Agama diturunkan Tuhan hakekatnya untuk
menghentikan perseteruan yang terjadi antar manusia. Kata agama sendiri
berasal dari bahasa sansakerta yang dibangun dari dua suku kata. “A”
yang artinya tidak, dan “Gama” yang artinya kacau. Jadi agama adalah
tidak kacau. Agamawan hakikatnya, adalah mereka yang tidak kacau pikiran
dan perbuatannya. Keteraturan dan kecemerlangan pikirannya menghasilkan
perbuatan yang menakjubkan dan membuat decak kagum. Yang ada
dipikirannya, hanyalah ide-ide perbaikan, dan yang hanya diperbuatnya
adalah upaya-upaya mengatasi kekisruhan sosial. Jadi mereka yang kacau
dalam berpikir maupun bertindak, pada hakikatnya sedang jauh dari agama.
Diantara peran agama dalam upayanya
menghentikan kekacauan adalah mengatur tindakan manusia agar tidak ada
satu pihakpun yang memaksakan pemahaman dan kehendak pada pihak lain,
yang dapat memicu perpecahan dan silang sengketa. Karenanya seruan agama
adalah persatuan dan ukhuwah. Tuhan mengingatkan, manusia adalah umat
yang satu, yang berasal dari orangtua yang sama, pembentukannya dari
bahan yang sama. Karenanya tidak ada alasan bagi manusia untuk saling
berpecah belah satu sama lain, apapun agamanya, apapun bahasa, suku
bangsa, warna kulit dan rasnya.
Tuhan juga menyatakan, bahwa Dia bisa saja
menjadikan umat manusia menjadi umat yang satu dengan keMaha Kuasaan
yang Dia punyai, namun ikhtiar untuk bersatu itu Dia serahkan sepenuhnya
kepada manusia, untuk Dia ukur, siapa yang lebih cenderung mengikuti
panggilan kemanusiaannya, dan siapa yang lebih condong pada ajakan
syaitaniyah.
Kalau agama datang untuk menyerukan agar
tidak ada yang saling memaksakan pendapat, herannya justru orang-orang
yang mengaku paling agamawanlah yang paling sering memaksakan pendapat.
Dengan atas nama agama mereka membunuh yang berbeda pendapat. Dengan
alasan menjaga kemurnian agama, darah dikucurkan, kepala ditebas, dan
harta benda dirampas. Perayaan agama menjadi perayaan atas ternodanya
nilai-nilai kemanusiaan dan kedamaian.
Lihat saja bagaimana penganut-penganut
agama itu saling bantai. Kristiani membantai muslim. Muslim membom
perkampungan Kristiani. Biksu-biksu tidak hanya kuat dalam menghafal
kitab-kitab dan merafalkan mantra-mantra namun juga gesit mengejar
mereka yang keyakinannya beda. Dikomunitas Hindupun dinodai sikap
ekstrem sejumlah pengikutnya yang tidak segan menghilangkan nyawa mereka
yang tidak turut memberi sesajian.
Mereka yang melek agama, berulang kali
menyerukan untuk kembali pada hakekat agama. Untuk menghentikan
perseteruan dan lebih mengedepankan penghormatan dan pemuliaan kepada
sesama, apapun agamanya. Tidak ada yang diuntungkan dengan pertumpahan
darah, panggilan zaman hari ini adalah menjalin kebersamaan dan
persabahatan untuk saling menguntungkan. Tidak ada satupun agama yang
mengajarkan pertumpahan darah, semua mengajak pada kebaikan. Meskipun
tidak boleh disama-samakan, agama apapun seyogyanya tetaplah menjadi
sumber mata air kebajikan dan kearifan. Karenanya sangat disayangkan,
kalau belakangan ini, agama justru dimonopoli oleh mereka yang aktif
menebar kebencian dan permusuhan satu sama lain.
Penulis sendiri meyakini, Islam adalah
agama yang benar, yang kebenaran itu dibuktikan dengan penghargaan Islam
yang besar pada perbedaan keyakinan. Penghormatan setinggi-tingginya
pada kebebasan berpendapat, selama pendapat itu tidak menimbulkan
kerusakan. Nabi Islam diminta oleh Tuhannya untuk tidak berlaku keras
dalam memperkenalkan ajaran-ajarannya. Dalam konsideran agama ini,
terpampang jelas prinsip: agamaku adalah agamaku, agamamu adalah
agamamu, tidak ada paksaan dalam agama, mudahkan dan jangan persulit,
maafkan semoga mereka mau kembali.
Kalau untuk kaitan dengan agama yang
berbeda saja, Islam sedemikian toleran, tentu dengan sesama muslim pun
demikian. Tanda-tanda mereka yang tinggi pemahaman agamanya, adalah
tegas kepada orang-orang kafir dan sedemikian lembut dan peyayang kepada
sesama muslim. Sayangnya, seruan sejumlah ulama yang lebih
mengedepankan ukhuwah dan persatuan ummat diatas masalah-masalah
ikhtilaf, diserang sedemikian rupa dengan sebutan-sebutan yang jelek dan
melecehkan. Padahal merekalah yang membawa panji Islam yang sebenarnya,
panji perdamaian, bukan membebesarkan perbedaan untuk dijadikan alasan
agar bisa saling berselisih, membenci dan membunuh satu sama lain.
Tengoklah sejarah. Gelar pendusta justru
lebih sering disematkan kepada mereka yang menyerukan kebenaran. Para
Anbiyah, ulama-ulama terdahulu, ilmuan-ilmuan yang gigih menyerukan
kebenaran sebagai upayanya dalam menyelematkan umat dari kekisruhan
sosial justru diserang balik sebagai pendusta, dan tuduhan-tuduhan
negatif yang sama sekali tidak berdasar. Sejarah selalu berulang, dan
lihat apa yang terjadi hari ini. Luar biasa pelecehan dan penghinaan
yang didapat dari mereka yang setia pada kegigihannya menyampaikan yang
benar.
Panggilan-panggilan buruk yang dulu getol
dilontarkan kaum musyrikin kepada Nabi Saw, justru kali ini dicontoh
oleh mereka yang mengaku paling beragama dalam menyikapi kelompok yang
mereka tuding sesat hanya karena memilih cara yang berbeda dalam
memahami agama. Kalau mau jujur, jika memang sekiranya merekalah yang
berada di jalan Nabi, tentulah mereka yang mendapat hinaan dan pelecehan
sebagaimana yang dulu didapat Nabi ketika mendakwahkan ajarannya di
tengah-tengah masyarakat yang rusak secara sosial. Tentulah mereka pihak
yang paling tinggi kesabarannya, yang adi luhung akhlaknya dan besar
cintanya pada upaya perbaikan dengan cara-cara yang sehat. Tapi fakta
mewartakan lain. Mereka justru pihak yang paling arogan dalam menentukan
siapa yang paling dicintai Tuhan. Mereka pihak yang paling tidak ada
kesabarannya dalam menunjuki orang pada hidayah. Mereka tidak
segan-segan mengata-ngatai, melukai hati, menyerang fisik bahkan sampai
menghilangkan nyawa. Tidak hanya menebar fitnah, merekapun menebar teror
dan bom, dan menyebutnya sebagai jihad dalam menegakkan agama.
Mereka justru pihak yang paling getol
menebar kebencian dan permusuhan, dengan cara-cara yang tidak sehat.
Memfitnah, menjatuhkan kehormatan seorang muslim, menebar berita dusta
tentang siapa saja yang memilih berada diluar gerbong mereka. Al-Qur’an
mengingatkan kita tentang mereka, bahwa mereka merasa melakukan
perbaikan, padahal sesungguhnya mereka telah melakukan kerusakan di muka
bumi. Jangan kagum pada tampilan dan gerak tubuh mereka yang khusyuk,
padahal merekalah musuh yang sebenarnya.
Agama yang benar, manhaj yang lurus, dan
ibadah yang diterima, adalah yang membuat kita semakin rendah hati,
semakin peduli dan menambah kecintaan dan pemuliaan pada sesama.
Sementara ibadah yang justru membuat kita semakin arogan dan merasa diri
sendiri paling benar, adalah ibadahnya iblis dan para pengikutnya.
Kita tidak hanya diminta mencari agama yang benar, lebih dari itu, kita
dituntut untuk mengamalkan agama dengan benar.
Semoga kita termasuk berada dalam barisan orang-orang yang melakukan perbaikan, dengan cara yang paling baik.
Qom, 1 Syaban 1435 H
[Ismail Amin, Mahasiswa Unversitas Internasional al Mustafa Qom, Republik Islam Iran]
Sumber: Abna.Ir
Post a Comment
mohon gunakan email