Pesan Rahbar

Home » » Mazhab Ja'fari atau Mazhab Dua Belas Imam (Itsna 'Asyariah) Bagian 5

Mazhab Ja'fari atau Mazhab Dua Belas Imam (Itsna 'Asyariah) Bagian 5

Written By Unknown on Thursday 10 July 2014 | 20:02:00

Ilmu Imam-imam Ahlubait Berasal dari Nabi.


Dalam hal ini ucapan para imam, perbuatan, dan taqrir, mereka, yang dapat dilihat dari tidak adanya teguran mereka terhadap suatu perbuatan yang berlangsung di hadapan mereka, adalah hujjah, kebenaran yang harus diikuti, dan merupakan sanad, pegangan bagi kami, karena Nabi saw, sebagaimana hadits mutawatir, telah memerintahkan agar kita berpegang teguh kepada kitab Allah dan keluarganya. Di samping itu, mereka adalah orang-orang suci, ma’shum, yang telah diselamatkan Allah dari perbuatan dosa dan kesalahan. Karena itu, maka salah satu sumber fiqh kami, setelah Alquran dan Sunnah Nabi, ialah ucapan para imam dari Ahlubait, perbuatan, dan taqrir mereka.

Jika diperhatikan bahwa para Imam as itu hanya menukil haditsnya dari nenek moyang mereka hingga ke Rasulullah saw, maka hadits-hadits mereka sesungguhnya adalah hadits-hadits Rasulullah saw juga. Dan kita tahu bahwa periwayatan oleh seorang tsiqah, yang dapat dipercaya, diterima oleh seluruh ulama Islam.
Imam Muhammad Ibn Ali al-Baqir berkata kepada Jabir:
Jabir, jika yang kami ucapkan kepada kalian itu adalah pandangan kami sendiri dan dilandasi hawa nafsu, maka kami akan celaka. Tapi ketahuilah, yang kami ucapkan kepada kalian itu adalah hadits-hadits Rasulullah saw.

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa seseorang bertanya kepada Imam Ja’far Shadiq tentang suatu masalah dan Imam meberikan jawabannya, namun orang itu kemudian bertanya lagi:
“Bagaimana jika masalah ini begini dan begitu, apa pendapatmu?” Imam berkata:
“Ketahuilah! Tidak satu jawaban pun yang kuberikan kepadamu kecuali dari Rasulullah saw. Kami sama sekali bukan termasuk dalam kelompok orang yang dapat ditanya “Apa pendapatmu”.
Dalam pada itu, kitab-kitab hadits utama yang terdapat dalam mazhab ahlul bait yang dipercayai validitasnya, seperti al-Kafi, al-Tahzib, al-Istibshar, dan Man La Yahdurhul-faqih. Akan tetapi tidak berarti bahwa menerima begitu saja seluruh riwayat yang disebutkan dalam kitab-kitab tersebut, karena, selain kitab-kitab hadits, juga mempunyai kitab-kitab rijal yang berfungsi mengungkap keadaan para perawi pada semua level sanad. Jika para perawinya, pada semua level sanad, dapat dipercaya, tsiqat, maka hadits tersebut dapat diterima. Tapi jika tidak, akan ditolak. Dengan demikian, hadits baru dapat diterima jika riwayat-riwayat yang terdapat dalam kitab-kitab utama tersebut, jika ia memenuhi kriteria di atas.

Selain itu, boleh jadi ada riwayat yang dari segi sanad dapat dikatagorikan sebagai riwayat mu’tabarah, dapat diterima, tetapi karena ada cacat-cacat lain pada riwayat tersebut, para ulama dan fuqaha mazhab ahlul bait, dari dahulu hingga sekarang, mengabaikannya. Riwayat semacam ini dinamakan riwayat mu’radh anha atau riwayat yang diabaikan, dan sudah barang tentu tidak mendapat tempat.

Dari sini tampak bahwa jika seseorang ingin mendapat keterangan tentang aqidah mazhab ahlul bait, atau kaum Syi’ah, maka sangat keliru sekali jika hanya bersandarkan pada sebuah atau beberapa riwayat yang terdapat pada buku-buku tersebut tanpa melakukan penelitian sanadnya.

Dengan kata lain, pada sebagian mazhab Islam, terdapat kitab-kitab hadits yang disebut al-sihah. Para penyusunnya tidak ragu sedikitpun mengkatagorikan seluruh riwayat yang terdapat pada kitab-kitab tersebut sahih. Demikian pula anggapan lainnya. Namun tidak demikian sikap Syiah terhadap kitab-kitab muktabarahnya. Kitab-kitab itu memang betul disusun oleh orang-orang tsiqat, dapat dipercaya, akan tetapi untuk menentukan kesahihan hadits-haditsnya harus dikembalikan ke Ilm al-Rijal untuk dilakukan penelitian terhadap para perawinya.

Jika poin ini diperhatikan, ia dapat mengklirkan banyak permasalahan dan keraguan yang diarahkan ke aqidah mazhab ahlul bait, kaum Syi’ah. Tetapi jika diabaikan, berakibat pada banyak kekeliruan dan kesalahpahaman terhadap aqidah kami.

Singkat kata, hadits-hadits para Imam Dua Belas menempati posisi yang sangat tinggi di mata ajaran kami, yaitu setelah Alquran dan sunnah Nabi, tetapi dengan catatan, bahwa hadits-hadits tersebut pasti datangnya dari para imam dengan jalan yang juga diakui.

_________________________________________________________________________
Analisis Tafsir Salafy Terhadap Hadis Ali Khalifah Setelah Nabi SAW.
Al Hafiz Ibnu Abi Ashim Asy Syaibani dalam Kitabnya As Sunnah hal 519 hadis no 1188 telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih sebagai berikut:

ثنا محمد بن المثنى حدثنا يحيى بن حماد عن أبي عوانة عن يحيى ابن سليم أبي بلج عن عمرو بن ميمون عن ابن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لعلي أنت مني بمنزلة هارون من موسى إلا أنك لست نبيا إنه لا ينبغي أن أذهب إلا وأنت خليفتي في كل مؤمن من بعدي

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hamad dari Abi ‘Awanah dari Yahya bin Sulaim Abi Balj dari ‘Amr bin Maimun dari Ibnu Abbas yang berkata Rasulullah SAW bersabda kepada Ali “KedudukanMu di sisiKu sama seperti kedudukan Harun di sisi Musa hanya saja Engkau bukan seorang Nabi. Sesungguhnya tidak sepatutnya Aku pergi kecuali Engkau sebagai KhalifahKu untuk setiap mukmin setelahKu.

Salafy berkata:
Hadits di atas dipergunakan dalil oleh kaum Syi’ah sebagai legalitas kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu (yang seharusnya menjadi khalifah setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam – bukan Abu Bakr Ash-Shaiddiq radliyallaahu ‘anhu).

