Pesan Rahbar

Home » » Trump Usir Ribuan WNI Korban Kerusuhan 1998

Trump Usir Ribuan WNI Korban Kerusuhan 1998

Written By Unknown on Thursday, 19 October 2017 | 06:06:00

Para warga Amerika Serikat demo di Manchester, New Hampshire, memberikan dukungan kepada para warga Indonesia yang menghadapi deportasi oleh pemerintah Presiden Donald Trump – Foto: Reuters

Ribuan warga negara Indonesia (WNI) hijrah ke Amerika Serikat (AS) untuk menghindari kekerasan rasial yang menjamur pada 1998. Selama hampir 20 tahun mereka hidup dengan tenang di Negeri Paman Sam.

Namun, kini keberadaan mereka terancam. Pasalnya mereka menghadapi deportasi atau pengusiran oleh pemerintah Presiden Donald Trump. Perintah eksekutif yang diteken Presiden Donald Trump pada Januari lalu menyebabkan para WNI itu tak diterima lagi di AS.

Selama kampanye pencalonannya sebagai presiden, Donald Trump mengatakan bahwa dia akan membersihkan negaranya dari jutaan imigran ilegal. Sejak pindah ke Gedung Putih pada bulan Januari, penangkapan oleh otoritas imigrasi meningkat tiga kali lipat sejak awal tahun ini menjadi rata-rata 142 orang per hari.

Immigration and Customs Enforcement (ICE) memberikan batas waktu dua bulan bagi imigran untuk angkat kaki dari negara yang didirikan oleh imigran tersebut. Shawn Neudauer, jubir ICE, mengatakan bahwa dirinya hanya menjalankan tugas sesuai dengan perintah eksekutif Trump.

Dalam perintah eksekutif kontroversial yang juga melahirkan Muslim Ban itu, presiden ke-45 AS tersebut meminta aparat berwenang memulangkan seluruh imigran yang masuk secara ilegal.

Bukan hanya imigran dari Indonesia, ICE menarget seluruh imigran yang masuk secara ilegal ke AS. ’’Kini semua sudah tidak sama lagi,’’ kata Neudauer.

Trump memperketat seluruh aturan imigrasi. Dia juga menghentikan atau mencabut seluruh kebijakan pemerintahan sebelumnya yang dianggap terlalu lembek. Prioritas Trump saat ini adalah membersihkan AS dari para imigran ilegal.

Salah satu yang terdampak kebijakan itu adalah keluarga Lumangkun. Meldy dan Eva Lumangkun membangun kehidupan baru di pinggiran Kota New Hampshire dan membesarkan empat anak setelah melarikan diri ke AS sejak hampir dua dekade silam. Status tinggal mereka di negeri Paman Sam adalah ilegal, namun sudah lama ditoleransi oleh otoritas imigrasi setempat.

Tapi saat melapor di ICE Kota Manchester, Hillsborough County, Negara Bagian New Hampshire, Meldy dan Eva Lumangkun diusir. Mereka diminta untuk membeli tiket satu arah kembali ke Indonesia dan keluar dari AS dalam waktu dua bulan.

”Kami takut pulang ke rumah. Kami takut akan keselamatan anak-anak kami,” kata Meldy Lumangkun usai pertemuan dengan pejabat ICE di Manchester. ”Di sini anak-anak kita bisa hidup dengan aman,” katanya lagi, seperti dikutip Reuters, Selasa 17 Oktober 2017.

Keluarga Lumangkun termasuk di antara sekitar 2.000 warga Kristen Tionghoa Indonesia yang melarikan diri ke New Hampshire untuk menghindari kerusuhan tahun 1998.

Mereka juga termasuk di antara puluhan ribu imigran ilegal di Amerika Serikat yang sekarang menghadapi kemungkinan deportasi setelah administrasi Trump membuka kembali kasus orang-orang seperti keluarga Lumangkun. Puluhan ribu imigran ilegal itu sudah lama menikmati penangguhan hukuman di bawah pemerintahan masa lalu, termasuk pemerintahan Barack Obama.

Mereka boleh tetap tinggal di AS jika melaporkan keberadaannya secara rutin. ’’Mereka harus menyerahkan paspor dan menepati jadwal lapor ke ICE,’’ kata senator Jeanne Shaheen. Kini kebijakan itulah yang dihapus Trump.

Selain di New Hampshire, penduduk Indonesia yang menghindari kerusuhan 1998 menetap di Negara Bagian New Jersey. Selama di AS mereka bekerja di sektor krusial.

’’Mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan yang penting. Mengganti mereka dengan orang baru bukan perkara mudah,’’ ucap Shaheen.

Politikus Partai Demokrat itu mengatakan bahwa penduduk Indonesia di dua negara bagian tersebut sudah mengajukan banding di Pengadilan Boston. Kini kasus mereka sedang berjalan.


Tanggapan Anggota DPR RI

Menyikapi kebijakan eksekutif pemerintah AS yang diteken Presiden Donald Trump, anggota Komisi I DPR Arif Suditomo tidak mempersoalkan kebijakan pengusiran WNI yang sudah tinggal di sana pascarusuh 1998. Namun perlu dilihat apakah tindakan itu melanggar hak asasi manusia (HAM) atau tidak.

“Hal-hal yang perlu kita waspadai lebih kepada apakah dari mulai perancanaan kebijakan tersebut, sampai pemberlakuannya ada yang berkaitan dengan hak asasi manusia atau tidak,” ucap Arif, Selasa, 12 Oktober 2017.

Ditegaskan politikus Hanura ini, kebijakan itu merupakan hak AS sebagai sebuah negara dan pemerintahan yang berdaulat untuk menertibkan administrasi kependudukan mereka.

Secara umum, katanya, langkah AS menertibkan pendatang yang over stayer merupakan hal yang lumrah. Sebab, Indonesia pun melakukan hal yang sama terhadap warga negara lain yang kelebihan izin tinggal.

Kebijakan ini menurutnya tidak hanya berlaku di era kepemimpinan Trump, namun juga terjadi ketika Presiden Barack Obama menjadi Presiden Negeri Paman Sam. Hanya saja caranya menurut dia berbeda dengan pendekatan suami Melania itu.

“Obama juga melakukan penertiban over stayer, besar juga, cuma tidak menjadi komoditas politik,” ucap dia.

Karena itu, pihaknya menyarankan pemerintah Indonesia segera membangun komunikasi secara intensif dengan otoritas setempat terkait kebijakan yang erat kaitannya dengan perlindungan WNI.

“Kalau ada yang over stayer harus dipulangkan, bagaimana pemulangan jangan mengorbankan hak mereka. Kalau over stayer saya pikir mereka masih memegang paspor Indonesia, jadi saya tidak khawatir mereka kehilangan kewarganegaraan (WNI),” pungkas Arif.

(Reuters/Satu-Islan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: