Kritik Terhadap Riwayat.
Yaitu dengan cara memaparkan dan
membandingkan riwayat itu dengan Al Quran, jika bertentangan maka mereka
tinggalkan dan tidak mengamalkannya. Umar berfatwa tentang seorang
wanita yang telah diceraikan (dengan talak tiga) berhak mendapatkan
nafkah dan tempat tinggal. Dan ketika ditunjukkan kepadanya sebuah
riwayat yang menyatakan bahwa Fathimah binti Qais ditalak suaminya,
lalu dia mengirim utusan kepada istrinya dengan membawa gandum, lalu
dimarahinya utusan tersebut. Lalu utusan tersebut berkata kepada
istrinya, “Demi Allah, Anda tidak berhak apapun terhadap kami.” Kemudian
Fathimah menghadap Rasulullah dan menceritakan semuanya kepada beliau,
dan beliau pun bersabda, “Kamu tidak mempunyai hak nafkah dan tempat tinggal lagi.”
Maka ia pun diperintahkan untuk beriddah di rumah Ummi Syuraik.
Menanggapi riwayat ini Umar berkata, “Kami tidak akan meninggalkan dan
mengabaikan kitab Rabb kami hanya karena perkataan seorang wanita yang
bisa jadi dia hafal, atau bisa jadi lupa.”
Maksud dari perkataan Umar: “Kitab Rabb kami” adalah Firman Allah yang berbunyi, “Dan
bertakwalah kalian kepada Tuhan, jangan usir mereka dari rumah-rumah
mereka dan jangan meninggalkan rumah kecuali mereka berbuat (kekejian)
zina yang jelas dan dapat dibuktikan.” (Ath Thalaq:1).
Dan Allah berfirman,
“Tempatkanlah mereka (para isteri)
dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu
menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.”( Ath Thalaq: 6).
Atas dasar kedua ayat ini Umar memahami bahwa tidak ada perbedaan antara talak raj’i dan talak ba’in, dan memberikan bagi wanita yang ditalak ba’in tetap mendapatkan nafkah dan tempat tinggal.[1]
Dalam masalah ini terdapat perbedaan
pendapat di antara ulama fikih, Pertama: seperti pendapat Umar. Kedua:
tidak mendapat nafkah dan tempat tinggal, dan ketiga: mendapat tempat
tinggal tanpa nafkah.
Kemudian perselisihan antara Ali dan
Muawiyah mempunyai dampak terjadinya perpecahan di kalangan kaum
muslimin menjadi beberapa golongan. Di antara golongan-golongan ini ada
yang melampaui batas dalam fanatik golongan dan berupaya menopang
pendapatnya dengan Al Quran dan As Sunnah. Jika tidak mendapatkannya
secara sharih (jelas), maka akan menakwilkan Al Quran dengan
takwil yang bukan sesungguhnya, atau dengan cara membawa nash-nash As
Sunnah kepada apa yang tidak tercakup di dalamnya, lalu menisbatkan
kepada Rasulullah apa yang tidak beliau katakan, seperti yang dilakukan
oleh kaum Syiah (dalam pemalsuan hadits) tentang Ali Radhiyallahu Anhu,
“Barang siapa ingin melihat Adam
tentang ilmunya, Nuh dalam takwanya, Nabi Ibrahim dalam kesabarannya,
nabi Musa dalam wibawanya, dan nabi Isa dalam ibadahnya, maka lihatlah
Ali.”
Sedangkan kelompok yang fanatik terhadap
Muawiyah membalasnya dengan perkataan (baca: hadits buatan) mereka,
“Orang yang jujur itu ada tiga: Aku, Jibril, dan Muawiyah.” Dengan
demikian, maka mulailah pemalsuan dalam hadits.
Setelah itu terjadinya penyusupan
terhadap As Sunnah sedikit demi sedikit, maka para ulama bangkit untuk
menghadang kejahatan ini dan melindungi hadits Rasulullah dimulai sejak
masa generasi para sahabat yunior dan generasi para tab’in senior, dan
mereka sangat memperhatikan penelitian dan pengecekan terhadap sanad
hadits dan latar belakang para perawi.
Dari Mujahid, ia berkata: “Busyair Al
Adawy datang kepada Ibnu Abbas lalu menceritakan sebuah hadits dan
berkata,”’Rasulullah bersabda , Rasulullah bersabda.’ Ibnu Abbas tidak
mendengar dan tidak memperhatikan haditsnya. Dia berkata,’Wahai Ibnu
Abbas, mengapa engkau tidak mendengarkan haditsku? Apakah engkau tidak
mau mendengar hadits dari Rasulullah yang aku ucapkan kepadamu?’ Ibnu
Abbas mengatakan, ‘Kami pernah suatu ketika bila mendengar seseorang
berkata ‘Rasulullah bersabda…’, maka mata kami segera melihatnya dan
telinga kami mendengarnya mendengar. Namun ketika orang menempuh segala
car yang baik dan buruk, kami tidak mau mengambil hadits itu kecuali
dari orang yang kami kenal.”[2]
Dari Muhammad bin Sirin berkata, “Mereka
sebelumnya tidak pernah menanyakan tentang sanad, dan ketika terjadi
fitnah, mereka pun mengatakan, ‘Sebutkan nama perawi-perawi kalian
kepadaku!’ Maka dilihatlah, jika haditsnya berasal dari ahlussunnah maka
diambilnya, dan dilihatlah jika haditsnya berasal dari ahli bid’ah lalu
tidak diambilnya.”.
Dari Abdan bin Utsman berkata, “Aku
mendengar Abdullah bin Mubarak mengatakan,”Sanad itu bagian dari agama,
kalaulah tidak ada sanad niscaya akan berkata siapa saja (tentang hadits
Nabi- Edt).”
Ibnu Mubarak juga berkata, “Antara kami dan mereka terdapat pembatas” –yakni sanad.
Dari sinilah, maka muncul ilmu untuk
menimbang para perawi hadits: Al Jarh wa At Ta’dil dan Tarikh Ar Ruwwat
(Sejarah para perawi). Kemudian ilmu hadits terbagi menjadi dua
pembahasan pokok: ilmu hadits riwayah, dan ilmu hadits dirayah.
1. Ilmu hadits riwayah: adalah ilmu yang
mengandung pembicaraan tentang penukilan sabda-sabda Nabi, perbuatan-
perbuatan beliau, hal-hal yang beliau benarkan, atau sifat-sifat beliau
sendiri; secara detail dan dapat dipertanggungjawabkan.
Obyek pembahasannya; sabda Rasulullah,
perbuatan beliau, ketetapan beliau, dan sifat-sifat beliay dari segi
periwayatannya secara detil dan mendalam.
Faidahnya: menjaga As Sunnah dan menghindari kesalahan dalam periwayatannya.
2. Ilmu hadits dirayah: yaitu satu ilmu
yang mempunyai beberapa kaidah (patokan), yang dengan kaidah-kaidah itu
dapat diketahui keadaan perawi (sanad) dan yang diriwayatkan (marwiy)
dari segi diterima atau ditolaknya.
- Rawi adalah orang yang menukil hadits.
- Marwiy adalah apa yang disandarkan kepada Nabi atau para sahabat atau para tabi’in.
- Keadaan perawi dari segi diterimanya dan ditolaknya hadits maksudnya: mengetahui keadaannya secara jarh dan ta’dil, bagaimana cara penukilan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan penukilan hadits.
- Maksud dari kondisi marwiy adalah semua yang berhubungan dengan bersambung dan putusnya sanad, mengetahui cacatnya hadits, dan hal-hal yang berkaitan dengan shahih dan tidaknya hadits.
- Obyek pembahasan ilmu hadits dirayah: sanad dan matan dari segi kondisi masing-masing.
- Manfaat ilmu hadits dirayah: untuk mengetahui hadits yang diterima dan hadits yang ditolak.
Para ulama hadits menamakan ilmu hadits
dirayah ini dengan sebutan Ulumul Hadits, Musthalah Hadits, dan Ushulul
Hadits. Itu karena dengan memperhatikan ilmu hadits dirayah ini daoat
mebuahkan beberapa ilmu. Sebagaimana yang kita saksikan para ulama
mengkaji ilmu ini dari salah satu segi, lalu memisahkannya dalam satu
karya sehingga menjadi ilmu baru, maka tumbuhlah beberapa ilmu yang
menjadi cabang dari Ulumul Hadits.
[1]
Kisah ini terdapat di Shahih Muslim, Muwaththa’ Malik, Sunan At
Tirmidzi, Abu Dawud, dan An Nasa’i. terdapat pada sebagian riwayat
menyatakan: “La natruku kitaba rabbina wa sunnata nabiyyina” akan tetapi
kalimat “wa sunnata nabiyyina” tidak terdapat sanad yang shahih dari
Umar, sebab riwayat yang benar menyatakan bahwa Nabi tidak memberikan
baginya nafkah dan empat tinggal.
[2] Muqaddimah Shahih Muslim
Post a Comment
mohon gunakan email