Bukti awal penerapan hukum Islam. Dianggap sebagai pelengkap hukum adat.
Telah lama batu itu diletakkan di depan masjid. Ia digunakan sebagai pijakan untuk masuk ke dalam masjid. Setiap orang yang akan masuk masjid menyeka kakinya sehingga merusak beberapa bagian batu itu. Melihat tulisan pada batu itu, imam masjid menyuruh orang-orang untuk memindahkannya ke sungai.
Pada 1889, seorang pedagang Arab dan peneliti timah, Sayid Husain Ibn Ghulam al-Bukhari menemukan batu itu di Sungai Teresat, dekat Kuala Berang, sekira 32 km dari muara Sungai Terengganu. Dia mempersembahkan batu kepada Sultan Zainal Abidin I, pendiri kembali Kesultanan Terengganu pada paruh pertama abad 18. Sekarang, batu yang disebut Batu Bersurat itu tersimpan di museum negara Terengganu.
Penelitian terbaru dilakukan Ludvik Kalus, profesor dari Universitas Paris IV-Sorbonne. Dia melontarkan pendapat yang mengejutkan bahwa dilihat dari model tulisannya, Batu Bersurat berasal dari Kairouan, Tunisia, yang dibawa para pedagang Muslim sebagai jangkar kapal.
Menurut Ayang Utriza Yakin, dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, penemuan Batu Bersurat menunjukkan bahwa Islam telah ada dan mapan di Kesultanan Terengganu. Dua sumber menyebut Islam masuk ke Terengganu dari Samudera Pasai atau Champa. Batu Bersurat menjadi salah satu penemuan terpenting di Asia Tenggara dan contoh paling tua tulisan Arab-Melayu (Jawi). Ia juga menunjukkan telah ada tradisi menulis di Terengganu.
“Kalau ada orang mengatakan hukum Islam tanpa melampirkan sumber bukti, kayanya hanya mimpi di siang bolong. Kita sebagai sejarawan harus bicara sumber. Hampir semua sejarawan sepakat bahwa Batu Bersurat merupakan bukti tertulis tertua mengenai hukum pidana Islam di Nusantara,” kata Ayang yang merampungkan master dan doktor di bidang sejarah, filologi, dan hukum Islam dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS) Paris, Prancis. Dia membahas Batu Bersurat dalam bukunya, Sejarah Hukum Islam Nusantara Abad XIV-XIX.
“Hal paling penting dari Batu Bersurat itu adalah dekrit seorang raja Muslim yang memberlakukan hukum Islam kepada para penduduknya,” tulis Ayang. “Kita mungkin dapat mengatakan bahwa raja itu sangat berambisi untuk menyebarkan keyakinan barunya.”
Hukuman Bagi Pezina
Ayang melakukan alih aksara dari Jawi ke Latin dan membagi Batu Bersurat ke dalam tiga bagian: pembukaan (muka A), hukum yang diundangkan (muka B dan C), dan penutup (muka D). Pada bagian pembukaan, Raja Mandalika yang membuat undang-undang memerintahkan kepada Sri Paduka Tuhan untuk membangun dan memelihara keteraturan di Terengganu.
Hukum yang diundangkan (muka B dan C) terdiri dari sembilan pasal: pasal 1-3 hilang, pasal 4-5 tentang hukum utang-piutang, pasal 6-7 tentang hukum zina, pasal 8 tentang saksi palsu dengan hukuman denda, dan pasal 9 tentang klausul umum untuk penghentian pembayaran denda. Pada bagian penutup (muka D), undang-undang menuntut kepatuhan semua penduduk Terengganu. Barang siapa yang tidak patuh akan dilaknat oleh Allah.
Undang-undang tersebut diberlakukan pada 4 Rajab 702 H atau 22 Februari 1303 sebagai undang-undang negara. “Berdasarkan tarikh yang tercatat pada buku itu juga menunjukkan bahwa negeri Terengganu merupakan negeri terawal yang mempunyai undang-undang Islam secara tertulis,” tulis Zaini Nasohah dalam Pentadbiran Undang-undang Islam di Malaysia: Sebelum dan Menjelang Merdeka.
Menurut Ayang, Batu Bersurat menunjukkan kepada kita adanya mata rantai hukum, yaitu Dewata Mulia Raya (Allah), Raja Mandalika, dan sepuluh hukum. Mandalika kemungkinan besar adalah salah satu dari keturunan Raja Telanai yang pernah memerintah Terengganu. Nama Mandalika masih terus eksis hingga awal abad 16.
Dari sepuluh hukum hanya pasal 6-7 yang paling jelas yaitu hukum tentang zina. Ada dua jenis zina, yaitu muhsan dan gayru muhsan. Muhsan yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang telah menikah dengan orang merdeka, sedangkan gayru muhsan yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang belum menikah atau budak. Setiap orang yang melakukan zina dihukum dengan hukuman hadd, yaitu sanksi atas perbuatan yang dilarang yang hukumannya telah ditentukan di dalam Alquran. Perbuatan tersebut dilihat sebagai kejahatan melawan agama.
Keempat mazhab hukum Islam Suni (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali) sepakat bahwa hadd zina bagi muhsan adalah dirajam dengan batu atau apa pun hingga mati. Sementara hadd bagi gayru muhsan adalah 100 cambukan bagi orang merdeka dan 50 cambukan bagi budak.
Hukuman tersebut berdasarkan Alquran dan Hadis. Terkait hukuman rajam untuk muhsan, Nabi Muhammad Saw. bersabda yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: “…Jika ia mengaku telah melakukan zina, maka rajamlah.” Adapun bagi gayru muhsan berdasarkan Alquran: “Bagi pezina perempuan dan pezina lelaki, cambuklah masing-masing 100 kali cambukan.”
“Di sini kita melihat bahwa hukum yang ke-6 dari Batu Bersurat itu benar-benar merujuk pada hukum Islam,” tulis Ayang.
Kendati demikian, Ayang menegaskan bahwa undang-undang itu membedakan antara orang biasa dan bangsawan, seperti keluarga raja. Tampaknya hukum Islam diterapkan hanya untuk orang-orang biasa, sementara untuk kelas elite, maka hukum adat yang diterapkan. Hukuman zina untuk masyarakat umum adalah cambuk dan rajam, sementara untuk bangsawan dan keluarganya hanyalah hukuman denda.
“Hukuman di dalam Batu Bersurat jelas diambil dari hukum adat, yaitu membayar denda, yang tidak ditemukan sama sekali contoh hukuman seperti itu di dalam hukum Islam. Dengan demikian, batu itu menandakan peralihan dari hukum lama, yaitu hukum adat yang dipengaruhi Hindu-Budha ke hukum adat dan hukum Islam,” tulis Ayang.
Bukti Penting
Dalam Batu Bersurat terlihat jelas adanya diskriminasi dalam penerapan hukum Islam. Ayang melihatnya dalam konteks politik bahwa penerapan hukum Islam itu harus perlahan. Mungkin saat itu keluarga kerajaan baru menerapkannya untuk masyarakatnya tidak untuk kalangan bangsawan. Sebab, kalau ia diterapkan untuk kalangan bangsawan akan terjadi kekacauan di tengah kerajaan yang dapat berujung pada usaha menumbangkan kekuasaan.
Batu Bersurat merupakan contoh terbaik dari sebuah hukum yang diundangkan oleh masyarakat Terengganu pada abad 14. Hukum tersebut merujuk pada dua hukum, yaitu hukum adat dan hukum Islam. “Hukum Islam tampak hanya sebagai pelengkap hukum adat dan hukum alternatif,” kata Ayang.
Ayang memang tidak menemukan bukti adanya pengaruh Batu Bersurat terhadap undang-undang di Nusantara seperti Undang-Undang Malaka pada abad 15. Namun, yang ingin dia tunjukkan bahwa Batu Bersurat merupakan bukti penting penerapan hukum Islam. “Walaupun undang-undang itu pendek, namun ia merupakan contoh sangat penting untuk sejarah hukum Islam di Nusantara,” pungkas Ayang.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Batu Bersurat di Trengganu. (Foto: Historia)
Telah lama batu itu diletakkan di depan masjid. Ia digunakan sebagai pijakan untuk masuk ke dalam masjid. Setiap orang yang akan masuk masjid menyeka kakinya sehingga merusak beberapa bagian batu itu. Melihat tulisan pada batu itu, imam masjid menyuruh orang-orang untuk memindahkannya ke sungai.
