Pesan Rahbar

Home » » KARBALA (MAQTAL)

KARBALA (MAQTAL)

Written By Unknown on Sunday 6 July 2014 | 10:45:00


DAN DIA ADALAH HUSEIN.

9 Desember 2010 jam 12:54
Oleh: Malik Al-Asytar

Hujan Jerit Tangisan
Banjir Darah Suci
Melepas Raga
Lembah Nainawa Tergenang

Kisah Seniman Kematian
Ditelan Lautan Angkara Murka Nan Bergelombang
Bersemayam Didada
Hidup Dalam Keabadian Tak Berujung

Hujan Tikaman
Banjir Jenazah Darah Daging Nabi
Meregang Nyawa
Derita Karbala Terkenang

Di atas Jejak Kaki Pecandu Neraka
Jasad-jasad Agung Terlantar Tak Terkubur
Terinjak Kebiadaban
Tertinggal Tarian Para Pengusung Kepala

Di bawah Kepulan Asap Kekalahan
Ada Bara Api Kemenangan
Berkobar Tak Terpadamkan
Untuk Selamanya

Sang Surya telah tenggelam diufuk barat, lembayung jingga ditepian langit Madinah telah berganti warna. Perlahan berubah pekat dan membisu, membaur cahaya rembulan yang separuh sudah tertutup awan. Alunan dzikir satwa malam silih berganti mulai menyapa kegelapan. Kerlap-kerlip bintang gemintang berirama menyambut awal keheningan nan syahdu.

Disudut bumi Madinah, saat angin gurun yang menusuk berhembus, ditengah malam yang sunyi. Seseorang berwajah purnama bermunajat mengalunkan lafadz-lafadz suci para Nabi, merobek kebisuan malam yang menghitam.

Dari kedua sudut matanya mengalir hangat embun-embun bening, melintasi kedua tepian bibirnya yang suci, dan membasahi wajahnya yang begitu bercahaya. Ini adalah wajah Al-Husain cucu Rasul terbaik di alam semesta, putera Sang Hujjah Amirul Mu’minin Ali Bin Abi Thalib dan Fathimah Az Zahra’ wanita ter-Agung dijagad raya.

Kini Al-Husain berdiri sendirian ditengah pekatnya malam, ia terpaku dihadapan sebuah pusara suci, yang tak lain adalah pusara kakek tercintanya Rasulullah. Beliau bermunajat dan melafadzkan beberapa ayat, kemudian beliau berdoa :

“Ya Allah, ini adalah makam Nabi-Mu dan aku adalah putera dari puterinya. Telah menimpaku peristiwa yang telah Engkau ketahui. Engkau Mengetahui apa yang terbaik untukku, aku tidak menginginkan sesuatu apapun, kecuali hanya untuk menyampaikan kebenaran dan mencegah kemungkaran. Wahai pemilik Keagungan dan Kemuliaan, aku memohon kepada-Mu atas Nabi-Mu yang terkubur disini, apapun yang telah Engkau tetapkan, yang Engkau dan Rasul-Mu Ridhai.”

Al-Husain menangis sambil memeluk pusara kakeknya, ia sadar bahwa ini adalah pelukannya yang terakhir. Ia merintih dan mengadu akan segala kezaliman dan kepedihan yang ia dan keluarganya terima, dari orang-orang yang mengaku sebagai umat kakeknya.

Ia saksikan kaum Mu’minin yang shaleh menderita karena penindasan. Gemerlap cahaya istana telah memadamkan cahaya Islam. Istana yang didirikan dengan perampasan hak yang dihias dan diwarnai darah kaum Mustadh’afin. Arak dituangkan dicawan-cawan perak yang diperas dari keringat orang-orang lemah.

Hingar bingar musik tarian perut dimainkan, dan suara para pejuang Islam dibungkam dengan pedang. Pahlawan sisa-sisa Revolusi Muhammadi telah disingkirkan, dan bangkitlah bala tentara Namrud, anjing-anjing penjaga Bani Umayyah.

Al-Husain berada pada masa dimana para pewaris Fir’aun, mengawali khotbahnya dengan menyebut nama Allah, dan bersaksi bahwa Muhammad sebagai utusan-Nya. Banyak kawan yang telah berubah menjadi kawan palsu. Keimanan telah mereka gadaikan dengan dirham. Penyakit hati yang diwariskan para Munafikin dizaman Nabi, kini kambuh lagi dizaman Al-Husain.

Dengarkanlah Al-Husain, ia merintih, mendekap pusara kakeknya sambil berkata:

“Salam bagimu Ya Rasulullah. Ini adalah aku Al-Husain putera Fathimah kesayanganmu dan juga putera kesayanganmu. Aku adalah cucumu dan pusaka yang telah engkau amanatkan kepada umatmu. Saksikanlah Ya Nabi Allah, kini mereka telah menghinaku, menelantarkan aku, dan tidak menjaga aku. Aku mengadu kepadamu hingga aku bertemu dengan mu.”

Al-Husain meletakkan kepalanya diatas pusara Nabi, sambil terus menangis diatas pusara Rasul, lalu ia sempat tertidur karena kelelahan. Tiba-tiba Nabi yang mulia datang menghampirinya. Dikawal para malaikat disebelah kiri dan kanan, didepan dan dibelakang. Kemudian Nabi merapatkan Al-Husain kedadanya dan mencium kening Al-Husain diantara kedua matanya, sambil berlinang air mata Rasul berkata :

“Husain sayangku, seakan telah kulihat tubuhmu bersimbah darah, terbantai di Karbala, ditengah-tengah umatku. Waktu itu engkau kehausan dan tidak diberi minum; engkau dahaga dan tidak diberikan air. Padahal mereka mengharapkan Syafaatku. Demi Allah, Tidak! Mereka sama sekali tidak akan mendapatkan syafaatku. Mereka tidak akan mendapatkan syafaatku pada hari kiamat. Mereka akan binasa disisi Allah. Kekasihku Husain, ayahmu, ibumu dan kakakmu menitipkan salam kepadaku untukmu, mereka sangat merindukanmu. Bagimulah derajat yang tinggi di surga yang tak tercapai kecuali dengan kesyahidan.”

Sebelum fajar menyingsing Al-Husain terbangun, teramat berat lisannya yang suci mengucapkan salam perpisahan kepada kakeknya. Imam berikrar akan menegakkan kembali Islam yang diajarkan Rasulullah. Islam yang menentang kezaliman, Islam yang melawan penindasan yaitu; Islam kaum Mustadh’afin.

Al-Husain kemudian bergegas menemui sanak keluarganya, dan meminta mereka berkumpul untuk mengucapkan selamat tinggal, dan meminta mereka agar selalu tabah. Sebelum berangkat, Imam meninggalkan wasiat kepada saudaranya Muhammad Hanafiah.

“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha penyayang. Ini adalah wasiat Husain Bin Ali. Husain bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan kakekku Muhammad adalah hamba-Nya. Surga adalah Haq, dan neraka itu Haq dan hari akhir akan datang tanpa keraguan. Dan Allah akan membangkitkan semua manusia dari kuburnya.

Tentu perjuanganku bukanlah sebuah kejahatan dan keangkuhan. Aku mendukung perbaikan terhadap Muslimin sepeninggal ayahku. Aku bangkit untuk menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran, demi mengikuti sunnah kakekku dan ayahku.

Siapapun yang menerimaku sebagai kebenaran, Allah adalah pelindung kebenaran. Dan siapapun yang menolak, aku akan menunggu keputusan Allah antara aku dengan mereka. Karena Dia adalah Hakim yang terbaik. Ini adalah wasiatku kepada saudaraku, dan semua keberhasilan aku gantungkan hanya kepada Allah, dan hanya kepada-Nya aku berserah diri.”

Esok harinya, Al-Husain mengumpulkan sanak keluarga, anak-anak dan para sahabatnya, kemudian Imam bersiap-siap untuk segera berangkat menuju Kufah. Kepergiannya mengoyak hati para sahabat setia Nabi yang tersisa, namun mereka sudah teramat uzur, dan sudah tidak berdaya untuk turut serta dalam barisan Al-Husain.

Ummu Salamah, Ummul Mu’minin, Istri Rasulullah mengantarkan Al-Husain dengan uraian air mata, yang mengalir deras dari selah kelopak matanya yang sudah uzur. Ummu Salamah terkenang saat ia bersama suami tercintanya Rasulullah.

Ia teringat pada suatu malam, Rasul berbaring untuk tidur kemudian Rasul terbangun dalam keadaan resah. Kemudian Rasul berbaring untuk mencoba tidur kembali, lalu Rasul terbangun lagi dan resah seperti semula. Dan Rasul mencoba tidur lagi, dan terbangun kembali. Pada tangannya ada segenggam tanah merah, dan beliau tidak berhenti menciumi tanah itu.

Maka aku bertanya kepada beliau:”Tanah apakah ini Ya Rasulullah?” Kemudian Rasul menangis dan menjawab :”Baru saja Jibril memberitakan kepadaku, bahwa cucuku Al-Husain akan terbunuh di Irak, inilah tanah tempat darahnya ditumpahkan”. Kemudian Rasul memberikan tanah itu kepadaku, seraya berkata: ”Tanah ini berasal dari bumi tempat Al-Husain terbunuh. Jika tanah ini telah berubah menjadi darah, ketahuilah bahwa cucuku Al-Husain telah terbunuh.”

Lalu aku menyimpan tanah itu didalam botol. Aku berkata bahwa hari ketika tanah ini berubah menjadi darah, adalah hari yang teramat menggemparkan.

Dengan penuh kesedihan dan tetesan air mata, Imam mengucapkan selamat tinggal kepada sanak keluarganya yang ia tinggalkan, Imam mengetahui bahwa ini adalah pertemuannya yang terakhir dengan mereka. Kemudian iring-iringan kafilah keluarga Nabi mulai beranjak pergi, menuntun tali kekang kuda dan unta yang tertatih termakan usia, kereta sisa-sisa revolusi Muhammadi.

Rombongan Al-Husain yang berjumlah tak lebih dari tujuh puluh dua orang, bergerak dari Madinah pada malam hari, 28 Rajab 60 H (680 M), kafilah itu meninggalkan jejak samar dibahu sahara tak berujung. Tampak disetiap sudut mata nan indah bergelayut mutiara kepedihan, menghempas paras mereka yang terang.

Ayunan langkah suci mulai menjauh meninggalkan pintu gerbang Madinah, dari kejauhan cahaya kota mulai terlihat redup, terhalang dinding malam yang begitu pekat. Kafilah terus berjalan, menembus angin dingin sahara yang teramat menggigit sum-sum. Derap kaki suci dipasir gurun mengalunkan Dzikir lebih dari suara sejuta malaikat. Tak ada keluh kesah, hanya lantunan nyanyian para An Biyya’ yang meluncur tipis dari selah bibir para kekasih Allah ini.

Malam telah berganti malam dan siang pun berulang, setiap langkah kaki suci itu melukiskan jejak duka yang teramat dalam diatas kanvas pasir. Tetesan keringat dan air mata terserap debu sahara, meninggalkan pesan tentang sebuah pengorbanan. Kafilah keluarga Nabi, terus menempuh perjalanan menuju Makkah yang menghabiskan waktu selama tiga hari. Imam beserta keluarganya memilih jalur utama dalam perjalanannya menuju Makkah.

Beberapa orang mencoba untuk meyakinkan Imam agar mengambil jalur yang lain, agar menyulitkan Gubernur Madinah saat mengejar rombongan Al-Husain. Namun Imam menolak seraya berkata: “Aku tidak akan menyimpang dari jalan yang telah ditetapkan Allah, dan menjalankan apa pun yang telah diputuskan-Nya.”

Ini perjalanan kafilah keluarga Nabi yang memiliki tujuan dan langkah kaki yang berbeda, ini adalah perjalanan Musafir yang sudah teramat dahaga, dan begitu rindu untuk meneguk manisnya darah SYAHADAH.

Setelah tiga hari perjalanan, kafilah keluarga Nabi itupun tiba di Baitullah. Selama di Makkah Al-Husain tinggal dirumah Abbas. Kehadiran permata Az Zahra’ bak kutub magnet yang menjadi pusat perhatian masyarakat di Makkah. Mendengar kedatangan pemimpin surga, penduduk Makkah dan para peziarah yang ingin melaksanakan ibadah Hajji, bergelombang berdatangan mengunjungi cucu Nabi nan Agung ini.

Selama di kota suci, kafilah keluarga Nabi melaksanakan ibadah Umrah terakhirnya, kemudian berziarah ke makam nenek tercinta Khadijah Al-Kubra untuk melepas kerinduan, sekaligus untuk mengucapkan salam perpisahan dan berdoa di sana.

Ketika Al-Husain berada di Makkah, masyarakat Kufah mengirim surat mengundang Imam. Masyarakat Kufah terus memohon agar Imam segera bergabung dengan mereka di Kufah. Al-Husain menerima tidak kurang dari dua kantung besar surat, yang kesemuanya berisi dua belas ribu surat.

Dihadapan Baitullah, Imam melaksanakan shalat dua rakaat diantara rukun dan Maqam Ibrahim. Selesai shalat Imam memanggil sepupunya, Muslim Bin Aqil, dan menceritakan kepada Muslim tentang apa yang telah terjadi. Kemudian Imam menulis surat jawaban untuk masyarakat Kufah, yang berisi:

“Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Husain Bin Ali, kepada kaum Muslimin yang meyakininya. Dengan hormat, telah datang surat kalian kepadaku. Dan aku memahami setiap persoalan yang kalian sampaikan, dan pendapat kalian secara umum tentang tidak adanya kepemimpinan, kemudian kalian meminta kesediaan kami. Allah SWT akan membimbing kami, hingga kami sampai kepada kalian, demi sebuah kebenaran. Oleh karena itu aku, aku mengutus Muslim Bin Aqil kepada kalian, saudara juga sepupuku yang terpercaya dari keluargaku. Aku memerintahkannya untuk melihat semua kondisi dan keinginan kalian. Kemudian aku akan datang kepada kalian sesegera mungkin.

Terakhir, seorang pemimpin harus mengikuti Al-Qur’an dan bekerja hanya untuk masyarakat. Ia harus percaya akan kebenaran dan hanya yakin kepada Allah. Salam damai selalu.”

Selanjutnya Imam memberikan surat itu kepada Muslim Bin Aqil dan memerintahkannya untuk segera pergi ke Kufah dan berpesan: “Berangkatlah engkau ke Kufah. Apapun yang terjadi, Allah akan senantiasa menolong. Ku berharap agar engkau dan aku bisa berada dalam golongan orang yang Syahid. Ketika engkau tiba di Kufah, bergabunglah bersama orang-orang yang dapat dipercaya.”

Pada saat mengucapkan salam perpisahan kepada Al-Husain, Muslim mencium tangan dan kaki Imam sambil berkata:

“Aku menjadi tebusanmu, aku tahu ini adalah pertemuan kita yang terakhir. Pertemuan kita berikutnya kelak pada hari kebangkitan.” Muslim menangis dan Imam pun menangis, kemudian Imam memeluk Muslim untuk menghiburnya.

Ketika Muslim keluar sambil menangis, seseorang bertanya kepadanya apa yang menyebabkan ia menangis. Lalu Muslim menjawab: “Aku menangis karena waktu akan memisahkan aku dengan Al-Husain.”

Muslim Bin Aqil meninggalkan Makkah pada 15 Ramadhan, dan tiba di Kufah pada 5 Syawal, kemudian Muslim mendatangi rumah Mukhtar Ats Tsaqafi di Kufah. Semenjak Muslim datang, penduduk Kufah menyambutnya dan menyatakan kesetiaanya kepada Al-Husain. Jumlah mereka sekitar 18 ribu pendukung. Kemudian Muslim menulis surat kepada Al-Husain , untuk menjelaskan keadaan dan keinginan masyarakat yang sedang menanti kedatangan Imam.

Ibnu Ziyad selaku gubernur Kufah mendengar berita tersebut, kemudian dengan segera pergi ke Masjid dan berkhotbah. Dalam khotbahnya Ibnu Ziyad mengancam akan menggantung dan membunuh siapapun yang membela Al-Husain, dan menjanjikan imbalan bagi yang meninggalkan Imam.

Ibnu Ziyad memerintahkan pasukannya untuk mencari Muslim Bin Aqil dan memerintahkan untuk membunuhnya. Lewat mata-matanya yang bernama Ma’qil, Ibnu Ziyad mengetahui bahwa Muslim Bin Aqil bersembunyi dirumah Hani Bin Urwah, Hani adalah orang tua yang sudah berumur delapan puluh sembilan tahun. Dan ia merupakan sahabat setia Rasulullah dan Amirul Mu’minin Ali Bin Abi Thalib.

Kemudian Ibnu Ziyad memerintahkan pasukannya untuk menangkap Hani dan menyeretnya keistana. Ibnu Ziyad meminta Hani Bin Urwah untuk berkhianat kepada Muslim Bin Aqil dengan menyerahkan Muslim kepadanya, lalu orang tua itu menjawab : “Seandainya ia berada dibawah telapak kakiku, aku tetap tidak akan mengangkat kakiku untuk menyerahkannya kepadamu.”

Mendengar jawaban Hani, Ibnu Ziyad marah kemudian Ibnu Ziyad mencabut pedangnya dan dengan kejam Ibnu Ziyad memotong hidung orang tua itu hingga terputus, dan memenjarakannya dibawah tanah. Dikarenakan rasa takut, masyarakat Kufah yang telah berjanji setia kepada Al-Husain, kini mereka satu persatu telah mengkhianati janjinya dan pergi melupakan baiatnya kepada Imam.

Kini Muslim Bin Aqil tinggal sendirian. Sepupu Al-Husain ini berjalan seorang diri dilorong-lorong kota Kufah. Setelah beberapa waktu berjalan, Muslim kelelahan dan beristirahat dipinggir jalan.

Muslim beristirahat didekat salah satu rumah yang dihuni oleh seorang perempuan tua yang bernama Thaw’ah. Saat itu Thaw’ah sedang menanti puteranya pulang, Ia melihat dan mengenali Muslim yang sedang berdiri sendirian dipinggir jalan. Perempuan itu menghampiri dan mempersilahkan Muslim agar singgah kerumahnya, kemudian ia memberinya minum, makan dan memberi Muslim tempat untuk beristirahat.

putera Thaw’ah pulang dan melihat ibunya berada diluar kamar, ia bertanya apa yang telah terjadi. Awalnya Thaw’ah menolak untuk menceritakan kepada puteranya. Namun puteranya memaksa dan berjanji untuk merahasiakannya. Kemudian perempuan tua itu menceritakan apa yang telah terjadi.

Fajar belum menyingsing, putera Thaw’ah yang bernama Bilal bergegas menemui Ibnu Ziyad, dan menceritakan rahasia tentang keberadaan Muslim Bin Aqil dirumahnya. Lalu Ibnu Ziyad memerintahkan komandan pasukannnya yang bernama Ibnu Asy’ath untuk segera membawa tiga ratus pasukan untuk menangkap Muslim Bin Aqil.

Selagi Muslim sedang shalat shubuh, ia mendengar suara ringkikan kuda didepan rumah Thaw’ah, dan menyadari bahwa dirinya telah ditemukan oleh pihak musuh. Muslim menyelesaikan shalatnya, dan segera menemui Thaw’ah dan berkata kepadanya:

“Engkau telah melakukan apa yang seharusnya dilakukan, Rasulullah telah memberikan Syafa’at kepadamu. Tadi malam aku bermimpi pamanku Amirul Mu’minin Ali Bin Abi Thalib datang kepadaku, Ia memberitahukanku, “Duhai Muslim, Besok engkau akan segera bergabung denganku.”

Pasukan musuh turun dari kudanya dan memaksa masuk kerumah Thaw’ah. Muslim menghadapi mereka dan memaksa mereka keluar dari rumah itu. Muslim berperang dengan gagah berani, Muslim mendorong semua pasukan musuh keluar rumah dan dengan cepat Muslim berhasil membunuh empat puluh satu pasukan musuh.

Muslim berperang dengan seluruh kekuatannya, kerena ia mengetahui peperangan ini adalah yang terakhir baginya. Ia menebas dan memukul pasukan yang ada didekatnya. Beberapa pasukan musuh dicengkram dengan tangannya kemudian dilemparkan keatap rumah oleh Muslim Bin aqil.

Lebih dari seratus delapan puluh pasukan Ibnu Ziyad mati dan sisanya terluka, melihat sebagian besar pasukannnya telah terbunuh, komandan pasukan mengirim pesan kepada Ibnu Ziyad untuk meminta pasukan tambahan.
Ibnu Ziyad menjawab “Aku mengirim engkau hanya untuk menangkap satu orang! Bukan sekelompok pasukan bersenjata lengkap!”

Komandan pasukan itupun menjawab: “Apakah engkau berpikir, aku diperintahkan untuk menangkap seorang pelayan toko sayur di kota Kufah? Tetapi engkau telah memerintahkan aku untuk menangkap sebilah pedang dari Keluarga Muhammad.”

Kemudian Ibnu Ziyad mengirim pasukan tambahan sambil berpesan kepada Ibnu Asy’ath: “Gunakanlah tipu daya dalam menghadapinya, karena dengan cara lain engkau tidak akan mampu menghadapinya.”

Muslim berperang satu lawan satu, maka majulah dari pihak musuh yang bernama Bukair. Muslim langsung memukul Bukair dua kali, dan Bukair balas memukul, pedang Bukair melukai mulut suci Muslim dan merobek bibir bagian atasnya. Kemudian Muslim membalas dengan memukul kepala Bukair dan menebas leher Bukair hingga tewas.

Pihak musuh menyadari pesan Ibnu Ziyad, bahwa mereka tidak mungkin dapat menangkap Muslim dengan perang satu lawan satu. Dan pihak musuh memakai cara licik untuk melumpuhkan Muslim, sebagian musuh naik keatas atap rumah dan melempari kepala Muslim Bin Aqil dengan batu dan panah api.

Batu menghujani kepala keponakan Amirul Mu’minin, dan beberapa anak panah menancap ditubuh Muslim yang sudah tidak berdaya. Sehingga membuat tubuh Muslim menjadi lemah, karena begitu banyak luka dikepala dan ditubuhnya, yang telah banyak mengeluarkan darah. Tubuh Muslim terhuyung-huyung dan hampir terjatuh, kemudian Muslim berpegangan dan bersandar pada sebuah dinding. Tentara Ibnu Ziyad terus memanah dan melempari kepala Muslim dengan batu. Dengan suara lemah Muslim berkata :

“Kenapa kalian masih melemparkan batu dan panah pada orang yang sudah teramat lemah ini? Kami adalah keluarga Rasulullah. Dan kami bukanlah orang yang tidak beriman.”

Kemudian Ibnu Asy’ath sebagai komandan pasukan datang mendekati Muslim. Dengan tenaga yang tersisa, Muslim menyerang komandan itu yang segera melarikan diri. Ketika Ibnu Asy’ath menjauh dari Muslim, ia memberi perintah agar seluruh pasukan menyerang Muslim dengan cepat dari semua arah. Seorang musuh berhasil memukul kepala Muslim dari belakang dan Muslim pun terjatuh. Mereka segera merampas pedang dari tangan Muslim dan menangkapnya.

Pasukan menyeret Muslim keistana Ibnu Ziyad. Dahaga telah mencekik leher Muslim, dan ketika Muslim melihat air, ia meminta sedikit air untuk meminumnya. Pengawal Ibnu Ziyad yang bernama Ibnu Bahili dengan kasar berkata kepada Muslim: “Engkau tidak akan mencicipi air ini hingga engkau mencicipi api neraka.”

Muslim menjawab: “Siapakah engkau? Semoga ibumu berduka atas kematianmu. Betapa engkau adalah orang yang paling celaka. Engkaulah yang lebih layak mencicipi api neraka dari pada aku, dan engkau akan kekal didalamnya.”

Ibnu Ziyad menyeret Muslim dengan tangan terikat hingga didepan istana Ibnu Ziyad, dan memerintahkan Muslim untuk duduk dilantai seperti seorang budak. Kemudian seorang wanita bernama Umarah mengenali Muslim dan menghampiri Muslim untuk memberi semangkuk air.

Ketika Muslim mencoba untuk meminumnya, dengan cepat mangkuk air itu terisi dengan darahnya. Hingga tiga kali Muslim mencoba untuk meminumnya, darah dari bibirnya yang terbelah, kembali mengalir masuk kedalam mangkuk airnya. Muslim meletakkan mangkuk itu dan tidak meminumnya.

Sesaat kemudian pengawal menyeret Muslim masuk kedalam istana, sambil membentak, “Ucapkan salam kepada gubernur Ibnu Ziyad!!” Muslim menjawab: “Cukup!! Ia adalah gubernur-mu. Aku hanya akan mengucapkan salam kepada siapapun yang mengikuti kebenaran.”

Ibnu Ziyad terkekeh sambil berucap: “Jika engkau mengucap salam ataupun tidak, engkau tetap akan mati.” Muslim berkata: “Jika engkau membunuhku, maka akan ada orang yang lebih baik dibanding dengan terbunuhnya diriku sekarang ini, oleh orang jahat sepertimu.”

Ibnu Ziyad pun berkata: “Engkau memberontak kepada pemimpinmu Yazid, dan memecah belah Muslimin dan menciptakan kekacauan.”

Lalu Muslim menjawab: “Sebaliknya! Muawiyyah dan Yazid yang telah memecah belah Muslimin dan menciptakan kekacauan. Dan ayahmu Ziyad, adalah awal dari kerusakan ini! Aku ingin meraih Kesyahidan oleh orang-orang yang terburuk didunia ini.”

Kemudian Ibnu Ziyad mengutuk Ali Bin Abi Thalib dan Al-Husain. Lalu Muslim berteriak: “Engkau dan ayahmu lebih layak atas kutukan tersebut, bahkan lebih dari itu!”

Ibnu Ziyad memerintahkan seorang budaknya dari Syria untuk menyeret Muslim keatap istana. Budak itupun menyeret tubuh Muslim yang sudah lemah keatap istana. Muslim berteriak: “Maha Suci Allah! Ya Allah! Adililah antara kami dan orang-orang yang telah mengkhianati kami, menipu kami dan meninggalkan kami.”
Kemudian Muslim memalingkan wajahnya kearah Madinah sambil berkata: “Salam sejahtera untukmu…Duhai Husain.”

Seketika budak biadab itupun menarik kepala Muslim, dan meletakkan pedangnya dileher Muslim yang sedang tercekik rasa haus, dan mulai menggerakkan pedangnya menyembelih leher Muslim, ketika mata pedang durjana yang tajam itu mulai menembus kulit Muslim, darah suci itupun mulai mengaliri leher keponakan Amirul Mu’minin.

Sambil menahan rasa sakit meregang nyawa, bibir Muslim bergetar mengucapkan kalimat Tauhid, dan terhenti ketika mata pedang itu mulai merobek urat leher Muslim. Dan budak itu terus menggorok leher Muslim, hingga kepala sepupu Al-Husain itu terputus, kemudian dengan bengis budak Syiria itu melemparkan kepala dan sisa potongan tubuh Muslim Bin Aqil ke tanah.

Ibnu Ziyad kemudian memerintahkan pengawalnya untuk membunuh Hani Bin Urwah. Pengawal Ibnu Ziyad itupun menebas leher sahabat setia Al-Husain itu, hingga kepalanya terlepas dari jasadnya. Dan Ibnu Ziyad memerintahkan agar potongan tubuh Muslim dan Hani yang sudah tanpa kepala, agar diseret berkeliling di jalan-jalan kota Kufah.

Setelah puas menyeret dua potongan tubuh pembela Al-Husain itu, pasukan Ibnu Ziyad kemudian membuang tubuh-tubuh suci itu ketempat sampah. Dan segera mengirimkan potongan kepala Muslim dan Hani ke Damaskus, untuk dihadiahkan kepada Yazib Bin Muawiyyah. Dan Yazid menggantung dua kepala suci itu dipintu gerbang kota Damaskus.

Beserta dua kepala itu, Ibnu Ziyad mengirim surat kepada Yazid, yang berisi, “Puji Syukur kepada Allah, sebagai pemimpin orang beriman yang berhasil. Aku telah menangkap Muslim Bin Aqil dirumah Hani Bin Urwah. Aku menyebar mata-mata disekitar mereka, hingga aku menemukannya. Aku penggal kepala mereka dan mengirimkannya untukmu melalui dua utusan yang kupercaya, dan mereka akan menceritakan kejadian ini secara rinci.”

Yazid terlaknat membalas surat anak haram tersebut, “Engkau telah melaksanakan tugas secara bijaksana, apa yang semestinya dilakukan terhadap Muslim Bin Aqil. Engkau telah berbuat benar, seperti apa yang telah aku percayakan kepadamu. Aku sudah meminta penjelasan dari kedua utusanmu secara rinci, dan aku juga mendengar bahwa Husain Bin Ali telah berangkat menuju Irak. Engkau harus waspada dan pasukanmu harus segera bertindak jika ada yang mencurigakan. Jangan menunggu pembuktian. Husain adalah masalah besar. Apapun keadaannya, engkau harus memeranginya, dan mengirimkan Kepala Husain kepadaku.”

Sesaat sebelum Al-Husain meninggalkan Makkah, dihadapan penduduk Makkah dan Muslimin yang sedang melaksanakan Hajji, Imam memberikan khotbah, “Dengan Nama Allah. Segala Puji bagi Allah. Kematian yang tertulis pada anak-anak Adam bagaikan kalung manik-manik yang melingkari leher seorang wanita. Sungguh, aku sangat merindukan perjumpaan dengan keluargaku yang telah mendahului aku, seperti kerinduan Ya’qub kepada Yusuf. Dan Allah telah menetapkan bagiku tempat yang harus aku datangi.

Aku melihat diriku akan dicerai beraikan oleh binatang buas diantara Karbala dan Nainawa. Apapun yang Allah inginkan, maka kami akan melakukannya. Kami adalah hamba, yang dengan perjanjian-Nya tidak akan menyimpang dari ajaran Rasulullah. Siapapun yang ingin mengorbankan dirinya dijalan kami dan siap mempersembahkan nyawanya untuk bertemu Allah. Maka bergabunglah dengan kami, Ia dapat berangkat bersama kami besok pagi.”

Pada 8 Dzulhijjah, Al-Husain disertai keluarga dan para sahabatnya yang sedikit, bergerak meninggalkan Baitullah. Begitu banyaknya orang yang melaksanakan ibadah Hajji dan juga penduduk Makkah, namun hampir tidak ada satupun yang berkeinginan membantu Al-Husain, kecuali keluarga dekatnya Al-Husain.

Muslimin di Makkah ingat akan kewajiban Hajji, tetapi mereka telah melupakan jasa Rasulullah dengan menelantarkan putera kesayangan Fathimah. Mereka lebih memilih bersembunyi dan berdzikir disudut-sudut Masjid, sambil mencuri dengar berita terbunuhnya Al-Husain, dari pada membantu Cucu kesayangan Rasulullah ini.

Mereka melupakan amanat Nabi tentang kewajiban umat untuk mencintai dan menjaga Ahlul Bait nya. Dan mereka lebih mencintai dan memikirkan keluarga dan diri mereka sendiri, dengan membiarkan cucu kesayangan Nabi mereka sendiri, terpanggang rasa dahaga dan terpotong-potong anggota tubuhnya dipadang Karbala.

Setelah beberapa hari melalui perjalanan yang melelahkan, maka tibalah kafilah Al-Husain dan mendirikan kemah untuk beristirahat disuatu daerah yang bernama HAJIR. Disini Imam belum mengetahui tentang pengkhianatan masyarakat Kufah dan Syahidnya Muslim Bin aqil serta Hani Bin Urwah. Ditempat ini Al-Husain mendirikan kemah dan menulis surat untuk Muslim Bin Aqil, dan meminta Qais Bin Mashar untuk mengantarkannya ke Kufah.

Dalam surat tersebut Al-Husain menulis, “Wahai orang-orang Kufah! Aku sudah menerima surat Muslim Bin Aqil yang menyebutkan bahwa kalian sudah berkumpul untuk membantu kami, dan meyakini kebenaran kami. Aku meminta kepada Allah Yang Maha Kuasa, untuk memberi penghargaan atas tindakan kalian. Karena alasan inilah aku meninggalkan kota Makkah pada hari Kamis 8 Dzulhijjah. Ketika utusanku tiba, bersatulah hingga aku tiba di Kufah, beberapa hari lagi.”

Ketika utusan Imam Qais Bin Mashar tiba di QADISIYAH, ia ditangkap oleh pasukan Ibnu Ziyad. Mereka menggeledah Qais, namun secepat itu juga Qais merobek surat Al-Husain. Dan Qais dibawa keistana Ibnu Ziyad dikota Kufah.

Ibnu Ziyad bertanya kepada Qais: “Mengapa engkau merobek surat itu?” Lalu Qais menjawab: “Agar engkau tidak mengetahui apa isi surat tersebut.” Ibnu Ziyad marah: “Engkau harus menceritakan isi surat itu.”

Dan Qais tetap menolak dan Ibnu Ziyad berkata: “Engkau harus naik ke mimbar dan terus menerus harus mengutuk Husain, keluarganya dan ayahnya. Atau aku akan memotong-motong tubuhmu!”

Dengan gagah berani Qais Bin Mashar menaiki mimbar dan melakukan hal sebaliknya, ia memuji Amirul Mu’minin Ali Bin Abi Thalib, Al-Hasan dan Al-Husain. Kemudian mengutuk Ibnu Ziyad, ayahnya dan Bani Umayyah. Qais melanjutkan: “Wahai orang-orang Kufah! Aku adalah utusan Al-Husain untuk kalian!”

Lalu Qais menceritakan pesan Al-Husain kepada mereka dan berpesan untuk tidak meninggalkan Imam, terakhir Qais berteriak lantang, “Berilah pertolongan kepada Al-Husain!”

Mendengar itu Ibnu Ziyad sangat marah dan memerintahkan pengawalnya untuk menangkap Qais dan memerintahkan untuk membawa Qais kemenara istananya, tidak ada satupun orang Kufah yang berusaha menolong Qais. Setelah sampai dipuncak menara, kemudian para pengawal durjana itu mengangkat tubuh Qais dan melempar tubuh Qais yang terikat dari puncak menara istana.

Dan tubuh tak berdaya Qais pun melayang jatuh menghantam tanah dengan sangat keras. Sehingga tulang belulang sahabat setia Al-Husain itupun remuk, tulang lehernya patah dan darah segar mengalir dari mulut, telinga dan hidungnya. Sambil menahan rasa yang teramat sakit, sebelum ia menghembuskan nafasnya yang terakhir, Qais masih sempat berucap: “Alaika Minni Salam Ya Aba Abdillah.”

Disuatu tempat yang bernama ZARUD. Al-Husain memerintahkan pengikutnya untuk mendirikan kemah. Rombongan Zuhair Bin Qa’in dari Kufah telah lebih dahulu mendirikan kemah ditempat itu. Pada awalnya Zuhair tidak mengetahui bahwa kafilah keluarga Nabi telah mendirikan kemah berdekatan dengan kemahnya.

Saat sedang makan siang, seorang utusan Al-Husain datang menemui Zuhair dan menyampaikan pesan bahwa Al-Husain ingin bertemu dengannya. Dan Zuhair pun segera pergi meninggalkan kemahnya menuju kemah Al-Husain. Sesaat kemudian Zuhair kembali dengan wajah sangat bahagia. Lalu Zuhair memerintahkan rombongannya untuk membongkar kemah dan bergabung dengan kemah rombongan Al-Husain.

Kemudian Zuhair berkata pada istrinya: “Duhai istriku, kembalilah kepada keluargamu, aku tidak ingin engkau bersedih sedikitpun disebabkan kematianku .”

Istri Zuhair menjawab: “Apapun yang engkau telah putuskan, aku pun telah memutuskan untuk selalu tetap bersamamu. Aku mohon kepadamu, tolong engkau sebutkan namaku dihadapan Rasulullah kakeknya Al-Husain, dihari penghakiman nanti.”

Ditempat pemberhentian inilah, Al-Husain dan keluarganya mendengar tentang Syahidnya Muslim Bin Aqil dan Hani Bin Urwah. Imam sangat terpukul, air matanya mengalir deras dan berulang kali berucap, “Allah memberkati mereka.” Kafilah keluarga suci Nabi dan para sahabatnya menangis mendengar berita yang sangat menyedihkan itu.

Pada hari berikutnya kafilah Al-Husain kembali melanjutkan perjalanannya, dan tibalah didaerah yang bernama SYIRAF. Didaerah itu pada siang hari Hurr Ar Riyahi dengan seribu pasukan bersenjata lengkap muncul dihadapan Al-Husain, sambil membawa pesan dari Ibnu Ziyad kepada dirinya, agar mencegah Al-Husain kembali ke Madinah, atau menangkapnya dan membawanya ke Kufah.

Ketika Al-Husain melihat pasukan Al Hurr tengah kehausan, Imam meminta kepada seluruh pengikutnya untuk memberi air untuk pasukan Al Hurr dan kudanya. Pengikut Al-Husain memberikan kepada mereka seluruh persediaan air. Hingga pasukan Al Hurr dan tunggangannya terlepas dari rasa dahaga.

Al-Husain meneruskan perjalanan dengan digiring kawalan pasukan Al Hurr, yang sedang menunggu surat jawaban dari Ibnu Ziyad. Kemudian sampailah iring-iringan ini disuatu tempat yang bernama BAIDHAH, ditempat ini Imam dan pengikutnya beristirahat, kemudian Imam memberikan Khotbah kepada pasukan Al Hurr :

“Wahai manusia! Sesungguhnya Rasulullah pernah bersabda, ‘Barang siapa melihat seorang pemimpin yang tidak adil, merubah yang haram menjadi halal, yang mengingkari janjinya, yang menentang Sunnah Rasulullah dan dia tidak melakukan penentangan terhadap pemimpin itu, baik dengan kekuatan atau dengan kata-katanya, maka Allah SWT akan memasukkannya kedalam golongan orang-orang yang Zalim.’

Tentu saja, mereka (Bani Umayyah) adalah pengikut Setan dan sudah meninggalkan ketaatannya kepada Allah. Mereka menyebarkan kejahatan, mereka halalkan apa yang diharamkan oleh Allah, mereka salah gunakan kekayaan, dan mereka merubah aturan yang benar.

Dan aku adalah orang yang paling berhak atas kepemimpinan ini lebih dari siapapun. Surat dan utusan yang kalian kirim telah datang kepadaku dengan sumpah setia, dan menjelaskan bahwa kalian tidak akan mengkhianatiku, dan jika aku memimpin kalian, maka kalian akan memperoleh kemenangan.

Aku adalah Husain putra Ali dan Fathimah putri Rasulullah. Jiwaku ada bersama kalian, jiwa keluargaku ada bersama jiwa keluarga kalian, dan aku adalah salah satu dari kalian. Jika kalian berkhianat, mengingkari janji dan kesetiaan kalian kepadaku, sungguh itu tidak akan membuatku terkejut. Karena kalian pernah melakukannya kepada ayahku, saudaraku dan sepupuku.
Dan jika kalian melakukannya, kalian telah menghancurkan kesempatan kalian sendiri, kalian sudah mengkhianati janji kalian sendiri, mendustai serta melawan diri kalian sendiri.”

Setelah menyelesaikan Khotbahnya, Al-Husain dan kafilahnya kembali melanjutkan perjalanannya, dan setelah melalui 23 hari perjalanan, tibalah kafilah Al-Husain disebuah padang tandus didekat sungai Furat.

Hurr Ar Riyahi dan angkatan perangnya menghadang kafilah keluarga Nabi agar tidak berjalan lebih jauh. Kuda dan unta yang membawa rombongan Al-Husain berhenti, dan Imam bertanya kepada Zuhair, “Apa nama tempat ini?”

Zuhair menjawab: “Tempat ini bernama Thuf.”

Imam bertanya lagi, “Adakah nama lain untuk tempat ini?” Dan Zuhair pun menjawab, “Tempat ini juga disebut KARBALA.”

Mendengar kata Karbala, air mata Imam pun menetes dan Imam berucap, “Ya Allah, aku berlindung kepada Engkau dari Karb dan Bala’. Disini adalah tempat dimana kami akan mendirikan kemah, disini adalah tempat dimana darah kami akan tertumpah. Disini adalah tempat kuburan kami. Ini adalah tempat yang telah kakekku ceritakan kepadaku.

Al-Husain memerintahkan pengikutnya untuk mendirikan kemah ditempat itu. Pada saat memasuki hari kedua bulan Muharram, cucu Rasulullah itu mengumpulkan semua keluarga dan sahabatnya. Imam lalu berkata: “Ya Allah! Kami keluarga Rasul-Mu Muhammad, telah diburu hingga menyingkir dari rumah kami di Madinah. Putra-putra Bani Umayyah telah menzalimi kami. Ya Allah! Lindungilah kebenaran untuk kami, dan bantulah kami melawan orang-orang yang Zalim.”

Kemudian Al-Husain melanjutkan, “Manusia adalah budak dari dunia. Agama hanyalah apa yang mereka ucapkan. Mereka menggunakannya selama itu menguntungkan hidup mereka. Ketika mereka diberi ujian, orang-orang yang beriman hanya sedikit jumlahnya. Semua dari kalian mengetahui apa yang akan terjadi menimpa kita, dan kalian telah mengetahui bagaimana dunia telah mengarahkan wajahnya kepada kita. Saat ini kebenaran sedang menimbang kejahatan. Dan tidak ada kebaikan melainkan hanya sedikit. Kalian telah menyaksikan bahwa kebenaran tidak ditegakkan, dan kemungkaran tidak dicegah. Sungguh, bagi yang percaya, tidak akan menginginkan sesuatu kecuali pertemuan dengan Allah. Dan aku tidak melihat kematian melainkan sebuah kebahagiaan, dan hidup bersama manusia-manusia Zalim melainkan sebuah kehinaan.”

Ketika Al-Husain selesai berkhotbah, Zuhair Bin Qa’in berdiri dan berkata: “Duhai cucu Rasulullah, kami telah mendengarkan khotbahmu. Jika seluruh dunia beserta isinya ini abadi, kami akan tetap bersamamu hingga dunia beserta isinya ini berakhir.”

Lalu Burair Bin Hudhair pun berdiri dan berkata: “Duhai putra Rasulullah, adalah sebuah kehormatan bagi kami untuk berjuang bersamamu, dan limpahkanlah Syafa’at kakekmu kepada kami dihari penghakiman nanti.”

Giliran Nafi Bin Hilal Jamali berdiri dan berkata: “Duhai putra Fathimah, kakekmu adalah utusan Allah, yang hidup ditengah-tengah manusia, beberapa diantara mereka adalah orang-orang Munafik yang berpura-pura membantunya. Tetapi pada kenyataannya mereka sembunyikan diri mereka untuk mengkhianati Rasul. Dan ayahmu Amirul Mu’minin diperlakukan dengan hal yang serupa. Kini engkau yang ada ditengah-tengah kami, mendapatkan perlakuan yang sama pula. Siapapun yang telah mengkhianati engkau, tak lain telah mengkhianati diri mereka sendiri. Kemanapun engkau pergi dan kemanapun engkau menghadap baik Timur atau Barat, kami akan tetap bersamamu.

Demi Allah! Kami tidak pernah ragu untuk bertemu Tuhan kami, selama kami masih bersamamu. Dan kami mengungkapkan ini dari lubuk hati kami yang paling dalam. Bahwa kami akan mengikuti siapapun yang mengikutimu, dan kami adalah musuh bagi siapapun yang memusuhimu.”

Kemudian Al-Husain meminta kepada penduduk didaerah Karbala, untuk menjual seluruh tanah milik mereka itu kepada Al-Husain, dan Imam membayar seluruh tanah itu seharga 60 ribu dirham. Dan Al-Husain memberikankannya kembali tanah itu kepada para pemiliknya. Kemudian Al-Husain berpesan: “Semua tanah ini aku berikan kembali untuk kalian. Pada suatu saat nanti, siapapun yang ingin mengunjungi kuburanku, maka kalian bimbinglah mereka kesini (Karbala).”

Sementara Al Hurr sedang menunggu surat jawaban dari Ibnu Ziyad, maka datanglah utusan yang membawa surat balasan dari Ibnu Ziyad, yang ditujukan kepada Al-Husain.

“Wahai Husain! Aku mendengar bahwa engkau sudah mengatur kekuatan pasukanmu di Karbala. Yazid sebagai pemimpin kaum Muslimin, telah menulis pesan dan memerintahkanku agar aku tidak tidur atau mabuk minuman, hingga aku mengirim engkau kepada Tuhan-mu, atau engkau mau menerima apapun perintahku dan perintah Yazid.”

Al Husain membaca surat itu dan membuangnya ketanah, sambil berkata: “Barang siapa yang menginginkan sesuatu dengan cara bermaksiat kepada Allah, maka apa yang ia kehendaki akan sirna, dan ia akan mendapatkan apa yang tidak ia kehendaki.” Kemudian utusan Ibnu Ziyad meminta jawaban dari surat tersebut, namun Al Husain menolak, seraya berkata; “Ia tidak membutuhkan jawaban dariku, sebab hukum Allah telah jelas untuknya.”

Utusan Ibnu Ziyad kembali dan menceritakan apa yang telah terjadi, Ibnu Ziyad menjadi sangat marah. Ia langsung berdiri dan memerintahkan Umar Bin Sa’d, Syimir Dzil Al-Jausyan dan beberapa komandan pasukan untuk membawa lebih dari 30 ribu pasukan untuk menuju Karbala.

Sesuai dengan perintah Ibnu Ziyad, sesampai di Karbala Umar Bin Sa’d dan Syimir memerintahkan pasukannya untuk menyebar dan mengelilingi kemah kafilah Al-Husain, tujuannya agar Imam dan keluarganya tidak mendapatkan air setetespun.

Waktu terus berjalan, sudah beberapa hari tidak ada satupun keluarga Nabi yang dapat mencicipi setetes air, anak-anak mulai menangis karena leher mereka tercekik dan terbakar oleh rasa dahaga yang teramat sangat. Tidak ada satupun antek-antek Yazid yang mempedulikan jeritan dan tangis kehausan cucu-cucu Fathimah Az Zahra’.

Tibalah dihari kesembilan bulan Muharram, Al-Husain mengumpulkan seluruh pengikutnya dan berkhotbah : “Aku memuji Allah SWT, yang dari-Nya telah memberi kita Nabi, dan Allah telah mengajarkan kita Islam dan Al Qur’an. Dia telah memberi kita hati, mata dan telinga, dan Dia tidak membuat kita terhina.
Sungguh, aku tidak mendapati pengikut yang lebih baik dari pengikutku, dan aku tidak mendapati keluarga yang lebih baik dari pada keluargaku. Allah SWT akan memberikan penghargaan kepada kalian semua. Sesungguhnya kakekku telah menceritakan kepadaku, bahwa aku akan terbunuh di Irak, dan waktunya telah tiba.

Sungguh, aku berpikir besok akan menjadi hari yang menentukan antara aku dengan mereka. Dan aku mengizinkan kalian untuk meninggalkan aku sendirian disini, dan meneruskan perjalanan hidup kalian.
Pada malam ini, aku persilahkan masing-masing dari kalian untuk mengambil unta dan kuda kalian, lalu kembali pulang. Dan kalian pun boleh membawa salah satu dari keluargaku untuk mengantar mereka kembali pulang. Tentu saja, hanya aku yang mereka inginkan. Ketika mereka mendapatkanku, mereka akan menghentikan perlakuan buruk ini terhadap kalian.”

Setelah Imam menyelesaikan khotbahnya, Abu Fadhl Abbas berdiri dan berkata: “Kami tidak akan pernah meninggalkan engkau duhai pemimpinku, kami tidak ingin hidup setelah engkau tiada, dan kami tidak ingin merasakan hari itu.”

Imam menolehkan wajahnya kepada putra Aqil dan berkata: “Sudah cukup bagi engkau dengan terbunuhnya ayahmu, maka engkau aku izinkan pergi.”

Lalu Putra Aqil menjawab: “Duhai paman, dengan wajah apa kami akan menemui orang-orang, dan mengatakan kepada mereka, bahwa kami telah meninggalkan pemimpin kami, meninggalkan paman kami yang terbaik dari seluruh paman yang ada dimuka bumi. Dan kami tidak melesatkan anak panah, dan menancapkan tombak, serta menebaskan pedang kepada mereka yang hendak membunuhmu? Dan kami tidak membantunya ketika ia membutuhkan bantuan kami?

Sungguh, Demi allah! Kami tidak peduli apa yang mereka akan lakukan terhadap kami. Meskipun tubuh kami akan dihancurkan bercerai berai. Dan keluarga serta harta kami akan dihabiskan. Kami akan tetap disini mengorbankan jiwa kami untukmu. Karena hidup setelah engkau adalah kehidupan yang terburuk.”

Sahabat Al-Husain, Muslim Bin Awsajah berdiri dan berkata: “ Apakah mungkin kami akan meninggalkan engkau sendirian? Lalu bagaimana kami akan memohon maaf kepada Allah dan kepada kakekmu Rasulullah, dalam memenuhi kewajiban kami terhadapmu? Demi Allah ! Aku tidak akan meninggalkan engkau, hingga aku menancapkan tombak kedada mereka, dan menghadapi mereka dengan pedangku. Jika tombak dan pedangku sudah tidak ada, aku akan melemparkan batu kepada mereka, hingga aku mati bersamamu.”

Lalu berdiri Sa’id Bin Abdillah berkata: “Kami tidak akan meninggalkan engkau, hingga kami dapat membuktikan bahwa kami sudah menghormati kakekmu Rasulullah dengan penghormatan kepadamu. Demi Allah ! Jika aku mati dan dihidupkan lagi, kemudian aku dibakar, lalu aku kembali dihidupkan lagi hingga 70 kali, aku tidak akan meninggalkan engkau, hingga aku benar-benar mati untukmu.”

Kemudian giliran Zuhair Bin Qa’in berucap: “Aku ingin dibunuh dijalanmu, dan jika aku kembali dihidupkan dan kemudian aku dibunuh lagi hingga 1000 kali, aku akan tetap melindungimu.”

Inilah kesetiaan keluarga dan para sahabat Al-Husain, hati mereka senantiasa membara dan tidak sedikitpun dihinggapi rasa takut. Tidak terpancar dari wajah-wajah mereka rasa cemas dan khawatir akan kematian. Mereka mengetahui tata cara hidup bahagia dan seni mati yang mulia. Kerinduan mereka kepada kematian seperti kerinduan seorang bayi kepada susu ibunya. Bagi mereka mati dalam membela Al-Husain adalah kebahagiaan yang sesungguhnya.

Mereka lebih mencintai keluarga Nabi dari pada keluarga dan diri mereka sendiri. Mereka adalah sosok-sosok yang rela menukar darah dan jiwanya, demi menjaga Pusaka yang telah Nabi amanatkan kepada seluruh Muslimin. Mereka Inilah para pelajar dari Madrasah Al-Husain, yang meyakini dan berjalan hanya pada satu arah yaitu; KEBENARAN.

Setelah itu Al-Husain berkata kepada para sahabat dan keluarganya: “Semoga Allah memberi penghargaan kepada kalian dengan sebaik-baiknya penghargaan. Besok aku akan terbunuh dan kalian semua juga akan terbunuh. Tidak ada seorangpun dari kalian yang tersisa, kecuali puteraku Ali Zainal Abidin. (As Sajjad).

Selesai berkhotbah kemudian Imam memasuki kemah adiknya Zainab, melihat kakaknya tercintanya datang, sontak Zainab menjerit dan menangis seraya berkata:

“Aku akan kehilangan kakak yang paling aku cintai, Akankah maut akan menjemputku hari ini? Telah pergi meninggalkanku Fathimah ibuku, Ali ayahku, serta Hasan kakakku. Wahai pemimpin yang telah berlalu, Wahai tempat Pertolongan Yang Abadi. Aku akan menebusmu dengan ayah dan ibuku, Wahai Abu Abdillah! Biarlah aku yang menjadi penebusmu, dan menjadi tempat kembali ratapan kesedihanmu, biarlah mata ini yang akan menggantikan, untuk mengalirkan air mata dari kedua matamu. Wahai bencanaku, nyawamu akan direnggut dengan kekejaman dan ini sangat melukai jantungku, dan sangatlah menyakiti diriku!”

Kemudian Sayyidah Zainab jatuh pingsan, Al-Husain berusaha menyadarkan dan menghibur adik kesayangannya itu, ”Wahai adikku sayang, bertakwalah kepada Allah, dan hiburlah dirimu dengan Sang Maha Pelipur, dan ketahuilah bahwa semua penduduk bumi akan mati, bahkan seluruh penduduk langit tidak ada yang abadi.

