Pesan Rahbar

Home » » Sertifikasi Ulama, Mungkinkah?

Sertifikasi Ulama, Mungkinkah?

Written By Unknown on Thursday, 2 November 2017 | 22:45:00


Oleh: Robin

Belum lama ini, pemerintah Arab Saudi memecat ribuan ulama yang terindikasi mengajarkan paham radikalisme dan ekstrimisme.

Langkah tersebut dilakukan oleh pihak Arab Saudi sebagai langkah “bersih-bersih” terhadap ajaran ajaran radikal dan ekstrimisme. Yang walaupun Pemerintah Arab Saudi telah menerapkan sertifikasi ulama beberapa tahun lalu, tak urung disusupi oleh para ulama radikal juga.

Bagaimana dengan Indonesia?, Indonesia merupakan surga bagi kaum radikal serta ulama selebritas yang otaknya pas pasan. Untuk menjadi ulama di Indonesia pun cukup mudah, Anda hanya perlu memanjangkan jenggot, memakai gamis, hapal beberapa ayat, ceramah di beberapa tempat, syukur syukur diliput media dan ada pengikut. Tadaaaa… Anda pun sudah berhak disebut atau menggelari diri anda sendiri sebagai seorang ulama.

Soal sertifikasi ulama ini sendiri pernah disampaikan oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin bahwa Kementeriannya akan merumuskan standar kualifikasi untuk penceramah agama. Adapun hal itu dilakukan agar tidak ada ceramah yang mengandung hujatan. Ketika rencana tersebut beredar, seperti biasa, menuai kecaman dimana mana.

Ada yang mengatakan bahwa sertifikasi itu berbahaya, dengan adanya sertifikasi tersebut dikhawatirkan tidak semua orang bisa menjadi ustad atau tidak bisa berdakwah lagi, padahal dalam Islam disebutkan bahwa orang yang mengerti satu ayat saja diharuskan berdakwah.

Ada juga yang mengatakan ini adalah usaha pemerintah untuk menekan rakyat dan bukan melindunginya, bahkan ada juga yang mengatakan melanggar HAM.

Walaupun kalimat kalimat tersebut terkesan senada yaitu menolak sertifikasi, namun bila kita perhatikan lebih cermat, maka kita akan menemukan berbagai kontradiksi didalamnya.

Siapa bilang dengan adanya sertifikasi tersebut, tidak semua orang bisa menjadi ustad? Sertifikasi bukanlah untuk menghalang halangi seseorang untuk berdakwah atau menjadi ustad. Siapapun dapat menjadi ustad, dapat menjadi penceramah, bahkan semua agama pun sepertinya sama. Saya tidak tahu kalau ada agama yang mensyaratkan bahwa untuk menjadi ulama agama tersebut harus dari keturunan si A atau si B, harus dari golongan si A atau si B, dan sebagainya. Menurut saya, baik dia yang berlatar belakang petani, buruh, nelayan, bangsawan, semua memiliki hak untuk bisa menjadi ulama agamanya. Tergantung pada ilmu atau pemahaman terhadap agama yang dianutnya

“…orang yang mengerti satu ayat saja diharuskan berdakwah…”
Saya setuju dalam arti orang tersebut walau mengerti satu ayat pun, diharuskan/wajib berdakwah/menyampaikan kepada yang lain. Perhatikan, kata kuncinya adalah MENGERTI, mengerti berarti memahami dengan baik, tahu dengan jelas. Pertanyaannya, apakah ulama ulama yang mengajarkan radikalisme tersebut memahami dengan jelas apa yang mereka sampaikan?.

Bila memang mereka mengerti, memahami, tahu dengan jelas, tidak mungkin mereka mengajarkan pengikutnya untuk melakukan bom bunuh diri dengan iming iming 72 bidadari. Tidak mungkin mereka mengajarkan jihad itu harus dengan membunuh atau menghilangkan nyawa orang lain. Di bidang pendidikan, guru guru yang mengajar di pelosok pelosok desa, di pedalaman, dengan penuh pengabdian dan gaji kurang memadai, itu juga bisa dikatakan jihad. Para dokter yang harus bertugas di daerah terpencil yang terkadang hanya dibayar dengan ubi, pisang dan singkong atau bahkan tidak dibayar sama sekali oleh pasiennya namun tidak mengendorkan semangat mereka untuk mengabdi, itu juga bisa disebut jihad. Bahkan seorang ayah yang bekerja untuk menghidupi anak istri juga layak disebut jihad, serta banyak lagi contoh yang tidak bisa disebutkan satu persatu karena banyaknya.

Apakah usaha sertifikasi ulama bisa dikatakan usaha pemerintah untuk menekan dan bukan melindungi rakyatnya?. Karena kalau menurut saya justru negara melindungi, bukan menekan rakyatnya, dengan adanya sertifikasi ulama, berarti ulama ulama tersebut diuji pemahaman keagamaannya sampai sedalam apa, dengan pemahaman yang baik dan benar barulah ulama tersebut bisa membimbing para umatnya untuk bisa menjalankan ajaran agamanya dengan baik dan benar juga. Bagaimana sang ulama bisa membimbing umatnya bila dia sendiri tidak memahami dengan baik apa yang dia ajarkan? Atau malah menafsirkan sesuai keinginan dan pemikirannya sendiri? Bukankah itu malah menyesatkan dan menjerumuskan umat yang diajarkan?

Jadi alasan alasan penolakan sertifikasi seperti yang saya sebutkan di atas adalah tidak berdasar sama sekali, di satu sisi mengharapkan orang yang MENGERTI menyampaikan ayat kepada yang lain, tapi disisi lain mengatakan sertifikasi itu BERBAHAYA, sudah terlihat kan kontradiksi yang saya maksud?

Tanpa sertifikasi, seperti inilah keadaan negara kita, dimana ulama ulama bebas menyampaikan ajaran sesuai penafsiran masing masing, ulamanya bebas memaki dengan kata kafir, bunuh, halal darahnya bagaimana umatnya juga tidak ikut ikutan beringas dan menjelma menjadi pentol korek? Punya kepala tidak ada otak, digesek sedikit langsung menyala.

Bahkan negara seperti Saudi yang telah memiliki sertifikasi pun masih bisa disusupi oleh ribuan ulama radikal, apalagi yang tidak memiliki sertifikasi seperti negara kita? Akankah kita akan menunggu sampai ada guncangan yang lebih besar, lebih berbahaya baru kita akan melakukan sertifikasi?

Jadi pemerintah, khususnya Kementerian Agama, apalagi yang Anda tunggu?

(Indo-Voices/suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: