Pesan Rahbar

Home » » Islam di Masa Kedinastian Cina

Islam di Masa Kedinastian Cina

Written By Unknown on Tuesday, 19 September 2017 | 21:41:00

Proses penyebaran dan perkembangan Islam di Cina selama ribuan warsa masa kedinastian.

Masjid Huai Sheng di Guangzhou, Cina, salah satu masjid tertua di dunia, yang diyakini dibangun oleh Sa'd ibn Abi Waqqas, utusan Nabi Muhammad Saw. (Foto: wikimedia.org).

Tulisan-tulisan terdahulu Prof. Djamal al-Din Bai Shouyi (1909-2000), sejarawan muslim Hui terkemuka, yang terangkum dalam buku Zhongguo Yisilan Shi Cun Gao (Naskah Sejarah Islam di Cina, 1983), menyuguhkan sejarah penyebaran dan perkembangan Islam di Cina masa kedinastian dengan runut serta mudah dicerna.

Menurut Bai, hubungan Cina dengan Arab sudah terjalin, setidaknya, 500 tahun sebelum Islam terbentuk. Kala itu, kabar tentang adanya suatu negeri bernama Tiaozhi telah didengar Zhang Qian, duta Kaisar Wu (141-87 SM) Dinasti Han, saat menjalankan misi diplomatiknya ke Wilayah Barat (Xiyu). Namun, Tiaozhi baru berhasil dikunjungi Gan Ying, utusan Kaisar He (89-105) Dinasti Han pada tahun 97. Belakangan, Tiaozhi diketahui sebagai pelafalan Mandarin dari kota tua Antiochia di Mesopotamia.

Selepas Dinasti Jin (266-420) mempersatukan Cina yang terpecah menjadi tiga negara yang saling bermusuhan (Samkok) pasca-runtuhnya Dinasti Han (220), kapal-kapal dagang Cina mulai berlayar ke Jazirah Arab melalui Teluk Persia. Pun sebaliknya, dengan dibukanya jalur perniagaan tersebut, orang Persia dan atau orang Arab yang berlayar dari Teluk Persia mulai banyak yang bertandang ke Cina.

Sepanjang Dinasti Sui (581-618) sampai berdirinya Dinasti Tang (618-907) dan Song (960-1127), arus kedatangan pedagang dari (Teluk) Persia lewat laut kian santer. Mereka, atas izin pemerintah, tinggal di daerah tepi pantai seperti Guangzhou, Yangzhou, Hangzhou, dan Quanzhou. Jumlahnya, Bai secara tak langsung memprediksi, “ketika pada tahun 760 meletus Kerusuhan Tianshengong di Yangzhou, ribuan saudagar Persia menjadi korban. Juga, sejumlah 120 ribu penganut Islam, Kristen, dan Yahudi dibunuh ketika terjadi Pemberontakan Huangchao di Guangzhou.”

Masyarakat Cina menyebut pendatang asal (Teluk) Persia itu sebagai orang dari negeri Dashi –untuk melafalkan apa yang disebut sebagai Tazi dalam bahasa Persia kuno. Agama Islam, karenanya, dikenal sebagai Dashi Fa, Ajaran Dashi. Sayang, Bai tidak menyuguhkan angka pasti kapan Islam masuk ke Cina pertama kali. Namun, dengan menulis bahwa “Islam dibawa ke Cina oleh saudagar Dashi”, secara eksplisit dia mengajukan tesis: karena hubungan Dashi dengan Cina erat sejak pra-Islam, Islam kemungkinan masuk ke Cina sejak baru lahir, melalui para pedagang muslim dari Dashi.

Berbeda, Bai justru sangat yakin, “orang Cina pertama yang mencatat tentang Islam adalah Du Huan dalam buku Jingxingji (Catatan Perjalanan).” Du memang pernah menjadi tawanan perang di Dashi selama 12 tahun setelah pasukan Dinasti Tang kalah dalam pertempuran dengan tentara Dashi di Sungai Talas (sekarang bagian dari Kyrgyzstan) pada tahun 751-752 untuk memperebutkan kekuasaan di Syr Darya, Asia Tengah.

Di catatan perjalanannya yang kini sudah tak utuh, Du menerangkan bagaimana seorang muslim harus melakukan ibadah lima kali sehari, ihwal makanan dan minuman yang menjadi pantangan penganut Islam, juga tentang rumah ibadah besar yang selalu penuh dengan orang-orang sepanjang waktu. Bai memperkirakan yang dimaksud Du adalah Masjid al-Haram di Mekkah. Bagi Bai, dari Dinasti Tang sampai Dinasti Song, tak ada tulisan mengenai Islam yang sebanding dengan tulisan Du. Apa agama Du? Tak ada yang tahu.

Menariknya, tanpa mengelaborasi sebabnya, “perang Talas tidak membawa pengaruh buruk pada relasi Cina dengan Dashi,” tulis Bai. Buktinya, dia merinci, “selama 100 tahun sebelum Perang Talas, kunjungan utusan Dashi ke Dinasti Tang sebanyak 19 kali. Lalu, selama 47 tahun setelah Perang Talas, utusan Dashi berkunjung ke Dinasti Tang 17 kali. Pada tahun ke-2 hingga ke-8 setelah Perang Talas, Dashi selalu mengirim utusan ke Dinasti Tang setiap tahunnya. Sepanjang tahun 753, Dashi bahkan mengirim utusan ke Dinasti Tang 4 kali.”

Masjid turut banyak dibangun seiring dengan semakin banyaknya orang Dashi yang menetap di pesisir Cina selama Dinasti Tang dan Dinasti Song. Huai Sheng, masjid yang diyakini merupakan garapan Sa’ad ibn Abi Waqqas di Guangzhou itu, misalnya, dibangun pada periode ini. Termasuk juga Masjid Qingjing di Quanzhou yang letaknya tak jauh dari kuburan yang dipercaya sebagai makam dua utusan Nabi Muhammad di Gunung Lingshan itu.

Memasuki periode pemerintahan suku Mongol Dinasti Yuan (1206-1368), derajat muslim menanjak seketika. Dalam strata sosial Dinasti Yuan, kedudukan orang-orang Islam tidak kalah tinggi dengan suku Mongol, baik di ranah politik, ekonomi, maupun militer. Bai menghitung, di istana, ada 16 muslim yang memangku jabatan strategis. Sebagai amsal, perdana menteri dipegang oleh seorang muslim bernama Hasan. Wakil perdana menteri dijabat oleh Badr al-Din, Zahr al-Din, dan Daula Sh?h. Sementara di tingkat daerah, ada 32 muslim yang menduduki posisi penting. Yang masyhur adalah gubernur pertama Provinsi Yunnan Sayyid Ajjal Shams al-Din Omar (1211-1279) kemudian dilanjutkan Nasr al-Din, anaknya, sampai tahun 1292.

Populasi muslim juga terus meninggi sehingga muncul istilah “yuan shi huihui biantianxia” (era Dinasti Yuan, Huihui bertebaran di mana-mana) sebagaimana dinyatakan buku Ming Shi, Sejarah Dinasti Ming. “Huihui” dipakai masyarakat Cina pada masa Dinasti Yuan untuk menyebut kaum muslim, menggantikan istilah “Dashi ren” (orang Dashi) yang digunakan dinasti sebelumnya.

Jika sebelum Dinasti Yuan penganut Islam didominasi –bila tidak semuanya– orang Dashi, maka pada masa Dinasti Yuan sudah mulai terjadi kawin-mawin antara orang Dashi dengan orang lokal sehingga penganut Islam tidak lagi terbatas pada pendatang saja, melainkan meluas pada orang Cina dan para keturunan orang Dashi. Inilah cikal-bakal Hui, suku penganut Islam terbesar dan terluas perseberannya di Cina saat ini.

Walakin, kegemilangan Islam ikut memudar setelah Yuan diruntuhkan Dinasti Ming (1368-1644). Aturan-aturan yang diskriminatif mulai ditimpakan kepada muslim pada masa ini. Di antaranya, orang-orang Islam harus mengganti nama mereka menjadi nama Han. Hui dilarang menikah dengan sesama Hui. Mirip sekali dengan pemaksaan asimilasi etnis Cina Indonesia di masa Orde Baru.

Pada masa Dinasti Qing (1616-1911) lebih parah lagi. Bai mengungkap, kerapnya pemberontakan berdarah yang dilakukan muslim ketika Dinasti Qing berkuasa disebabkan oleh perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap mereka. Tapi, di waktu yang sama, penguasa Dinasti Qing juga mengeluh karena orang-orang Islam sulit diurus, “huihui nan zhi”.

Meski demikian, perlakuan diskriminatif penguasa justru menumbuhkan ide cendekiawan muslim Cina untuk menyelamatkan dan mengembangkan Islam dengan pendidikan. Hu Dengzhou (1522-1597) dari Xi’an, Provinsi Shaanxi, mulai memanfaatkan bilik masjid sebagai sarana membuka madrasah diniyah (jingtang jiaoyu) untuk, salah satunya, mengajar membaca al-Qur’an dengan memakai aksara Cina menggantikan huruf Arab supaya mudah dibaca. “Assalamu”, contohnya, tidak dipaksakan dilafalkan sesuai orang Arab mengartikulasikannya, melainkan dibolehkan diucapkan sebagai “aisailiamu” karena orang Cina sulit membaca “as” sesuai makhraj Arab. Ma Dexin (1794-1874) dan Ma Lianyuan (1841-1903) menerjemahkan literatur-literatur Islam, termasuk al-Qur’an dan Hadist, ke dalam bahasa Cina. Di samping itu, Wang Daiyu (1570-1660) dan Liu Zhi (1660-1739) memprakarsai usaha memadukan ajaran Islam dengan pemikiran Konfusius (Huiru) laiknya Wali Songo meleburkan falsafah Islam dengan keyakinan Jawa.

Terbukti, hanya dengan pendidikan dan kemauan untuk beradaptasi dengan perubahan, Islam di Cina mampu bertahan sampai sekarang. Kini, populasi muslim di Cina lebih dari 30 juta jiwa. Dari 56 suku yang ada di sana, 10 di antaranya mayoritas menganut Islam. Khusus di Provinsi Xinjiang saja, menukil data di Xinjiang de Zongjiao Ziyou Zhuangkuang Baipishu (Buku Putih Kebebasan Beragama di Xinjiang, 2016), jumlah masjidnya mencapai 24.400 gedung. Mau meneriakkan Takbir? Silahkan. Asal jangan sambil angkat pentungan.

Penulis adalah visiting scholar di China-ASEAN Research Institute, Guangxi University, Tiongkok.

(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: