ke: Shaduq, ‘Uyun Akhbār al-Ridhā, jld. 2, hlm. 92, hadis 259; Hakim Naisyaburi, al-Mustadrak, jld. 3, hlm. 109.
40. Rujuk ke: Juwaini Khurasani, Faraid al-Simthain, jld. 2, hlm. 268; Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 23, hlm. 131, hadis 64.
41. Rujuk ke: Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, jld. 4, hlm. 367; Darami, Sunan al-Darami, hlm. 828; Naisyaburi, Shahih Muslim, jld. 2, hlm. 1873, hadis 36; Jauni Khurasani, Faraid al-Simthain, jld. 2, hlm. 250, 268.
42. Rujuk ke: Shaduq, Kamāl al-Din, jld. 1, hlm. 278, hadis 25; Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 36, hlm. 317.
43. Manawi, Faidh al-Qadir, jld. 3, hlm. 18-19; Zarqani, Syarah al-Mawāhib al-Diniyah, jld. 8, hlm. 2; Sanadi, Dirāsāt al-Labaib, hlm. 233, sebagaimana dinukil oleh Husaini Milani dalam Nafahāt al-Azhār, jld. 2, hlm. 266-269.
44. Jilid 8, hlm. 7.
45. Sebagaimana yang dinukil oleh Allamah Amini dalam kitabnya al-Ghadir, jld. 3, hlm. 118.
46. Silahkan merujuk ke kitab al-Murājāt oleh Syaraf al-Din, hlm. 71-76.
47. Rujuk ke: Wa’idzhazadeh Khurasani, Hadits Tsaqalain, hlm. 39-40.
Daftar Pustaka
- Ibnu Atsir, Ali bin Abi al-Karam, asad al-Ghābah fi Ma’rifah al-Shahābah, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1415 H.
- Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imām Ahmad bin Hanbal, Kairo, tanpa tahun.
- Amini, Abdul Husain, al-Ghadir fi al-Kitāb wa al-Sunnah wa al-Adab, Qom, Markaz al-Ghadir lil Dirasat al-Islāmiyah, 1416 H.
- Albani, Nashiruddin, Dzhalāl al-Jannah.
- Bahrani, Sayid Hasyim bin Sulaiman, Ghāyat al-Marām wa Hujjat al-Khishām.
- Al-Bazaz, Ahmad bin ‘Amru, al-Bahr al-Zakhār (Musnad Bazaz), Maktabah al-‘Ulum wa al Hukm.
- Tirmidzi, Muhammad bin Isa, Sunan al-Tirmidzi, Istanbul, 1401 H.
- Jawni Khurasani, Ibrahim bin Muhammad, Farāid al-Samthin fi Fadhāil al-Murtadha wa al-Batūl wa al-Sabthin wa al-Ummah min Dzurriyatihim ‘alaihim al-Salam, Beirut, cet. Muhammad Baqir Mahmudi, 1398-1400 H.
- Hakim Naisyaburi, Muhammad bin Abdullah, al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain, Beirut, Dar al-Ma’rifah, tanpa tahun.
- Husaini Milāni, Sayyid Ali, Nafahāt al-Azhār fi Khalāshah ‘Abaqāt al-Anwar, Tehran, 1405 H.
- Darqatni, Ali bin Umar, al-Mautalaf wa al-Mukhtalif, Beirut, Dar al-Maghrib al-Islami.
- Darami, Abdullah bin Abul Rahman, Sunan al-Dārami, Istanbul, 1401 H.
- Dailami, Hasan bin Muhammad, Arsyād al-Qulūb, Qum, 1368 S.
- Al-Zarqāni, Muhammad bin Abdul Baqir, Syarah al-Mawahib, al-Diniah, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiah.
- Sakhawi, Syamsuddin, Istijlāb Irtiqā al-Ghurf, Qum, Yayasan Ma’arif Islami, 1421 H.
- Samhudi, Ali bin Abdullah, Jawāhir al-‘Aqadain fi Fadhl al-Syarafain, Beirut, cet. Musthafa Abdul Qadir ‘Atha, 1415 H.
- Syarafuddin, Sayid Abdul Husain, al-Murāja’āt, Beirut, cet, Husain Radhi, 1402 H.
- Shaduq, Muhammad bin Ali, al-Amāli, Beirut, 1400 H.
- Shaduq, Muhammad bin Ali, ‘Uyūn Akhbar al-Ridha, Qum, cet. Mahdi Lajurdi, 1363 S.
- Shaduq, Muhammad bin Ali, Kamāl al-Din wa Tamām al-Ni’mah, Qum, cet. Ali Akbar Ghaffari, 1363 S.
- Shafar Qumi, Muhammad bin Hasan, Bashāir al-Darajāt fi Fadhāil Ali Muhammad saw, Qum, cet. Muhsin Kuceh Baghi Tabrizi, 1404 H.
- Thabrani, Sulaiman bin Ahmad, al-Mu’jam al-Kabir, Beirut, Afsar, cet. Mahdi Abdul Hamid Salafi, 1404 H.
- Thabrani, Sulaiman bin Ahmad, al-Mu’jam al-Awsath, Dar al-Haramain, 1415 H.
- Thabarsi, Ahmad bin Ali, al-Ihtijāj, Najaf, Muhammad Baqir Musawi Khurasan, 1386 S.
- ‘asqalani, Ibnu Hajar, al-ashābah.
- Al-‘Uqaili, Muhammad bin ‘Amru, al-Dhu’afa al-Kabir, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1418 H.
- Ayyasyi, Muhammad bin Mas’ud, Kitāb al-Tafsir, Qum, cet. Hasyim Rasuli Muhallati, 1380-1381 S.
- Qunduzi, Sulaiman bin Ibrahim, Yanābi’ al-Mawaddah li Dzawi al-Qurba, Qum, cet. Ali Jamal asyraf Husaini, 1416 H.
- Kulaini, Muhammad bin Ya’qub, al-Kāfi, Tehran, Dar al-Kutub al-Islamiah.
- Mufti Hindi, Ali bin Hisam al-Din, Kanz al-‘Amāl fi Sunan al-Aqwāl wa al-Af’āl, Beirut, cet. Bakari Hayani wa Safwat al-Saqa, 1409 H.
- Majlisi, Muhammad Baqir, Bihār al-Anwār, Beirut, Muassasah al-Wafa.
- Mu’yin, Muhammad bin Muhammad, Dirāsāt al-Lubaib, Karachi, Bajnah Ahya al-Adad al-Sanadi, 1957 M.
- Mufid Muhammad bin Muhammad, al-Arsyād fi Ma’rifah Hujaj Allah ‘ala al-‘Ibād, Qum, 1413 H.
- Manawi, Muhammad Abdur Rauf bin Taj ak-‘Arifin, Faidh al-Qadir, Beirut, Syarh al-Jāmi’ al-Shaghir, 1391 H.
- Nasai, Ahmad bin Syu’aib, al-Sunan al-Kubra, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1411 H.
- Al-Naisyaburi, Muslim bin Hajaj, Shahih Muslim, Istanbul, 1401 H.
- Wa’dzhazadeh Khurasani, Muhammad, Hadits al-Tsaqalain, Qawam al-Din Muhammad Wasynawi, Hadits al-Tsaqalain, Tehran, 1416 H.
- Al-Haitami, Ibnu Hajar, al-Shawā’iq al-Muhraqah fi al-Rad ‘ala Ahl al-Bada’ wa al-Zindiqah, Kairo, cet. Abdul Wahab Abdul Latif, 1385 H.
- Al-Haitsami, ‘Ala bin Abi Bakar, Kasyf al-astār ‘an Zawaid al-Bazār, Beirut, Muasassah al-Risalah, 1979 M.
*****
Hadis Tsaqalain
Peninggalan Rasulullah SAW adalah Al Quran dan Ahlul Bait as
Sebelum Junjungan kita yang mulia Al Imam Rasulullah SAW (Shalawat dan salam kepada Beliau SAW dan Keluarga suciNya as) berpulang ke rahmatullah, Beliau SAW telah berpesan kepada umatnya agar tidak sesat dengan berpegang teguh kepada dua peninggalannya atau Ats Tsaqalain yaitu Kitabullah Al Quranul Karim dan Itraty Ahlul Bait Rasul as. Seraya Beliau SAW juga mengingatkan kepada umatnya bahwa Al Quranul Karim dan Itraty Ahlul Bait Rasul as akan selalu bersama dan tidak akan berpisah sampai hari kiamat dan bertemu Rasulullah SAW di Telaga Kautsar Al Haudh.
Peninggalan Rasulullah SAW itu telah diriwayatkan dalam banyak hadis dengan sanad yang berbeda dan shahih dalam kitab-kitab hadis. Diantara kitab-kitab hadis itu adalah Shahih Muslim, Sunan Ad Darimi, Sunan Tirmidzi, Musnad Abu Ya’la, Musnad Al Bazzar, Mu’jam At Thabrani, Musnad Ahmad bin Hanbal, Shahih Ibnu Khuzaimah, Mustadrak Ash Shahihain, Majma Az Zawaid Al Haitsami, Jami’As Saghir As Suyuthi dan Al Kanz al Ummal. Dalam Tulisan ini akan dituliskan beberapa hadis Tsaqalain yang shahih dalam Shahih Muslim, Mustadrak Ash Shahihain, Sunan Tirmidzi dan Musnad Ahmad bin Hanbal.