Aneh sekali, seolah-olah setiap hadis yang membicarakan kekhalifahan harus dipandang dari sudut yang mana tafsir Sunni dan yang mana tafsir Syiah. Seolah-olah sebuah tafsir harus dipahami dalam kerangka mana anda berdiri. Apakah anda orang sunni? maka tafsirnya harus begini. Kalau anda menafsirkan begitu maka itu adalah tafsir Syiah. Pahamilah sebuah hadis bagaimana hadisnya sendiri berbicara karena kebenaran tidak terikat dengan apakah anda Sunni ataukah Syiah.

Sungguh dugaan mereka keliru. Tidak ada sisi pendalilan atas klaim mereka terhadap hadits tersebut.
Yang keliru berkata keliru. Bagaimana mungkin dikatakan tidak ada sisi pendalilan atas klaim Syiah. Padahal salafy sendiri juga mengklaim. Orang lain juga dengan mudah berkata sebaliknya “Sungguh dugaan salafy keliru, tidak ada sisi pendalilan atas klaim salafy terhadap hadis tersebut”.

Dalam memahami satu hadits tentu saja harus dipahami berbarengan dengan hadits lain yang semakna agar menghasilkan satu pemahaman yang komprehensif.

Mari kita memahami dengan pemahaman yang komprehensif dan mari kita lihat bersama siapa yang mendudukkan dalil dengan semestinya dengan berpegang pada hadisnya dan mana yang menundukkan hadis pada keyakinan yang dianut.

Sa’d bin Abi Waqqash radliyallaahu ‘anhu membawakan hadits semisal dalam Ash-Shahiihain,

عن سعد بن أبي وقاص قال خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم علي بن أبي طالب في غزوة تبوك فقال يا رسول الله تخلفني في النساء والصبيان فقال أما ترضى ان تكون مني بمنزلة هارون من موسى غير انه لا نبي بعدي

Dari Sa’d bin Abi Waqqaash ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi tugas ‘Ali bin Abi Thaalib saat perang Tabuk (untuk menjaga para wanita dan anak-anak di rumah). ‘Ali pun berkata : ‘Wahai Rasulullah, engkau hanya menugasiku untuk menjaga anak-anak dan wanita di rumah ?’. Maka beliau menjawab : ‘Tidakkah engkau rela mendapatkan kedudukan di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku ?” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 4416 dan Muslim no. 2404].

Hadis Shahihain ini diucapkan Nabi SAW pada perang Tabuk, tetapi Salafy mengklaim bahwa keutamaan yang dimiliki Imam Ali kedudukan Beliau di sisi Nabi SAW seperti kedudukan Harun di sisi Musa adalah terkhusus pada perang Tabuk saja dan tidak untuk setelahnya. Jelas sekali klaim mereka ini memerlukan bukti. Mana bukti dari hadis diatas yang menunjukkan bahwa keutamaan kedudukan Harun di sisi Musa hanya berlaku saat perang Tabuk saja. Hadis di atas hanya menunjukkan bahwa keutamaan tersebut berlaku saat Perang Tabuk tetapi tidak menafikan kalau keutamaan tersebut berlaku untuk seterusnya. Sebuah hadis dengan lafaz yang umum akan berlaku sesuai keumumannya kecuali terdapat pernyataan tegas soal kekhususannya. Dan maaf kita tidak menemukan adanya kekhususan bahwa hadis di atas hanya berlaku saat perang tabuk saja. Kekhususan sebab tidak menafikan keumuman lafal.

Salafy berkata:
Dari hadits ini kita dapat mengetahui apa makna “khalifah” sebagaimana dimaksud pada hadits pertama. Makna “khalifah” di sini adalah pengganti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam pengurusan wanita dan anak-anak saat mereka ditinggal oleh ayah atau suami mereka berangkat jihad di Tabuk. Konteks hadits dan peristiwanya menyatakan demikian.

Konteks hadis menyatakan bahwa Imam Ali adalah khalifah pengganti Rasulullah SAW saat Perang Tabuk. Dan hal ini adalah bagian dari keumuman lafal kedudukan Imam Ali di sisi Nabi SAW seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Selain itu lafal “Tidak sepantasnya Aku pergi Kecuali Engkau sebagai Khalifahku” memiliki arti jika Rasulullah SAW pergi atau tidak ada maka Imam Ali adalah pengganti Beliau. Hal ini selaras dengan kedudukan Harun di sisi Musa. Kedudukan tersebut mencakup jika Nabi Musa AS tidak ada atau pergi dan Nabi Harun AS masih hidup maka Nabi Harun AS yang akan menjadi penggantinya. Perhatikanlah kita menerima keduanya baik konteks hadis dan teks hadis yang umum.

Salafy berkata:
Jika mereka (kaum Syi’ah) menyangka dengan hadits ini Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengamanatkan kepemimpinan (khilaafah) kaum muslimin kepada ‘Ali secara khusus setelah wafat beliau, niscaya akan banyak khalifah di kalangan shahabat yang ditunjuk beliau – jika kita mengqiyaskannya sesuai dengan ‘illat haditsnya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi tugas serupa kepada ‘Utsman bin ‘Affaan, Ibnu Ummi Maktum, Sa’d bin ‘Ubaadah, dan yang lainnya.

Sungguh persangkaan mudah sekali keliru. Bagaimana Syiah menafsirkan hadis itu maka itu urusan mereka. Sekarang yang kita bahas adalah apa makna sebenarnya hadis ini. Jika salafy mengqiyaskan dengan illat hadis yang diklaim seenaknya maka begitulah jadinya. Jika salafy hanya berpegang pada asumsi mereka dan menafikan lafal hadisnya maka nampaklah kekeliruan mereka. Kekeliruan salafy adalah mereka bermaksud bahwa keutamaan Kedudukan Harun di sisi Musa itu hanya sebatas perang Tabuk saja dan ini terkait dengan kepemimpinan Imam Ali saat di Madinah saja dan itu pun saat Perang Tabuk saja. Kalau memang Salafy mengakui bahwa banyak sahabat yang mendapat kepemimpinan seperti itu maka jika kita mengqiyaskan dengan illat yang dimaksud salafy niscaya keutamaan Kedudukan Harun di sisi Musa tidak hanya milik Imam Ali tetapi juga milik sahabat lain yang mendapat tugas dari Nabi SAW. Adakah salafy berkeyakinan seperti itu?.

Salafy berkata:
Jika ada yang bertanya :
Mengapa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menggunakan redaksi yang sama kepada para shahabat lain saat mereka menjadi pengganti/wakil beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk mengurus wanita dan anak-anak ?.

Dijawab :
Perkataan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Ali : “Engkau di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, namun engkau bukanlah seorang nabi….dst.” adalah untuk menghibur sekaligus pembelaan terhadap ‘Ali atas cercaan kaum munafiq.

Saya tidak menafikan bahwa bisa saja untuk dikatakan bahwa perkataan itu untuk menghibur. Tetapi walau bagaimanapun perkataan yang diucapkan oleh Rasulullah SAW adalah sebuah kebenaran. Rasulullah SAW memberikan hiburan bahwa keutamaan Imam Ali di sisi Beliau adalah seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Hal ini mencakup berbagai kedudukan yang dimiliki Harun di sisi Musa kecuali yang telah dikhususkan oleh Rasulullah SAW bahwa itu tidak termasuk yaitu Kenabian. Jika memang salafy berkeyakinan bahwa kata-kata tersebut hanya sekedar perumpamaan artinya kepemimpinan Ali saat perang Tabuk serupa dengan kepemimpinan Harun saat Musa pergi ke Thursina dan hanya terbatas untuk itu saja. Maka tidak ada faedahnya kata-kata “namun engkau bukanlah seorang nabi”. Adanya kata-kata mengkhususkan seperti itu menunjukkan bahwa kedudukan tersebut tidaklah khusus tetapi bersifat umum yaitu Mencakup semua kecuali apa yang telah dikhususkan oleh Nabi SAW bahwa itu tidak termasuk yaitu Kenabian.

Juga, untuk menegaskan keutamaan ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu di sisi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Tentu saja, sebuah penegasan keutamaan merupakan jalan yang paling ampuh untuk menangkal cercaan kaum munafiqin tersebut.

Tentu saja benar dan sebuah keutamaan yang disematkan kepada Imam Ali tidaklah akan sirna atau hilang jika kaum munafik sudah tidak mencela. Apakah salafy ingin mengatakan bahwa tujuan keutamaan tersebut hanya untuk menangkal cercaan kaum munafik saja tetapi tidak menjelaskan kedudukan yang sebenarnya?. Keutamaan tersebut menjelaskan kedudukan sebenarnya Imam Ali di sisi Nabi SAW dan kedudukan tersebut akan terus ada dan melekat pada Imam Ali.

Adz-Dzahabiy berkata :
“……..Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menugaskan ‘Aliy bin Abi Thaalib menjaga keluarganya dan mengurus segala keperluannya. Kaum munafiqin pun menyebarkan berita buruk karena penugasan tersebut dan berkata : ‘Tidaklah beliau menugaskannya (untuk tinggal di Madinah/tidak ikut berperang) kecuali karena ia (‘Ali) merasa berat untuk berangkat (jihad) dan kemudian diberikan keringanan (oleh beliau). Ketika kaum munafiqin mengatakan hal itu, ‘Ali bergegas mengambil senjatanya dan kemudian keluar untuk menyusul Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Jarf. ‘Ali berkata : “Wahai Rasulullah, kaum munafiqin mengatakan bahwa engkau menugaskan aku karena engkau memandang aku berat untuk berangkat jihad dan kemudian memberikan keringanan”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Mereka telah berdusta ! Kembalilah, aku menugaskanmu selama aku meninggalkanmu di belakangku untuk mengurus keluargaku dan keluargamu. ‘Tidakkah engkau rela mendapatkan kedudukan di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku ?”. Maka ‘Ali pun akhirnya kembali ke Madinah” [Taariikhul-Islaam, 1/232].

Perhatikanlah hadis di atas. Mari kita berikan analogi yang sama buat salafy. Jika kita memahami hadis riwayat Adz Dzahabi maka disitu disebutkan bahwa Rasulullah SAW menugaskan Imam Ali untuk mengurus keluarga Nabi dan keluarga Ali. Hal ini terlihat dari kata-kata Kembalilah, aku menugaskanmu selama aku meninggalkanmu di belakangku untuk mengurus keluargaku dan keluargamu. Kemudian setelah itu Rasulullah SAW mengucapkan ‘Tidakkah engkau rela mendapatkan kedudukan di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku ?”. Dengan cara berpikir salafy maka kita dapat mengatakan bahwa illat hadis Manzilah adalah tugas untuk mengurus keluarga Nabi dan keluarga Ali. Lantas mengapa mereka sebelumnya mengatakan Makna “khalifah” bagi Imam Ali di sini adalah pengganti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam pengurusan wanita dan anak-anak saat mereka ditinggal oleh ayah atau suami mereka berangkat jihad di Tabuk. Apakah semua orang di Madinah saat itu hanya keluarga Nabi dan keluarga Imam Ali saja?. Yah begitulah kontradiksi salafy dalam memahami hadis.

Salafy berkata:
Lantas : “Apa makna : khaliifatii fii kulli mukmin min ba’di ?” – sebagaimana riwayat Ibnu Abi ‘Aashim. Bukankah ia menunjukkan lafadh mutlak yang menunjukkan ‘Ali merupakan pengganti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sepeninggal beliau ? Dan lafadh mukmin ini meliputi seluruh shahabat yang hidup pada waktu itu ?
Bahkan hal itu telah terjawab pada penjelasan sebelumnya.

Anehnya silakan anda perhatikan baik-baik. Penjelasan sebelumnya jauh berbeda dengan penjelasan salafy setelah ini. Sebelumnya ia mengatakan bahwa makna khalifah tersebut Makna “khalifah” bagi Imam Ali di sini adalah pengganti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam pengurusan wanita dan anak-anak saat mereka ditinggal oleh ayah atau suami mereka berangkat jihad di Tabuk.

Salafy berkata:
Makna : khaliifatii fii kulli mukmin min ba’di ; ini mempunyai dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah sebagaimana perkataan mereka (Syi’ah) – yaitu menjadi pengganti beliau secara mutlak setelah beliau wafat;
Ternyata sisi pendalilan itu ada, kata-kata tersebut sangat jelas. Anehnya salafy sebelumnya berkata Tidak ada sisi pendalilan atas klaim mereka terhadap hadits tersebut.

Salafy berkata:
sedangkan kemungkinan kedua bahwa perkataan itu menunjukkan ‘Ali menjadi pengganti beliau bagi seluruh orang mukmin (para shahabat) hanya saat setelah kepergian beliau menuju Tabuk. Kemungkinan kedua inilah yang kuat.

Lihatlah baik-baik adakah salafy mengatakan sebelumnya bahwa khalifah itu bagi seluruh orang mukmin. Bukankah kita lihat bahwa sebelumnya salafy berkata Makna “khalifah” bagi Imam Ali di sini adalah pengganti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam pengurusan wanita dan anak-anak saat mereka ditinggal oleh ayah atau suami mereka berangkat jihad di Tabuk. Jika memang kemungkinan kedua ini yang terkuat maka kepemimpinan tersebut juga bagi ayah atau suami mereka yang ikut berjihad saat perang Tabuk, karena bukankah mereka juga termasuk orang mukmin. Anehnya kalau memang begitu maka kepemimpinan tersebut tidak terbatas pada di Madinah saja (seperti klaim Salafy) tetapi juga mencakup orang mukmin lain yang tidak berada di Madinah. Sekali lagi kita melihat hal-hal yang kontradiksi.

Sejauh ini salafy tidak memiliki dasar untuk mengatakan bahwa khalifah yang dimaksud hanya terkhusus saat perang Tabuk saja. Mereka hanya mengklaim begitu saja bahwa itu dikhususkan tanpa menunjukkan bukti yang mengkhususkannya. Siapa yang mengkhususkan?. Ketika Rasul SAW berkata untuk setiap orang mukmin maka ada yang berkata khusus untuk anak-anak dan wanita di Madinah saja. Ketika Rasul SAW berkata “setelahku” maka ada yang berkata khusus untuk perang Tabuk saja. Siapa yang mengkhususkan kalau bukan klaim mereka sendiri. Padahal lafal hadis yang diucapkan Rasulullah SAW menunjukkan bahwa Imam Ali adalah pengganti beliau secara mutlak bagi setiap mukmin setelah beliau wafat.

Salafy berkata:
Kalimat ‘min ba’dii’ (setelahku) di sini maknanya bukan mencakup setelah wafat beliau. Namun ia muqayyad (terikat) pada ‘illat hadits yang disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari. Yaitu : ‘Ali menjadi pengganti Nabi setelah keberangkatan beliau menuju Tabuk dalam hal pengurusan wanita dan anak-anak di Madinah.
Tidak ada dasar bahwa lafal tersebut muqayyad karena illat hadis yang dimaksud hanyalah klaim salafy semata. Pertama-tama mari kita kembalikan pada riwayat Adz Dzahabi bukankah disana dengan cara berpikir salafy maka ‘illat hadis adalah Ali menjadi pengganti Nabi setelah keberangkatan beliau menuju Tabuk dalam hal pengurusan keluarga Nabi dan keluarga Ali. Bukankah ‘illat dari riwayat Al Bukhari dan ‘illat riwayat yang dikutip Adz Dzahabi berbeda, bagaimana bisa salafy luput melihat hal ini. Bagi saya pribadi kepemimpinan Imam Ali di perang Tabuk baik terhadap keluarga Nabi dan keluarga Ali ataupun terhadap wanita dan anak-anak Madinah adalah bagian dari keumuman Kedudukan Ali di sisi Nabi seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Dan ini mencakup kedudukan Harun yang akan menjadi pengganti bagi Musa jika Musa pergi atau tidak ada, dengan syarat saat itu Nabi Harun AS masih hidup. Dengan kata lain bagian dari kedudukan tersebut adalah Seseorang akan menjadi pengganti bagi orang yang dimaksud jika seseorang tersebut masih hidup. Oleh karena itulah Rasulullah SAW menjelaskan dengan kata-kata selanjutnya bahwa Sesungguhnya tidak sepatutnya Aku pergi kecuali Engkau sebagai KhalifahKu untuk setiap mukmin setelahKu. Kata-kata ini dengan jelas mendudukkan Imam Ali sebagai khalifah bagi setiap Mukmin selepas Nabi SAW karena selepas Nabi SAW Imam Ali masih hidup.

Salafy berkata:
Karena kalimat sebelumnya berbunyi : “Tidak sepantasnya aku pergi” – yaitu kepergian beliau menuju Tabuk.
Satu hal yang perlu diingat hadis riwayat Ibnu Abi Ashim yang memuat kata-kata ini tidak menunjukkan bukti yang pasti bahwa kata-kata ini diucapkan pada perang Tabuk. Ada saja kemungkinan bahwa hadis ini diucapkan Nabi di saat yang lain sehingga perkataan tidak sepantasnya aku pergi dijelaskan oleh kata-kata setelahKu sehingga yang dimaksud kepergian itu adalah kepergian saat Nabi SAW wafat. Salafy tidak bisa menafikan kemungkinan ini hanya dengan klaimnya semata. Seandainya pula hadis ini diucapkan saat Perang Tabuk maka perkataan tersebut diartikan bahwa saat Perang Tabuk Nabi juga telah mengatakan bahwa khalifah sepeninggal Beliau SAW adalah Imam Ali.

Salafy berkata:
Sungguh sangat aneh (jika tidak boleh dikatakan mengada-ada) bagi mereka yang paham akan lisan Arab atas perkataan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak sepantasnya aku pergi (menuju Tabuk) kecuali engkau sebagai “khalifah”-ku bagi setiap mukmin setelahku” – mencakup setelah wafat beliau.
Sungguh sangat aneh (jika tidak dikatakan mengada-ada) bagi mereka yang paham akan lisan arab bahwa perkataan khaliifatii fii kulli mukmin min ba’di berarti khalifah bagi wanita dan anak-anak saat perang Tabuk. Secara bahasa arab itu berarti Khalifah bagi setiap orang mukmin sepeninggal Nabi SAW. Dan tentu lafaz ba’di memiliki arti sepeninggal (wafat). Aneh sekali jika orang yang paham lisan arab dengan mudah menafikan makna ba’di sebagai sepeninggal (wafat).

Salafy berkata:
Penyamaan ‘Ali bin Abi Thaalib dengan Harun dalam hadits semakin membatalkan klaim mereka. Sebagaimana diketahui bahwa Harun tidak pernah menggantikan Musa ‘alaihimas-salaam sebagai khalifah memimpin Bani Israil. Ia wafat ketika Musa masih hidup, dan hanya menggantikan untuk sementara waktu dalam pengurusan (memimpin) Bani Israil saat Musa pergi untuk bermunajat kepada Rabbnya. Tidak ada riwayat sama sekali yang menjelaskan bahwa Harun ‘alaihis-salaam menjadi khilafah/pemimpin bagi Bani Israil sepeninggal (wafat) Musa, melainkan hanya waktu itu saja. Yang menggantikan Musa setelah wafatnya dalam memimpin Bani Israel adalah Nabi Yusya’ bin Nuun ‘alaihis-salaam.

Justru salafy mengetahui tetapi tidak memahami. Penyerupaan yang dimaksud dalam hadis di atas adalah penyerupaan Kedudukan orang yang satu di sisi orang yang lain. Artinya kedudukan Imam Ali di sisi Rasul SAW seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Mengapa Nabi Musa AS menunjuk Nabi Harun AS sebagai penggantinya karena Nabi Harun AS adalah wazir Musa, keluarga dan sekutu dalam urusannya. Sama halnya dengan mengatakan bahwa kedudukan Harun saat itu di sisi Musa adalah kedudukan yang paling layak dan tepat sebagai pengganti Musa jika Musa akan pergi atau jika Musa tidak ada. Kedudukan ini sudah jelas dimiliki Harun semasa hidupnya artinya jika Nabi Harun AS masih hidup maka dialah yang akan ditunjuk sebagai pengganti Nabi Musa AS. Begitu pula dengan kedudukan Imam Ali di sisi Nabi SAW, jika Imam Ali masih hidup maka dialah yang akan menggantikan Nabi SAW oleh karena itu Rasulullah SAW menjelaskan dengan kata-kata Sesungguhnya tidak sepatutnya Aku pergi kecuali Engkau sebagai KhalifahKu untuk setiap mukmin sepeninggalKu. Karena sepeninggal Nabi SAW Imam Ali masih hidup
Salafy mengutip Nawawi yang sebenarnya tidak sedang menjelaskan hadis riwayat Ibnu Abi Ashim
Berkata An-Nawawi rahimahullah :

وليس فيه دلالة لاستخلافه بعده لأن النبي صلى الله عليه وسلم إنما قال هذا لعلي رضي الله عنه حين استخلفه على المدينة في غزوة تبوك ويؤيد هذا أن هارون المشبه به لم يكن خليفة بعد موسى بل توفي في حياة موسى قبل وفاة موسى نحو أربعين سنة على ما هو المشهور عند أهل الأخبار والقصص

“Tidak ada petunjuk (dilaalah) di dalamnya bahwa ‘Ali sebagai pengganti setelah (wafatnya) beliau. Hal itu dikarenakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallaqm hanya bersabda kepada ‘Ali radliyallaahu ‘anhu saat menjadikannya sebagai pengganti di Madinah pada waktu (beliau berangkat menuju) Perang Tabuk. Dan ini diperkuat bahwasannya Harun ‘alaihis-salaam yang diserupakan/disamakan dengan ‘Aliy, tidak pernah menjadi khalifah sepeninggal Musa. Bahkan ia meninggal saat Musa masih hidup sekitar 40 tahun sebelum wafatnya Musa – berdasarkan hal yang masyhur menurut para ahli sejarah”

Perkataan ini tidak jauh berbeda dengan kata-kata salafy sebelumnya. Tetapi coba lihat kata-kata:

وليس فيه دلالة لاستخلافه بعده

Kata-kata Nawawi diartikan salafy dengan Tidak ada petunjuk (dilaalah) di dalamnya bahwa ‘Ali sebagai pengganti setelah (wafatnya) beliau. Kali ini dengan mudah salafy memaknai kata yang dicetak biru sebagai setelah (wafatnya) Beliau. Anehnya dalam hadis riwayat Ibnu Abi Ashim ia menafikan bahwa kata tersebut berarti wafat. Sekali lagi kontradiksi.

Salafy berkata:
Harun ‘alaihis-salaam adalah seorang waziir bagi Musa dalam memimpin Bani Israail sebagaimana ditegaskan oleh Allah melalui firman-Nya :

وَاجْعَلْ لِي وَزِيرًا مِنْ أَهْلِي * هَارُونَ أَخِي * اشْدُدْ بِهِ أَزْرِي * وَأَشْرِكْهُ فِي أَمْرِي

“Dan jadikanlah untukku seorang wazir (pembantu) dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku” [QS. Thaha : 29-32].

Seorang wazir mempunyai tugas untuk membantu dan memberi dukungan terhadap imam. Begitu pula dengan Nabi Harun yang menjadi waziir bagi Nabi Musa ‘alaihimas-salaam.[3] Jika Syi’ah hendak menyamakan kedudukan ‘Ali dengan Harun, maka cukuplah mereka berpendapat ‘Ali berkedudukan sebagai waziir bagi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Bukan sebagai imam/khalifah yang ditunjuk. Oleh karena itu, klaim Syi’ah tentang keimamahan ‘Ali bin Abi Thaalib melalui hadits ini sungguh sangat tidak tepat.

Berdasarkan ayat Al Qur’an yang dikutip salafy maka Nabi Harun AS tidak hanya seorang wazir Musa tetapi juga keluarga dan saudara Musa, orang yang meneguhkan kekuatan Musa dan merupakan sekutu Musa dalam urusannya. Kedudukan Harun di sisi Musa ini dimiliki oleh Imam Ali di sisi Rasul SAW. Tidak hanya itu, Nabi Harun AS juga ditunjuk sebagai Imam atau khalifah bagi kaumnya ketika Musa AS akan pergi

وَقَالَ مُوسَى لاَِخِيه هَارُونَ اخْلُفْنِي فِي قَوْمِي وَأَصْلِحْ وَلاَ تَتَّبِعْ سَبِيلَ الْمُفْسِدِين

“Musa berkata kepada saudaranya yaitu Harun “Gantikan Aku dalam memimpin kaumku, dan perbaikilah, dan jangan kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan.” (QS Al-A’raf: 142).

Hal ini menunjukkan salah satu kedudukan Harun di sisi Musa adalah Beliau menjadi khalifah semasa hidupnya (selagi hidup) jika Nabi Musa AS akan pergi. Maka begitu pula kedudukan Imam Ali di sisi Nabi SAW, Beliau semasa hidupnya (selagi hidup) menjadi khalifah jika Nabi Muhammad SAW pergi.

Salafy berkata:
Kita tidak mengingkari bahwa hadits ini menunjukkan keutamaan ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu. Namun membawanya kepada makna ‘Ali adalah orang yang ditunjuk sebagai khalifah/amirul-mukminin sepeninggal Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka inilah yang tidak kita sepakati. Tidaklah setiap lafadh yang menunjukkan keutamaan itu selalu berimplikasi kepada kepemimpinan.

Cara berpikir seperti ini jelas-jelas terbalik. Kita tidak mengingkari bahwa lafal hadis Manzilah riwayat Ibnu Abi Ashim memuat lafal Khalifah sepeninggal Nabi SAW dan sudah jelas lafal khalifah berimplikasi kepada kepemimpinan Imam Ali sepeninggal Nabi SAW. Hal ini menunjukkan hadis Manzilah memiliki makna umum (termasuk dalam hadis shahihain) dan merupakan keutamaan Imam Ali RA yang sangat besar di sisi Nabi SAW.

Salafy berkata:
Ada yang sangat memaksakan kehendak dengan menafikkan akal sehat yang padahal sangat mudah untuk memahaminya.
Mereka katakan bahwa Harun itu akan menggantikan Musa jika Harun masih hidup sepeninggal Musa. Begitulah kata mereka.
Jika yang dimaksud akal sehat adalah setiap yang mendukung keyakinan salafy maka akal tersebut sudah menjadi tidak sehat. Karena sebuah keyakinan harus diukur dengan standar kebenaran bukan standar kebenaran yang harus ditundukkan pada keyakinan. Sudah jelas kedudukan Harun di sisi Musa adalah Harun akan selalu menjadi pengganti Musa jika Musa tidak ada dan saat itu Harun masih hidup. Siapapun yang berakal sehat tidak akan menafikan hal ini.

Salafy berkata:
Pertanyaannya : Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyamakan kedudukan ‘Ali radliyallaahu ‘anhu dengan Harun; apakah beliau shalallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui bahwa Harun telah meninggal sebelum Nabi Musa meninggal dan tidak pernah memegang tampuk khalifah/imam memimpin Bani Israel sepeninggal Musa ?
Sudah jelas Rasulullah SAW tahu, oleh karena itulah untuk menghapus syubhat dari para pengingkar maka Rasulullah SAW memberikan penjelasan khusus yaitu Engkau sebagai KhalifahKu untuk setiap mukmin setelahKu. Hal ini dikarenakan Rasulullah SAW mengetahui bahwa Imam Ali masih hidup sepeninggal Beliau SAW, dan tentu sebagaimana layaknya Harun akan menjadi pengganti Musa jika Harun masih hidup maka Imam Ali akan menjadi pengganti Rasul SAW jika Imam Ali masih hidup.

Salafy berkata:
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengetahui bahwa Harun hanyalah menjadi pengganti (khalifah) bagi Musa untuk mengurus Bani Israel hanya saat Musa pergi ke Bukit Tursina.
Kita sudah jelaskan bahwa kedudukan Harun di sisi Musa itu tidak hanya soal pengganti Musa ketika Musa pergi ke bukit Thursina saja. Kita telah jelaskan bahwa Harun adalah wazir Musa, keluarga dan saudara Musa, orang yang meneguhkan kekuatan Musa dan sekutu Musa dalam urusannya. Oleh karena itu tidak ada satupun yang layak menggantikan Musa selain Harun jika Nabi Harun AS masih hidup. Inilah kedudukan Harun di sisi Musa yang tidak dipahami oleh salafy. Beginilah cara mereka mengurangi keutamaan Imam Ali dengan menafikan keumuman dan mengkhususkan dengan situasi tertentu saja.

Salafy berkata:
Oleh karena itu, beliau mengqiyaskan kedudukan mulia Harun ini kepada ‘Ali yang beliau tugaskan untuk mengurus orang-orang yang tinggal di Madinah saat beliau tinggalkan berperang menuju Tabuk.
Rasulullah SAW menjelaskan keutamaan Imam Ali di sisi Beliau dengan kata-kata kedudukanMu di sisi Ku seperti Kedudukan Harun di sisi Musa kecuali tidak ada Nabi setelahKu. Pengecualian yang ditetapkan oleh Rasul SAW adalah untuk membatasi keumuman kedudukan Harun yang memang banyak di sisi Musa. Jika seperti yang salafy katakan bahwa hal itu hanya pengqiyasan untuk situasi yang khusus maka tidak ada faedahnya disebutkan pengecualian. Jika memang sudah dikhususkan mengapa harus dikecualikan.

Salafy berkata:
Namun karena Syi’ah hendak memaksakan untuk membawa pengertian ini kepada penunjukan Khalifah sepeninggal Nabi, datanglah tafsir-tafsir aneh mengenai hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Begitulah salafy selalu mengatakan aneh setiap tafsir yang bertentangan dengan mereka karena salafy hendak memaksakan untuk melindungi keyakinan mereka dan menunjukkan kedengkian mereka terhadap mahzab lain. Mereka tidak bisa mengakui kebenaran pada mahzab lain karena menurut mereka apapun setiap mahzab yang menentang mereka maka sudah jelas tafsirnya akan aneh-aneh. Tidakkah cukup kata-kata Rasulullah SAW yang sangat jelas, ternyata tidak karena dalih selalu bisa dicari-cari. Pengingkar akan selalu ada dan itu tidak tergantung dari mahzab apa ia berasal. Untuk menentukan ingkar atau tidak anda hanya perlu melihat dengan jelas siapa yang berpegang pada hadis Rasul SAW dan siapa yang berpegang pada keyakinan pribadi. Sekali lagi saya tekankan kepada para pencari kebenaran, anda tidak perlu menjadi sunni atau syiah untuk memahami hadis di atas dan anda tidak perlu terkelabui oleh syubhat bahwa kalau anda memahami begitu maka anda akan menjadi syiah, atau kalau anda memahami seperti ini maka anda adalah sunni. Cukup pahami hadis tersebut sebagaimana hadis tersebut berbicara.

____________________________________________________________
ASWAJA SNNi TIDAK MEMPERHATIKAN AHLUL BAYT.
Dalil yang menyatakan bahwa tidak hanya Rasulullah yang mengetahui makna Ilahiah Al-Qur’an, maksud sebagaimana yang diinginkan Allah Swt terdapat dalam ayat,
“Sebenarnya (Al-Qur’an) itu adalah ayat-ayat yang jelas dalam dada orang-orang berilmu.” (Qs. Al-Ankabut : 49).

Dan Ahlul Baitlah yang dimaksud dengan orang-orang berilmu tersebut.

Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya aku telah meninggalkan buat kalian dua hal yang berharga; Kitab Allah dan Itrah; Ahlul Baitku. Selama berpegang pada keduanya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya. Dan keduanya juga tidak akan berpisah hingga menjumpaiku di telaga Kautsar kelak di Hari Kiamat.” (H.R. Sahih Muslim : jilid 7, hal 122. Sunan Ad-Darimi, jilid 2, hal 432. Musnad Ahad, jilid 3, hal 14, 17, 26 dan jilid 4, hal 371 serta jilid 5, hal 182 dan 189. Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, hal 109, 147 dan 533, juga terdapat di dalam kitab-kitab induk hadis yang lain).

Rasulullah khawatir umatnya tidak akan memperhatikan Ahlul BaytNya sepeninggal beliau, dan apa yang di khawatirkan oleh Baginda Rasul benar benar terjadi. Sepeninggal Rasulullah umatnya tidak mengindahkan wasiat Rasulullah saaw, bahkan sebagian besar dari mereka menzalimi Ahlul Bayt as. Imam Ali yang di saksikan oleh Nabi sebagai orang yang selalu berjalan di jalan yang benar dilaknat di mimbar-mimbar selama kurang lebih 70 tahun. Imam Husain as yang sangat di cintai oleh baginda Rasul diperangi dan dibantai di padang pasir Karbala beserta keluarga dan sahabatnya, wanita wanita Ahlul Bayt diikat sebagai tawanan, diarak dari Karbala menuju Syam (Syiria).

Umat bukan hanya tidak menjadikan Ahlul Bayt as sebagai rujukan sebagaimana yang diwasiatkan oleh Nabi akan tetapi mereka memerangi Ahlul Bayt as kecuali sebagian kecil dari umat yang selalu memegang teguh wasiat Nabi dan menjadikan Ahlul Bayt sebagai Imam dan Rujukan dalam mengambil ajaran suci baginda Rasul saaw. Seandaianya umat Nabi mengindahkan wasiat Rasul niscaya Islam akan menjadi satu dan tidak kan terpecah pecah menjadi beberapa golongan.

Bahwa keduanya Al-Qur’an dan Ahlul Bait adalah dua hal yang tak terpisahkan hingga hari kiamat, memisahkan satu sama lain akibatnya adalah kesesatan dan di luar dari koridor ajaran Islam itu sendiri. Rasul menyebut keduanya (Al-Qur’an dan Ahlul Baitnya) sebagai Tsaqalain yakni sesuatu yang sangat berharga. Keduanya saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan, apalagi oleh sekedar perkataan Umar bin Khattab pada saat Rasulullah mengalami masa-masa akhir dalam kehidupannya, bahwa Al-Qur’an sudah cukup bagi kita. Rasulullah menjamin bahwa siapapun yang bersungguh-sungguh dan berpegang pada kedua tsaqal ini, maka tidak akan pernah mengalami kesesatan. Kemunduran dan penyimpangan kaum muslimin terjadi ketika mencoba memisahkan kedua tsaqal ini.

Atas dasar ini, Al-Quran telah menyodorkan obor bagi umat yang dapat digunakan selepas kepergian Rasulullah; obor yang dapat menuntun manusia mengikuti jejak yang pernah ditinggalkan oleh beliau dan dapat memberikan bantuan kepada mereka dalam rangka memahami dan menafsirkannya. Obor itu tak lain adalah Ahlul Bait As. Mereka adalah pribadi-pribadi yang telah disucikan dari segala kotoran dan noda, manusia-manusia yang kepada kakek mereka Al-Quran diturunkan, mereka menerima langsung ajaran ilahi dari beliau dan memahaminya dengan penuh kesadaran dan amanah, dan mereka telah dianugerahi hal-hal yang tidak diberikan kepada siapa pun.

Satu kesimpulan yang tegas, memisahkan Al-Qur’an dan Ahlul Bait adalah penyimpangan. Islam adalah keduanya yang tidak akan terpisah hingga akhir zaman, hingga kehadiran keturunan Rasulullah yang terakhir, Imam Mahdi Afs yang dinanti-natikan. Ahlul Bait adalah madrasah yang paling komplit yang mengandung berbagai khazanah keislaman. Madrasah ini telah terbukti menghasilkan kader-kader yang mumpuni dan telah mempersembahkan karya-karya cemerlang bagi kehidupan umat manusia. Imam Ja’far Shadiq (fiqh), Jalaluddin Rumi (tasawuf), Ibnu Sina (kedokteran), Mulla Sadra (Filsafat), Allamah Taba’tabai (tafsir) dan Imam Khomeini (politik), sebagian kecil orang-orang besar yang terlahir dari madrasah ini.




______________________________________________________
SIAPAKAH PEMIMPIN ORANG ISLAM ????
Inilah FAKTA siapa wali orang Islam : “Sesungguhnya Wali kalian hanyalah Allah, RasulNya, dan orang-orang yang beriman yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat dalam keadan ruku’” (Al Maidah 55).

Berdasarkan hadis-hadis yang dinukil baik dari kalangan ulama’ Syiah maupun Ahli Sunnah, ayat ini turun berkenaan dengan Imam Ali a.s ketika mengulurkan tangan nya untuk memberikan cincin nya kepada seorang pengemis di dalam masjid ketika beliau shalat dan sesuai kajian dan penuturan para ahli tafsir dan ahli hadis Syiah serta pengakuan sekelompok ulama’ yang tidak sedikit dari kalangan Ahli Sunnah, bahwa pribadi yang menyedekahkan cincinnya pada si faqir dalam keadaan shalat (waktu ruku’) itu adalah pribadi agung Ali as.

Allamah Mar’asyi dalam kitabnya Ihqaqul Haq menuturkan bahwa ada sekitar 85 kitab hadis dan tafsir Ahli Sunnah yang menukil bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan Imam Ali. Dengan riwayat-riwayat ini jelas bahwa yang dinginkan dari kata jamak pada ayat di atas adalah kata tunggal dan itu Imam Ali as. Akan tetapi yang perlu dicermati di sini adalah apa arti sebenarnya dari kata wali yang terdapat dalam ayat ini.
Arti wali: Kata-kata Wali, Wilayat, Wala, Maula, dan Awla, berasal dari akar kata yang sama yaitu Wala. Kata ini sangat banyak digunakan oleh Al-Quran; 124 dengan kata benda, dan sekitar 112 tempat dipakai dalam bentuk kata kerja.

Sebagaimana yang termuat dalam kitab Mufradatul Quran, karya Ragib Isfahani, dan kitab Maqayisul Lugah karya Ibn Fars, arti asli dari kata ini adalah kedekatan dua benda, yang seakan-akan tak berjarak sama sekali. Maksudnya jika dua sesuatu sudah sangat berdekatan, sangatlah mustahil jika dibayangkan ada sesuatu ketiga, ketika kita katakan walia zaid Amr artinya zaid di sisi Amr. Kata ini juga bermakna teman, penolong dan penanggung jawab. Dengan kata lain pada semua arti tadi terdapat semacam kedekatan dan hubungan serta interaksi, dan untuk menentukan arti yang dinginkan dibutuhkan tanda-tanda dan kecermatan untuk memahami kontek kalimatnya.

Dengan memperhatikan poin-poin yang kita sebutkan tadi, kita dapat memahami bahwa maksud dari ayat di atas adalah hanya Allah SWT, Rasulullah SAW, dan Ali yang merupakan wali orang Islam.

Pemimpin sebuah kaum dapat dipanggil dengan wali atau maula, karena kedekatan dan secara langsung mengurusi dan menyuruh dan melarang semua urusan. Dan kepada majikan dikatakan maula karena secara langsung mengurusi masalah hamba. Ibnu faris juga mengatakan:”barang siapa bertanggung jawab atas urusan seseorang maka ia akan menjadi wali baginya.