Karena semua segala sesuatu akan binasa kecuali Wajah Allah, yang telah menciptakan semesta dengan Kekuasaan-Nya. Dia yang mengirim mahluk dan Dia yang akan mengembalikannya. Dan Dia adalah Maha Tunggal. Ayahku lebih baik dari diriku, Ibuku lebih baik dari diriku dan saudaraku Hasan juga lebih baik dari diriku. Sementara aku dan setiap Muslim hanya akan menjadikan Rasulullah sebagai tauladan.”

Tibalah pada malam kesepuluh Muharram, ini adalah malam yang paling menyedihkan bagi keluarga Rasul. Cakrawala penuh sesak para Malaikat yang menyaksikan para wanita suci keluarga Nabi menangis. Suara dari mulut-mulut mungil cucu-cucu Fathimah yang menjerit kehausan meminta air, membelah keheningan, terbawa hembusan angin kesegala penjuru. Dan merobek hati para pecinta keluarga Nabi diseluruh permukaan bumi.

Malam itu seluruh pengikut Al-Husain tengah bersiap menunggu datangnya pagi, Imam memerintahkan pengikutnya untuk merapatkan kemah, dan menggali parit dibelakang kemah. Malam telah memasuki pertengahan, Al-Husain keluar dari kemah untuk mengamati segala penjuru. Sahabat Imam yang bernama Nafi’ Bin Hilal Jamali mengikuti Imam dari belakang.

Al-Husain bertanya kepada Nafi’, “Mengapa engkau mengikuti aku?” Nafi’ menjawab: “Aku merasa cemas jika mereka akan menyerang engkau di kegelapan.”

Kemudian Al-Husain meraih tangan Nafi’ dan berkata: “Wahai Nafi’, hanya ada satu jiwa dan satu kehidupan didunia ini. Besok kita semua akan terbunuh. Lihatlah, tidak ada seorangpun diantara kedua bukit itu, kenapa engkau tidak segera melarikan diri?”

Mendengar perkataan Imam, Nafi’ langsung jatuh berlutut dan menangis dikaki Imam dan menjawab: “Duhai Imam, Mengapa engkau tidak menginginkan aku untuk tinggal bersamamu disaat seperti ini? Aku khususkan membeli pedang dan kuda ini untuk membelamu. Demi Allah! Aku tidak akan meninggalkan engkau, hingga pedang ini tak mampu lagi aku gunakan dan kuda ini tak mampu lagi berlari. Aku akan membelamu sampai aku mati terbunuh disini bersamamu.”

Menjelang fajar menyingsing sahabat Al-Husain, Burair Bin Hudhair melontarkan sebuah lelucon kepada Ibnu Abdurrahman Anshari. Lalu Ibnu Abdurrahman marah dan berkata: “Ini bukanlah waktunya untuk bersenda gurau disini.”

Burair menghentikan tawanya dan berkata: “Demi Allah, kaumku mengetahui, bahwa sejak aku remaja dan hingga aku dewasa, aku tidak pernah menyukai gurauan. Dan Allah Mengetahui bahwa aku bukanlah seorang pelawak. Tetapi saat ini aku sangat merasa bahagia, karena kita akan membuktikan keimanan kita esok hari, dan waktunya sebentar lagi tiba.”

Habib Bin Mudhahir tertawa mendengar guarauan Burair, dan Ibnu Hamdani menegurnya: “Ini bukan waktu yang tepat untuk tertawa.”

Sambil tertawa Habib menjawab: “Ini adalah waktu yang terbaik untuk bergembira, karena kita sudah teramat dekat untuk memasuki surga.”

Tak lama fajar akan menyingsing dihari kesepuluh Muharram, Imam melaksanakan shalat Shubuh bersama pengikutnya. Kemudian Imam berkata: “Allah SWT telah mengizinkan kita untuk berperang hari ini, kita harus berani dan berperang.”

Duhai….10 Muharram, Pagi itu tak ada desiran angin yang memainkan ujung tenda-tenda usang, Mentari menatap hampa seakan enggan melepaskan sinarnya. Syair duka mulai disenandungkan gemericik air Furat. Wajah langit terlihat lebam dan geram dan siap menghimpit bumi kapanpun diperintahkan.

Tidak ada tawa dan canda anak-anak kecil ditenda keluarga Nabi. Tidak ada tatapan riang dari mata-mata kecil yang indah. Berhari-hari ibu mereka tidak lagi membawakan sekerat roti dan semangkuk susu untuk mereka. Mata-mata kecil anak-anak Az Zahra’ itu menatap penuh harap kearah sungai Furat yang mengalir.

Kapan sekiranya tetesan air itu akan singgah dikerongkongan mungil mereka yang sudah teramat tercekik rasa dahaga? Telinga anak-anak kecil itu mendengar gemericik air, namun mengapa lidah suci mereka tidak dapat merasakannya?

Mata-mata kecil itu hanya mampu menatap para durjana yang tak sudi memberikan mereka setetes air. Tatapan sendu anak-anak kecil itu seakan bertanya, apa salah kami? Mengapa para Durjana itu menghalalkan anjing mencicipi sepuasnya, dan mengharamkannya bagi anak-anak Az Zahra’ walau hanya setetes, walaupun hanya sekedar untuk membasahi bibir-bibir kecil mereka? bibir-bibir putera-puteri Fathimah yang telah pecah dan teramat kering ini.

Pagi itu Al-Husain menyerahkan bendera kepada Abu Fadhl Abbas, dan mengangkat tangannya kelangit, “Ya Allah, Engkau adalah kepercayaanku dalam berbagai kesulitan. Harapanku dalam setiap kesusahan, Engkau menjadikan tiap kelemahan kedalam kekuatan, walaupun tidak ada teman dan ketika musuh begitu banyak. Engkau adalah pelindung dan satu-satunya harapan.”

Al-Husain menunggangi kuda dan berteriak lantang hingga semua orang bisa mendengarnya, Imam memuji Allah dan bershalawat kepada Rasulullah “Wahai manusia! Dengarkanlah aku! Janganlah kalian terburu-buru memerangiku hingga aku ceritakan keadaanku. Jika kalian menerima dan menjadikannya sebagai keputusan, itu akan lebih baik bagi kalian. Jika kalian menolak dan tidak menerimanya, dan tidak menginginkan keadilan. Silahkan kalian lakukan apa yang kalian inginkan. Aku tidak menginginkan kalian ragu-ragu. Dan Allah adalah Pelindung.

Segala puji bagi Allah dan utusan-Nya, dan seluruh malaikat-malaikat-Nya. Wahai manusia! Takutlah kepada Allah, dan takutlah akan dunia yang fana ini. Tak ada seorangpun yang akan hidup kekal didunia ini. Jika ada manusia yang dapat hidup kekal, maka para Nabi adalah yang paling berhak. Tetapi, semua dari mereka telah meninggal dunia. Segala sesuatu yang ada dimuka bumi akan pergi dengan sia-sia. Takutlah kepada Allah dalam melaksanakan perintah-Nya, demi mendapatkan kebahagiaan.

Wahai manusia! Allah telah menciptakan semesta ini sedemikian rupa, dan kemudian Allah akan membinasakannya. Orang yang tertipu adalah orang yang ditipu oleh dunia ini. Kalian berkumpul ditempat ini (Karbala) untuk suatu permasalahan yang tidak benar. Jika kalian melakukan apa yang kalian inginkan, maka kalian akan mendapatkan kemurkaan Allah atas diri kalian. Kalian percaya kepada Allah dan Rasul sebagai utusan-Nya, tetapi kalian mencoba untuk membunuh anak cucu utusan-Nya itu.

Wahai manusia! Beritahukan siapa sesungguhnya aku? Kemudian perhatikan dan lihatlah diri kalian. Apa yang menjadi pertimbangan kalian untuk membunuhku dan mempermalukan keluargaku? Apakah aku bukan seorang putera dari puteri Nabi kalian? Apakah aku bukanlah putera Ali, sepupu dan menantu Rasulullah, orang pertama yang mempercayai Allah?

Bukankah Hamzah yang akan memimpin dipadang Mahsyar, adalah paman ayahku? Bukankah Ja’far Ath Thayyar adalah pamanku? Belum pernahkah kalian mendengar sabda Rasulullah tentang aku dan Hasan saudaraku, yang keduanya adalah pemimpin para pemuda di surga?

Jika kalian bertanya manakah yang benar? Demi Allah! Aku tidak pernah berdusta, semenjak aku mengetahui bahwa Allah tidak menyukai para pendusta. Jika kalian mengatakan bahwa kalian belum pernah mendengar, dan kalian berpikir bahwa aku adalah seorang pendusta, maka tanyakan kepada mereka yang ada diantara kalian yang pernah mendengarkan hal itu.

Bukankah cukup untuk kalian, menghentikan keinginan kalian untuk membunuhku? Apakah kalian ragu dengan perkataanku, bahwa aku adalah putera dari puteri Nabi kalian? Sungguh, Demi Allah! Tidak ada seorangpun di Timur atau di Barat sebagai Putera Fathimah, melainkan aku.

Duhai mengapa kalian ingin menumpahkan darahku? Apakah kesalahanku? Apakah aku telah membunuh seseorang diantara kalian? Sehingga kalian datang untuk menuntut Qishas pada diriku? Apakah aku telah merampas kekayaan kalian dan melukai seseorang diantara kalian? Hingga kalian datang untuk menuntut ganti rugi kepadaku?”

Seluruh pasukan musuh terdiam, tiba-tiba seseorang dari pasukan musuh menyeruak kearah Al-Husain, seorang yang bernama Ibnu Hawzah Tamimi berkata: “Engkau akan ke neraka, wahai Husain!”

Kemudian Imam mengangkat kedua tangannya dan berdoa, “Ya Allah, kirimkan ia kepada api-Mu.”

Ibnu Hawzah menjadi sangat marah, ketika ia ingin menyerang Imam, tiba-tiba kudanya terjerembab jatuh seakan diberi beban yang teramat berat. Tubuh Ibnu Hawzah ikut terlempar, lalu tubuhnya terseret dan di injak-injak oleh kudanya sendiri hingga mati dan tubuhnya remuk. Seketika itu sebagian dari pihak musuh sadar, bahwa mereka berperang berada dipihak yang salah.

Lalu Imam pergi kearah musuh, sambil mengangkat Al-Qur’an, “Wahai manusia! Diantara aku dan kalian ada Al-Qur’an dan Sunnah kakekku. Apa yang kalian inginkan dariku?”

Mereka menjawab: “Kami ingin engkau mematuhi Ibnu Ziyad.”

Kemudian Imam berkata: “Kalian meminta kami untuk datang membantu kalian, dan kami telah penuhi permintaan kalian. Dan ketika kami datang, kalian memutar pedang kalian dan berusaha memerangi kami. Sekarang kalian perintahkan kami untuk pergi, dan meminta kami untuk mematuhi perintah mereka yang bertentangan dengan Al-Qur’an yang suci ini.

Padahal mereka adalah bagian dari setan. Mereka sedang berusaha untuk memadamkan Sunnah Nabi. Celakalah kalian! Bagaimana kalian bisa berbalik melawan kami, dan membantu mereka? Sungguh, Demi Allah! Ini adalah sebuah pengkhianatan, dan salah satu dari sifat jahat kalian. Kalian laksana buah yang terbusuk. Tentu saja putera dari anak haram (Ibnu Ziyad) telah memberiku dua pilihan; peperangan atau penghinaan.

Sungguh jauh kehinaan dari kami. Allah dan para Rasul-Nya, maupun yang percaya pada Hari Penghakiman tidak menghendaki kami untuk memilih taat kepada orang-orang keji dari kematian yang mulia. Maka aku tidak punya pilihan selain berjuang dengan keluarga ini, yang sangat sedikit jumlahnya, dan tidak ada siapapun yang mau menolong kami. Tetapi kalian harus ingat! Kalian tidak akan pernah hidup terhormat setelah kejadian ini.

Ya Allah, jangan turunkan hujan setetespun kepada mereka. Tetapkan kekeringan dan kelaparan bagi mereka. Sebagaimana kekeringan dan kelaparan yang terjadi pada masa Nabi Yusuf.
Dan jadikan pemuda Tsaqafi (Mukhtar Ats Tsaqafi) berkuasa atas mereka. Dia akan menyuapkan racun kemulut-mulut mereka. Karena mereka telah mendustakan dan meninggalkan kami. Hanya Engkaulah Tuhan kami dan tempat kami berserah diri.”

Kemudian Al-Husain berkata kepada Umar Bin Sa’d, “Kau pikir, engkau akan mendapatkan jabatan di Ray? Aku beritahukan bahwa engkau tidak akan pernah mendapatkannya, melainkan kepalamu akan menjadi permainan anak-anak Kufah.”

Ketika Hurr Ar Riyahi mendengar pidato Al-Husain, kemudian ia mendekati Umar Bin Sa’d dan berkata: “Mudah-mudahan Allah melunakkan hatimu! Apakah engkau akan tetap memerangi laki-laki itu?

Umar Bin Sa’d menjawab: “Benar, ini akan menjadi pertempuran yang hebat, paling tidak, akan ada banyak kepala yang berjatuhan dan tangan yang teputus.”

Mendengar jawaban Umar Bin Sa’d, Al Hurr pergi dan berpisah dari kelompoknya, dan perlahan mendekati Imam sedikit demi sedikit, kemudian ia memacu kudanya sampai ia berhadapan dengan Al-Husain. Dan Al Hurr berkata:
“ Allah menjadikan diriku sebagai tebusanmu wahai putera Rasulullah! Akulah kawan yang telah mencegahmu pulang, menemanimu dijalan, dan menggiringmu ketempat ini. Demi Allah! Yang tiada yang lain selain Dia, aku tidak menyangka, mereka akan menolak semua pilihan yang telah engkau tawarkan kepada mereka. Dan aku tidak mengira bahwa mereka akan berbuat jahat kepada engkau hingga sejauh ini.

Dan aku katakan pada diriku sendiri, aku tidak akan peduli lagi dengan mengikuti mereka dalam urusan lain, dan mereka tidak mengira bahwa aku akan meninggalkan mereka. Dan seharusnya mereka memenuhi permintaan yang engkau tawarkan.

Demi Allah! Seandainya aku tahu mereka tidak mau menerima semua tawaranmu, aku tidak akan berbuat apa yang telah aku perbuat terhadapmu. Dan sekarang aku datang kepadamu dalam keadaan bertaubat kepada Allah atas apa yang telah aku perbuat terhadapmu, dan aku akan menolongmu dengan diriku sendiri, hingga aku mati dihadapanmu. Duhai Imam, apakah engkau akan mengampuni kesalahanku?”

Al-Husain menjawab: “Benar, mudah-mudahan Allah menerima taubatmu, dan mengampunimu. Siapakah namamu?”

Al Hurr menjawab: “Aku adalah Hurr Ar Riyahi.”

Al-Husain berkata: “Engkau memang merdeka seperti yang dinamakan ibumu. Insya Allah, engkau akan merdeka didunia dan diakhirat. Maka majulah engkau.”

DAN DIA ADALAH HUSEIN.

Lalu majulah Al Hurr kedepan dan berseru kepada pasukan Umar Bin Sa’d: “Wahai penduduk Kufah! Demi ibu-ibu kalian yang telah kehilangan anaknya, bukankah kalian yang telah memanggil Al-Husain? Dan kini setelah ia datang, kalian akan menyerahkannya kepada musuhnya? Sedangkan kalian telah menyatakan bahwa kalian akan berperang dibawah perintah Al-Husain. Kemudian kalian berkhianat hendak membunuhnya, menangkapnya, menyumbat tenggorokannya, mengepungnya dari semua penjuru, dan menghalanginya pergi dibumi Allah yang demikian luas, agar ia dan keluarganya aman.

Dan ditangan kalian Al-Husain diperlakukan seperti tawanan, tidak dapat memiliki dan memanfaatkan dirinya sendiri, dan ia juga tidak dapat menolak kerugian yang akan menimpa dirinya. Dan kalian mencegah dan menghalangi dirinya, kaum wanitanya, anak-anaknya serta sahabat-sahabatnya untuk mendapatkan air sungai Furat.

Air yang mengalir dan diminum oleh orang Yahudi, Majusi dan Nasrani dengan cuma-cuma. Bahkan tempat babi dan anjing gurun minum dan berkubang. Sedangkan lihatlah disana, keluarga Nabi kalian telah tercekik oleh rasa dahaga. Celakalah kalian atas balas budi kalian kepada Muhammad Rasulullah, dengan perlakuan kalian terhadap anak keturunannya! Allah tidak akan memberi kalian minum disaat kalian kehausan bila kalian tidak bertaubat, dan mencabut kembali rencana yang akan kalian lakukan hari ini!”

Kemudian Umar Bin Sa’d maju kedepan pasukannya, melesatkan anak panah sambil berteriak bangga: “Berilah kesaksian kepada Ibnu Ziyad bahwa akulah orang pertama yang melesatkan anak panah.”

Pasukan Umar Bin Sa’d mulai mengikuti dengan melesatkan anak panah, hingga langit menghitam penuh dengan ribuan anak panah laksana hujan. Al-Husain berpesan kepada pengikutnya: “Bersiaplah untuk menerima kematian, yang mana semua orang akan merasakannya. Sesungguhnya anak panah ini adalah pesan mereka kepada kita."

Para pengikut Imam yang terpencar kemudian bergabung, namun mereka tidak dapat membendung hujanan anak panah, sehingga gugurlah 50 pengikut Al-Husain sebagai Syuhada. Ketika Imam melihat begitu banyak pengikutnya yang terbunuh dengan begitu cepat. Al-Husain memerintahkan pengikutnya untuk bergabung dalam satu barisan. Pengikut Imam yang tersisa mulai meminta izin untuk bertempur.

Datanglah dari pihak musuh Yisar dan Salim, dan mereka berdua menantang siapa dari pihak Imam yang berani berperang dengan mereka. Maka majulah seorang pemuda yang bernama Abdullah Bin Umair, setelah meminta izin kepada Imam untuk berperang. Dengan segera Abdullah melesat maju, lalu berteriak mengutuk mereka sambil menghunus pedang.

Abdullah langsung memukul Yisar dengan pedangnya, lalu Salim datang sambil mengayunkan pedang kepadanya. Abdullah menggunakan tangan kirinya untuk menahan serangan pedang Salim. Dan pedang Salim mengenai jari Abdullah, hingga semua jari kiri Abdullah terputus. Tetapi itu tidak menghentikannya. Abdullah terus memburu Salim hingga membunuhnya, lalu segera mengejar Yisar yang ingin melarikan diri dan juga membunuhnya.

Dengan membawa tongkat kayu untuk membela suaminya, istri Abdullah yang bernama Ummu Wahab mendekati suaminya, untuk memberi semangat kepada suaminya agar melanjutkan pertempuran. Abdullah memintanya untuk kembali ketenda para wanita. Namun istrinya menolak dan berkata: “Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, engkau adalah pahlawan pembela orang-orang mulia anak cucu Muhammad. Aku ingin bergabung dalam pertempuran dengan menggunakan tongkat ini. Aku tidak akan meninggalkanmu tanpa mati bersamamu.”

Setelah menghadap Al-Husain, Abdullah Bin Umair tampil lagi kedepan menghadapi pasukan Syimir yang menyerang kemah Al-Husain dari sisi kiri. Dan Abdullah membunuh 19 pasukan berkuda dan 12 pasukan pejalan kaki. Namun musuh datang dari belakang dan menebas tangan kanan Abdullah hingga terputus. Dari sisi yang lain musuh juga menebas kaki Abdullah hingga kaki itu bergelantung pada kulitnya hampir terputus.

Kemudian musuh menyeret Abdullah yang sudah tidak berdaya, dan membawa ke kemah mereka. Di kemah itu Abdullah disiksa terlebih dahulu, setelah puas menyiksanya kemudian Abdullah dibunuh, lalu tubuhnya dilemparkan ketengah medan pertempuran. Istri Abdullah, Ummu Wahab berlari menghampiri jasad suaminya, lalu memeluknya, membersihkan darah pada tubuh suaminya dan mencium keningnya sambil berkata: “Duhai suamiku, surga untuk engkau. Allah akan menyatukan kita kembali di surga.”

Dikemah para wanita keluarga Nabi, seorang wanita tua yang bernama Qamar memerintahkan anak laki-lakinya yang bernama Wahab, agar segera maju kepertempuran untuk membela Imam. Qamar berkata kepada anaknya: “Duhai anakku, bangkitlah dan tolonglah putera Rasulullah.” Kemudian Wahab menjawab: “Duhai ibuku, aku akan melaksanakan perintahmu.”

Mendengar jawaban puteranya, wanita tua itu mengucurkan air mata, dan merasakan kegembiraan yang begitu besar. Ia merasa bangga puteranya maju membela Al-Husain. Istri Wahab yang bernama Haniyyah merasa berat berpisah dengan suaminya. Ia berkata kepada suaminya: “Duhai suamiku, aku takut ketika engkau memasuki surga engkau akan melupakan aku.”

Kemudian Wahab dan istrinya menghadap Imam, istri Wahab meminta dua permintaan kepada Imam, yang pertama setelah suaminya terbunuh ia diberi izin untuk senantiasa bergabung dengan keluarga Rasulullah. Dan yang kedua, setelah suaminya terbunuh sebagai Syuhada’ dan dibangkitkan pada hari kebangkitan, ia memohon kepada Imam untuk bersaksi bahwa suaminya tidak akan melupakannya.

Imam meneteskan air mata ketika mendengar kedua permintaan itu, dan berjanji akan memenuhi kedua permintaan itu. Maka majulah Wahab kemedan pertempuran, ia berhasil membunuh beberapa pasukan musuh. Kemudian ia menghampiri ibunya dan berkata: “Duhai ibuku, apakah engkau telah Ridha kepadaku?” Kemudian ibunya menjawab: “Aku belum Ridha, wahai anakku.”

Mendengar jawaban ibunya Wahab kembali segera kemedan pertempuran, dan membunuh tiga puluh sembilan pasukan musuh. Wahab diserang begitu banyak musuh, hingga musuh menebas kedua tangan Wahab hingga terputus. Tanpa kedua tangannya Wahab tidak berdaya saat ia diseret dan dibawa kehadapan Umar Bin Sa’ad. Lalu Umar Bin Sa’ad memerintahkan para penjagalnya untuk menyembelih leher Wahab hingga leher itu terputus. Dan melemparkan kepala Wahab kekemah Al-Husain.

Kepala itupun jatuh tepat dihadapan Ibunya Wahab. Ibunya mengenali kepala puteranya, ia ambil potongan kepala anaknya dan ia peluk dan menciumi potongan kepala puteranya sambil menangis ia berkata: “Duhai puteraku sayang, sungguh aku sekarang telah Ridha dan sangat bangga kepadamu. Engkau telah memutihkan wajahku dengan kematianmu, dan tidak membuat aku malu dihadapan Fathimah. Duhai puteraku, sampaikanlah salamku kepada Fathimah.”

Istri Wahab mengambil kepala suaminya, ia mencium dan membersihkan darah-darah yang melekat pada wajah suaminya. Belum selesai Haniyyah membersihkan wajah suaminya, tiba-tiba Syimir memerintahkankan budaknya Rustam, yang memegang Penggada besar untuk memukul kepala Ummu Wahab. Sekejap ketika Gada Besi itu menghantam, kepala wanita mulia itu menyemburkan darah dan hancur. Tidak cukup sampai disitu, Rustam kemudian memotong leher Haniyyah yang sudah tidak bernyawa, hingga leher wanita mulia itu terputus. Kemudian kepala itu dijinjing dan juga dilemparkan kedalam kemah Al-Husain.

Para pengikut Al-Husain tinggal sedikit, tetapi mereka adalah para pahlawan perang, yang menyebabkan pasukan musuh kocar-kacir dan banyak yang terbunuh. Ibnu Hajjaj mencoba menyerang kemah Al-Husain dari arah sungai. Sahabat Imam, Muslim Bin Awsajah, berusaha menahan serangan Ibnu Hajjaj, akan tetapi pasukan musuh terlalu banyak. Tubuh Muslim Bin Awsajah sudah dipenuhi luka dan darah, dan tebasan pedang musuh yang terakhir begitu keras mengenai tubuh Muslim dan membuatnya terjatuh.

Ibnu Hajjaj dan pasukannya meninggalkan Muslim yang sudah tidak berdaya, setelah debu peperangan itu turun, pengikut Al-Husain mendapati tubuh Muslim Bin Awsajah sedang terkulai lemah dalam keadaan sekarat. Imam mendatanginya dan menemui sahabat setianya itu yang dalam keadaan menghadapi maut. Dengan uraian air mata Imam berkata: “Allah merahmatimu wahai Muslim, kita semua akan menuju kematian. Diantara orang-orang Mu’min, ada yang menepati janjinya kepada Allah dengan kematian, dan ada pula yang sedang menunggu, dan mereka tidak sedikitpun mengubah janjinya.”

Lalu Habib Bin Mudhahir mendekati Muslim Bin Awsajah dan berkata: “Wahai sahabatku, kematianmu sangat berat bagiku, aku menyampaikan kabar gembira akan surga yang sebentar lagi akan engkau datangi. Meskipun aku tahu bahwa sebentar lagi aku pun akan segera menyusulmu, tetapi aku ingin engkau berwasiat kepadaku untuk melakukan segala sesuatu yang engkau anggap penting, baik dalam urusan keluarga maupun hutang.”

Kemudian Muslim menjawab dengan suara lemah: “Baiklah, Allah merahmatimu, aku berwasiat kepadamu, (sambil menunjukkan tangannya kepada Al-Husain) agar engkau mati dan menyusulku, untuk melindungi Imam.”

Sambil menangis Habib menjawab: “Duhai sahabatku, Demi Allah Pelindung Ka’bah! Aku pasti akan melakukannya.”

Sementara itu Syimir datang semakin dekat, ia dan pasukannya menyerang kemah Imam dengan tombak berapi. Para wanita menjerit dan anak-anak menangis. Zuhair Bin Qain dan sepuluh sahabat Imam lainnya menyerang Syimir dan pasukannya. Lalu terjadilah pertempuran hebat hingga akhirnya Syimir lari menjauh.

Umar Bin Sa’ad mengirim Hashin Bin Namir dengan lima ratus pasukan pemanah. Kemah Al-Husain dihujani panah dan banyak melukai kuda dan unta pembela Imam. Umar Bin Sa’ad memerintahkan pasukannya untuk membakar seluruh kemah keluarga Nabi, hingga hanya sedikit kemah yang tersisa. Anak-anak menangis semakin histeris karena ketakutan dan para wanita menjerit melindungi anak-anak mereka.

Imam berkata: “Biarkan mereka membakar kemah. Keluarlah kalian dari kemah dan gunakanlah api untuk melindungi kalian dari serangan musuh.”

Api berkobar membakar hampir seluruh kemah milik keluarga Nabi, kini tidak ada lagi tempat berlindung bagi anak-cucu Fathimah. Anak-anak kecil dan para wanita sekarang berdiri ditengah kobaran api dan terik matahari yang begitu menyengat. Mereka yang tidak berdosa ini harus dihadapkan dengan pemandangan yang sangat mengerikan.

Seorang sahabat Al-Husain Abu Tsumamah Saidi melihat kearah matahari yang teramat terik, ia lalu berkata kepada Imam; “Duhai Pemimpinku, aku melihat orang-orang ini tidak akan pergi dan tidak akan puas sebelum mereka membunuhmu. Demi Allah, engkau tidak akan terbunuh sebelum aku terbunuh terlebih dahulu. Namun aku ingin bertemu dengan Allah setelah aku shalat dibelakangmu”

Lalu Imam mengarahkan wajahnya kelangit dan berkata: “Engkau telah mengingatkan waktu shalat, semoga Allah akan menempatkan engkau diantara orang-orang yang shalat. Ini adalah waktunya, beritahukan agar mereka memberikan waktu untuk kita melaksanakan shalat.”

Kemudian pengikut Imam meminta kepada pihak musuh untuk memberikan waktu untuk melaksanakan Shalat. Salah seorang komandan musuh berteriak: “Shalat kalian tidak akan diterima oleh Allah!” Mendengar teriakan musuh, Habib Bin Mudhahir sangat marah. Habib pun berteriak lantang: “Engkau katakan Shalat keluarga Nabi tidak diterima, dan Shalat engkau yang diterima?!”

Habib langsung menyerang komandan musuh itu, dan mengayunkan pedangnya. Komandan pasukan musuh itu menghindar, dan pedang Habib mengenai kudanya dan membuat komandan itu jatuh tersungkur menghantam tanah. Habib menguasai pertempuran dan dapat membunuh enam puluh dua pasukan musuh.

Namun dari arah belakang datang musuh dan menancapkan tombak dengan sangat keras kepunggung Habib, hingga tombak itu tembus kedadanya. Seketika Habib mengarahkan wajahnya kepada Al-Husain dan berteriak: “Alaika Minni Salam Ya Aba Abdillah.” Dari depan datang musuh dengan cepat dan langsung sekuat tenaga menebas leher sahabat setia Al-Husain ini dan leher Habib-pun terkoyak dengan kepala yang hampir terputus.

Tidak tahan melihat kondisi Habib yang mengenaskan, secepat kilat Hurr Ar Riyahi maju kemedan pertempuran. Dan terjadilah peperangan yang dahsyat, pedang Al Hurr berkelebat cepat menebas setiap musuh yang ada dihadapannya. Bak Singa marah Al-Hurr memporak porandakan pasukan musuh. Dengan siasat licik pasukan musuh melukai kuda Al Hurr hingga kuda perang itu terluka dan jatuh tersungkur.

Maka Al Hurr meninggalkan kudanya dan berperang sendiri, dengan cepat Al Hurr dapat membunuh empat puluh satu pasukan musuh. Melihat pahlawan perang itu bertempur dengan hebat, pasukan musuh merasa takut dan melakukan siasat licik dengan mengepung dan bersama-sama menyerang Al Hurr.

Begitu banyak musuh yang menyerangnya Al Hurr mulai kehabisan tenaga, dan mulailah pasukan musuh dapat menebaskan pedang dan menancapkan tombak ketubuh Al Hurr. Dan tikaman-tikam itu merobek-robek tubuh Al Hurr yang sudah melemah. Darah memancar dari setiap luka ditubuh Al Hurr, dan melumuri hampir disekujur tubuhnya. Tak tahan menahan rasa sakit yang menyayat tubuhnya Al Hurr terjatuh dan menjerit: “Alaika Minni Salam Ya Aba Abdillah.”

Melihat tubuh Al Hurr tersungkur, pihak musuh tidak menyia-nyiakan kesempatan. Mereka kembali bersama-sama menghujam tubuh Al Hurr dengan tusukan dan tikaman, hingga tubuh Al Hurr rusak, hingga ia menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Para pengikut Imam yang tersisa melesat maju untuk mengambil tubuh Al Hurr agar tidak dicincang oleh pihak musuh, dan membawa tubuh Al Hurr kekemah Al-Husain. Melihat tubuh Al Hurr, Imam menangis sambil memandangi wajah Al Hurr, lalu

Imam berkata: “Nilai pengorbanan dari peperangan bersama putera-putera Rasulullah, sepadan dengan pengorbanan pada peperangan Rasulullah.”

Kemudian Imam membersihkan darah dari wajah Al Hurr yang sudah tidak bernyawa, sambil berkata: “Engkau telah merdeka seperti nama yang telah diberikan ibumu, engkau telah bebas dari dunia yang fana ini dan menuju kealam keabadianmu.”

Setelah itu Al-Husain kemudian Shalat bersama para sahabatnya yang tersisa. Ketika Imam melaksanakan shalat, dua sahabat Imam, Zuhair Bin Qa’in dan Sa’id Bin Abdullah berdiri didepan Imam, untuk melindungi Imam dari serangan musuh. Melihat Imam sedang shalat pihak musuh biadab itu menghujani Imam dengan panah. Sa’id Bin Abdullah menahan hujan panah itu dengan tubuhnya, anak panah menancap ditubuhnya satu persatu.

Demi melindungi Imam tidak ada satupun anak panah yang ia hindari. Tidak kurang ada tiga belas anak panah yang menancap ditubuh sahabat setia Imam ini, sambil merintih karena menahan rasa sakit Sa’id bin Abdullah berkata: “Ya Allah kutuklah mereka. Kutuklah mereka yang tidak membantu dan menolong keturunan Nabi-Mu.”

Karena menahan rasa sakit tubuh Sa’id bergetar dan ia tetap berusaha berdiri dengan tiga belas anak panah yang menancap ditubuhnya, hingga Imam menyelesaikan shalatnya. Setelah Imam selesai shalat maka tubuh yang sudah penuh dengan anak panah itupun jatuh tersungkur. Kemudian Sa’id sambil memandangi wajah Imam dan berkata: “Ya Aba Abdillah, engkau adalah pemimpinku.”

Imam menangis menyaksikan kesetiaan sahabat setianya itu yang sedang menghembuskan nafasnya yang terakhir, dan berkata kepada Sa’id: “Engkau akan berada di surga sebelum kami.”

Lalu Al-Husain berdiri dan berkata kepada para sahabatnya yang tersisa: “Wahai orang-orang terhormat! Ini adalah surga, pintu surga telah terbuka dan Rasulullah bersama para Syuhada’ sedang menanti kita. Lindungilah agama Allah dan Rasul-Nya, dan lindungilah para wanita keluarga Rasulullah.”

Dan sahabat Imam menjawab: “Jiwa-jiwa kami untuk jiwamu, dan darah kami untuk darahmu. Demi Allah! Selama kami masih hidup, tidak akan ada seorangpun yang dapat menyakiti keluargamu.”

Melihat kondisi seperti ini Umar Bin Sa’ad memerintahkan pasukan pemanah untuk terus menghujani Al-Husain dengan anak panah. Dan memerintahkan pasukan berpedang untuk memotong kaki-kaki kuda pengikut Al-Husain. Hingga tersisa hanya seekor kuda.

Para pengikut Imam bersiap untuk segera maju kemedan pertempuran, satu persatu mereka maju meminta izin kepada Imam dan berkata: “Salam damai atasmu, wahai cucu Rasulullah.”

Maka majulah sahabat Imam satu persatu, Abu Tsumamah Sa’idi maju untuk bertempur hingga ia terbunuh. Kemudian Sulaiman Bin Mazarib Bajali maju berperang dan ia pun terbunuh. Giliran Zuhair Bin Qa’in meminta izin kepada Imam untuk maju kemedan pertempuran. Setelah memberi izin, kemudian Imam berkata kepada Zuhair: “Kami akan segera menyusul dibelakangmu.”

Segera Zuhair melesat cepat memasuki medan pertempuran, ia adalah seorang pahlawan perang Kufah, dengan cepat ia dapat membunuh tidak kurang dari seratus dua puluh musuh. Namun musuh yang berjumlah puluhan ribu itu bukanlah lawan yang seimbang.

Karena tercekik rasa dahaga maka gerakan Zuhair mulai melemah, musuh bersama-sama menyerang Zuhair dan mencabik-cabik tubuh Zuhair dengan pedang dan tombak. Darah membasahi tubuh Zuhair yang sudah terjatuh. Dengan sisa tenaganya Zuhair merangkak mencari Al-Husain, setelah ia melihat wajah Imam maka Zuhair berucap: “Alaika Minni Salam Ya Aba Abdillah.” Kemudian Zuhair pun Syahid.

