Orang-orang
Syiah memandang Ahlulbait pada abad pertama sebagai kafir! Karena pada
pelbagai literatur dan sumber yang menjadi andalan mereka disebutkan
bahwa pasca Rasulullah Saw seluruh orang telah murtad, kecuali tiga
orang: Salman, Abu Dzar, Miqdad. Sebagian berkata hanya tujuh orang yang
tetap dalam Islam, namun tiada seorang pun dari Ahlulbait dari ketujuh
orang ini. Bagaimana Ahlulbait yang lain seperti keturunan Ja’far dan
keturunan Ali? Apakah mereka semua ini telah murtad?
Jawaban Global:
Kemurtadan (irtidâd)
para sahabat banyak dan dikemukakan secara mutawatir dalam pelbagai
riwayat sahih dan standar Ahlusunnah. Sementara pada literatur dan
sumber Syiah yang menjelaskan kemurtadan sahabat tidak lebih dari tiga
riwayat. Itu pun, dalam terma ilmu hadis, termasuk khabar wahid (tunggal). Dan riwayat-riwayat lainnya memiliki masalah dari sisi sanad yang tidak dapat dijadikan sandaran.
Karena itu, saudara-saudara
Ahlusnnah harus memberikan jawaban terkait dengan kemurtadan para
sahabat dalam riwayat-riwayat mutawatir ini apa maksudnya? Adapun ulama
Syiah meyakini bahwa kemurtadan yang disebutkan pada sebagian riwayat
disandarkan pada sebagian sahabat dan tidak bermakna kafir dan kembali
menyembah berhala; karena makna ini bertentangan dengan teks ayat
al-Qur’an tentang para sahabat dan catatan-catatan sejarah. Dengan
demikian, umumnya ulama Syiah memaknai kemurtadan (irtidâd) ini
sebagai melanggar ikrar mereka terkait masalah wilayah dan membangkang
Nabi Saw dalam masalah khilafah Imam Ali As; lantaran hanya berapa orang
yang siap membela Baginda Ali As hingga harus berkorban jiwa dan sesuai
dengan permintaan beliau sendiri, dengan kepala-kepala gundul dan
pedang-pedang terhunus untuk datang membela beliau. Padahal orang lain
sesuai dengan kesaksian sumber-sumber periwayatan yang kemudian
berbagung dengan kelompok ini di antaranya adalah Ammar.
Adapun
Ahlulbait sesuai dengan literatur sejarah dalam masalah khilafah
seluruhnya membela Baginda Ali As dan apabila ada di antara mereka yang
memilih diam, alasannya adalah mengikut Baginda Ali As sendiri dan
menjaga kemaslahatan Islam. Namun jika ada seseorang dari kalangan Bani
Hasyim maka hal itu tidak berarti bahwa ia adalah dari kalangan Syiah,
atau pada setiap masa berjalan di atas rel kebenaran.
Jawaban Detil:
Untuk menjawab pertanyaan ini kiranya kita harus memperhatikan beberapa poin di bawah ini:
Pertama,
kemurtadan para sahabat dalam riwayat-riwayat Ahlusunnah sangat banyak
dan dikemukakan secara mutawatir dimana kami hanya mencukupkan diri
dengan menyebut referensinya saja:
1. Syarh Shahîh Muslim, Nawawi, jil. 15-16, hal. 5 dan 59
2. ‘Umdat al-Qâri, 23/135.
3. Syarh Shahîh Bukhâri, Kermani, 23/63.
4. Al-Tamhid, Ibn ‘Abdilbarr, 2910/2.
5. Shahîh Bukhâri, Kitâb Riqâq, bab 53, hadis-hadis 6212; 2114.
6. Shahîh Muslim, Kitâb Fadhâil, bab 9.
7. Mishbâh al-Sunnah, 5370/3.
8. Al-Targhib wa al-Tarhib, Mindzari, 4/422.
9. Al-Nihâyat fii Gharib al-Hadits, Ibnu Atsir, 5/274.
10. Fath al-Bâri, Ibnu Hajar, 11/475.
11. Umdat al-Qâri, ‘Aini, 23/142.
12. Irsyâd al-Sâri, Qasthalani, 9/342.
Di
sini kami hanya akan menyebutkan satu riwayat sebagai contoh di antara
beberapa riwayat yang terdapat pada literatur-literatur Ahlusunnah dan
kami persilahkan kepada ahli makrifat untuk merujuk pada literatur dan
referensi yang lain:[1] Abu
Hurairah menukil dari Rasulullah Saw yang bersabda: “Aku berdiri di
atas telaga Kautsar. Pada saat itu, sekelompok orang yang aku kenal
datang. (salah seorang petugas dari petugas-petugas Allah yang menjagai
mereka) keluar dan berkata kepada mereka: Marilah! Aku bertanya,
“Kemana?” Jawabnya, “Demi Allah! Ke neraka. Aku bertanya, “Apa dosa
mereka?” Jawabnya, “Mereka kembali kepada pikiran dan keyakinan mereka
sebelumnya (jahiliyah). Kemudian ia membawa sekelompok orang lainnya
yang aku kenal. (salah seorang petugas dari petugas-petugas Allah yang
menjagai mereka) keluar dan berkata kepada mereka, “Marilah kita pergi!”
Aku bertanya, “Kemana?” Jawabnya, “Ke neraka.” Aku bertanya, “Apa dosa
mereka?” Jawabnya, “Mereka kembali kepada pikiran dan keyakinan mereka
sebelumnya (jahiliyah). Aku pikir tidak ada yang dapat menyelamatkan
mereka kecuali bilangan kecil unta yang terpisah dari kelompoknya
lantaran tiadanya penggembala, hilang dan tak-terurus.[2] (kiasan bahwa orang-orang yang selamat jumlahnya sangat sedikit). [3]
Adapun dalam literatur dan referensi Syiah hanya disebutkan beberapa riwayat pada dua kitab, Syaikh Mufid dan Rijal Kasysyi dimana
mayoritas riwayat tersebut lemah dari sisi sanad. Hanya riwayat yang
sanadnya berasal dari Ali bin Hasan Fadhal yang dapat dipercaya (muatssaq) dan tiga riwayat sahih lainnya.[4]
Bagaimanapun keempat riwayat ini, katakanlah, tidak bermasalah dari sisi sanad dan dalam terma ilmu hadis “khabar wahid” dimana terdapat perbedaan pendapat terkait dengan hujjiyah khabar wahid (boleh tidaknya ia dijadikan sebagai argumen) ini. Namun dengan asumsi hujjyah khabar wahid maka harus dilihat apa yang dimaksud dengan irtidâd dalam riwayat ini? Dengan memperhatikan banyak dan mutawatir-nya
hadis-hadis tentang kemurtadan dalam literatur-literatur Ahlusunnah
maka saudara-saudara Ahlusnnah harus memberikan jawaban terkait dengan
kemurtadan para sahabat dalam riwayat-riwayat mutawatir ini apa
maksudnya? Apa pun makna yang mereka sodorkan dan terima maka makna itu pun yang akan kita terima.