1. Hadis riwayat Imam Muslim dalam Shahih Muslim juz II hal 279 bab Fadhail Ali
Muslim meriwayatkan telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb dan Shuja’ bin Makhlad dari Ulayyah yang berkata Zuhair berkata telah menceritakan kepada kami Ismail bin Ibrahim dari Abu Hayyan dari Yazid bin Hayyan yang berkata ”Aku, Husain bin Sabrah dan Umar bin Muslim pergi menemui Zaid bin Arqam. Setelah kami duduk bersamanya berkata Husain kepada Zaid ”Wahai Zaid sungguh engkau telah mendapat banyak kebaikan. Engkau telah melihat Rasulullah SAW, mendengarkan hadisnya, berperang bersamanya dan shalat di belakangnya. Sungguh engkau mendapat banyak kebaikan wahai Zaid. Coba ceritakan kepadaku apa yang kamu dengar dari Rasulullah SAW. Berkata Zaid “Hai anak saudaraku, aku sudah tua, ajalku hampir tiba, dan aku sudah lupa akan sebagian yang aku dapat dari Rasulullah SAW. Apa yang kuceritakan kepadamu terimalah,dan apa yang tidak kusampaikan janganlah kamu memaksaku untuk memberikannya.
Lalu Zaid berkata ”pada suatu hari Rasulullah SAW berdiri di hadapan kami di sebuah tempat yang bernama Ghadir Khum seraya berpidato, maka Beliau SAW memanjatkan puja dan puji atas Allah SWT, menyampaikan nasehat dan peringatan. Kemudian Beliau SAW bersabda “Ketahuilah wahai manusia sesungguhnya aku hanya seorang manusia. Aku merasa bahwa utusan Tuhanku (malaikat maut) akan segera datang dan Aku akan memenuhi panggilan itu. Dan Aku tinggalkan padamu dua pusaka (Ats-Tsaqalain). Yang pertama Kitabullah (Al-Quran) di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya,maka berpegang teguhlah dengan Kitabullah”. Kemudian Beliau melanjutkan, “dan Ahlul Bait-Ku, kuperingatkan kalian kepada Allah akan Ahlul Bait-Ku, kuperingatkan kalian kepada Allah akan Ahlul Bait-Ku, kuperingatkan kalian kepada Allah akan Ahlul Bait-Ku”
Lalu Husain bertanya kepada Zaid ”Hai Zaid siapa gerangan Ahlul Bait itu? Tidakkah istri-istri Nabi termasuk Ahlul Bait? Jawabnya “Istri-istri Nabi termasuk Ahlul Bait. Tetapi yang dimaksud Ahlul Bait disini adalah orang yang tidak diperkenankan menerima sedekah setelah wafat Nabi SAW”, Husain bertanya “Siapa mereka?”.Jawab Zaid ”Mereka adalah Keluarga Ali, Keluarga Aqil, Keluarga Ja’far dan Keluarga Ibnu Abbes”. Apakah mereka semua diharamkan menerima sedekah (zakat)?” tanya Husain; “Ya”, jawabnya.
Hadis di atas terdapat dalam Shahih Muslim, perlu dinyatakan bahwa yang menjadi pesan Rasulullah SAW itu adalah sampai perkataan “kuperingatkan kalian kepada Allah akan Ahlul Bait-Ku” sedangkan yang selanjutnya adalah percakapan Husain dan Zaid perihal Siapa Ahlul Bait. Yang menarik bahwa dalam Shahih Muslim di bab yang sama Fadhail Ali, Muslim juga meriwayatkan hadis Tsaqalain yang lain dari Zaid bin Arqam dengan tambahan percakapan yang menyatakan bahwa Istri-istri Nabi tidak termasuk Ahlul Bait, berikut kutipannya:
“Kami berkata “Siapa Ahlul Bait? Apakah istri-istri Nabi? Kemudian Zaid menjawab ”Tidak, Demi Allah, seorang wanita (istri) hidup dengan suaminya dalam masa tertentu jika suaminya menceraikannya dia akan kembali ke orang tua dan kaumnya. Ahlul Bait Nabi adalah keturunannya yang diharamkan untuk menerima sedekah”.
2. Hadis shahih dalam Mustadrak As Shahihain Al Hakim juz III hal 148
Al Hakim meriwayatkan telah menceritakan kepada kami seorang faqih dari Ray Abu Bakar Muhammad bin Husain bin Muslim, yang mendengar dari Muhammad bin Ayub yang mendengar dari Yahya bin Mughirah al Sa’di yang mendengar dari Jarir bin Abdul Hamid dari Hasan bin Abdullah An Nakha’i dari Muslim bin Shubayh dari Zaid bin Arqam yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda. “Kutinggalkan kepadamu dua peninggalan (Ats Tsaqalain), kitab Allah dan Ahlul BaitKu. Sesungguhnya keduanya tak akan berpisah, sampai keduanya kembali kepadaKu di Al Haudh“
Al Hakim menyatakan dalam Al Mustadrak As Shahihain bahwa sanad hadis ini shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim.
3. Hadis shahih dalam kitab Mustadrak As Shahihain Al Hakim, Juz III hal 109.
Al Hakim meriwayatkan telah menceritakan kepada kami Abu Husain Muhammad bin Ahmad bin Tamim Al Hanzali di Baghdad yang mendengar dari Abu Qallabah Abdul Malik bin Muhammad Ar Raqqasyi yang mendengar dari Yahya bin Hammad; juga telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Muhammad bin Balawaih dan Abu Bakar Ahmad bin Ja’far Al Bazzaz, yang keduanya mendengar dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal yang mendengar dari ayahnya yang mendengar dari Yahya bin Hammad; dan juga telah menceritakan kepada kami Faqih dari Bukhara Abu Nasr Ahmad bin Suhayl yang mendengar dari Hafiz Baghdad Shalih bin Muhammad yang mendengar dari Khallaf bin Salim Al Makhrami yang mendengar dari Yahya bin Hammad yang mendengar dari Abu Awanah dari Sulaiman Al A’masy yang berkata telah mendengar dari Habib bin Abi Tsabit dari Abu Tufail dari Zaid bin Arqam ra yang berkata
“Rasulullah SAW ketika dalam perjalanan kembali dari haji wada berhenti di Ghadir Khum dan memerintahkan untuk membersihkan tanah di bawah pohon-pohon. Kemudian Beliau SAW bersabda” Kurasa seakan-akan aku segera akan dipanggil (Allah), dan segera pula memenuhi panggilan itu, Maka sesungguhnya aku meninggalkan kepadamu Ats Tsaqalain(dua peninggalan yang berat). Yang satu lebih besar (lebih agung) dari yang kedua : Yaitu kitab Allah dan Ittrahku. Jagalah Baik-baik dan berhati-hatilah dalam perlakuanmu tehadap kedua peninggalanKu itu, sebab Keduanya takkan berpisah sehingga berkumpul kembali denganKu di Al Haudh. Kemudian Beliau SAW berkata lagi: “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla adalah maulaku, dan aku adalah maula setiap Mu’min. Lalu Beliau SAW mengangkat tangan Ali Bin Abi Thalib sambil bersabda : Barangsiapa yang menganggap aku sebagai maulanya, maka dia ini (Ali bin Abni Thalib) adalah juga maula baginya. Ya Allah, cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya“
Al Hakim telah menyatakan dalam Al Mustadrak As Shahihain bahwa hadis ini shahih sesuai dengan persyaratan Bukhari dan Muslim.
4. Hadis shahih dalam kitab Mustadrak As Shahihain Al Hakim, Juz III hal 110.
Al Hakim meriwayatkan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Ishaq dan Da’laj bin Ahmad Al Sijzi yang keduanya mendengar dari Muhammad bin Ayub yang mendengar dari Azraq bin Ali yang mendengar dari Hasan bin Ibrahim Al Kirmani yang mendengar dari Muhammad bin Salamah bin Kuhail dari Ayahnya dari Abu Tufail dari Ibnu Wathilah yang mendengar dari Zaid bin Arqam ra yang berkata “Rasulullah SAW berhenti di suatu tempat di antara Mekkah dan Madinah di dekat pohon-pohon yang teduh dan orang-orang membersihkan tanah di bawah pohon-pohon tersebut. Kemudian Rasulullah SAW mendirikan shalat, setelah itu Beliau SAW berbicara kepada orang-orang. Beliau memuji dan mengagungkan Allah SWT, memberikan nasehat dan mengingatkan kami. Kemudian Beliau SAW berkata” Wahai manusia, Aku tinggalkan kepadamu dua hal atau perkara, yang apabila kamu mengikuti dan berpegang teguh pada keduanya maka kamu tidak akan tersesat yaitu Kitab Allah (Al Quranul Karim) dan Ahlul BaitKu, ItrahKu. Kemudian Beliau SAW berkata tiga kali “Bukankah Aku ini lebih berhak terhadap kaum muslimin dibanding diri mereka sendiri.. Orang-orang menjawab “Ya”. Kemudian Rasulullah SAW berkata” Barangsiapa yang menganggap aku sebagai maulanya, maka Ali adalah juga maulanya.
Al Hakim telah menyatakan dalam Al Mustadrak As Shahihain bahwa hadis ini shahih sesuai dengan persyaratan Bukhari dan Muslim.
5. Hadis dalam Musnad Ahmad jilid V hal 189
Abdullah meriwayatkan dari Ayahnya,dari Ahmad Zubairi dari Syarik dari Rukayn dari Qasim bin Hishan dari Zaid bin Tsabit ra, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Aku meninggalkan dua khalifah bagimu, Kitabullah dan Ahlul BaitKu. Keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya datang ke telaga Al Haudh bersama-sama”.
Hadis di atas diriwayatkan dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dari ayahnya Ahmad bin Hanbal, keduanya sudah dikenal tsiqat di kalangan ulama, Ahmad Zubairi. Beliau adalah Muhammad bin Abdullah Abu Ahmad Al Zubairi Al Habbal telah dinyatakan tsiqat oleh Yahya bin Muin dan Al Ajili.
Syarik bin Abdullah bin Sinan adalah salah satu Rijal Muslim, Yahya bin Main berkata “Syuraik itu jujur dan tsiqat”. Ahmad bin Hanbal dan Ajili menyatakan Syuraik tsiqat. Ibnu Ya’qub bin Syaiban berkata” Syuraik jujur dan tsiqat tapi jelek hafalannya”. Ibnu Abi Hatim berkata” hadis Syuraik dapat dijadikan hujjah”. Ibnu Saad berkata” Syuraik tsiqat, terpercaya tapi sering salah”.An Nasai berkata ”tak ada yang perlu dirisaukan dengannya”. Ahmad bin Adiy berkata “kebanyakan hadis Syuraik adalah shahih”.(Mizan Al Itidal adz Dzahabi jilid 2 hal 270 dan Tahdzib At Tahdzib Ibnu Hajar jilid 4 hal 333).
Rukayn (Raqin) bin Rabi’Abul Rabi’ Al Fazari adalah perawi yang tsiqat .Beliau dinyatakan tsiqat oleh Ahmad bin Hanbal, An Nasai, Yahya bin Main, Ibnu Hajar dan juga dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Hibban dalam kitab Ats Tsiqat Ibnu Hibban.
Qasim bin Hishan adalah perawi yang tsiqah. Ahmad bin Saleh menyatakan Qasim tsiqah. Ibnu Hibban menyatakan bahwa Qasim termasuk dalam kelompok tabiin yang tsiqah. Dalam Majma Az Zawaid ,Al Haitsami menyatakan tsiqah kepada Qasim bin Hishan. Adz Dzahabi dan Al Munziri menukil dari Bukhari bahwa hadis Qasim itu mungkar dan tidak shahih. Tetapi Hal ini telah dibantah oleh Ahmad Syakir dalam Musnad Ahmad jilid V,beliau berkata”Saya tidak mengerti apa sumber penukilan Al Munziri dari Bukhari tentang Qasim bin Hishan itu. Sebab dalam Tarikh Al Kabir Bukhari tidak menjelaskan biografi Qasim demikian juga dalam kitab Adh Dhu’afa. Saya khawatir bahwa Al Munziri berkhayal dengan menisbatkan hal itu kepada Al Bukhari”. Oleh karena itu Syaikh Ahmad Syakir menguatkannya sebagai seorang yang tsiqah dalam Syarh Musnad Ahmad.
Jadi hadis dalam Musnad Ahmad diatas adalah hadis yang shahih karena telah diriwayatkan oleh perawi-perawi yang dikenal tsiqah.
6. Hadis dalam Musnad Ahmad jilid V hal 181-182
Riwayat dari Abdullah dari Ayahnya dari Aswad bin ‘Amir, dari Syarik dari Rukayn dari Qasim bin Hishan, dari Zaid bin Tsabit, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda”Sesungguhnya Aku meninggalkan dua khalifah bagimu Kitabullah, tali panjang yang terentang antara langit dan bumi atau diantara langit dan bumi dan Itrati Ahlul BaitKu. Dan Keduanya tidak akan terpisah sampai datang ke telaga Al Haudh”
Hadis di atas diriwayatkan dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dari ayahnya Ahmad bin Hanbal, Semua perawi hadis Musnad Ahmad di atas telah dijelaskan sebelumnya kecuali Aswad bin Amir Shadhan Al Wasithi. Beliau adalah salah satu Rijal atau perawi Bukhari Muslim. Al Qaisarani telah menyebutkannya di antara perawi-perawi Bukhari Muslim dalam kitabnya Al Jam’u Baina Rijalisy Syaikhain. Selain itu Aswad bin Amir dinyatakan tsiqat oleh Ali bin Al Madini, Ibnu Hajar, As Suyuthi dan juga disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam Kitabnya Ats Tsiqat Ibnu Hibban. Oleh karena itu hadis Musnad Ahmad di atas sanadnya shahih.
7. Hadis dalam Sunan Tirmidzi jilid 5 halaman 662 – 663
At Tirmidzi meriwayatkan telah bercerita kepada kami Ali bin Mundzir al-Kufi, telah bercerita kepada kami Muhammad bin Fudhail, telah bercerita kepada kami Al-A’masy, dari ‘Athiyyah, dari Abi Sa’id dan Al-A’masy, dari Habib bin Abi Tsabit, dari Zaid bin Arqam yang berkata, ‘Rasulullah saw telah bersabda, ‘Sesungguhnya aku tinggalkan padamu sesuatu yang jika kamu berpegang teguh kepadanya niscaya kamu tidak akan tersesat sepeninggalku, yang mana yang satunya lebih besar dari yang lainnya, yaitu Kitab Allah, yang merupakan tali penghubung antara langit dan bumi, dan ‘itrah Ahlul BaitKu. Keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga datang menemuiku di telaga. Maka perhatikanlah aku dengan apa yang kamu laksanakan kepadaku dalam keduanya”
Dalam Tahdzib at Tahdzib jilid 7 hal 386 dan Mizan Al I’tidal jilid 3 hal 157, Ali bin Mundzir telah dinyatakan tsiqat oleh banyak ulama seperti Ibnu Abi Hatim,Ibnu Namir,Imam Sha’sha’i dan lain-lain,walaupun Ali bin Mundzir dikenal sebagai seorang syiah. Mengenai hal ini Mahmud Az Za’by dalam bukunya Sunni yang Sunni hal 71 menyatakan tentang Ali bin Mundzir ini “para ulama telah menyatakan ketsiqatan Ali bin Mundzir. Padahal mereka tahu bahwa Ali adalah syiah. Ini harus dipahami bahwa syiah yang dimaksud disini adalah syiah yang tidak merusak sifat keadilan perawi dengan catatan tidak berlebih-lebihan. Artinya ia hanya berpihak kepada Ali bin Abu Thalib dalam pertikaiannya melawan Muawiyah. Tidak lebih dari itu. Inilah pengertian tasyayyu menurut ulama sunni. Karena itu Ashabus Sunan meriwayatkan dan berhujjah dengan hadis Ali bin Mundzir”.
Muhammad bin Fudhail,dalam Hadi As Sari jilid 2 hal 210,Tahdzib at Tahdzib jilid 9 hal 405 dan Mizan al Itidal jilid 4 hal 9 didapat keterangan tentang beliau. Ahmad berkata”Ia berpihak kepada Ali, tasyayyu. Hadisnya baik” Yahya bin Muin menyatakan Muhammad bin Fudhail adalah tsiqat. Abu Zara’ah berkata”ia jujur dan ahli Ilmu”.Menurut Abu Hatim,Muhammad bin Fudhail adalah seorang guru.Nasai tidak melihat sesuatu yang membahayakan dalam hadis Muhammad bin Fudhail. Menurut Abu Dawud ia seorang syiah yang militan. Ibnu Hibban menyebutkan dia didalam Ats Tsiqat seraya berkata”Ibnu Fudhail pendukung Ali yang berlebih-lebihan”Ibnu Saad berkata”Ia tsiqat,jujur dan banyak memiliki hadis.Ia pendukung Ali”. Menurut Ajli,Ibnu Fudhail orang kufah yang tsiqat tetapi syiah. Ali bin al Madini memandang Muhammad bin Fudhail sangat tsiqat dalam hadis. Daruquthni juga menyatakan Muhammad bin Fudhail sangat tsiqat dalam hadis.
Al A’masy atau Sulaiman bin Muhran Al Kahili Al Kufi Al A’masy adalah perawi Kutub As Sittah yang terkenal tsiqat dan ulama hadis sepakat tentang keadilan dan ketsiqatan Beliau..(Mizan Al Itidal adz Dzahabi jilid 2 hal 224 dan Tahdzib At Tahdzib Ibnu Hajar jilid 4 hal 222).Dalam hadis Sunan Tirmidzi di atas A’masy telah meriwayatkan melalui dua jalur yaitu dari Athiyyah dari Abu Said dan dari Habib bin Abi Tsabit dari Zaid bin Arqam.
Athiyyah bin Sa’ad al Junadah Al Awfi adalah tabiin yang dikenal dhaif. Menurut Adz Dzahabi Athiyyah adalah seorang tabiin yang dikenal dhaif ,Abu Hatim berkata hadisnya dhaif tapi bisa didaftar atau ditulis, An Nasai juga menyatakan Athiyyah termasuk kelompok orang yang dhaif, Abu Zara’ah juga memandangnya lemah. Menurut Abu Dawud Athiyyah tidak bisa dijadikan sandaran atau pegangan.Menurut Al Saji hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah,Ia mengutamakan Ali ra dari semua sahabat Nabi yang lain. Salim Al Muradi menyatakan bahwa Athiyyah adalah seorang syiah. Abu Ahmad bin Adi berkata walaupun ia dhaif tetapi hadisnya dapat ditulis. Kebanyakan ulama memang memandang Athiyyah dhaif tetapi Ibnu Saad memandang Athiyyah tsiqat,dan berkata insya Allah ia mempunyai banyak hadis yang baik,sebagian orang tidak memandang hadisnya sebagai hujjah. Yahya bin Main ditanya tentang hadis Athiyyah ,ia menjawab “Bagus”.(Mizan Al ‘Itidal jilid 3 hal 79).
Habib bin Abi Tsabit Al Asadi Al Kahlili adalah Rijal Bukhari dan Muslim dan para ulama hadis telah sepakat akan keadilan dan ketsiqatan beliau, walaupun beliau juga dikenal sebagai mudallis (Tahdzib At Tahdzib jilid 2 hal 178). Jadi dari dua jalan dalam hadis Sunan Tirmidzi di atas, sanad Athiyyah semua perawinya tsiqat selain Athiyyah yang dikenal dhaif walaupun Beliau di ta’dilkan oleh Ibnu Saad dan Ibnu Main. Sedangkan sanad Habib semua perawinya tsiqat tetapi dalam hadis di atas A’masy dan Habib meriwayatkan dengan lafal ‘an (mu’an ‘an) padahal keduanya dikenal mudallis. Walaupun begitu banyak hal yang menguatkan sanad Habib ini sehingga hadisnya dinyatakan shahih yaitu:
a. Dalam kitab Mustadrak As Shahihain Al Hakim, Juz III hal 109 terdapat hadis tsaqalain yang menyatakan bahwa A’masy mendengar langsung dari Habib.(lihat hadis no 3 di atas). Sulaiman Al A’masy yang berkata telah mendengar dari Habib bin Abi Tsabit dari Abu Tufail dari Zaid bin Arqam ra. Dan hadis ini telah dinyatakan shahih oleh Al Hakim.
b. Syaikh Ahmad Syakir telah menshahihkan cukup banyak hadis dengan lafal’an dalam Musnad Ahmad salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan dengan lafal ‘an oleh A’masyi dan Habib(A’masy dari Habib dari…salah seorang sahabat).
c. Hadis Sunan Tirmidzi ini telah dinyatakan hasan gharib oleh At Tirmidzi dan telah dinyatakan shahih oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Turmudzi dan juga telah dinyatakan shahih oleh Hasan As Saqqaf dalam Shahih Sifat Shalat An Nabiy.
Semua hadis di atas menyatakan dengan jelas bahwa apa yang merupakan peninggalan Rasulullah SAW yang disebut Ats Tsaqalain (dua peninggalan) itu adalah Al Quran dan Ahlul Bait as. Sebagian orang ada yang menyatakan bahwa hadis itu tidak mengharuskan untuk berpegang teguh kepada Al Quran dan Ahlul Bait melainkan hanya berpegang teguh kepada Al Quran sedangkan tentang Ahlul Bait hadis itu mengingatkan bahwa kita harus menjaga hak-hak Ahlul Bait, mencintai dan menghormati Mereka. Sebagian orang tersebut telah berdalil dengan hadis Tsaqalain Shahih Muslim, Sunan Ad Darimi dan Musnad Ahmad yang memiliki redaksi kuperingatkan kalian akan Ahlul BaitKu, dan menyatakan bahwa dalam hadis tersebut tidak terdapat indikasi untuk berpegang teguh pada Ahlul Bait.
Terhadap pernyataan ini kami tidak sependapat dan dengan jelas kami menyatakan bahwa pendapat itu adalah tidak benar. Tentu saja sebagai seorang Muslim kita harus mencintai dan menghormati serta menjaga hak-hak Ahlul Bait tetapi hadis Tsaqalain jelas menyatakan keharusan berpegang teguh kepada Ahlul Bait dan hal ini telah ditetapkan dengan hadis-hadis yang shahih. Dalam hadis Tsaqalain Shahih Muslim, Sunan Ad Darimi dan Musnad Ahmad yang memiliki redaksi kuperingatkan kalian akan Ahlul BaitKu, juga tidak terdapat kata-kata yang menyatakan bahwa yang dimaksud itu adalah menjaga hak-hak Ahlul Bait, mencintai dan menghormati Mereka. Justru semua hadis ini harus dikumpulkan dengan hadis Tsaqalain yang lain yang memiliki redaksi berpegang teguh kepada Ahlul Bait atau redaksi Al Quran dan Ahlul Bait selalu bersama dan tidak akan berpisah. Dengan mengumpulkan semua hadis itu dapat diketahui bahwa peringatan Rasulullah SAW dalam kata-kata kuperingatkan kalian akan Ahlul BaitKu, tersebut adalah keharusan berpegang teguh kepada Ahlul Bait as.
Sebagian orang yang kami maksud (Ibnu Taimiyah dalam Minhaj As Sunnah dan Ali As Salus dalam Imamah Wal Khilafah). telah menyatakan bahwa hadis–hadis yang memiliki redaksi berpegang teguh kepada Ahlul Bait atau redaksi Al Quran dan Ahlul Bait selalu bersama dan tidak akan berpisah adalah tidak shahih. Kami dengan jelas menyatakan bahwa hal ini tidaklah benar karena hadis tersebut adalah hadis yang shahih seperti yang telah kami nyatakan di atas dan cukup banyak ulama yang telah menguatkan kebenarannya. Cukuplah disini dinyatakan pendapat Syaikh Nashirudin Al Albani yang telah menyatakan shahihnya hadis Tsaqalain tersebut dalam kitab Shahih Sunan Tirmidzi, Shahih Jami’ As Saghir dan Silsilah Al Hadits Al Shahihah .
Bahwa Rasulullah SAW bersabda “Wahai manusia sesungguhnya Aku meninggalkan untuk kalian apa yang jika kalian berpegang kepadanya niscaya kalian tidak akan sesat ,Kitab Allah dan Itrati Ahlul BaitKu”.(Hadis riwayat Tirmidzi,Ahmad,Thabrani,Thahawi dan dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albany dalam kitabnya Silsilah Al Hadits Al Shahihah no 1761).
*****
Hadits Tsaqalain Menurut Syiah dan Ahlusunnah
Hadits Tsaqalain dianggap sebagai hadits utama yang menjadi rujukan kaum Syiah tentang wasiat Nabi untuk menjaga kemuliaan Itrah Ahlu Bait. Hadits tersebut selengkapnya berbunyi;
“Aka tinggalkan kcpadamu dua bal yang berat (Tsaqalain) yaitu Al-Qur’an dan keturunanku” (Ahlu Bait). jika kamu memegang teguh keduanya niscaya kamu tidak akan sesat selamanya. Kamu akan celaka jika berani mendahului mereka atau menyia-nyiakan mereka. Dan janganlah kamu mengajari mereka karma mereka lebih tabu dari kamu.” [1]
Hadits Tsaqalain ini disebutkan Syiah di dalam hampir semua kitab-kitab haditsnya, sebagaimana juga hadits ini disebut dalam lebih dua puluh kitab hadits pegangan utama mazhab Ahlu Sunnah.
Hadits Tsaqalain ini secara jelas tanpa dikurangi dan ditambah-tambahkan menunjukkan bahwa telah tersesatlah orang yang tidak berpegang teguh pada keduanya (Al-Qur’an dan Ahlu Bait) dan celaka pula karena berani mendahului Ahlu Bait dengan lebih mengutamakan Imam yang lain daripada Ahlu Bait Rasul (saw).
Pandangan ini sekaligus sebagai dasar penolakan Syiah terhadap pihak lain yang tetap meyakini bahwa mereka berpegang teguh hanya pada Al-Qur’an.
Pendapat ini keliru karena Al-Quran bersifat umum dan masih membutuhkan penjelasan-penjelasan rinci Iainnya dari Sunnah Nabi. Dan untuk mendapatkan penjelasan-penjelasan rincinya tentu harus kembali kepada Ahlu Bait Nabi yang suci sebagaimana yang pernah Rasul (saw) wasiatkan. Inilah makna sabda Rasul yang menyatakan:
“Ali bersama Al-Qur’an dan Al-Qur’an bersamanya”. Keduanya tidak akan berpisah sehingga menjumpaiku nanti pada hari akhir.”[2]
Dan “Ali bersama kebenaran dan kebenaran bersama Ali, keduanya tidak akan berpisah hingga menjumpaiku pada hati akhir.” [3]
Jelaslah dari hadis-hadis tersebut bahwa orang yang meninggalkan Ali adalah orang yang meninggalkan tafsir hakiki atas Al-Qur’an dan terjerumus dalam kesalahan dan kesesatan yang berarti telah meninggalkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang sebenarnya.
Dan kalau kita melihat pesan Rasul yang mengabarkan bahwa umat Islam ini akan terpecah menjadi 73 golongan dan hanya satu yang selamat. Tampaklah jelas siapa golongan selamat yang dimaksud. Golongan itu tak lain adalah Syiah pengikut Sunnah Imam Ali dan Ahlu Bait Rasul yang suci
“Mereka itulah golongan terbaik. Balasannya dari Allah adalala surga Aden yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya Allah ridha pada mereka dan mereka ridha pada Allah. Itulah balasan bagi orang yang takut pada Tihan-Nya” (al-Bayyinah : 7-8).
Hadits Tsaqalain Menurut Ahlu Sunnah
Sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas, kesahihan Hadits Tsaqalain ini tidak hanya diakui kalangan Syiah saja tapi juga diakui kalangan Ahlu Sunnah. Pengakuan Ahlu Sunnah akan kesahihan tersebut secara implisit menandakan adanya pengakuan bahwa mereka sendiri tidak berpegang teguh pada Itrah Ahlu Bait yang suci.
Anehnya banyak Ulama-ulama Ahlu Sunnah yang tetap menolak hadits tersebut dan malah sebaliknya berpegang teguh pada hadits : “Aku tinggalkan untukmu Kitabullah dan sunnahku”[4] .
Catatan Kaki:
[1] Shahih Bukhori Muslim. Sunan At-Tirmidzy. Mustadrak Al Hakim, Musnad, Ahmad Kanzul Ummal, Khasais Al Nasai, Thabaqat Ibnu Saad, Al Tabrani. Al Sayuti.
Ibnu Hajar dan Ibnu Atsir. Untuk mengetahui nomorJuz dan halaman silahkan lihat kitab Al-Murajaat hal. 82 dan seterusnya.
[2] Muntakhab Al Hakim juz 3. h. 124
[3] Kanzul Ummal juz 5, h. 30. Tarikh Ibnu Asakir juz 3, h. 119, Tarikh Baghdad juz 14, H. 321, Tarikh AI Khulafa juz 1, h. 73
[4] Hadits Mursal dan tidak diriwayatkan Bukhori Muslim.
(Scondprince/Wiki-Shia/Syia-Menjawab/Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email