Pasukan musuh kembali menghujani Al-Husain dengan anak panah, melihat begitu banyak anak panah yang melesat menghujani Imam, seorang sahabat Imam yang bernama Amr Bin Qardhah Anshari melompat melindungi Imam dengan tubuhnya, dari hujanan anak panah musuh. Hingga puluhan anak panah itu menembus tubuhnya, maka ia pun perlahan terjatuh sambil memandangi wajah Imam dan bibirnya bergetar mengucapkan: “Alaika Minni Salam Ya Aba Abdillah”.

Dari pihak musuh ada saudara Amr Bin Qardhah yang melihat terbunuhnya Amr, saudara Amr itu berteriak memanggil Imam dari kejauhan, “Wahai Husain, wahai pendusta! Engkau telah menipu saudaraku hingga engkau membunuhnya.”

Kemudian Imam menjawab: “Aku tidak membunuh saudaramu! Allah telah membimbingnya menuju kebenaran.”

Sambil mengancam ingin membunuh Imam, laki-laki itu segera berlari kearah Imam, tetapi Nafi’ Bin Hilal Jamali menghadang dan menebasnya dengan pedang hingga laki-laki itu terbunuh. Nafi’ terus bertempur menghadapi musuh yang lain. Dan membunuh dua belas orang dengan panahnya. Setelah anak panahnya habis, Nafi’ Bin Hilal mencabut pedang dan berlari ketengah medan pertempuran.

Tetapi pihak musuh menggunakan ketapel batu, yang melayangkan batu cadas kearah kepala Nafi’, hingga batu cadas itu tepat mengenai kepalanya dengan keras. Nafi’ pun tersungkur dan tidak dapat berperang lagi karena luka yang teramat parah dikepalanya. Kemudian pihak musuh menyeret tubuh Nafi’ yang sudah sekarat dengan kuda, dan membawanya kepada Umar Bin Sa’ad.

Umar Bin Sa’ad bertanya kepada Nafi’, “Mengapa engkau lakukan ini pada dirimu?” Lalu Nafi’ menjawab lemah; “Demi Allah! Aku telah membunuh dua belas pasukanmu dan melukai yang lain. Aku tidak akan pernah memohon padamu untuk dibebaskan dari apapun. Selama aku masih hidup, aku tidak akan membiarkan engkau hidup!”

Mendengar jawaban Nafi’, Syimir menghampirinya. Dan menarik rambut Nafi’ lalu meletakkan mata pedangnya dileher Nafi’. Seketika dengan kejam Syimir mulai menekan mata pedangnya dileher Nafi’ dan menggerak-gerakkan pedangnya kedepan dan kebelakang, menggorok leher sahabat Al-Husain itu hingga terputus.

Dari pihak musuh Ibnu Ma’qil maju ketengah dan berteriak menantang salah satu sahabat Imam, Burair Bin Hudhair. Ibnu Ma’qil berteriak, “Wahai Burair! Bagaimana engkau yakin bahwa Allah bersamamu?”

Burair segera menjawab: “Allah telah memilih apa yang terbaik untukku dan apa yang terburuk untukmu. Lupakah ketika engkau mengecam Muawiyyah dan menyebutnya sesat? Akan tetapi saat ini engkau berada didalam kelompoknya!”

Burair menantang Ibnu Ma’qil untuk bertempur dengan bermubahalah. Siapa diantara mereka berdua yang menang dalam pertempuran, berarti Allah telah mengalahkan dan membunuh mereka yang jahat. Dan Ibnu Ma’qil menyetujuinya dan merekapun bertarung. Akhirnya Burair berhasil menebaskan pedangnya keleher Ibnu Ma’qil dan membunuhnya.

Ketika Burair ingin kembali kekemah Al-Husain, seorang musuh datang dari belakang dan langsung menikam Burair, hingga pedang musuh itu menembus tubuh Burair hingga keperutnya. Sambil memegang pedang yang menancap pada tubuhnya Burair menatapkan wajahnya kearah Imam dan mengucapkan salam “Alaika Minni Salam Ya Aba Abdillah”.

Handhalah Bin Sa’d Syab’ami mendekat kesisi Imam, dan berkata kepada Imam: “Orang-orang ini layak mendapatkan hukuman Allah, ketika mereka menolak panggilanmu dan telah membunuh semua sahabat serta pengikutmu. Duhai Imam, tolong jangan cegah aku untuk menghadapi mereka.”

Kemudian Handhalah maju ketengah medan pertempuran dan membunuh beberapa orang musuh, seperti sahabat Imam yang lainnya karena jumlah musuh terlalu banyak, tenaga Handhalah pun melemah. Maka pedang dan tombak musuh dengan mudah menyayat-nyayat tubuh Handhalah. Kemudian sahabat Imam itupun jatuh terjerembab ketanah dan gugur sebagai Syuhada’.

Sahabat Imam yaitu Abish Bin Syabib Syakiri datang menghampiri Imam dan berkata: “Duhai Imam, tidak ada seorangpun yang lebih menyayangi diriku dimuka bumi ini kecuali engkau. Jika aku dapat membantumu dengan apapun yang lebih berharga dari jiwaku, maka aku akan melakukannya. Duhai pemimpinku, semoga kedamaian selalu bersamamu. Aku bersaksi bahwa engkau selalu berada pada jalan kebenaran.”

Setelah meminta izin Imam, Abish mengambil pedangnya. maka tampillah Abish Bin Syabib kemedan pertempuran. Pembela Al-Husain yang gagah berani ini berteriak lantang kearah musuh: “Siapa yang ingin bertarung denganku?” Pasukan musuh mengenal Abish, sehingga tidak ada satupun dari pihak musuh yang berani menjawab tantangan Abish.

Karena takut melawan Abish, maka pihak musuh menyiapkan ketapel batu. Melihat siasat musuh yang pengecut itu, maka Abish segera mengambil perisai dan topi perangnya. Dan dengan cepat menyerang musuh, banyak pihak musuh yang terbunuh ditangan Abish. Dan lebih dari dua ratus pasukan musuh lari tunggang langgang menghindari serangan Abish yang hebat.

Namun kembali mereka menyiapkan ketapel batu, dan menyerang Abish dari semua arah. Hujanan Batu cadas itupun menimpa Abish, dan pembela keluarga Nabi inipun tidak dapat menghindarinya, karena terlalu banyak batu yang menghujaninya. Maka batu cadas itupun banyak menghantam tubuh Abish, dan ada batu yang tepat mengenai kepala Abish, sehingga kepala sahabat Imam itu hancur, dan tubuh Abish yang nyaris hancur itupun jatuh tergeletak meregang nyawa.

Setelah itu majulah Jun Bin Hawi Nauba seorang budak dari Afrika, ia datang menghadap Imam dan meminta izin untuk berperang. Imam berkata: “Wahai Jun, engkau bergabung denganku bukan untuk berperang.”

Mendengar jawaban Imam, Jun langsung menangis dan bersujud dikaki Imam, sambil berkata: “Duhai tuanku, aku mengikuti engkau dalam keadaan aman, dan aku tidak akan meninggalkan engkau dalam keadaan sukar. Aku menyadari bahwa aku tidak memiliki silsilah dan keturunan yang sempurna. Karena aku hanyalah seorang budak berkulit hitam legam yang sangat hina. Duhai tuanku, beri aku kesempatan untuk memasuki surga, sebagai penghormatan aku kepadamu. Sungguh, aku tidak akan meninggalkan engkau sampai darah hitamku yang hina ini, bergabung dengan darah sucimu.”

Lalu dengan berat hati Imam mengizinkan Jun untuk pergi berperang, maka majulah manusia mulia ini menghampiri musuh. Jun berperang dengan tangkas dan gagah berani. Ia mampu membunuh tiga ratus dua puluh empat pasukan musuh. Namun Jun kehabisan tenaga, dan pihak musuh menggunakan kesempatan ini untuk mengepung Jun dan mencabik-cabik tubuhnya dengan pedang dan tombak. Karena begitu banyak luka dan darah yang keluar, maka Jun Bin Hawi Nauba pun terjatuh.

Dengan tenaga yang tersisa Jun merangkak menghampiri Imam, dengan segera Imam menjemput Jun dan membawanya kekemah. Imam membersihkan wajah Jun yang sedang menghadapi maut, kemudian Imam mencium kening Jun dan mendoakannya. Dengan suara lemah Jun berkata kepada Imam: “Duhai tuanku, jangan engkau kotori bibir sucimu dengan mencium budak yang kotor dan hina ini.”

Selanjutnya giliran sahabat Imam yaitu Anas Bin Harist maju meminta izin. Ia sudah teramat tua, hingga alis putihnya hampir menutupi matanya. Ia adalah sahabat Rasulullah dan Amirul Mu’minin Ali Bin Abi Thalib. Ia telah berperang bersama Rasul dipertempuran Badr dan Hunain. Ketika ia menghadap Imam, tubuhnya yang sudah bungkuk ia sanggah dengan tongkat agar terlihat masih gagah.

Imam berkata: “Duhai kakek, engkau seharusnya sudah menikmati masa tua mu dengan beristirahat bersama cucu-cucumu. Sudah cukup perjuanganmu bersama kakekku Rasulullah di Badr dan Hunain.”

Maka Anas Bin Harist menjawab: “Duhai pemimpinku, tidak lengkap jika di akhir hidupku hanya berdiam diri melihat cucu Nabi ku, putera Amirul Mu’minin dan Fathimah Az Zahra’, tengah berjuang menegakkan ajaran Allah, tanpa ada yang menolongnya. Duhai pemimpinku, jika aku tidak menolongmu apa yang akan aku katakan jika nanti aku berjumpa dengan kekasihku Muhammad? Aku ingin bertemu kekasihku Muhammad dengan luka dan darah disekujur tubuhku.”

Dengan sangat berat hati Al-Husain mengizinkan Anas untuk turun kemedan pertempuran. Anas teringat berperang dengan Rasulullah dalam menegakkan Islam di Badr dan Hunain. Dengan gagah berani sahabat Rasul itu menghadapi pasukan musuh dan dapat membunuh delapan belas pasukan musuh.

Karena usianya yang sudah teramat uzur maka sahabat Nabi itu kelelahan, lalu pasukan musuh dengan kejam membunuh sahabat Nabi yang sudah tua itu. Tubuh bungkuknya dipenuhi luka sayatan dan tusukan, dan ia pun jatuh terkulai dengan darah disekujur tubuhnya. Kemudian perlahan ia menghembuskan nafasnya yang terakhir, untuk menjumpai kekasihnya Muhammad.

Amr Bin Junada Anshari, usianya baru genap sebelas tahun. Dengan bibir kering karena dahaga, anak kecil itu datang menghampiri Imam. Pedang yang ia bawa hampir sama tingginya dengan tubuhnya. Anak yang usianya masih sangat belia itu menggunakan baju perang yang kebesaran, lalu menghadap Imam dan meminta izin untuk ikut dalam pertempuran.

Al-Husain pun menunduk haru dan berkata: “Cukup ayahmu saja yang telah terbunuh. Dan tentu ibumu tidak ingin engkau ikut berperang.” Maka anak yang masih kecil itu menjawab: “Duhai Imam, ibuku-lah yang telah mendandani aku dengan pakaian perang ini, dan ia yang memerintahkan aku untuk membelamu, karena itulah aku meminta izin kepada engkau.”

Dengan perasaan terpaksa dan pilu, maka Al-Husain mengizinkan Amr Bin Junada untuk berperang. Tanpa ada rasa takut sedikitpun, anak kecil itu maju ketengah kemedan pertempuran. Karena masih anak-anak Amr hanya sebentar berdiri dimedan pertempuran. Dengan biadab pasukan musuh menebas leher kecil itu, seketika kepala anak kecil itu terputus dan jatuh ketanah.

Kemudian musuh mengambil kepala anak itu dan melemparkannya kekemah Al-Husain. Ibu anak itu mengenali kepala anaknya dan berlari mengambil potongan kepala anak kesayangannya itu. Kemudian ia menangis dan menciumi seluruh wajah anaknya, sambil terisak ia berkata: “Duhai anakku sayang, aku teramat bangga kepadamu. Ibunda Fathimah akan menyambutmu di surga dan akan memberimu air, sampaikanlah salam ibumu ini kepada Fathimah.”

ALI AL-AKBAR BIN HUSEIN DAN QASIM BIN HASAN ALAYHIMUS SALAM.

Saat ini tak seorangpun sahabatnya yang tersisa. Kini hanya tinggal keluarga Imam, maka majulah seorang pemuda yang wajahnya dan perilakunya sangat serupa dengan Rasulullah. Dia adalah Ali Al-Akbar Bin Husain Bin Ali Bin Abi Thalib. Para wanita menangis histeris melihat Ali Al-Akbar maju kemedan pertempuran. Ali Al-Akbar segera maju menyerang musuh sambil bersyair:

Aku adalah Ali Bin Husain Bin Ali
Dibanding siapapun kami lebih dekat nasabnya kepada Nabi
Sesengguhnya kalian tidak memiliki hak atas kami
Aku akan berjuang untuk melindungi ayahku ini
Dalam medan pertempuran antara Quraish dengan Bani Hasyimi

Ketika Imam mendengar Syair itu, Imam pun menangis dan berkata: “Wahai Umar Bin Sa’ad! Engkau tidak sedikitpun menghormati hubungan kami dengan Rasulullah. Allah akan mengirim seseorang untuk membunuhmu diatas tempat tidurmu.

Ya Allah. Sungguh tidak ada seorangpun yang paling serupa baik wajah, perilaku dan tutur katanya dengan Rasulullah, kecuali pemuda yang baru berangkat menemui musuh-musuh-Mu ini.

Kapan saja kami rindu dan ingin mengenang Nabi-Mu, kami akan memandangi wajah Ali Al-Akbar. Ya Allah, cegahlah ia dari mereka yang hanya menyembah dunia, cerai beraikan mereka dan jangan buat seorangpun membantu mereka.”

Ali Al-Akbar berperang sesekali pada sisi kanan dan sisi kiri, dan ia dapat membunuh seratus dua puluh pasukan berkuda musuh. Ali Al-Akbar kembali kepada ayahnya karena rasa dahaga yang membakar tenggorokannya dan berkata: “Duhai ayahku, adakah seteguk air untukku? Aku teramat haus.”

Imam menangis, kemudian Imam meletakkan lidahnya kelidah Ali Al-Akbar, seraya Ali Al-Akbar berkata: “Demi Allah, lidah ayahku lebih kering dari lidahku.” Lalu Imam memasukkan cincinnya kemulut anak kesayangannya itu, dan menyuruh puteranya untuk menghisapnya agar rasa dahaganya berkurang.

Ali Al-Akbar kembali kemedan peperangan, dan berhasil membunuh ratusan musuh lagi. Dari pihak musuh Murrah Bin munqidh berteriak: “Akan kubunuh anak laki-laki ini.”

Lalu musuh itupun memburu Ali Al-Akbar, ia menusuk punggung Ali Al-Akbar dari belakang dengan tombak, tidak cukup sampai disitu musuh itupun menusuk kepala cucu Fathimah itu. Ali Al-Akbar terjatuh, kemudian berdiri dan bersandar sambil memeluk leher kudanya. Tetapi kudanya berlari terus mengarah pada pasukan musuh.

Pasukan musuh pun mengelilinginya dan bersama-sama menyerang Ali Al-Akbar dari segala arah. Dan beramai-ramai musuh membabi buta dan bernafsu mengayunkan pedangnya menyayat tubuh Ali Al-Akbar, dan berniat untuk memotong-motong tubuh darah daging Az Zahra’ ini.

Ali Al-Akbar menjerit kepada ayahnya: “Salam atasmu duhai ayahku. Kini aku telah melihat kakekku telah datang untuk memberiku air. Dan beliau mengatakan air untukmu telah ada disini menantimu.”

Al-Husain menyeruak maju ke medan tempur untuk menjemput anak kesayangannya. Melihat Imam maju memacu kudanya, dari setiap gerakan Imam pihak musuh seperti melihat Singa Allah Ali Bin Abi Thalib. Badan mereka gemetar lalu pasukan musuh ketakutan dan lari berhamburan.

Al-Husain membawa jenazah puteranya dan meletakkannya dikemah, sambil menangis Imam meletakkan pipinya pada pipi puteranya yang sudah tidak bernyawa itu, sambil berkata: “Tidak ada apapun yang terbaik didunia ini setelah engkau. Hal yang sangat nista adalah ketika orang-orang ini menentang Allah, dengan menghina keluarga Rasulullah. Yang telah menyengsarakan kakekmu dan ayahmu. Ketika engkau memanggil mereka, tetapi mereka tidak menjawab panggilanmu. Dan ketika engkau meminta pertolongan pada mereka, namun mereka tidak mau membantumu.”

Zainab, Fathimah, Sukainah, Ummu Kultsum dan seluruh wanita keluarga Nabi menjerit dan menangis histeris, melihat tubuh Ali Al-Akbar yang telah terbujur. Mereka peluk jasad yang penuh luka dan berlumuran darah itu. Mereka pandangi wajah Ali Al-Akbar dan seakan mereka telah melihat wajah datuk mereka Rasulullah. Ini yang membuat mereka terus menangis.

Lalu majulah Abdullah Bin Muslim Bin Aqil, ia maju menyerang musuh dan membunuh beberapa musuh. Pasukan pemanah musuh yang bernama Ibnu Raqqad melesatkan anak panah kearah kepala Abdullah. Abdullah berusaha menahannya tetapi ia tidak dapat mengelak dari anak panah itu. Maka anak panah itupun menancap dikepala Abdullah. Dan anak panah yang lain melesat dan mengenai dadanya hingga menembus jantung Abdullah. Maka Abdullah gugur seketika.

Semua laki-laki yang tersisa diantara keluarga Abu Thalib, maju berperang secara bersamaan menyerang musuh. Mereka adalah Aun Bin Abdullah Bin Ja’far Ath Thayyar dan saudaranya Muhammad, Abdurrahman Bin Aqil dan saudarnya Ja’far, Hasan Mutsanna, Muhammad Bin Muslim Bin aqil dan Muhammad Bin Ali Bin Abi Thalib.

Melihat keluarga Nabi yang terkenal sebagai pahlawan dan ahli perang yang sangat pemberani. Banyak pihak musuh yang lari tunggang langgang ketakutan dengan serangan para Singa Allah ini.

Ribuan pasukan musuh tumbang tak bernyawa ditangan para Singa Allah, namun pihak musuh masih terlalu banyak bagi mereka. Dan akhirnya mereka semua gugur satu persatu dalam membela pemimpin mereka Al-Husain. Melihat begitu banyak keluarganya terbunuh Imam menangis dan mendoakan mereka.

Selanjutnya Qasim Bin Hasan Bin Ali Bin Abi Thalib maju meminta izin Imam untuk bertempur. Usia keponakan Imam ini masih Sembilan tahun. Imam sangat berat hati mengizinkan keponakannya yang masih kecil ini ikut berperang. Namun Qasim berkata: “Duhai pamanku, sebelum ayahku menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ia memanggilku dan membisikkan kepadaku: ‘Jika suatu saat engkau bersama pamanmu Husain dipadang Karbala’, aku meminta engkau untuk membelanya hingga tetesan darahmu yang terakhir.”

Mendengar perkataan Qasim, Imam menangis dan mengizinkan keponakannya itu untuk memenuhi keinginan kakak tercintanya Al-Hasan Al-Mujtaba. Maka majulah Qasim yang masih sangat belia menghampiri musuh. Ia memakai sandal dikakinya, ketika ia berjalan kemedan pertempuran salah satu tali pengikat sandalnya terputus.

Karena Qasim masih kecil ia tidak peduli dengan situasi yang mengerikan itu, ia berhenti sejenak dan merunduk untuk memperbaiki tali sandalnya. Pihak musuh mengelilingi Qasim yang masih kecil itu, dan memperhatikan Qasim yang sedang sibuk memperbaiki tali sandalnya.

Seorang musuh yang bernama Ibnu Nafil, maju untuk membunuh Qasim. Tapi musuh yang bernama Hamid menghadangnya dan berkata: “Apa yang engkau inginkan dari anak kecil ini? Tinggalkanlah ia! Tidaklah engkau melihat yang lain hanya mengelilinginya dan membiarkannya!” Ibnu Nafil terlaknat menjawab: “Tidak! Aku ingin membunuh anak kecil ini!”

Manusia laknat itu maju menghampiri Qasim sambil mengayunkan pedangnya ketangan Qasim yang masih memperbaiki tali sandalnya. Maka tangan keponakan Imam itu terkena sabetan pedang, hingga tangan anak kecil Al-Hasan itu hampir terputus dan tangan bergelantungan hanya pada kulitnya.

Qasim pun menjerit memanggil Al-Husain, “Duhai paman…” Lalu Ibnu Nafil dengan bengis kembali mengayunkan pedangnya kearah leher kecil cucu Fathimah Az Zahra’, dan leher itupun terputus dan kepala Qasim jatuh ketanah.

Al-Husain mendengar jeritan panggilan Qasim, dan Imam begitu cepat menerjang pasukan musuh. Imam menebas leher pembunuh biadab itu hingga leher musuh itu terputus. Sebelum lehernya terputus Ibnu Nafil menjerit keras agar pasukan yang lain membantunya, tetapi mereka tidak mampu melawan Al-Husain, dan masing-masing dari mereka lari menyelamatkan diri.

Ketika debu turun, Imam menangis dan berdiri sambil memegang kepala Qasim dan berkata: “Celakalah mereka yang telah membunuhmu. Duhai Qasim, pada hari penghakiman nanti, kakekmu akan memusuhi mereka. Teramat sulit untuk pamanmu hingga tak mampu membantumu. Sangatlah sulit bagi pamanmu untuk menjawab, tanpa mampu melakukan sesuatu untukmu.”

Al-Husain membawa kepala dan tubuh kecil Qasim kekemah, dan meletakkannya disebelah jasad Ali Al-Akbar, ketika melihat jasad-jasad keluarganya yang telah gugur Imam berucap: “Ya Allah, janganlah meninggalkan yang manapun sendirian, dan janganlah pernah memaafkan mereka yang telah melakukan kekejian ini. Duhai keluargaku, bersabarlah !”

INNALILLAHI WA INNA ILAYHI ROJI'UN.

ABU FADHL ABBAS DAN ALI AL-ASGHAR BIN HUSEIN ALAYHIMUS SALAM.

Saat saudara Al-Husain yaitu Abu Fadhl Abbas melihat peristiwa mengerikan ini, ia mengumpulkan semua saudara laki-lakinya; Abdullah, Ustman dan Ja’far. Mereka semua memutuskan untuk bertempur sebelum Abu Fadhl Abbas.

Abu Fadhl Abbas meminta izin untuk berperang, lalu Imam berkata: “Duhai saudaraku, sebagai ganti dari peperangan, pergilah dan ambillah air untuk anak-anak.” Abu Fadhl Abbas mendengar tangisan anak-anak karena kehausan. Fathimah anak Imam yang menghampiri Abu Fadhl Abbas sambil menangis dan memegang tangan Al-Abbas ia berkata: “Duhai pamanku, berjanjilah kepadaku untuk membawakan air untukku, aku sudah teramat haus.” Sambil menangis melihat keadaan keponakannya Abu Fadhl Abbas menjawab: “Duhai keponakanku sayang, aku berjanji padamu akan membawakan engkau air.”

Al-Abbas segera mengambil kudanya dan kantong air, dan pergi kearah pasukan musuh yang mengelilingi sungai Furat. Dan Al-Abbas pun berkata: “Wahai Umar Bin Sa’ad ! Ini adalah pesan al-Husain cucu Rasulullah. Engkau sudah membunuh semua sahabat dan keluarganya. Anak-anak dan wanita sedang kehausan. Berilah kesempatan mereka untuk minum.”

Ucapan Al-Abbas mempengaruhi pasukan musuh, namun manusia paling terlaknat yaitu Syimir Bin Dzil Jausyan menjawab: “Jika seluruh bumi ini diisi dengan air, kami tidak akan membiarkan kalian untuk minum walaupun hanya setetes air, kecuali jika kalian datang dan memberi sumpah setia kepada Yazid Bin Muawiyyah!”

Mendengar jawaban Syimir, Al-Abbas tetap memacu kudanya kearah sungai Furat. Empat ribu pasukan musuh mengepung dan memanahi Abbas, tetapi Abbas tidak mempedulikannya. Ia tetap memacu kudanya menuju sungai dengan membawa panji ‘Al-Hamd’ bendera Rasulullah yang selalu digunakan dalam setiap peperangan.

Saat Al-Abbas mencapai sungai Furat, dirinya juga sangat merasakan haus. Ia menadahkan tangannya mengambil air untuk meminumnya, tetapi ia teringat dengan Al-Husain, anak-anak dan para wanita yang tengah tercekik rasa dahaga, lalu Al-Abbas membuang air dari tangannya, dan berucap: “Aku tidak ingin hidup setelah Imam Husain. Al-Husain, anak-anak dan para wanita tengan tercekik rasa dahaga, dan aku tidak akan minum selagi mereka kehausan. Ini bukanlah perintah agamaku untuk melakukannya.”

Abu Fadh Abbas segera mengisi kantung-kantung air dan kembali menuju kemah Al-Husain. Pasukan musuh menghalanginya dan Al-Abbas banyak membunuh pihak musuh sambil bertempur Abba berkata: “Aku tidak peduli akan kematian, hidupku adalah untuk melindungi pemimpinku Husain.”

Tentara musuh yang bernama Zaid Bin Rughad dengan licik bersembunyi, dan tiba-tiba muncul sambil mengayunkan pedangnya sekuat tenaga ketangan kanan Al-Abbas, hingga tangan kanan Al-Abbas terputus. Al-Abbas mengunakan tangan kirinya untuk membawa katung air. Sambil terus memacu kudanya Al-Abbas berkata: “Walaupun kalian memotong tangan kananku, aku akan tetap melindungi agamaku, kebenaran pemimpinku dan seluruh keluarga Rasulullah.”

Fadhl Abbas tidak mempedulikan rasa sakit dan tangannya yang telah terputus, ia tetap memacu kudanya untuk mengantarkan kantong air untuk anak-anak. Pasukan musuh yang bernama Hakim Bin Tufail yang juga tengah bersembunyi tiba-tiba muncul mengayunkan pedangnya dengan keras, menebas tangan kiri Al-Abbas hingga terputus. Lalu Abu Fadhl Abbas mengambil dan membawa kantung air dengan menggigitnya. Ia tidak peduli dengan rasa sakit dan kedua tangannya yang telah terputus. Pihak musuh memutari Al-Abbas, dan melesatlah anak panah menembus kantung air dimulut Al-Abbas dan air itupun tertumpah habis.

Dengan perasaan sedih dan pilu Abu Fadhl Abbas menatapi air yang tertumpah, ia menangis karena tidak dapat membawakan air untuk anak-anak. Setelah melihat kedatangan pamannya Al-Abbas dari kejauhan, Fathimah puteri Al-Husain segera berlari-lari di dalam kemah mencari wadah air, untuk menampung air yang dibawa oleh pamannya. Puteri Imam ini tidak mengetahui bahwa kedua tangan pamannya telah terputus dan air telah tertumpah.

Sesaat kemudian satu anak panah melesat dan menancap di dada Al-Abbas hingga menembus jantungnya. Dan pasukan yang lain menusuk kepala Al-Abbas dengan tombak dan tombak itupun masuk kekepala Al-Abbas. Lalu Abu Fadhl Abbas jatuh tersungkur sambil berteriak ke arah Imam: “Alaika minni Salam Ya Aba Abdillah, kedamaian untukmu, duhai Imam.”

Al-Husain seketika maju untuk menjemput saudaranya Al-Abbas, Namun Abu Fadhl Abbas melarangnya, seraya berkata: “Duhai saudaraku, janganlah engkau menjemputku dan membawaku ke kemah. Aku malu kepada puterimu Fathimah, karena aku tidak mampu membawakannya air, sedangkan aku telah berjanji padanya untuk membawakannya air.”

Melihat Al-Abbas gugur, Imam menangis dan berkata: “Sekarang tulang punggungku telah patah, dan aku tidak memiliki pilihan.” Imam terus menangis dan menghapus air matanya dengan lengan bajunya seraya berucap kearah musuh: “Apakah tak ada seorangpun yang mau membantu kami? Apakah tidak ada seorangpun yang mau memberi kami tempat berlindung ? Apakah tak seorangpun takut akan api neraka ?

Sukainah datang menghampirinya dan bertanya tentang pamannya Al-Abbas. Zainab membawa Sukainah kembali kekemah, dan para wanita keluarga Nabi mulai menangis pilu. Imam memandang sekelilingnya dan tidak melihat seorangpun keluarga laki-lakinya yang tersisa. Al-Husain menatap satu persatu wajah keluarganya yang masih tersisa. Kemudian Imam jenazah para pembelanya yang telah berlumuran darah.

Lalu Imam berkata lantang: “Apakah ada diantara kalian yang mau mengasuh keluarga Rasulullah ? Apakah ada diantara kalian yang takut akan Allah? Apakah ada diantara kalian yang mau membantu kami ?

Mendengar ucapan Imam, para wanita menangis dan meratap. Ali Zainal Abidin (As Sajjad) yang sedang sakit keras berusaha bangun dan mengambil pedang untuk berperang. Imam berkata kepada Ummu Kultsum: “Jangan biarkan ia terlibat dalam peperangan ini. Jika ia terbunuh tidak akan ada seorangpun yang akan membawa pesan Rasulullah dan jangan sampai bumi ini kosong dari keturunan kakekku Muhammad.”

Kemudian Imam meminta untuk memberikan puteranya yang masih bayi Ali Al-Asghar kepadanya, untuk mengucapkan salam perpisahan. Kemudian Zainab dan istri Imam yang bernama Robab memberikan bayi yang masih merah itu kepada Imam, sambil berkata kepada Imam: “Duhai suamiku, sudah tiga hari puteramu ini tidak merasakan air.”

Melihat bibir bayinya yang begitu kering, Imam menaiki kuda dan membawa bayinya kehadapan pasukan musuh dan berkata: “Celakalah kalian! berikanlah air kepada bayi yang masih menyusui ini. Tidaklah kalian melihat bayi ini meronta-ronta karena kehausan? Jika kalian ingin membunuhku, bayi ini tidak memiliki dosa untuk kalian musuhi. Ambillah bayi ini dan tolong berikan ia air.”

Melihat hal itu Umar Bin Sa’ad berkata kepada budaknya yang bernama Harmalah Bin Kahil: “Selesaikan masalah ini sekarang!” Lalu Harmalah membidikkan panah beracun kearah bayi yang dipegang Imam. Kala itu Imam baru selesai mengumandangkan Azan ditelinga puteranya yang masih merah itu dan baru saja Imam akan menciumnya. Seketika anak panah beracun itu dilesatkan dan tepat mengenai kerongkongan mungil itu dan mengoyaknya hingga menembus leher bagian belakang. cucu Az Zahra’ yang tak berdosa itu seketika meregangkan nyawanya.

Imam menangis dan turun dari kudanya, kemudian memanggil adiknya Zainab untuk memegang bayi yang sudah tidak lagi bernyawa itu. Sayyidah Zainab menjerit dan Imam menadahkan kedua tangannya untuk mengambil darah puteranya yang mengalir dari lehernyanya yang kecil. Kemudian Imam melemparkan darah puteranya ke langit, seraya berkata: “Ya Allah, saksikanlah apa yang telah mereka lakukan terhadap keluarga Nabi-Mu. Ya Allah, terimalah Qurban ini.”

Dengan tangisan yang pilu Imam mengorek tanah dengan pedang, untuk menguburkan putera kesayangannya itu, agar tubuh cucu Az Zahra’ itu tidak hancur terinjak kaki-kaki kuda para musuh Allah. Kemudian Al-Husain mengenakan pakaian Rasulullah, memakai baju besinya dan membawa pedang dan menaiki kudanya.

Kemudian Imam mendatangi pintu kemah dan memanggil seluruh keluarga wanitanya, “Duhai putriku Sukainah, Ya Fathimah, Ya Ummu Kultsum, Ya Zainab. Aku datang untuk mengucapkan selamat tinggal kepada kalian” Ketika Al-Husain ingin memacu kudanya, kuda yang ditungganginya tidak mau berjalan. Lalu Imam menoleh kebelakang, dilihatnya Sukainah sedang memeluk kaki kudanya sambil menangis tersedu-sedu.

Imam turun dari kudanya, kemudian memeluk puterinya sambil menghapus air mata dari kedua mata putrinya Imam berkata: “Duhai puteriku sayang, ketahuilah tangisanmu akan berlangsung lama, setelah aku pergi dari hadapanmu. Duhai wanita terpilih, janganlah kau membuat hatiku pedih dengan air matamu, selama nyawaku masih dalam ragaku. Ketika aku terbunuh engkaulah yang paling berhak menangisiku.”

Sambil terisak-isak Sukainah berkata: “Duhai ayahku sayang, apakah engkau akan mati dan apakah engkau Ridha untuk itu?” Sambil menangis Imam menjawab: “Bagaimana aku tidak akan mati, sementara tidak ada satu orangpun yang mau menolongku.”

Ketika Imam kembali ingin memacu kudanya, kuda itupun tetap tidak mau berjalan, Imam menoleh kembali kebelakang. Kali ini Imam melihat adiknya Zainab menangis histeris sambil memeluk kaki kudanya. Lalu Imam turun kembali dari kudanya dan memeluk Zainab.

Sayyidah Zainab berkata pada Imam: “Duhai kakakku sayang, izinkanlah adikmu ini menyampaikan dua amanat terakhir dari ibundamu Fathimah. Sebelum ibumu menghembuskan nafasnya yang terakhir, ia memanggilku dan berpesan kepadaku, ‘jika nanti kakakmu Husain akan berangkat untuk menjemput kesyahidan di Karbala, mintalah ia untuk menggunakan pakaian buruk ini, agar ia tidak ditelanjangi oleh musuhnya setelah ia syahid. Dan aku amanatkan kepadamu untuk mewakiliku, untuk mencium leher kakakmu Husain sebelum lehernya disembelih oleh musuhnya.’ Duhai kakakku, maka izinkanlah aku melaksanakan kedua amanat ibundamu itu.”

Mendengar Zainab menyebutkan nama ibunya, Fathimah. Imam menangis tersedu-sedu. Imam segera memakai pakaian yang diberikan oleh ibunya, untuk dipakai sebagai pakaian dalamnya. Lalu Zainab melaksanakan amanat ibundanya dan mencium leher suci Al-Husain. Inilah yang membuat seluruh penghuni langit tidak kuasa menahan tangis. 

Curahan Darah Di Karbala,
Menggenangi Segenggam Hati,
Terserap Habis Di dalam Dada,
Lalu Sulutkan Api,
Selamanya Akan Membara,
Hingga Kita Mati.

Imam mulai memacu kudanya sambil berkata: “Bagiku mati lebih baik dari pada menanggung malu, dan menanggung malu lebih baik dari pada masuk neraka.” Imam menyerang sayap kanan musuh, karena begitu hebatnya serangan yang dilancarkan oleh Imam, hingga sayap kanan musuh menjadi sayap kiri dan sayap kiri menjadi sayap kanan.

Imam berperang laksana ayahnya Amirul Mu’minin, hingga pasukan musuh tidak ubahnya seperti sekumpulan domba yang melarikan diri dari serangan seekor singa. Imam membunuh lebih dari empat ratus pasukan musuh. Pihak musuh berlarian bercerai berai seperti sekelompok belalang yang tertiup oleh angin topan. Karena serangan Imam begitu hebat, pasukan musuh berlarian menjauhi sungai.

Ketika Imam mulai mendekati sungai Umar Bin Sa’ad ketakutan dan berteriak: “Celaka sekiranya Husain dapat minum, Karena ia tidak akan membiarkan seorangpun dari kalian hidup.”

Lalu hewan laknat Hashin Bin Numair, melontarkan anak panahnya dan anak panah itu mengenai dagu Imam. Imam mencabut anak panah dari dagunya, dan darah mengalir deras dari dagu yang cucu Rasulullah. Setelah memanah Imam Nashim Bin Numair berteriak untuk mengelabui Al-Husain, :”Wahai Husain, kemah-kemah keluargamu sedang dijarah.” Mendengar itu Imam memacu kudanya meninggalkan tepian sungai dan kembali kekemah keluarganya untuk melindungi mereka.

Kemudian Imam mengumpulkan seluruh keluarga dan anak-anaknya, melihat darah yang mengalir deras dari dagu Imam, seluruh keluarganya menangis. Melihat keadaan Imam, dalam keadaan sakit keras Ali Zainal Abidin As Sajjad, tertatih menghampiri Imam dan berkata: “Duhai ayahku, izinkanlah aku mengucapkan salam perpisahan kepadamu.” Imam memeluk kemudian mecium Ali Zainal Abidin, dan menyerahkan rahasia kepemimpinan kepadanya.

Lalu Imam berpesan: “Kalian harus tetap tabah dan tegar dalam menghadapi kesulitan setelah ini, ketahuilah bahwa Allah akan melindungi dan menolong kalian dari musuh kalian. Janganlah kalian berputus asa, musuh kalian akan dihukum dengan siksaan yang sangat berat. Dan Allah akan memberikan kalian berbagai kemuliaan dan kenikmatan. Karena itu, janganlah kalian mengeluh, dan jangan mengatakan sesuatu yang membuat kalian terlihat lemah. Dan bersiaplah untuk menghadapi berbagai kesulitan.”

Kemudian Imam kembali melesat ketengah medan petempuran, pada serangan keduanya Imam dengan cepat membunuh seratus sembilan puluh lima pasukan musuh. Melihat pasukannya lari berhamburan, Umar Bin Sa’ad berkata: “Celakalah kalian! Tidakkah kalian tahu dengan dengan siapa kalian berhadapan? Dia adalah putera Ali Bin Abi Thalib yang telah membunuh para jagoan Arab.”

Maka dengan licik segera Umar Bin Sa’ad memerintahkan pasukan pemanah untuk memanah Al-Husain, dengan cepat empat ribu anak panah melesat memenuhi langit, dan mengarah kekemah dan Imam. Hingga terciptalah jarak antara Imam dan keluarganya.

Imam berteriak: “Celakalah kalian, wahai pengikut keluarga Abu Sufyan! Jika kalian tidak beragama dan tidak pula takut dengan hari kebangkitan. Maka jadilah orang-orang bebas di dunia ini!”

Lalu Syimir berkata: “Apa yang kau katakan, wahai putera Fathimah?” Dan Imam menjawab: “Yang berperang dengan kalian adalah aku. Para wanita itu tidak berdosa. Karena itu, cegahlah kejahatan kalian dari keluargaku. Selama aku masih hidup tidak ada seorangpun yang dapat menyentuh keluargaku.”

Syimir menyetujui permintaan Al-Husain, dan memerintahkan pasukannya untuk langsung menyerang kepada Imam. Peperangan hebat kembali bergejolak, dari setiap gerakan Imam ketika bertempur mereka teringat Singa Allah Amirul Mu’minin. Lalu pasukan Syimir mundur menjauhi Imam.

Lalu karena kelelahan Imam berhenti sejenak untuk beristirahat, tiba-tiba seseorang melepaskan ketapel batu, dan batu cadas itu tepat mengenai kening Imam. Darah mengalir diwajah Imam, kemudian Imam mengangkat bajunya untuk membersihkan darah dari wajahnya.

Belum selesai Imam membersihkan wajahnya, anak panah beracun melesat dan menghujam dada Imam. Racun itu membuat Imam lemah, Imam terhuyung dan hanya mampu berdiri ditempatnya.

Dan majulah hewan biadab yang bernama Malik Bin Nashr Kindi menghampiri Imam. Ia mencaci maki dan menghina Imam, lalu ia mencabut pedangnya dan memukul kepala Imam dengan begitu kuat, hingga menembus topi perang Imam. Maka darah memancar dari kepala yang selalu dibelai oleh Rasulullah.

Kemudian Imam melepas topi perangnya dan pergi menuju kemah, lalu meminta kain untuk menutup luka yang menganga dikepalanya. Kemudian Imam memakai kembali topi perangnya diatas kain dan melilitkan surban diatasnya.
Ketika kepala dan wajah Imam bersimbah darah, Imam Husain berkata; “Dalam keadaan seperti inilah aku akan menemui kakekku, dan aku akan katakan siapa yang telah membunuhku.”

Kemudian Imam kembali memanggil anak-anak dan keluarganya. ““Duhai putriku Sukainah, Ya Fathimah, Ya Ummu Kultsum, Ya Zainab. Salam sejahtera untuk kalian” Mendengar itu Sayyidah Zainab sambil menangis berkata: “Duhai kakakku sayang, Apakah engkau yakin akan terbunuh?”

Lalu Imam menjawab: “Duhai adikku, bagaimana aku tidak yakin sementara tidak ada orang yang mau menolongku.” Ketika Imam ingin kembali kemedan pertempuran, Sayyidah Zainab menangis histeris dan berkata: “Duhai kakakku, tunggulah sebentar. Izinkanlah aku untuk melihat wajahmu untuk yang terakhir.”

Imam menghampiri adiknya, setelah memandangi wajah Imam lalu Zainab mencium tangan dan kaki Imam, begitu pula yang dilakukan oleh seluruh keluarga Al-Husain, kemudian semuanya menangis histeris. Kemudian Imam kembali menuju medan pertempuran.

Ketika Imam menuju musuh, keponakan Imam bernama Abdullah Bin Al-Hasan Al-Mujtaba mengikuti Imam dari belakang. Usia Abdullah baru sebelas tahun, Imam melihat Abdullah sedang berlari mengikutinya. Maka Imam meminta Zainab untuk menahan Abdullah yang masih sangat belia itu.

Tetapi Abdullah menolaknya dan terus berlari sambil berkata: “Aku bersumpah tidak akan kembali hingga aku dapat menyusul paman kesayanganku.” Saat Abdullah hampir mendekati Imam, tiba-tiba pasukan musuh Harmalah Bin Kahil mengayunkan pedangnya kepada Al-Husain.

Seketika Abdullah marah dan berteriak: “Celaka engkau, wahai anak penzina! Engkau ingin membunuh pamanku.” Teriakan Abdullah membuat Harmalah marah, lalu Harmalah mengayunkan pedangnya kepada anak kecil itu, Abdullah menangkis sabetan pedang dengan tangannya. Maka tangan kecil cucu Fathimah itu terputus, darah berhamburan dari tangannya. Karena rasa sakit anak kecil itu berteriak: “Duhai pamanku..” Melihat itu Imam melompat dari kudanya dan menangis kemudian memeluk Abdullah dan berkata: “Duhai anak saudaraku, bersabarlah dengan apa yang menimpamu. Sebentar lagi engkau akan bertemu dengan ayahmu.”

Belum selesai Imam berkata-kata, tiba-tiba dengan jarak dekat hewan laknat Harmalah Bin Kahil memanah tenggorokan kecil Abdullah. Anak panah itupun menembus leher putera Al-Hasan itu sehingga darah memancar dari lehernya. Dan Abdullah pun syahid dalam pelukan paman kesayangannya Al-Husain.

Seketika anak panah kembali berterbangan, para wanita dan anak-anak berlari menuju tempat yang aman. Kemudian Al-Husain mengepalkan tangannya mencengkram pedangnya kuat-kuat dan melesat kembali kemedan pertempuran dan membunuh setiap musuh yang berada dihadapannya.

Syimir berteriak: “Engkau tidak akan meminum air hingga engkau masuk neraka!” Imam berkata: “Ya Allah, buatlah ia (Syimir) mati disebabkan dahaga.” Lalu Abu Hutuf dari belakang melesatkan anak panah dan menancap dikepala Imam. Lalu Imam mencabut anak panah itu dan menjatuhkannya seraya berkata: “Ya Allah, jangan tinggalkan apapun pada mereka diatas bumi ini, dan jangan memberi pengampunan pada mereka.”

Lalu Imam berteriak lantang: “Ini adalah perlakuan terburuk yang kalian berikan kepada keluarga Muhammad! Aku akan terbunuh oleh kalian, tetapi Allah akan memberikan pembalasan pada kalian semua!”

Imam sudah teramat lemah akibat luka parah dan racun yang menjalah dalam darahnya. Tubuh Imam sudah penuh dengan anak panah. Pada keadaan ini Saleh Bin Wahab Mazni menganggap ini sebagai kesempatan. Dengan sekuat tenaga ia hujamkan tombak kepunggung Imam. Hingga Imam terjatuh dari kudanya dan berkata: “Dengan nama Allah, dengan pertolongan Allah dan diatas agama Rasulullah.”

Kemudian Zar’ah Bin Syarik menebaskan pedangnya kepundak kiri Imam, merasa tidak puas maka ia sekali lagi menebaskan pedangnya diantara bahu dan leher Imam, sehingga Imam terjatuh kedepan. Begitu banyak musuh yang memukuli Al-Husain hingga kadang Imam tersungkur dan kadang jatuh terduduk.

Ketika Imam sedang terduduk, hewan biadab yang bernama Sinan menusukkan tombaknya kedada Imam, kemudian ia mencabut dan menusukkan kembali tombaknya kedada putera Az Zahra’. Dan terkhir ia memanah dada Imam dari jarak dekat, dan Imam tersungkur kedepan.

Imam sudah tidak berdaya, sekujur tubuhnya telah penuh dengan luka tikaman dan racun dari anak panah telah menyerang jantungnya. Imam sudah tidak mampu untuk berdiri. Lalu Umar Bin Sa’ad berkata kepada budaknya: “Habisilah dia!”

Setiap pasukan yang maju untuk membunuh Imam, seketika mundur ketakutan. Ammar Bin Hajjaj turun dari kudanya. Imam Husain menggerakkan kelopak matanya berusaha membuka kedua matanya yang telah tertutup darah. Tatkala Ammar Bin Hajjaj bertatapan dengan Imam. Ia berbalik dan menaiki kembali kudanya. Syimir bertanya mengapa ia mundur, maka Ammar menjawab: “Aku takut, karena matanya sama dengan mata kakeknya, Rasulullah.”

Lalu Syimir membentak pasukannya: “Mengapa kalian hanya melihatnya? Apa yang kalian harapkan darinya? Jika ia mampu membunuh kalian, pasti sudah ia lakukan. Cepat bunuh! Selagi ia tak berdaya!”

Imam tergeletak diatas pasir panas dan sudah tidak berdaya, Imam melihat samar kearah tentara. Mereka masih terus mengelilingi Imam dan memandanginya. Imam meminta sedikit air untuk meminumnya. Salah seorang dari mereka berkata: “Engkau tidak akan mendapatkan air, hingga engkau pergi ke neraka!”

Dengan suara lemah Imam menjawab: “Apakah aku akan keneraka bersama kakekku, dan dia adalah Rasulullah? Aku akan menceritakan kepada kakekku apa yang telah kalian lakukan kepadaku.”

Kemudian Imam mengangkat tangannya kelangit dan berkata: “Ya Allah, aku membutuhkan Engkau dan meminta pertolongan dari-Mu, dan hanya percaya kepada-Mu. Ya Allah, adililah antara kami dengan orang-orang ini. Siapa yang mengundang kami, kemudian berkhianat melawan dan membunuh kami. Ya Allah, aku tabah atas apapun yang sudah menjadi takdirku.”

Sejak Imam terjatuh dari kudanya, sang kuda tidak meninggalkan Imam. Kuda itu terus berputar didekat Imam. Kuda itu kembali mendatangi Imam lalu mengendus-endus tubuh Imam, kemundian meringkik dengan keras. Lalu kuda itu mengamuk dan menendang musuh yang berada didekatnya. Empat puluh musuh mati dengan dada remuk akibat tendangan kuda Imam.

Lalu kuda Rasul itu berlari kekemah keluarga Nabi, seakan memberi kabar tentang keadaan Imam. Setelah keluarga Nabi melihat kuda itu datang tanpa penunggangnnya. Mereka menyadari bahwa Imam tengah sekarat, seluru keluarga Nabi menangis histeris.

Seketika Sayyidah Zainab berlari sambil berteriak: “Duhai kakakku, pemimpin keluargaku. Seakan langit runtuh ke bumi dan gunung-gunung meletus dan berserakan di daratan.” Ketika Zainab melihat pasukan musuh berbaris didepan tubuh Al-Husain yang sudah terkulai tak berdaya. Ia berteriak: “Celakalah engkau, wahai Umar Bin Sa’ad! Mereka membunuh Al-Husain kakakku, sementara engkau yang menyaksikannya! Tidak adakah diantara kalian yang beragama Islam?”

Zainab berlari memeluk tubuh kakaknya yang sudh berlumuran darah, lalu Imam berbisik kepada adiknya: “Duhai adikku sayang, jagalah anak-anakku. Kembalilah kekemah, agar engkau tidak melihat ketika leher ini berada dibawah pedang.”

Syimir berteriak kepada pasukannya: “Karena kalian semua pengecut! Maka tidak ada yang lebih pantas membunuhnya kecuali aku!” Dengan bengis Syimir mendorong kepala Zainab dengan tombaknya sambil berkata: “Wahai puteri Ali, kembalilah! Engkau tidak akan melihat kakakmu lagi.”

Syimir menghampiri tubuh Imam yang sedang sekarat, kemudian Syimir menendang kaki Imam dengan keras, menginjak dan menduduki dada Imam. Itu membuat Imam merasa sesak dan tidak bisa bernafas karena dadanya tertindih. Lalu Syimir menarik janggut Imam.

Imam membuka matanya dan samar-samar melihat Syimir dengan menggunakan topeng besi penutup wajah, sedang menduduki dan menginjak dadanya.

Dengan suara lemah Imam berkata: “Siapakah engkau yang telah menginjak dada yang selalu diciumi Rasulullah?”
Syimir menjawab: “Aku adalah Syimir Dzil Jausyan!”
Imam bertanya lagi: “Apakah engkau mengenalku?”
Dan Syimir pun menjawab: “Aku mengenalmu dengan sangat baik!”
Lalu Imam Husain berkata: “Jika engkau harus membunuhku, berilah aku seteguk air terlebih dahulu.”
Syimir menjawab dengan kejam: “Tidak ! Engkau tidak akan aku berikan air hingga engkau aku bunuh.”
Kemudian Imam bertanya lagi: “Sebelum engkau membunuhku, perlihatkanlah wajahmu kepadaku.”
Syimir menjawab: “Baiklah! Permintaan yang terakhir ini akan aku penuhi.”

Setelah Syimir membuka penutup wajahnya, Imam memandangi Syimir sambil berkata: “Sungguh benar apa yang telah kakekku katakan, bahwa aku akan dibunuh oleh orang yang berwajah seperti binatang terburuk.”

Mendengar perkataan Imam, Syimir melaknat Rasulullah dan menghujani tubuh Imam dengan dua belas kali tusukan. Setiap tusukan Imam merintih kesakitan dan terus menyebut Asma Allah dan bershalawat kepada Rasulullah. Terakhir Syimir menggorok leher Imam, namun pedangnya tidak bisa memotong leher Imam. Karena leher inilah yang selalu diciumi Rasulullah dan Fathimah Az Zahra’.

Kemudian Syimir membolak-balik tubuh Imam, sambil tangannya terus menerus menggorok leher Imam, mencari bagian yang dapat ia sembelih. Lalu Syimir membalik tubuh Imam hingga wajah Imam bertemu dengan tanah. Dan mulai menggorok Imam dari belakang leher Imam.

Maka mata pedang Syimir yang tajam, perlahan mulai merobek dan menembus kulit dan urat leher Imam. Darah memancar deras dari urat leher Imam yang terputus. Dan terhenti pada tulang leher Imam, kemudian Syimir berdiri dan menebas leher Imam sekuat tenaga untuk memutuskan tulang leher Imam. Maka leher yang selalu diciumi Az Zahra’ itupun terputus. Kemudian Syimir mengambil kepala Al-Husain dan memancapkannya diujung tombaknya.

Inna Lillahi Wa Inna Ilayhi Roji’un.

Setelah itu, para tentara musuh maju untuk merampas semua barang yang melekat pada tubuh Al-Husain. Ibnu Haiwa mengambil baju Imam, Ibnu Martsad mengambil sorban Imam, Ibnu Khalid mengambil sepatu Imam dan Ibnu Khal mengambil pedang Imam, Qais mengambil beludru Qathifah Imam, Ja’wunah mengambil baju besi Imam, dan Rahil mengambil busur Imam.

Dan bajad ingin mengambil cincin Imam, namun ia tidak dapat melepaskan cincin itu dari jari Imam, maka Bajad memotong jari Imam hanya untuk mendapatkan cincin itu. Kemudian mereka meninggalkan tubuh yang tanpa kepala itu ditengah gurun tandus Karbala.

YA RABB....YA RASUL...YA ZAHRA'......

La'natullah ala Muawyiah ibn Abu Sufyan, wa la'natullah ala Yazid ibn Muawiyah, wa ala Ibn Ziyad, wa ala Umar ibn Sa'ad, wa ala Syimr, wa la'natullah ala kullun Nashibi ila yaumil qiyamah !!!!  

Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: