120 ribu muslim Rohingya yang terlunta-lunta dari rumahnya akibat sejumlah kekerasan para ekstremis Buddha dan penindasan tentara Myanmar yang menghadapi kondisi kritis.
Menurut laporan IQNA dilansir dari Reuters, para pengungsi yang tinggal di kamp-kamp sementara di propinsi Rakhine, sudah beberapa waktu tidak mendapatkan segala bentuk bantuan makanan, medis, dan obat-obatan.
Hal ini terjadi setelah pemerintah Myanmar menuduh PBB dan organisasi bantuan internasional membantu apa yang dinamai pemerintah dengan para pemberontak muslim dan karenanya sejumlah organisasi menghentikan sejumlah bantuannya di Rakhine.
Mayoritas sejumlah organisasi ini mengeluarkan seluruh pekerja non urgennya dari propinsi ini.
Menurut Pierre Peron, Juru Bicara Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan, akibat penundaan bantuan sejumlah kawasan pusat propinsi Rakhine, banyak sekali para pengungsi Rohingya tidak mendapatkan bantuan makanan dan medis.
Kondisi kesehatan kamp para pengungsi juga dikarenakan keengganan sejumlah mitra untuk membersihkan kamp-kamp ini masuk pada tahap berbahaya dan dikhawatirkan dengan datangnya musim hujan tahunan, sejumlah penyakit seperti wabah kolera akan menjangkiti para pengungsi yang tinggal di kamp-kamp ini.
Gelombang baru sejumlah kekerasan terhadap minoritas muslim Myanmar dimulai sekitar satu bulan lalu pasca tewasnya 9 aparat polisi di Rakhine dan umat muslim Rohingya dituding telah melakukan pembunuhan terhadap mereka.
Selama ini, banyak sekali rumah di desa-desa muslim propinsi ini dibakar dan dihancurkan. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang ditangkap, dibunuh, dan atau dianiaya dan penindasan sadis masih terus berlanjut.
Sejumlah penindasan dan kekerasan ini menyebabkan banyak sekali dari umat muslim Rohingya terlunta-lunta.
Minoritas muslim Rohingya menurut kesaksian PBB telah mendapatkan tekanan dan kekerasan terdahsyat dibandingkan dengan sejumlah minoritas lainnya dan mereka dipandang dengan pandangan asing meski di negaranya sendiri.
Warga Rohingya mendapatkan banyak diskrimiinasi, seperti kerja paksa, pembatasan kebebasan hilir mudik dan tidak ada akses pendidikan dan perlindungan kesehatan.
(Reuters/IQNA/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email