Kedua,
riwayat-riwayat ini tidak sejalan dengan catatan-catatan sejarah.
Bagaimana dapat dikatakan bahwa hanya tiga orang ini yang menolong Ali
bin Abi Thalib; sementara Ibnu Qutaibah dan Thabari berkata sekelompok
orang dari Bani Hasyim dan yang lain sebagai tanda protes terhadap
Saqifah mereka duduk dan tidak meninggalkan rumah Ali bin Abi Thalib
kecuali setelah ancaman dan dinyalakannya api di hadapan rumah.[5]
Ketiga, Syaikh Shaduq dalam kitab Khisal
menyinggung sebagian orang yang mengingkari khilafah (Ali bin Abi
Thalib) dan melancarkan protes terhadap khilafah (Abu Bakar). Syaikh
Shaduq menjelaskan pelbagai protes yang mereka lancarkan. Nama-nama ini
sampai dua belas orang.
Keempat,
adanya tidak kesinambungan dalam teks hadis-hadis ini dalam bilangan
jumlah orang yang menjadikan validitas hadis ini diragukan.
Kelima,
bagaimana mungkin kita dapat mengingkari iman sebagian sahabat dimana
Syiah dan Sunni sepakat dalam mengagungkan mereka. Orang-orang seperti
Bilal, Hijr bin Udai, Uwais Qarni dan sebagainya demikian juga Bani
Hasyim yang berada dalam barisan Imam Ali As dan tidak meninggalkan
barisan tersebut dan hanya karena meneladani Baginda Ali As dan menjaga
kemasalahatan Islam mereka memilih diam.[6]
Keenam,
ihwal kemurtadan yang mengemuka dalam hadis-hadis tersebut ulama Syiah
mengemukakan beberapa takwil atasnya. Ayatullah Subhani berpandangan
bahwa kemurtadan ini tidak bermakna kafir, musyrik, dan kembalinya mereka kepada jahiliyah; melainkan
tidak setianya mereka terhadap ikrar yang disampaikan pada hari Ghadir
Khum. Sebuah riwayat dinukil mengisahkan bahwa Baginda Ali As meminta
mereka besok untuk datang dengan kepala gundul dan hanya tiga orang yang
datang. Riwayat ini merupakan bukti bahwa yang dimaksud dengan
kemurtadan sebagian orang adalah mengundurkan diri dari perang bersama
Baginda Ali As.[7]
Imam Khomeini Ra juga dalam kitab Thahârah-nya
pada pembahasan apakah para penentang Syiah itu kafir atau tidak?
Beliau berkata, “Orang-orang dikatakan Islam apabila diketahui
keyakinannya terhadap uluhiyyah, tauhid, kenabian dan ma’âd
(terdapat perbedaan ulama dalam hal ini).” Beliau berpandangan bahwa
imamah merupakan ushul mazhab Syiah dan menentang ushul mazhab ini hanya
akan mengeluarkan orang dari Syiah bukan Islam. Imam Khomeini dalam hal
ini mengkaji riwayat-riwayat yang menyandarkan kekufuran kepada
Ahlusunnah dan meyakini bahwa dalam penyandaran-penyandaran kekufuran
ini bukan kekufuran dalam artian teknis. Lantaran hal ini berseberangan
dengan riwayat-riwayat mustafidha[8] bahkan mutawatir dalam hal ini dan interaksi orang-orang Syiah dan para imam dengan Ahlusunnah (bahkan tidak dalam konteks taqiyyah).[9]
Dengan
demikian, tiada jalan lain kecuali hal-hal ini dipredikasikan atas
hukum-hukum batini; seperti misalnya dipredikasikan bahwa ganjaran
akhirat tidak akan mereka dapatkan atau kekufuran dalam hal ini
dinyatakan terkait dengan sebagian tingkatan kekufuran; lantaran pada
sebagian riwayat lainnya orang-orang yang meninggalkan shalat, penzinah
juga disebut sebagai kafir; namun orang-orang ini tidak disebut sebagai
kafir dalam pengertian teknis dan khusus. Terkait dengan pernyataan
bahwa pada hakikatnya mereka kafir dan secara lahir mereka menjalankan
hukum-hukum Islam tidak dapat diterima dan dibenarkan. Karena disebutkan
bahwa Islam tidak lain kecuali keyakinan terhadap beberapa prinsip yang
telah disebutkan.[10]
Imam
Khomeini dalam menganalisa riwayat ini juga menjelaskan, “Yang lebih
dekat bahwa yang dimaksud dengan kemurtadan dalam riwayat-riwayat ini
bermakna pelanggaran terhadap ikrar wilayah meski hal itu dilakukan secara terang-terangan atau ber-taqiyyah; bukan bermakna murtad dari Islam.[11]
Mir Damad juga dalam kitab Nibrâs al-Dhiyâh memandang bahwa kemurtadan ini bermakna menyimgpang dari barisan dan merampas kebenaran dari ahlinya.[12]
Ketujuh,
boleh jadi sebagian riwayat ini, rekaan Ghulat dan Hasywiyah Syiah
(firkah sempalan). Ayatullah Subhani pada akhir pembahasan berkata
demikian, “Saya kira riwayat-riwayat semacam ini merupakan rekayasa
Ghulat dan Hasywiyah (firkah sempalan Syiah) untuk mengukuhkan masalah wilâyah
dan trik dalam menciptakan ketulusan (palsu) di kalangan Syiah; padahal
riwayat-riwayat semacam ini bersebrangan dengan al-Qur’an,
riwayat-riwayat Amirulmukminin[13] dan Imam Sajjad[14] dalam memuji sebagian sahabat.[15]
Kedelapan, pandangan Syiah terkait dengan sahabat seperti pandangan al-Qur’an terhadap sahabat. Al-Qur’an
pada kebanyakan ayat-ayatnya memuji sahabat dan sebagian ayat lainnya
mencela sahabat. Pada kebanyakan ayat al-Qur’an memuji sahabat misalnya
baiat di bawah pohon. Pada saat yang sama al-Qur’an mencela orang-orang
munafik di antara sahabat. Kalau seluruh sahabat dipandang adil, atau
mereka semuanya dipandang murtad, kedua-duanya berseberangan dengan
al-Qur’an.[16]
Ahlulbait,
juga sesuai dengan catatan sejarah, dalam masalah khilafah seluruhnya
membela Baginda Ali As. Namun seseorang dari Bani Hasyim, tidak menjadi
dalil bahwa mereka itu Syiah, atau sepanjang masa ia senantiasa berjalan
di atas rel kebenaran.
Untuk
telaah lebih jauh, silahkan lihat: Jawaban Pertanyaan 1589 (Site:
1970), Indeks: Makna Kemurtadan para Sahabat dan Pembuktiannya.
[1]. Diadaptasi dari Pertanyaan 2799 (Site: 3502), Indeks: Kemurtadan Para Sahabat Pasca Wafatnya Rasulullah Saw.
[2]. Shahîh Bukhâri, Kitâb Riqâq, bab 53, hadis 2115; Lisân al-‘Arab, Ibnu Manzhur, jil. 15, hal. 135; Al-Targhib wa al-Tarhib, Mindzari, jil. 4, hal. 422; Al-Nihâyat fî Gharib al-Hadits, Ibnu Atsir, jil. 5, hal. 274; Fath al-Bâri, Ibnu Hajar, jil. 11, hal. 475; ‘Umdat al-Qâri, ‘Aini, jil. 23, hal. 142; Irsyâd al-Sâri, Qasthalani, jil. 9, hal. 342.
«بینا
أنا قائم إذا زمرة، حتی إذا عرفتهم خرج رجل من بینی و بینهم، فقال: هلم،
فقلت: أین؟ قال: الی النار والله، قلت: و ماشأنهم؟ قال: إنهم ارتدوا بعدک
علی أدبارهم القهقری. ثم إذا زمرة، حتی إذا عرفتهم خرج رجل من بینی و
بینهم، فقال: هلم، قلت: أین؟ قال: إلی النار والله. قلت: ماشأنهم؟ قال:
أنهم ارتدوا بعدک علی أدبارهم القهقری، فلا أراه یخلص منهم الا مثل همل
النعم».
[3]. Diadaptasi dari Pertanyaan 1589 (Site:1980), Indeks: Makna Kemurtadan Sahabat dan Dalil-dalilnya.
[4]. Syaikh Thusi, Ikhtibâr Ma’rifat al-Rijâl (populer dengan Rijal Kasysyi), hal. 19, hadis 17, 18, 20, 21. Ja’far Subhani, Ma’a al-Syiah al-Imâmiyah fii ‘Aqâidihim, hal. 177-178; cetakan pertama, Dar al-Adhwa’, Beirut, 1414 H.
[5]. Silahkan lihat, Ja’far Subhani, Ma’a al-Syiah al-Imâmiyah fii ‘Aqâidihim, hal. 178-179; cetakan pertama, Dar al-Adhwa’, Beirut, 1414 H. Ayatullah
Subhani dalam kitab ini menyebutkan sebagian dari kitab-kitab Thabari,
al-Imamah wa al-Siyasah, dan Tarikh Ya’qubi dimana orang-orang ini juga
disebutkan pada kitab tersebut.
[6]. Silahkan lihat, Ma’a al-Syiah al-Imâmiyah fii ‘Aqâidihim, hal. 180-181.
[7]. Ibid, hal. 181.
[8]. Hadis-hadis yang mendatangkan kemantapan hati (ithminan), tingkatannya di atas khabar wahid (menghasilkan asumsi) dan di bawah riwayat mutawatir (menghasilkan keyakinan)
[9]. Imam Khomeini, Kitâb al-Thahârah, jil. 3, hal. 437, cetakan pertama, Muassasah Tanzhim wa Nasyr Atsar-e Imam Khomeini, 1379 S. Diadaptasi dari Pertanyaan 2808 (Site:3501).
[10]. Imam Khomeini, Kitâb al-Thahârah, jil. 3, hal. 438
[11]. Imam Khomeini, Kitâb al-Thahârah, jil. 3, hal. 446
[12]. Mir Damad, Nibras al-Dhiyâ’ wa Tiswa al-Sawâ fi Syarh Bâb al-Bidâ wa Itsbât Jadwi al-Do’â, hal. 54, Daftar Nasyr-e Mirats Maktub, Teheran, Wizarat-e Farhangg-e wa Irsyad-e Islami.
[13]. Nahj al-Balâgha, Khutbah 56 dan 182.
[14]. Shahifa Sajjadiyah, Doa Keempat.
[15]. Subhani, Ma’a al-Syiah al-Imâmiyah fii ‘Aqâidihim, hal. 178-179; cetakan pertama, Dar al-Adhwa’, Beirut, 1414 H.
[16]. Ja’far Murtadha ‘Askari, Ma’âlim al-Madrasatain, jil. 1, hal. 130-135, cetakan keempat, Muassasah Bi’tsat, Teheran, 1412 H.
Ahlus sunnah menyatakan kembali disini:
Orang-orang
Syiah mengklaim bahwa para sahabat telah murtad pasca wafatnya
Rasulullah Saw (Bihâr al-Anwâr, jil. 22, hal. 352, hadis 80).
Pertanyaannya adalah: Apakah para sahabat itu sebelum wafatnya
Rasulullah Saw adalah orang-orang Syiah Dua Belas Imam dan pasca
Rasulullah mereka menjadi Sunni? Atau sebelum wafatnya Rasulullah Saw
mereka bermazhab Sunni kemudian menjadi Syiah? Karena telah murtad dan
berpaling, apakah hal itu bermakna berpindah dari satu kondisi ke
kondisi yang lain…?!
Jawaban Global:
Munculnya
penyimpangan, seperti bid’ah dan kemurtadan, di kalangan sebagian
sahabat setelah wafatnya Rasulullah, pertama; dalam perspektif
sumber-sumber pertama umat Islam, merupakan perkara yang disepakati
secara umum (musallam) dan tidak diragukan lagi serta tidak terkhusus pada sumber-sumber mazhab Syiah saja.
Riwayat-riwayat mutawatir yang datang dari Rasulullah Saw di dalam Shihah Sittah
Ahlusunnah, dan sumber-sumber lain pada mazhab Ahlusunnah, dengan
bilangan sanad sahih yang banyak, merupakan penjelas bahwa sebagian
besar sahabat, pasca wafatnya Rasulullah Saw, telah meninggalkan jalan
dan sunnah Rasulullah Saw dan kembali kepada model kehidupan jahiliyah. Dan
penyimpangan seperti ini menjadi penyebab sehingga pada hari Kiamat
nanti mereka tidak mendapatkan izin untuk meminum air dari telaga
Kautsar, terusir dari telaga Kautsar, dan para malaikat azab menggiring
mereka ke arah neraka jahannam.
Kedua,
kemurtadan yang mengemuka pada riwayat-riwayat seperti ini, tidak
bermakna kemurtadan secara teknis teologis yang menyebabkan kekufuran
melainkan bermakna kembalinya mereka kepada model kehidupan, nilai-nilai
jahiliyyah dan berpaling dari jalan dan sunnah Rasulullah Saw.
Oleh
itu, kemurtadan ini tidak bermakna bahwa mereka dulunya adalah Syiah
dan setelah wafatnya Rasulullah beralih menjadi Sunni. Atau pada masa
Rasulullah Saw mereka dulunya adalah Sunni dan kemudian menjadi Syiah.
Meski menurut sejarah dan riwayat-riwayat Islam, bahwa masalah Syiah
adalah masalah yang telah mengemuka pada masa Rasulullah Saw. Hal ini
terbukti bahwa nama pertama yang tercatat pada masa Rasulullah Saw
adalah nama Syiah. Dan orang pertama kali yang menyematkan nama pengikut
Ali sebagai Syiah Ali adalah Rasulullah Saw sendiri. Serta orang-orang
yang pertama kali disebut sebagai Syiah Ali As adalah sebagian sahabat
Rasulullah Saw.
Jawaban Detil:
Untuk
memperoleh jawaban yang sesuai dari pertanyaan yang dikemukakan, ada
baiknya kita menyimak ulang hadis-hadis ihwal telaga Kautsar.
Keyakinan
terhadap telaga Kautsar di kalangan Muslimin, merupakan keyakinan
seluruh pengikut mazhab Islam, dan termasuk keyakinan bersama yang
dianut kaum Muslimin. Terdapat beberapa riwayat mutawatir[1] yang dinukil dari Rasulullah Saw yang tercatat pada literatur-literatur derajat pertama (manâbi’ al-awwaliyah)
pada dua mazhab yang menjelaskan bahwa sahabat Rasulullah Saw pada hari
Kiamat kelak mendatangi telaga Kautsar untuk menjumpai Rasulullah Saw
dan ingin melepaskan dahaga mereka dengan meminum air dari telaga
Kautsar tersebut. Akan tetapi hanya sebagian kecil dari mereka yang
diterima untuk bersua dengan Rasulullah Saw. Sementara sebagian besar
dari mereka diusir dari telaga Kautsar dan malaikat-malaikat azab
menggiring mereka ke neraka. Menyaksikan kondisi seperti ini, mereka
memohon bantuan kepada Rasulullah Saw. Dan Nabi yang penuh kasih ini
-dengan tujuan untuk menolong mereka- mencari tahu
gerangan apa sebabnya mereka tidak diperkenankan untuk memasuki telaga
Kautsar. Allah Swt berfirman kepada Rasulullah Saw: “Mereka banyak
membuat bid’ah setelah engkau tiada, dan tindakan mereka ini berujung
pada kemurtadan mereka.” Pesan Ilahi ini menjadi sebab sehingga Nabi Saw
juga mencela mereka dan mengusir mereka dari telaga Kautsar.
Beberapa contoh hadis yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Sahl
bin Sa’ad menukil dari Rasulullah Saw yang bersabda: “Aku akan memasuki
telaga (Kautsar) sebelum kalian… (setelah itu), sekelompok orang yang
aku kenal dan mereka juga mengenalku, masuk (mendekat ke telaga
Kautsar). Kemudian terbentang jarak antara aku dan mereka. (dan mereka
dihalangi untuk masuk ke dalam telaga Kautsar). Aku berkata: “Mereka
dariku.” Dikatakan kepada Rasulullah Saw: “Engkau tidak tahu bahwa
mereka banyak membuat bid’ah selepasmu.” Aku berkata, “Menjauhlah.
Menjauhlah orang yang menciptakan bid’ah selepasku.”[2]
2. Abu
Hurairah menukil dari Rasulullah Saw yang bersabda: “Pada hari Kiamat,
sekelompok sahabatku mendatangiku. Namun mereka ditolak untuk mendekat
ke telaga. Aku berkata, “Tuhanku! Mereka ini adalah sahabat-sahabatku?
Dijawab: “Engkau tidak tahu banyak bid’ah yang mereka munculkan. Mereka
meninggalkan jalan kebenaran dan petunjuk[3] dan kembali kepada pikiran-pikiran mereka sebelumnya (jahiliyyah).”[4]
3. Abu
Hurairah menukil dari Rasulullah Saw yang bersabda: “Aku berdiri di
atas telaga Kautsar. Pada saat itu, sekelompok orang yang aku kenal
datang. (salah seorang petugas dari petugas-petugas Allah yang menjagai
mereka) keluar dan berkata kepada mereka: Marilah! Aku bertanya,
“Kemana?” Jawabnya, “Demi Allah! Ke neraka. Aku bertanya, “Apa dosa
mereka?” Jawabnya, “Mereka kembali kepada pikiran dan keyakinan mereka
sebelumnya (jahiliyah). Kemudian ia membawa sekelompok orang lainnya
yang aku kenal. (salah seorang petugas dari petugas-petugas Allah yang
menjagai mereka) keluar dan berkata kepada mereka, “Marilah kita pergi!”
Aku bertanya, “Kemana?” Jawabnya, “Ke neraka.” Aku bertanya, “Apa dosa
mereka?” Jawabnya, “Mereka kembali kepada pikiran dan keyakinan mereka
sebelumnya (jahiliyah). Aku pikir tidak ada yang dapat menyelamatkan
mereka kecuali bilangan kecil unta yang terpisah dari kelompoknya
lantaran tiadanya penggembala, hilang dan tak-terurus.[5] (kiasan bahwa orang-orang yang selamat jumlahnya sangat sedikit). [6]
4. Ummu
Salamah menukil dari Rasulullah Saw yang bersabda, “Aku akan memasuki
telaga (Kautsar) sebelum kalian. Setelah itu, menjauhlah dariku! Tiada
seorang pun dari kalian yang mendekat kecuali dihalau menjauh
sebagaimana unta asing yang hilang dihalau menjauh dari bak. Aku bertanya:
Apa gerangan sebabnya? Dijawab, “Engkau tidak mengetahui bahwa mereka
banyak menciptakan bid’ah. Kemudian aku berkata, “Menjauhlah![7]
5. Abu
Sa’id al-Khudri menukil dari Rasulullah Saw yang bersabda, “Ayyuhannas!
Aku akan memasuki telaga Kautsar sebelum kalian pada hari Kiamat.
Sebagian dari sahabatku diperlihatkan kepadaku dan digiring ke neraka
jahannam. Seseorang dari mereka berseru, Wahai Muhammad! Aku adalah
fulan putra fulan. Dan yang lain berkata, “Wahai Muhammad! Aku fulan bin
fulan. Aku menjawab: Akan tetapi aku mengenal dengan baik garis
keturunanmu (nasab) namun banyak memunculkan bid’ah selepasku dan
kembali ke pikiran dan keyakinan mereka sebelumnya (jahiliyyah).”[8]
6. Umar
bin Khattab menukil dari Rasulullah Saw yang bersabda, “Aku berusaha
menghalangi supaya kalian tidak masuk ke dalam neraka, akan tetapi
kalian menguasaiku dan dengan santai kalian menuju ke neraka jahannam
sebagaimana kupu-kupu dan serangga-serangga. Dan hampir aku melepaskan
kalian (sehingga kalian memasuki neraka), aku akan masuk ke telaga
Kautsar sebelum kalian, dan kalian bersama-sama dan terpisah-pisah akan
datang kepadaku. Aku mengenal nama dan wajah kalian, sebagaimana pemilik
unta mengenal untanya dan unta asing. Kalian akan digiring ke neraka.
Dan aku bersumpah demi kalian di hadapan Tuhan! Tuhanku sahabatku?
Tuhanku umatku? Dijawab: Engkau tidak tahu bahwa mereka banyak
menciptakan bid’ah selepasmu. Mereka kembali kepada pikiran jahiliyyah.”[9]
Pada
sebagian literatur Syiah Imamiyah yang dinukil dari para imam Ahlulbait
As riwayat-riwayat semacam ini juga dapat dijumpai. Di antaranya dalam
kitab Bihar al-Anwar yang dinukil dari Abu Bashir. Abu Bashir berkata,
“Aku berkata kepada Imam Shadiq As: Apakah orang-orang setelah
Rasulullah Saw, selain tiga orang, Abu Dzar, Salman dan Miqdad, telah
murtad? Imam Shadiq As bersabda, “Lantas Abu Sasan dan Abu Umrah Anshari
dimana?”[10]
Sebagaimana
yang Anda lihat, Imam Shadiq menolak perkiraan Abu Bashir yang mengira
hanya tiga orang dan selebihnya orang-orang yang lain telah murtad
semuanya. Imam Shadiq As menyebut nama orang lain yang tetap berada pada
jalan petunjuk dan kebenaran.
Terkait dengan hadis di atas harus diperhatikan bahwa:
Pertama: Hadis tersebut tidak disebutkan pada sumber-sumber riwayat standar Syiah.
Kedua: Redaksi kalimat “nas”
(orang-orang) pada hadis yang disebutkan di atas bermakna sahabat bukan
seluruh kaum Muslimin yang hidup pada abad yang berbeda pasca
Rasulullah Saw. Dalil atas klaim ini adalah bahwa orang-orang yang
disebutkan pada hadis di atas dan berada pada jalan petunjuk, seluruhnya
adalah para sahabat Rasulullah Saw. Dengan demikian, orang-orang yang
tidak berada pada jalan petunjuk juga adalah para sahabat Rasulullah
Saw.
Ketiga:
Secara lahir, riwayat di atas dan riwayat-riwayat lainya yang
menyebutkan jumlah orang-orang yang mendapatkan petunjuk, lebih banyak.
Karena itu, dengan jelas dapat disimpulkan bahwa para imam maksum As
pada riwayat ini, tidak berada pada tataran menyebutkan jumlah bilangan
tertentu, melainkan ingin menjelaskan bahwa orang-orang yang tetap loyal
dan setia pada nilai-nilai Islam pasca Rasulullah adalah sedikit
jumlahnya. Dan mayoritas telah berpaling dari nilai-nilai Islam dan
kembali kepada nilai-nilai jahiliyah. Dan sebagaimana yang telah
disinggung bahwa makna kemurtadan (irtidâd) pada hadis di atas adalah kembalinya kepada nilai-nilai jahiliyah bukan kemurtadan dalam artian teknis teologis.
Kesimpulan:
Sebagai kesimpulan dari beberapa riwayat di atas dapat dikatakan bahwa Pertama: Redaksi kalimat “ihdats” yang digunakan pada riwayat-riwayat di atas bermakna “bid’ah.” Bid’ah bermakna pikiran dan keyakinan yang baru yang tidak memiliki akar pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw.[11] Bid’ah,
termasuk perbuatan dosa sesuai dengan penegasan hadis-hadis sahih
Rasulullah Saw, dapat menghapus seluruh perbuatan baik pembuat bid’ah
dan mengeluarkannya dari nilai-nilai Islam.[12]
Kedua: Sesuai dengan penegasan hadis-hadis di atas, sekelompok sahabat Rasulullah Saw membuat bid’ah. “Annaka la tadri ma ahdatsu ba’dak.”[13]
Dan dosa pembuat bid’ah sedemikian besarnya sehingga mereka terusir
dari telaga Kautsar dan jauh dari rahmat Allah Swt dan syafaat
Rasulullah Saw.
Ketiga: Hadis-hadis di atas tidak dapat diterapkan atas ahli riddah,
yaitu orang-orang yang baru memeluk Islam pada akhir-akhir usia
Rasulullah Saw, atau tidak lama setelah Rasulullah Saw wafat yang
tinggal di daerah-daerah jauh dalam negeri Islam. Ahli riddah ini adalah orang-orang yang telah keluar dari Islam. Dan sesuai dengan definisi yang paling sahih tentang sahabat, ahli riddah tidak termasuk dalam golongan sahabat.
Ibnu
Hajar ‘Asqalani menulis, “Definisi yang paling benar yang aku temukan
ihwal sahabat, bahwa sahabat adalah orang yang bertemu dengan Rasulullah
Saw dan beriman kepadanya dan meninggal dunia dalam keadaan beriman
kepada Islam.”[14]
Ahli riddah
tidak memiliki tipologi ini, lantaran mereka meninggal dunia dalam
keadaan tidak beriman kepada Islam. Karena itu, mereka tidak termasuk
dalam definisi sahabat. Sementara sabda Rasulullah Saw terkait dengan
sahabat,
Ahli riddah juga tidak termasuk dalam definisi “urfi” sahabat. Karena ulama Ahlusunnah berkata, “Dalam pandangan urf,
“Orang-orang yang termasuk dalam kategori sahabat adalah yang banyak
menghabiskan waktunya bersama Rasulullah Saw, dan berjumpa dengan
Rasulullah Saw.”[15] Sa’id bin Musayyab memandang jangka waktu yang dihabiskan bersama Rasulullah Saw adalah satu sampai dua tahun.[16] Dan ahli riddah
sekali-kali tidak pernah bersama Rasulullah Saw dalam jangka waktu ini.
Mereka tidak pernah berinteraksi dengan Rasulullah Saw. Ibnu Atsir juga
menegaskan bahwa ahli riddah tidak termasuk dalam kategori sahabat Rasulullah Saw.[17]
Demikian juga dalam riwayat disebutkan, “Rijâlun minkum… orang-orang dari kalangan kalian”[18] dan “A’rifuhum wa ya’rifûni.. Aku mengenal mereka dan mereka mengenalku..”[19] dan “rijâlun min ashâbi..(orang-orang dari sahabatku)[20] dan “aku mengetahui nama kalian dan aku mengenal wajah kalian…dan..”[21]
Ahli riddah
sama sekali tidak termasuk dalam redaksi-redaksi hadis di atas,
lantaran mereka bukan berasal dari kalangan sahabat. Rasulullah Saw juga
tidak mengenal nama dan wajah mereka, juga tidak mengenal nama dan nasab
(garis keturunan) mereka. Khususnya sebagian sahabat besar Rasulullah
Saw mengakui bahwa setelah wafatnya beliau mereka menciptakan bid’ah.[22] Pengakuan-pengakuan ini dengan jelas menunjukkan bahwa bid’ah dan kemurtadan (irtidâd) yang disebutkan pada hadis-hadis telaga (haudh), bukan kemurtadan sejumlah orang yang baru memeluk Islam seperti ahli riddah.
Keempat:
Poin lain yang menegaskan pendapat di atas adalah sabda Rasulullah Saw
kepada Zaid bin Arqam. Ia merupakan salah seorang yang menukil
hadis-hadis telagah (haudh) dari Rasulullah Saw. Tatkala ia meriwayatkan
hadis dari Rasulullah Saw untuk orang-orang. Orang-orang bertanya
kepadanya: Tatkala Rasulullah Saw menjelaskan hadis ini, berapa orang
bersama Anda? Zaid bin Arqam menjawab, “Kira-kira 800 sampai 900 orang.”[23]
Kelima:
Di samping pembahasan di atas, apabila peristiwa murtadnya sekelompok
orang yang baru memeluk Islam setelah Rasulullah Saw itu diangap benar,
(lantaran mereka tidak bersedia menyerahkan zakat kepada pemerintahan
khalifah pertama lantas mereka dituding sebagai kafir dan murtad); maka
dalam hal ini, orang-orang yang baru memeluk Islam yang berpaling dari
Islam dan kembali kepada kekufuran (kafir), sekali-kali tidak dapat
menjadi obyek (mishdâq) hadis telaga (haudh) di atas. Karena pada hadis-hadis telaga (haudh) dalam awal pembahasan, yang mengemuka adalah “bid’ah” sementara ahli riddah tidak melakukan bid’ah melainkan mereka meninggalkan Islam dan telah murtad. Tentu terdapat perbedaan yang menganga antara bid’ah dan kemurtadan (irtidâd). Bid’ah bermakna memasukkan sesuatu dalam agama yang bukan bagian dari agama.[24] Dan ahli riddah
tidak memasukkan sesuatu ke dalam agama, melainkan mereka meninggalkan
jalan dan sunnah Rasulullah Saw serta kembali kepada pikiran dan
keyakinan jahiliyahnya. Dan tentu saja apa yang mereka lakukan ini
adalah kemurtadan (irtidâd) bukan bid’ah.
Terkait dengan kemurtadan (irtidâd), seseorang meninggalkan agama secara keseluruhan dan kembali kepada keyakinan dan pikiran mereka sebelumnya. Sementara bid’ah,
seseorang tidak meninggalkan agama melainkan ia tetap menjaga agama.
Namun karena hawa nafsu, segala sesuatu yang bukan bagian dari agama ia
jadikan sebagai bagian dari agama. Dan kemurtadan yang juga disinggung
dalam hadis-hadis telaga adalah kemurtadan yang bersumber dari bid’ah. Artinya mereka pertama-tama memunculkan bid’ah dan bid’ah
ini berujung pada kemurtadan mereka. Dan yang dimaksud dengan
kemurtadan di sini adalah kembali kepada nilai-nilai jahiliyah, bukan
kemurtadan dalam artian teknis teologis. Kemurtadan dalam riwayat ini
terjadi dengan tetap menjaga Islam dan orang yang melakukan ini tidak
tergolong sebagai kafir dalam artian teknis.
Keenam: Di dalam hadis-hadis telaga (haudh) terdapat redaksi “merubah” (tagyiir) dan mengganti” (tabdil) . “Suhqân suhqân liman gayyara ba’di.”[25] “Suhqan suhqân liman baddala ba’di.”[26]
Redaksi
hadis di atas dengan tegas menunjukkan bahwa kelompok-kelompok dari
kalangan sahabat setelah wafatnya Rasulullah Saw mengganti dan merubah
hakikat-hakikat penting Islam. Tindakan mereka ini telah mengundang
kemurkaan Allah Swt dan Rasul-Nya. Sedemikian sehingga Rasulullah Saw
mencela dan mengusir mereka dengan menggunakan kalimat “suhqân.”
Banyak ulama Ahlusunnah memandang redaksi kalimat “suhqan”, “baddala”, dan “ghayyara” bermakna perubahan dalam agama dan keluar dari nilai-nilai Islam. Al-Qasthalani yang merupakan salah satu komentator Shahîh Bukhâri
menulis, “Kalimat-kalimat yang disebutkan menunjukkan bahwa orang-orang
yang dimaksud dalam hadis-hadis telaga adalah orang-orang yang telah
merubah agamanya; karena apabila dosa mereka selain merubah nilai-nilai
agama, maka Rasulullah Saw tidak akan menggunakan kalimat “suhqan” untuk mereka, melainkan berusaha memecahkan persoalan mereka dan memberikan syafaat kepada mereka.”[27]
Ketujuh: Di dalam hadis-hadis telaga disebutkan: Mereka bergerak secara qahqari (mundur ke belakang, set-back) kembali ke masa lalunya.[28] Dan juga disebutkan, “Demi Allah (mereka) berpaling dari kebenaran dan kembali ke masa lalunya.”[29]
Redaksi-redaksi kalimat hadis ini juga secara lahir menunjukkan
keluarnya mereka dari nilai-nilai Islam, karena masa lalu para sahabat
adalah masa jahiliyah. Dan kembali ke masa seperti ini adalah keluar
dari nilai-nilai Islam dan kembali kepada nilai-nilai jahiliyah.
Ibnu Hajar Asqalani dalam mengulas hadis Rasulullah Saw ini menulis, “Qauluhu: Ma barihu yarji’una ‘ala a’qabihim” ay yartaddun.[30] (Mereka kembali kepada masa lalunya artinya mereka telah murtad).
Kedelapan:
Sebagaimana yang telah disebutkan, di dalam sebuah hadis telaga (haudh)
disebutkan sabda Rasulullah Saw: “Aku mengira mereka tidak akan
mendapatkan keselamatan, kecuali bilangan sedikit unta yang hilang dari
kelompoknya.”[31]
Hadis
ini, secara lugas menjelaskan bahwa sahabat yang datang menemui
Rasulullah Saw di telaga Kautsar, hanya sebagian kecil, yang mendapatkan
keselamatan dan kejayaan.[32]
Sebagaimana yang kita saksikan, masalah kemurtadan sebagian sahabat
pasca wafatnya Rasulullah Saw, tidak hanya disebutkan pada
literatur-literatur Syiah saja; melainkan juga disebutkan dalam
literatur-literatu paling standar Ahlusunnah.
Demikian
juga sebagaimana yang telah dibahas, masalah kemurtadan para sahabat
tidak bermakna bahwa mereka dulunya Syiah dan setelah Rasulullah Saw
wafat, mereka beralih menjadi Sunni. Atau pada masa Rasulullah Saw
mereka dulunya adalah Sunni, kemudian menjadi Syiah. Kemurtadan mereka
bermakna berpalingnya mereka dari jalan dan sunnah Rasulullah Saw dan
kembalinya mereka kepada pikiran dan keyakinan jahiliyah. Kendati
menurut sejarah dan riwayat-riwayat Islam, hal ini merupakan perkara
yang telah ditetapkan bahwa Syiah merupakan nama pertama yang muncul
pada masa awal kemunculan Islam dan masa Rasululllah Saw. Dan orang yang
pertama kali menyematkan nama Syiah kepada para pengikut Ali As dan
menyebut mereka sebagai Syiah Ali As adalah pribadi Rasulullah Saw
sendiri.[33]
Orang-orang yang pertama kali disebut sebagai Syiah Ali adalah sebagian
sahabat Rasulullah Saw. Abu Hatim Razi menulis, “Nama pertama yang
muncul dalam Islam pada masa Rasulullah Saw adalah Syiah. Nama ini
merupakan gelar bagi empat orang sahabat, yaitu Abu Dzar, Salman, Ammar
dan Miqdad.”[34]
[1]. Syarh Shahîh Muslim, Nawawi, jil. 15-16, hal. 5 & 59; ‘Umdat al-Qâri, jil. 23, hal. 135; Syarh Shahîh Bukhâri, Kermani, jil. 23, hal. 63; Al-Tamhid, Ibnu Abdilbar, jil. 2, hal. 291.
[2]. Shahîh Bukhâri, Kitâb Riqâq, bab 53, hadis 6212; Shahîh Muslim, Kitâb Fadhâil, bab 9; Mashabih al-Sunnah, Baghawi, jil. 3, hal. 537.
«انی
فرطکم علی الحوض،... لیردن علی أقوام أعرفهم و یعرفوننی، ثم یحال بینی و
بینهم. فأقول: انهم منی، فیقال: انک لاتدری ما أحدتوا بعدک، فأقول: سحقاً
سحقاً لمن غیّر بعدی»
[3]. Ulasan hadis-hadis Bukhâri oleh Mustafa Dib al-Bugha, Shahîh Bukhâri, jil. 5, hadis 2407.
[4]. Shahîh Bukhâri, Kitâb Riqâq, bab 53, hadis 6213
«یرد
علی یوم القیامة رهط من أصحابی، فیجلون عن الحوض، فأقول: یا رب اصحابی؟
فیقول: انک لاعلم لک بما أحدثوا بعدک، انهم ارتدوا علی ادبارهم القهقری»
[5]. Shahîh Bukhâri, Kitâb Riqâq,
bab 53, hadis 2115; Lisan al-Arab, Ibnu Manzhur, jil. 15, hal. 135;
Al-Targhib wa al-Tarhib, Mindzari, jil. 4, hal. 422; Al-Nihayat fi
Gharib al-Hadits, Ibnu Atsir, jil. 5, hal. 274; Fath al-Bari, Ibnu
Hajar, jil. 11, hal. 475; ‘Umdat al-Qari, ‘Aini, jil. 23, hal. 142;
Irsyad al-Sari, Qasthalani, jil. 9, hal. 342.
«بینا
أنا قائم إذا زمرة، حتی إذا عرفتهم خرج رجل من بینی و بینهم، فقال: هلم،
فقلت: أین؟ قال: الی النار والله، قلت: و ماشأنهم؟ قال: إنهم ارتدوا بعدک
علی أدبارهم القهقری. ثم إذا زمرة، حتی إذا عرفتهم خرج رجل من بینی و
بینهم، فقال: هلم، قلت: أین؟ قال: إلی النار والله. قلت: ماشأنهم؟ قال:
أنهم ارتدوا بعدک علی أدبارهم القهقری، فلا أراه یخلص منهم الا مثل همل
النعم».
[6]. Diadaptasi dari Pertanyaan 1589 (Site:1980), Indeks: Makna Kemurtadan Sahabat dan Dalil-dalilnya.
[7]. Shahîh Muslim, Kitâb Fadhâil, bab 9, hadis 2295.
«انی
لکم فرط علی الحوض، فایای! لایأتین أحدکم فیذب عنی کما یذب البعیر الضال،
فاقول: فیهم هذا؟ فیقال: انک لاتدری ما أحدثوا بعدک، فأقول: سحقاً».
[8]. Musnad Ahmad bin Hanbal, jil. 4, hal. 79; Al-Tamhid, Ibnu Abdilbar, jil. 2, hal. 299.
«...
ایها الناس أنا فرطکم علی الحوض یوم القیامة ولیرفعن الی قوم ممن صحبنی و
لیمرن بهم ذات السیار فینادی الرجل یامحمد أنا فلان بن فلان و یقول آخر یا
محمد أنا فلان بن فلان، فأقول: اما النسب فقد عرفته و لکنکم أحدثتم بعدی و
ارتددتم علی اعقابکم القهقری».
[9]. Al-Tamhid, Ibnu Abdilbar, jil. 2, hal. 301.
«انی فنمسک بحجزکم هلم عن النار و تغلبوننی تقاحمون فیه تقاحم الفراش و الجنادب، و اوشک أن أرسل حجزکم و أفرط لکم علی الحوض و تردون علی معا و أشتاتاً، فأعرفکم بأسمائکم و سیماکم، کما یعرف الرجل، الغریبة فی ابلة، فیؤخذ بکم ذات الشمال، و أناشد فیکم رب العالمین، أی رب رهطی، أی رب امتی، فیقال انک لاتدری ما أحدثوا بعدک، انهم کانوا یمشون القهقری».
[10]. Bihâr al-Anwâr, jil. 23, hal. 352.
«قلت لأبی عبدالله (ع): ارتد الناس الاّ ثلاثة: ابوذر و سلمان و المقداد؟ قال ابوعبدالله: فأین أبو ساسان و ابوعمرة الأنصاری».
[11]. Al-Nihâyat fî Gharib al-Hadits, Ibnu Atsir, jil. 1, hal. 351.
[12]. Sunan Ibnu Majah, Muqaddamah, bab 7, hadis 49.
[13]. Shahîh Bukhâri, Kitâb Riqâq, bab 53; Shahîh Muslim, Kitâb Fadhâil, bab 9.
[14]. Al-Ishâbat fii Tamyizz al-Shahâba, Ibnu Hajar, jil. 1, hal. 4.
[15]. Mu’jam Alfâz al-Qur’ân, hal. 382; Usud al-Ghabah, Ibnu Atsir, jil. 1, hal. 26.
[16]. Usud al-Ghabah fii Ma’rifat al-Shahabah, jil. 1, hal. 25; Fath al-Bâri, jil. 7, hal. 4.
[9]. Al-Tamhid, Ibnu Abdilbar, jil. 2, hal. 301.
«انی فنمسک بحجزکم هلم عن النار و تغلبوننی تقاحمون فیه تقاحم الفراش و الجنادب، و اوشک أن أرسل حجزکم و أفرط لکم علی الحوض و تردون علی معا و أشتاتاً، فأعرفکم بأسمائکم و سیماکم، کما یعرف الرجل، الغریبة فی ابلة، فیؤخذ بکم ذات الشمال، و أناشد فیکم رب العالمین، أی رب رهطی، أی رب امتی، فیقال انک لاتدری ما أحدثوا بعدک، انهم کانوا یمشون القهقری».
[10]. Bihâr al-Anwâr, jil. 23, hal. 352.
«قلت لأبی عبدالله (ع): ارتد الناس الاّ ثلاثة: ابوذر و سلمان و المقداد؟ قال ابوعبدالله: فأین أبو ساسان و ابوعمرة الأنصاری».
[11]. Al-Nihâyat fî Gharib al-Hadits, Ibnu Atsir, jil. 1, hal. 351.
[12]. Sunan Ibnu Majah, Muqaddamah, bab 7, hadis 49.
[13]. Shahîh Bukhâri, Kitâb Riqâq, bab 53; Shahîh Muslim, Kitâb Fadhâil, bab 9.
[14]. Al-Ishâbat fii Tamyizz al-Shahâba, Ibnu Hajar, jil. 1, hal. 4.
[15]. Mu’jam Alfâz al-Qur’ân, hal. 382; Usud al-Ghabah, Ibnu Atsir, jil. 1, hal. 26.
[16]. Usud al-Ghabah fii Ma’rifat al-Shahabah, jil. 1, hal. 25; Fath al-Bâri, jil. 7, hal. 4.
[17]. Al-Nihâyat fî Gharib al-Hadits, Ibnu Atsir, jil. 1, hal. 351.
[18]. Shahîh Bukhâri, Kitâb Riqâq, bab 53; Shahîh Muslim, Kitâb Fadhâil, bab 9
[19]. Ibid.
[20]. Ibid.
[21]. Al-Tamhid, Ibnu ‘Abdilbarr, jil. 2, hal. 301.
«... فاعرفکم باسمائکم و سیماکم...»
[22]. Al-Ma’ârif, Ibnu Qutaibah, hal. 134; Shahîh Bukhâri, Kitab Maghazi, bab 33
[23]. Mustadrak, Hakim Naisyaburi, jil. 1, hal. 76 dan 77; Talkhish al-Mustadrak, Dzahabi, jil. 1, hal. 76 dan 77; Mashâbih al-Sunnah, Baghawi, jil. 3, hal. 551; Mu’jam Kabir, Thabarani, jil. 5, hal. 175 & 176.
[24]. Mu’jam Mufrâdat Alfâz Al-Qur’ân, Raghib Isfahani, hal. 198. .
[25]. Shahîh Bukhâri, Kitâb Riqâq, bab 53 & Kitab Fitan, bab 1; Shahîh Muslim, Kitâb Fadhâil, bab 9.
[26]. Ibid.
[27]. Irsyâd al-Sâri, jil. 9, hal. 240; Syarh Shahih Muslim, Nawawi, jil. 15, hal. 60.
[28]. Shahîh Bukhâri, Kitâb Riqâq, bab 53.
[29] . Shahîh Bukhâri, Kitâb Riqâq, bab 53 dan Kitâb Fitan, bab 1; Shahîh Muslim, Kitâb Fadhâil, bab 9.
«... هل شعرت ماعملوا بعدک؟ والله مابرحوا یرجعون علی أعقابهم».
[30]. Fath al-Bâri, jil. 11, hal. 476; Al-Nihâyat fî Gharib al-Hadits, jil. 4, hal. 129.
[31]. Shahîh Bukhâri, Kitâb Riqâq, bab 53, hadis 2115.
«... فلا اراه یخلص منهم الا مثل همل النعم»
[32]. Irsyâd al-Sâri, jil. 9, hal. 342; ‘Umdat al-Qâri, jil. 23, hal. 142.
[33]. Durr al-Mantsur, Suyuthi, jil. 8, hal. 589, Dar al-Fikr; Tadzkirat al-Khawwâs, Sibth ibn Jauzi, hal. 56; Hilyat al-Awliyâ, Abu Nu’aim, jil. 4, hal. 329; Târikh Baghdâdi, jil. 12, hal. 289.
[34]. Khuthath al-Syâm, Muhammad Kerd ‘Ali, jil. 6, hal. 245.
[18]. Shahîh Bukhâri, Kitâb Riqâq, bab 53; Shahîh Muslim, Kitâb Fadhâil, bab 9
[19]. Ibid.
[20]. Ibid.
[21]. Al-Tamhid, Ibnu ‘Abdilbarr, jil. 2, hal. 301.
«... فاعرفکم باسمائکم و سیماکم...»
[22]. Al-Ma’ârif, Ibnu Qutaibah, hal. 134; Shahîh Bukhâri, Kitab Maghazi, bab 33
[23]. Mustadrak, Hakim Naisyaburi, jil. 1, hal. 76 dan 77; Talkhish al-Mustadrak, Dzahabi, jil. 1, hal. 76 dan 77; Mashâbih al-Sunnah, Baghawi, jil. 3, hal. 551; Mu’jam Kabir, Thabarani, jil. 5, hal. 175 & 176.
[24]. Mu’jam Mufrâdat Alfâz Al-Qur’ân, Raghib Isfahani, hal. 198. .
[25]. Shahîh Bukhâri, Kitâb Riqâq, bab 53 & Kitab Fitan, bab 1; Shahîh Muslim, Kitâb Fadhâil, bab 9.
[26]. Ibid.
[27]. Irsyâd al-Sâri, jil. 9, hal. 240; Syarh Shahih Muslim, Nawawi, jil. 15, hal. 60.
[28]. Shahîh Bukhâri, Kitâb Riqâq, bab 53.
[29] . Shahîh Bukhâri, Kitâb Riqâq, bab 53 dan Kitâb Fitan, bab 1; Shahîh Muslim, Kitâb Fadhâil, bab 9.
«... هل شعرت ماعملوا بعدک؟ والله مابرحوا یرجعون علی أعقابهم».
[30]. Fath al-Bâri, jil. 11, hal. 476; Al-Nihâyat fî Gharib al-Hadits, jil. 4, hal. 129.
[31]. Shahîh Bukhâri, Kitâb Riqâq, bab 53, hadis 2115.
«... فلا اراه یخلص منهم الا مثل همل النعم»
[32]. Irsyâd al-Sâri, jil. 9, hal. 342; ‘Umdat al-Qâri, jil. 23, hal. 142.
[33]. Durr al-Mantsur, Suyuthi, jil. 8, hal. 589, Dar al-Fikr; Tadzkirat al-Khawwâs, Sibth ibn Jauzi, hal. 56; Hilyat al-Awliyâ, Abu Nu’aim, jil. 4, hal. 329; Târikh Baghdâdi, jil. 12, hal. 289.
[34]. Khuthath al-Syâm, Muhammad Kerd ‘Ali, jil. 6, hal. 245.
Post a Comment
mohon gunakan email