Pada 1889, seorang pedagang Arab dan peneliti timah, Sayid Husain Ibn Ghulam al-Bukhari menemukan batu itu di Sungai Teresat, dekat Kuala Berang, sekira 32 km dari muara Sungai Terengganu. Dia mempersembahkan batu kepada Sultan Zainal Abidin I, pendiri kembali Kesultanan Terengganu pada paruh pertama abad 18. Sekarang, batu yang disebut Batu Bersurat itu tersimpan di museum negara Terengganu.
Penelitian terbaru dilakukan Ludvik Kalus, profesor dari Universitas Paris IV-Sorbonne. Dia melontarkan pendapat yang mengejutkan bahwa dilihat dari model tulisannya, Batu Bersurat berasal dari Kairouan, Tunisia, yang dibawa para pedagang Muslim sebagai jangkar kapal.
Menurut Ayang Utriza Yakin, dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, penemuan Batu Bersurat menunjukkan bahwa Islam telah ada dan mapan di Kesultanan Terengganu. Dua sumber menyebut Islam masuk ke Terengganu dari Samudera Pasai atau Champa. Batu Bersurat menjadi salah satu penemuan terpenting di Asia Tenggara dan contoh paling tua tulisan Arab-Melayu (Jawi). Ia juga menunjukkan telah ada tradisi menulis di Terengganu.
“Kalau ada orang mengatakan hukum Islam tanpa melampirkan sumber bukti, kayanya hanya mimpi di siang bolong. Kita sebagai sejarawan harus bicara sumber. Hampir semua sejarawan sepakat bahwa Batu Bersurat merupakan bukti tertulis tertua mengenai hukum pidana Islam di Nusantara,” kata Ayang yang merampungkan master dan doktor di bidang sejarah, filologi, dan hukum Islam dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS) Paris, Prancis. Dia membahas Batu Bersurat dalam bukunya, Sejarah Hukum Islam Nusantara Abad XIV-XIX.
“Hal paling penting dari Batu Bersurat itu adalah dekrit seorang raja Muslim yang memberlakukan hukum Islam kepada para penduduknya,” tulis Ayang. “Kita mungkin dapat mengatakan bahwa raja itu sangat berambisi untuk menyebarkan keyakinan barunya.”
Hukuman Bagi Pezina
Ayang melakukan alih aksara dari Jawi ke Latin dan membagi Batu Bersurat ke dalam tiga bagian: pembukaan (muka A), hukum yang diundangkan (muka B dan C), dan penutup (muka D). Pada bagian pembukaan, Raja Mandalika yang membuat undang-undang memerintahkan kepada Sri Paduka Tuhan untuk membangun dan memelihara keteraturan di Terengganu.
Hukum yang diundangkan (muka B dan C) terdiri dari sembilan pasal: pasal 1-3 hilang, pasal 4-5 tentang hukum utang-piutang, pasal 6-7 tentang hukum zina, pasal 8 tentang saksi palsu dengan hukuman denda, dan pasal 9 tentang klausul umum untuk penghentian pembayaran denda. Pada bagian penutup (muka D), undang-undang menuntut kepatuhan semua penduduk Terengganu. Barang siapa yang tidak patuh akan dilaknat oleh Allah.
Undang-undang tersebut diberlakukan pada 4 Rajab 702 H atau 22 Februari 1303 sebagai undang-undang negara. “Berdasarkan tarikh yang tercatat pada buku itu juga menunjukkan bahwa negeri Terengganu merupakan negeri terawal yang mempunyai undang-undang Islam secara tertulis,” tulis Zaini Nasohah dalam Pentadbiran Undang-undang Islam di Malaysia: Sebelum dan Menjelang Merdeka.
Menurut Ayang, Batu Bersurat menunjukkan kepada kita adanya mata rantai hukum, yaitu Dewata Mulia Raya (Allah), Raja Mandalika, dan sepuluh hukum. Mandalika kemungkinan besar adalah salah satu dari keturunan Raja Telanai yang pernah memerintah Terengganu. Nama Mandalika masih terus eksis hingga awal abad 16.
Dari sepuluh hukum hanya pasal 6-7 yang paling jelas yaitu hukum tentang zina. Ada dua jenis zina, yaitu muhsan dan gayru muhsan. Muhsan yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang telah menikah dengan orang merdeka, sedangkan gayru muhsan yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang belum menikah atau budak. Setiap orang yang melakukan zina dihukum dengan hukuman hadd, yaitu sanksi atas perbuatan yang dilarang yang hukumannya telah ditentukan di dalam Alquran. Perbuatan tersebut dilihat sebagai kejahatan melawan agama.
Keempat mazhab hukum Islam Suni (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali) sepakat bahwa hadd zina bagi muhsan adalah dirajam dengan batu atau apa pun hingga mati. Sementara hadd bagi gayru muhsan adalah 100 cambukan bagi orang merdeka dan 50 cambukan bagi budak.
Hukuman tersebut berdasarkan Alquran dan Hadis. Terkait hukuman rajam untuk muhsan, Nabi Muhammad Saw. bersabda yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: “…Jika ia mengaku telah melakukan zina, maka rajamlah.” Adapun bagi gayru muhsan berdasarkan Alquran: “Bagi pezina perempuan dan pezina lelaki, cambuklah masing-masing 100 kali cambukan.”
“Di sini kita melihat bahwa hukum yang ke-6 dari Batu Bersurat itu benar-benar merujuk pada hukum Islam,” tulis Ayang.
Kendati demikian, Ayang menegaskan bahwa undang-undang itu membedakan antara orang biasa dan bangsawan, seperti keluarga raja. Tampaknya hukum Islam diterapkan hanya untuk orang-orang biasa, sementara untuk kelas elite, maka hukum adat yang diterapkan. Hukuman zina untuk masyarakat umum adalah cambuk dan rajam, sementara untuk bangsawan dan keluarganya hanyalah hukuman denda.
“Hukuman di dalam Batu Bersurat jelas diambil dari hukum adat, yaitu membayar denda, yang tidak ditemukan sama sekali contoh hukuman seperti itu di dalam hukum Islam. Dengan demikian, batu itu menandakan peralihan dari hukum lama, yaitu hukum adat yang dipengaruhi Hindu-Budha ke hukum adat dan hukum Islam,” tulis Ayang.
Bukti Penting
Dalam Batu Bersurat terlihat jelas adanya diskriminasi dalam penerapan hukum Islam. Ayang melihatnya dalam konteks politik bahwa penerapan hukum Islam itu harus perlahan. Mungkin saat itu keluarga kerajaan baru menerapkannya untuk masyarakatnya tidak untuk kalangan bangsawan. Sebab, kalau ia diterapkan untuk kalangan bangsawan akan terjadi kekacauan di tengah kerajaan yang dapat berujung pada usaha menumbangkan kekuasaan.
Batu Bersurat merupakan contoh terbaik dari sebuah hukum yang diundangkan oleh masyarakat Terengganu pada abad 14. Hukum tersebut merujuk pada dua hukum, yaitu hukum adat dan hukum Islam. “Hukum Islam tampak hanya sebagai pelengkap hukum adat dan hukum alternatif,” kata Ayang.
Ayang memang tidak menemukan bukti adanya pengaruh Batu Bersurat terhadap undang-undang di Nusantara seperti Undang-Undang Malaka pada abad 15. Namun, yang ingin dia tunjukkan bahwa Batu Bersurat merupakan bukti penting penerapan hukum Islam. “Walaupun undang-undang itu pendek, namun ia merupakan contoh sangat penting untuk sejarah hukum Islam di Nusantara,” pungkas Ayang.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email