Pesan Rahbar

Home » » Kebangkitan Pribumi dan Sentimen Anti-Cina

Kebangkitan Pribumi dan Sentimen Anti-Cina

Written By Unknown on Thursday, 19 October 2017 | 00:31:00


Oleh: Denny Siregar

Saya ingat waktu kecil, teman-teman membully seseorang keturunan Tionghoa dengan ucapan, “Dasar Cina kamu.. Pergi sana, masih kecil kok sudah jadi Cina.”

Dan semua tertawa, membenarkan apa kata teman saya tadi, meninggalkan saya yang kebingungan apa salahnya ketika seseorang itu terlahir dari keturunan Cina?

Tapi begitulah propaganda orde baru – saya mengalami masa itu. Sentimen anti Cina terus menerus dibisikkan dalam kegelapan, untuk menjaga stabilitas negara sekaligus sebagai kotak pandora yang akan dibuka ketika ada kepentingan.

Tapi lucunya, orde baru jugalah yang membesarkan pengusaha keturunan Cina dalam ekonomi.

Dalam buku Kesaksianku tentang G30S, Subandrio mantan Wakil PM tahun 1960-an, seperti yang dikutip dalam tribunnews, Soeharto-lah yang berbisnis dengan pengusaha Tionghoa seperti Lim Sioe Liong dan Bob Hasan. Mereka terlibat dalam penyelundupan yang membuat Jenderal Ahmad Yani marah besar.

Dan hubungan ekonomi itu terus dilanjutlan ketika Soeharto memimpin Indonesia, yang melahirkan pengusaha-pengusaha ekonomi dari keturunan Tionghoa baru di Indonesia.

Situasi jomplangnya ekonomi yang banyak dikuasai pengusaha keturunan Tionghoa inilah yang terus dipelihara. Satu, sebagai faktor ekonomi karena memang mereka terlahir pintar berdagang. Dua, sebagai isu “senjata” jika memang harus diperlukan untuk menjaga kekuasaan.

Catatan sejarah membuktikan, sentimen anti Cina memang laris manis jika dimainkan.

Tahun 1963, berawal dari bentrokan di ITB, kerusuhan dengan tema anti China meledak dimana-mana.

Di Palu tahun 1973 terjadi kerusuhan perusakan toko warga Cina. Pada tahun yang sama, di Bandung juga kerusuhan anti Cina menjalar kemana-mana meski disebabkan oleh senggolan mobil.

UjungPandang 1980, Medan 1980. Surabaya 1986. Dan yang terakhir – yang paling mengerikan – adalah kerusuhan Mei 1998 dimana-mana.

Jejak berdarah inilah yang menjadi satu alasan kunci jika ingin membuat kerusuhan di Indonesia.

“Tanamkan lagi aja sentimen anti Cina atau bangkitkan kebanggaan akan Pribumi.. lihat hasilnya..” Kata seorang teman yang menguasai sejarah negeri ini.

Dan kerusuhan tidak serta merta datang. Ia seperti puzzle yang membutuhkan kepingan-kepingan sebelum membentuk bangunan yang sempurna. Kepingan itu sudah dibangun dengan kata “aseng”, “ekonomi China”, “Tenaga kerja China”, masih ditambah PKI karena disana ada unsur “China”nya.

Sesudah itu semua siap, tambahkan kata “Pribumi” sebagai penyedap..

Lalu kita melihat sekarang kata “Pribumi” mulai keluar, dengan tema “Kebangkitan Pribumi Muslim”.

Harus ada “muslim”nya, karena itu akan memperkuat tekanan, karena keturunan Tionghoa identik dengan Kristen.

Lalu keluarlah logo “Hidup Pribumi” untuk membangkitkan kebanggaan sekaligus harapan akan perubahan situasi – biasanya ekonomi – bahwa mereka akan berkuasa, meski entah bagaimana caranya.

Ujung dari semua ini ada di benturan antar kelompok masyarakat, yang nanti akan dipicu hal remeh temeh seperti senggolan antar “warga pribumi” dan “keturunan Tionghoa” yang akan diperluas skalanya. Benturan baru bisa terjadi ketika kebencian sudah tertanam, jadi harus sempurna dulu masakannya.

Ada usaha untuk membangkitkan kembali masa-masa kelam kerusuhan yang membawa korban karena pandangan rasis. Dan dibaliknya selalu ada agenda politiknya, percayalah.

“Lalu siapa yang memainkan irama ini ?” Tanya seorang teman.

Seperti sudah pernah saya tulis dulu, ada tiga layer yang punya kepentingan.

Pertama, ormas radikal yang punya kepentingan ekonomi. Kedua, politikus dan pengusaha hitam yang periuk nasinya terampas. Dan ketiga, pada puncak tertinggi ada agenda khilafah yang akan memanfaatkan situasi kekacauan, bahwa khilafahlah yang akan menjadi solusi dari segala masalah.

Sejarah selalu berulang, hanya beda pelaku dan waktunya. Dan seperti biasa, ketika saya membuka agenda adu domba ini, sayalah yang dituduh sebagai pengadu domba.

Tapi biasanya saya cuek karena yang penting pesan sudah tersampaikan.

Palingan saya ngopi sambil nyanyi qasidah, “Tidak akan kuserahkan pada Kampret yang durhakaaaa…”
Tiup suling dulu ahhh…

(Denny-Siregar/suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: