Dalam buku al-Kafi, dinukil dari Zakaria bin Ibrahim bahwa dia berkata, “Saya dulu adalah seorang Kristen dan sekarang menjadi muslim. Kemudian saya memutuskan untuk menunaikan ibadah haji. Di Mekah saya bertemu dengan Imam Shadiq as dan saya berkata, “Saya dulu adalah seorang Kristen dan sekarang menjadi muslim.”
Imam Shadiq as berkata, “Apa yang engkau lihat dalam Islam?”
Saya katakan, “Ayat ini yang menyebabkan saya mendapatkan hidayah. “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Syura:52) Maksudnya adalah Allah-lah yang memberikan hidayah kepadaku.”
Imam Shadiq as berkata, “Sesungguhnya Allah telah memberikan hidayah kepadamu.”
Kemudian beliau berkata tiga kali, “Ya Allah! Tunjukkanlah dia ke jalan keimanan!”
Selanjutnya beliau meminta kepada saya, agar menanyakan setiap persoalan yang saya miliki.
Saya katakan, “Ayah dan ibu serta keluargaku adalah Kristen. Ibuku buta. Apakah saya yang hidup bersama mereka ini, bisa makan menggunakan wadah mereka?”
Imam Shadiq as bertanya, “Apakah mereka makan daging babi?”
Saya katakan, “Tidak. Bahkan mereka tidak pernah menyentuhnya.”
Imam Shadiq as berkata, “Tidak masalah, makanlah bersama mereka.” Kemudian beliau memerintahkan, “Kasih sayangilah ibumu. Bila ibumu meninggal dunia, maka engkau sendiri yang harus menguburkannya. Jangan katakan kepada siapa-siapa bahwa engkau menemui aku dan insyaallah engkau akan melihatku di Mina.”
Di Mina saya menemui Imam Shadiq dan masyarakat sedang mengerubuti beliau seperti anak-anak sekolah dan menyampaikan pertanyaannya. Ketika saya balik ke Kufah saya benar-benar menyayangi ibuku, saya memberikan makan kepadanya. Sampai suatu hari ibuku bertanya, “Dulu ketika engkau seagama dengan kami, engkau tidak menyayangi aku seperti ini. Sekarang apa yang menjadikan engkau mengabdi kepadaku?”
Saya katakan, “Seorang lelaki dari keluarga Rasulullah Saw telah memerintahkan aku demikian.”
Ibuku berkata, “Apakah dia seorang nabi?”
Saya katakan, “Bukan, dia adalah putra nabi.”
Ibuku berkata, “Tidak. Dia adalah seorang nabi.” Karena perintah seperti ini merupakan perintah para nabi.”
Saya katakan, “Ibu! Setelah nabi kita, tidak akan ada nabi lagi. Dia adalah putranya nabi.”
Ibuku berkata, “Agamamu adalah sebaik-baiknya agama. Ajarkan juga kepadaku.”
Saya mengajarkan kepadanya, dua kalimat syahadat dan bagaimana caranya salat. Ibuku mengerjakan salat Zuhur, Asar, Maghrib dan Isya. Pada malam itu juga kondisinya berubah dan memanggil saya dan berkata bahwa dia melihat cahaya dan berkata, “Ulangilah apa yang engkau ajarkan kepadaku.”
Saya pun membacakan dua kalimat syahadat untuknya. Ibuku membaca dua kalimat syahadat dan saat itu juga meninggal dunia. Pada pagi hari orang-orang muslim memandikannya dan saya mensalatinya dan meletakkanya di dalam kubur.
Kesabaran Imam Shadiq as
Ibnu Abil’auja’ hidup di masa Imam Shadiq as. Dia adalah pengikut aliran atheisme dan sering duduk berbincang-bincang dengan Imam Shadiq as membicarakan beragam masalah.
Mufadhal bin Umar berkata, “Suatu hari pada waktu Asar saya duduk di masjid Nabi Saw di antara kubur dan mimbar. Ketika saya sedang memikirkan tentang keagungan pemimpin Islam, pada saat itu masuklah Ibun Abil’auja’ dan dia duduk di samping saya. Tidak lama kemudian, datanglah salah satu teman dia dan duduk di sampingnya. Ibnu Abil’auja’ membicarakan tentang keagungan dan kebesaran Rasululllah Saw. Kemudian temannya memahami inti kata-katanya dan menilai Rasulullah sebagai filosof yang mahir dan mumpuni yang membuat orang-orang yang berakal merasa takjub kepadanya. Lalu menerima dakwahnya dan akibatnya masyarakat juga beriman kepadanya dan menerima agamanya.
Ibu Abil’auja’ berkata, “Jangan membicarakan tentang Rasulullah. Akalku bingung tentang masalah ini. Kemudian dia membicarakan tentang materi dan berkata bahwa alam itu abadi dan selalu ada dan Tuhan tidak menciptakannya.”
Mufadhal tidak tahan mendengar ucapan ini dan marah. Oleh karena itu dia berkata agak keras, “Hai musuh Allah! Engkau menafikan agama Allah? Engkau mengingkari pencipta alam? Engkau mengingkari ayat-ayat-Nya yang penuh hikmah yang bahkan ada di dalam bangunanmu sendiri?”
Ibu Abil’auja’ berkata, “Bila engkau adalah pakar dialog, maka aku akan berbicara denganmu dan bila engkau membawakan dalil yang kuat tentang apa yang engkau klaim, maka aku akan menerimanya. Bila engkau bukan ahlinya dialog dan argumen, maka aku tidak akan berbicara denganmu. Bila engkau adalah sahabat Imam Jakfar bin Muhammad, dia tidak akan berbicara dengan kami demikian dan seperti kamu. Imam as lebih banyak tahu tentang apa yang aku katakan daripada engkau. Dia tidak pernah berkata buruk kepada kami. Dia tidak pernah keluar dari batas akhlak dan adab dalam menjawab pertanyaan kami. Dia adalah seorang lelaki yang sabar, wibawa, berakal dan sempurna.
Dalam berdialog, dia tidak kebingungan. Dia takut dan khawatir. Dia mendengarkan ucapan kami dengan baik dan tahu tentang dalil yang kami sampaikan. Ketika kami selesai berbicara, kami berpikir bahwa kami telah menyempurnakan hujjah kami dan telah menutup jalannya jawaban. Tapi dengan ucapan yang singkat dia telah mengecam dan membuat kami puas dan menutup jalannya alasan sehingga kami tidak bisa menolak jawaban dan membuka jalan untuk kami. Bila engkau adalah sahabat Imam Shadiq as, maka berbicaralah dengan kami seperti dia. (Emi Nur Hayati)
Sumber: Sad Pand va Hekayat; Imam Ja’far Shadiq as
(Parstoday/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email