Oleh: Dina Sulaeman
Sejumlah orang menanyakan pendapat saya mengenai kasus Rohignya. Berikut ini beberapa poin pemikiran saya, sebagian pernah saya tulis di paper saya yang diikutsertakan dalam konferensi internasional, “Debating ‘National Interest’ Vis A Vis Refugees: Indonesia’s Rohingya Case”, sebagian pernah saya tulis di blog.
1. Sejak awal deklarasi kemerdekaan Myanmar tahun 1948 (semula dijajah oleh Inggris), negeri tersebut sudah memiliki konflik antaretnis, karena etnis Burma yang merupakan 2/3 dari populasi mendominasi 100-an etnis lainnya, seperti etnis Shan, Karen, Rakhine, Rohingya, Kachine, dan Mon.
Menurut keterangan narasumber penelitian saya saat menulis paper tentang Rohingya, secara umum, umat Islam baik-baik saja di Myanmar, ada masjid-masjid yang berdiri di sana, dan umat Muslim bisa beribadah dengan aman. Yang jadi masalah adalah: etnis Rohingya yang ‘kebetulan’ Muslim adalah etnis minoritas yang tidak diakui sebagai warga negara Myanmar. Akibat status ‘stateless’ ini, mereka mengalami diskriminasi dan penindasan. Suku Kachin dan Karen juga mengalami penindasan dari rezim Myanmar, agama mereka umumnya Kristiani.
Bahwa kemudian ada kelompok ekstrimis Budha menggunakan isu agama untuk mengeskalasi konflik, meningkatkan kebencian populasi mayoritas terhadap populasi minoritas, menurut saya, tak jauh berbeda kasusnya dengan konflik di berbagai negara lain, antara lain Suriah (dan juga Indonesia). Isu agama memang sangat mudah dimanfaatkan untuk membangkitkan kemarahan publik.
Karena itu narasi “umat Islam dibantai oleh kaum Budha di Myanmar” adalah narasi yang salah kaprah, penuh generalisasi, dan berbahaya ketika disampaikan dengan sangat masif di Indonesia. Sebaiknya, gunakan diksi yang tepat, misalnya “Etnis Rohingya mengalami penindasan yang dilakukan oleh rezim militer Myanmar”.
Bahwa umat Muslim Indonesia prihatin dan marah karena saudara sesama Muslim-nya ditindas di Myanmar, atau di Palestina, adalah hal yang wajar. Solidaritas sesama Muslim memang salah satu ajaran Islam. Namun yang salah adalah ketika upaya membangkitkan solidaritas itu dilakukan dengan cara: menyebarkan foto palsu sekaligus merendahkan dan menghina pemerintah negara sendiri.
Tahun 2015, saya pernah mengklarifikasi foto yang amat viral (hanya dalam 7 jam sudah 1300-an share). Di foto itu terlihat istri Presiden Turki menangis memeluk seorang pengungsi Rohingya. Caption foto (ditulis oleh seorang ustadz), “istri Presiden Turki dah sampai Aceh menemui para pengungsi, mana ibu negara kita?” Saya sampaikan bahwa kejadian di foto itu bukan di Aceh, tapi di Myanmar. [1]
Bila yang tertipu orang awam, mungkin bisa dimaafkan. Tetapi salah satu yang marah kepada saya karena mengklarifikasi foto itu justru ukhti yang bertitel sarjana HI. Ia seharusnya paham bahwa secara diplomatik sungguh aneh bila ada ibu negara asing ujug-ujug langsung datang ke Aceh, tanpa disambut dulu secara resmi di Jakarta. Si ukhti sarjana HI kurang-lebih komen begini, “Kamu Syiah! Makanya kamu tidak peduli pada kaum Muslim Rohingya!” Ya Tuhan.
Sejak lama, saya sudah mendeteksi bahwa penggunaan sentimen keagamaan untuk isu Rohingya (termasuk penyebarluasan foto-foto palsu) umumnya dilakukan oleh kelompok yang sama, yang selama ini juga aktif mengusung isu “Sunni dibantai Syiah di Suriah” (dimana mereka juga menyebarkan foto-foto palsu). Mereka juga amat berkaitan dengan lembaga-lembaga donasi yang lincah sekali menggunakan isu konflik di luar negeri untuk menggalang dana. Dan, sebagian dari mereka ini juga berada di cluster yang sama dengan para penyerang Jokowi (ingat, ‘menyerang’ tidak sama dengan ‘mengkritik’; saya sendiri beberapa kali pernah menulis mengkritisi beberapa kebijakan Pak Jokowi, dan beberapa kali pula memuji kebijakan beliau, dengan argumen yang sesuai dengan keilmuan saya).
Dan baru-baru ini, pak Ismail Fahmi (pakar IT) merilis hasil penelitiannya terhadap percakapan Twitter di Indonesia dengan fitur Opinion Analysis, dimana opini akan dikelompokkan berdasarkan kategori tertentu. Berikut ini saya copas sebagian hasilnya:
Sebanyak 33% status publik mengaitkan isu Rohingya ini dengan Pemerintah, 25% dengan Jokowi, 19% dengan Umat Budha, 18% dengan Aung San Suu Kyi, dan 6% dengan Jenderal Min Aung Hlaing.
Ternyata, publik melihat isu ini lebih banyak berkaitan dengan pemerintah dan Jokowi, dibandingkan dengan Aung San dan Jenderal Min. Tekanan ke dalam negeri lebih besar dibanding tekanan kepada pemerintah Myanmar.
Yang mengkhawatirkan adalah, kaitan isu ini dengat Umat Budha di Indonesia ternyata cukup tinggi. Lebih tinggi dibandingkan dengan Aung San. Artinya, potensi disintegrasi bangsa bisa muncul di Indonesia gara-gara isu Rohingya.
(suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email