Dengan pembekuan semua aset Arab Saudi di Amerika dan kecenderungan melambatnya perekonomian global, Saudi tidak mempunyai pilihan lain kecuali berutang kepada IMF.
Kabar menyebutkan Arab Saudi akan mengajukan pinjaman US$ 10 miliar kepada IMF (Dana Moneter Internasional) sangat mengagetkan. Negara Kabah itu merupakan pengekspor minyak terbesar sejagat, lalu mengapa sampai berutang segala ke IMF? Langkah ini mungkin bisa mengakibatkan kejatuhan perekonomian Saudi secara perlahan namun pasti.
Dalam beberapa tahun belakangan sudah ada indikasi perekonomian Arab Saudi dililit masalah, sehingga perlu segera pindah ke arah yang tidak lagi mengandalkan minyak. Harga minyak mentah global merupakan penyumbang terbesar bagi devisa Saudi melambat, anjlok dari US$ 147 per barel pada 2008 ke US$ 47 saat ini.
Tingginya harga emas hitam dunia itu di masa lalu membikin orang-orang Arab Saudi yakin mereka bakal bisa menikmati pendapatan dalam jumlah amat besar untuk waktu amat lama. Bukannya berinvestasi di infrastruktur, teknologi makanan, teknolgi infrmasi, dan sumber daya manusia ketika segalanya berjalan bagus, Saudi memilih menanamkan modalnya di luar negeri, terutama negara-negara Barat.
Arab Saudi terus mengimpor, bahkan untuk bahan pangan menjadi kebutuhan dasar warganya. Para ekspatriat diundang masuk untuk mengerjalan beragam keahlian dan pekerjaan kasar.
Arab Saudi sekarang sedang panik mengenai masa depan mereka. Di negara tidak pernah mengenai sistem pajak itu, sejak tahun ini sudah memberlakukan pajak seratus riyal sebulan untuk tiap kepala menjadi tanggungan kespatriat. Mulai Januari tahun depan, Saudi - seperti lima negara Arab teluk lainnya - akan memberlakukan VAT (pajak pertambahan nilai). Subsidi terhadap bahan bakar, air, dan listrik juga sudah ditarik.
Sukar membayangkan Arab Saudi terpaksa harus meminjam dari IMF. Di atas kertas, negeri Dua Kota Suci ini termasuk negara paling tajir di dunia. Ekspor minyaknya tahun lalu senilai US$ 136,2 miliar atau 20,1 persen dari total nilai pasar minyak global. Pemerintah Saudi juga masih memiliki surat berharga Amerika Serikat sekitar US$ 750 miliar.
Rupanya Arab Saudi tidak memiliki akses terhadap surat berharga senilai US$ 750 miliar tersebut. Setelah Kongres Amerika tahun lalu mengesahkan JASTA (Akta Keadilan terhadap Sponsor Terorisme), Washington DC langsung membekukan semua aset Saudi di negara adikuasa tersebut.
Undang-undang itu meembolehkan keluarga korban mengajukan gugatan terhadap Arab Saudi karena mendukung terorisme. Pada 20 Maret lalu, 1.500 korban selamat dan 850 keluarga korban dalam serangan 11 September 2001, menggugat Arab Saudi untuk mmeberi ganti rugi materi senilai US$ 100 miliar. Mereka menduga pemerintah Arab Saudi sudah mengetahui beberapa pejabat dan warganya terlibat dengan Al-Qaidah dalam mefrencanakan serangan Teror 11/9 itu.
Dengan pembekuan semua aset Arab Saudi di Amerika dan kecenderungan melambatnya perekonomian global, Saudi tidak mempunyai pilihan lain kecuali berutang kepada IMF.
Tentu saja implikasi pinjaman dari IMF tidak murah: bisa membikin perekonomian Arab saudi berdarah-darah dan bahkan berujung pada kebangkrutan. IMF biasanya akan mengajukan beragam syarat untuk memberikan pinjaman, termasuk menghapus subsidi kebutuhan dasar, seperti bahan bakar, air, dan listrik; menerapkan ekonomi pasar terbuka dengan menghapus berbagai hambatan dagang dan mengizinkan perusahaan-perusahaan raksasa Barat memiliki akses langsung terhadap sumber bahan baku; serta devaluasi mata uang.
Kalau sampai Arab Saudi benar-benar berutang US$ 10 miliar kepada IMF, ini merupakan kebalikan dari kesepakatan terwujud pada 7 Mei 1981. Kala itu, the Saudi Arabian Monetary Agency (SAMA) - merupakan bank sentral Saudi - setuju memberi pinjaman juga senilai US$ 10 miliar kepada IMF.
(Middle-East-Monitor/Al-Balad/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Putera Mahkota Arab Saudi Pangeran Muhammad bin Salman. (Foto: Arab News)
Kabar menyebutkan Arab Saudi akan mengajukan pinjaman US$ 10 miliar kepada IMF (Dana Moneter Internasional) sangat mengagetkan. Negara Kabah itu merupakan pengekspor minyak terbesar sejagat, lalu mengapa sampai berutang segala ke IMF? Langkah ini mungkin bisa mengakibatkan kejatuhan perekonomian Saudi secara perlahan namun pasti.
Dalam beberapa tahun belakangan sudah ada indikasi perekonomian Arab Saudi dililit masalah, sehingga perlu segera pindah ke arah yang tidak lagi mengandalkan minyak. Harga minyak mentah global merupakan penyumbang terbesar bagi devisa Saudi melambat, anjlok dari US$ 147 per barel pada 2008 ke US$ 47 saat ini.
Tingginya harga emas hitam dunia itu di masa lalu membikin orang-orang Arab Saudi yakin mereka bakal bisa menikmati pendapatan dalam jumlah amat besar untuk waktu amat lama. Bukannya berinvestasi di infrastruktur, teknologi makanan, teknolgi infrmasi, dan sumber daya manusia ketika segalanya berjalan bagus, Saudi memilih menanamkan modalnya di luar negeri, terutama negara-negara Barat.
Arab Saudi terus mengimpor, bahkan untuk bahan pangan menjadi kebutuhan dasar warganya. Para ekspatriat diundang masuk untuk mengerjalan beragam keahlian dan pekerjaan kasar.
Arab Saudi sekarang sedang panik mengenai masa depan mereka. Di negara tidak pernah mengenai sistem pajak itu, sejak tahun ini sudah memberlakukan pajak seratus riyal sebulan untuk tiap kepala menjadi tanggungan kespatriat. Mulai Januari tahun depan, Saudi - seperti lima negara Arab teluk lainnya - akan memberlakukan VAT (pajak pertambahan nilai). Subsidi terhadap bahan bakar, air, dan listrik juga sudah ditarik.
Sukar membayangkan Arab Saudi terpaksa harus meminjam dari IMF. Di atas kertas, negeri Dua Kota Suci ini termasuk negara paling tajir di dunia. Ekspor minyaknya tahun lalu senilai US$ 136,2 miliar atau 20,1 persen dari total nilai pasar minyak global. Pemerintah Saudi juga masih memiliki surat berharga Amerika Serikat sekitar US$ 750 miliar.
Rupanya Arab Saudi tidak memiliki akses terhadap surat berharga senilai US$ 750 miliar tersebut. Setelah Kongres Amerika tahun lalu mengesahkan JASTA (Akta Keadilan terhadap Sponsor Terorisme), Washington DC langsung membekukan semua aset Saudi di negara adikuasa tersebut.
Undang-undang itu meembolehkan keluarga korban mengajukan gugatan terhadap Arab Saudi karena mendukung terorisme. Pada 20 Maret lalu, 1.500 korban selamat dan 850 keluarga korban dalam serangan 11 September 2001, menggugat Arab Saudi untuk mmeberi ganti rugi materi senilai US$ 100 miliar. Mereka menduga pemerintah Arab Saudi sudah mengetahui beberapa pejabat dan warganya terlibat dengan Al-Qaidah dalam mefrencanakan serangan Teror 11/9 itu.
Dengan pembekuan semua aset Arab Saudi di Amerika dan kecenderungan melambatnya perekonomian global, Saudi tidak mempunyai pilihan lain kecuali berutang kepada IMF.
Tentu saja implikasi pinjaman dari IMF tidak murah: bisa membikin perekonomian Arab saudi berdarah-darah dan bahkan berujung pada kebangkrutan. IMF biasanya akan mengajukan beragam syarat untuk memberikan pinjaman, termasuk menghapus subsidi kebutuhan dasar, seperti bahan bakar, air, dan listrik; menerapkan ekonomi pasar terbuka dengan menghapus berbagai hambatan dagang dan mengizinkan perusahaan-perusahaan raksasa Barat memiliki akses langsung terhadap sumber bahan baku; serta devaluasi mata uang.
Kalau sampai Arab Saudi benar-benar berutang US$ 10 miliar kepada IMF, ini merupakan kebalikan dari kesepakatan terwujud pada 7 Mei 1981. Kala itu, the Saudi Arabian Monetary Agency (SAMA) - merupakan bank sentral Saudi - setuju memberi pinjaman juga senilai US$ 10 miliar kepada IMF.
(Middle-East-Monitor/Al-Balad/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email