____________________________________________________________

Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Pandangan Syi’ah.
Apabila kita kecualikan sebagian orang yang fanatik dari awamnya Syi’ah, yang menganggap seluruh Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai golongan Nawashib, maka kebanyakan ulama mereka yang dahulu dan sekarang adalah tetap meyakini nahwa saudara mereka dari Ahlussunnah wal Jama’ah itu adalah merupakan korban kedustaan dan tipu daya orang-orang Umawiyah. Sebab mereka berbaik sangka terhadap para pendahulu yang dianggap saleh dan mengikuti tanpa penelitian dan pertimbangan, sehingga mereka sesat dari jalan yang lurus dan dijauhkan dari Tsaqalain (dua peninggalan berharga)–yakni Kitabullah dan keluraga yang suci– yang keduanya dapat memelihara orang yang berpegang padanya dari kesesatan dan menjamin mereka terbimbing ke jalan yang benar.

Maka Anda lihat kebanyakan yang mereka tulis untuk mempertahankan diri dan memperkenalkan akidah mereka adalah dengan menyerukan kejujuran dan kesatuan dengan saudara mereka dari Ahlussunnah wal Jama’ah. Sebagaian ulama Syi’ah di beberapa negara dan kota-kota telah mempersiapkan para pembahas tentang metode yang tepat guna dalam rangka membentuk satu pengaturan dan lembaga pengajaran Islam untuk pendekatan antara mazhab-mazhab dan usaha membentuk persatuan.

Sebagian mereka, telah menaruh perhatian serius terhadap pelurusan al-Azhar asy-Syarif, menara Ilmu dan pengetahuan bagi Ahlussunnah, dan mereka telah menemui para ulamanya dan mengadakan diskusi dengan mereka secara baik, seperti yang telah dilakukan oleh Imam Syarafuddin al-Musawi ketika ia bertemu dengan Imam Salimuddin al-Bisyri. Dari hasil pertemuan dan surat menyurat itu lahirlah satu kitab yang bagus yang dinamakan al-Muraja’at (Dialog Sunnah–Syi’ah-red), yang memiliki peranan besar dalam pendekatan pandangan di kalangan umat Islam. Sebagaimana kesungguhan para ulama Syi’ah telah berhasil di Mesir, maka Imam Mahmud Syaltut, Multi negara Mesir di saat itu mengeluarkan fatwanya yang sangat mengesankan dalam pembolehan ibdah dengan mazhab Syi’ah Ja’fari dan fiqih Syi’ah Ja’fari dijadikan materi pelajaran yang diajarkan di al-Azhar asy-Syarif.

Demikian itulah, kebiasaan Syi’ah dan Ulamanya, khususnya dalam memperkenalkan para imam Ahlulbait yang suci dan mazhab Ja’far yang merupakan Islam dengan seluruh maknanya. Mereka telah menulis dalam masalah tersebut berjilid-jilid dan beberapa keterangan, dan mereka telah menyelenggarakan untuk itu banyak penerbitan-penerbitan khususnya setelah revolusi Islam di Iran, telah diadakan muktamar-muktamar di Teheran dengan mengatasnamakan kesatuan Islam, dan mengatasnamakan pendekatan antara mazhab-mazhab. Semuanya merupakan seruan yang sesungguhnya untuk menghilangkan permusuhan dan kedengian serta untuk menambahkan ruh persaudaraan Islam dan penghormatan terhadap sesama umat Islam.

Setiap tahun muktamar kesatuan Islam itu mengundang para ulama dan pemikir dari golongan Syi’ah dan sunah, dan mereka hidup berminggu-minggu secara penuh dibawah naungan persaudaraan yang sebenarnya, mereka makan dan minum, mengerjakan shalat, berdoa dan saling tukar pandangan dan pemikiran, dan mereka saling memberi dan menerima. Seandainya muktamar itu tidak berperan selain melunakkan hati dan pendekatan sesama umat Islam, agar saling mengenal dan melenyapkan kedengian, niscaya hal itu mengandung kebaikan yang banyak dan keutamaan yang menyeluruh serta akan datang masanya memetik hasilnya, insya Allah.

Dan Anda bila memasuki satu rumah dari rumah orang-orang Ssyi’ah yang biasa, lebih-lebih rumah para ulama dan para pelajar, pasti Anda mendapati di dalamnya susunan kitab-kitab yang mencakup kitab tulsan Ssyi’ah berdampingan dengan kitab-kitab tulisan Ahlussunnah wal Jama’ah. Tapi sebaliknya, ahlussunnah wal Jama’ah jarang Anda dapati disisi ulama mereka kitab Syi’ah satu pun, kecuali hanya beberapa orang saja. Oleh sebab itu, mereka tidak mengetahui hakikat Syi’ah dan tidak mengetahui selain hanyalah yang dusta yang ditulis oleh para musuhnya.

Sebagaimana orang Syi’ah biasa, Anda dapati kebanyakannya, mengetahui sejarah Islam dengan seluruh perputarannya dan sering ia berkumpul untuk menghidupkan peringatannya. Adapun orang Alim Sunni, Anda dapati sedikit saja yang memperhatikan sejarah, dan ia menganggapnya termasuk sumber keburukan yang tidak ia kehendaki mengungkitnya dan menampakkannya bahkan wajib mengabaikannya dan tidak mengambil perhatian padanya, karena hal itu dapat menimbulkan buruk sangka terhadap para pendahulu yang saleh. Dikarenakan ia telah memantapkan diri atau anggapannya dengan keadilan seluruh sahabat dan kesucian mereka, maka ia tidak mau menerima apa yang telah ditulis oleh sejarah tentang mereka.

Karena itu semua, Anda lihat ia tidak mau bersandar pada pembicara yang berdasarkan dalil dan bukti, Anda lihat ia, baik berusaha lari dari pembahasan karena ia lebih dahulu tahu akan kalah, atau ia akan mengalahkan perasaannya dan kecondongannya dan mendorong dirinya dalam pembahasan, lalu ia terpengaruh untuk protes terhadap akidahnya dan akhirnya mengikuti Ahlulbait Nabi saww.

Syi’ah itu adalah Ahlussunnah Nabi saww, karena Imam mereka yang pertama setelah Nabi saww adalah Imam ‘Ali bin Abi Thalib yang hidup dan bernapas dengan sunah Nabi saww. Perhatikanlah sikapnya, ketika mereka (para sahabat) mendatanginya untuk membaiat dirinya sebagai khalifah dengan syarat mengikuti sunah Syaikhan (yakni Abu Bakar dan Umar) maka ia menjawab, “Aku tidak mau memerintah kecuali dengan Kitabullah dan sunah Rasulullah saww,” tidak ada kebutuhan bagi ‘Ali dalam kekhalifahan jika dengan mengabaikan sunah Nabi saww, ia telah berkata, ”Sesungguhnya kekhalifahan kalian menurutku, bagaikan kotoran kambing, kecuali jika untuk menegakkan hukum Allah Swt.”.
Dan putranya yakni Imam Husein as, telah berkata dengan ucapannya yang masyhur, yang tetap bergema dalam pendengaran sepanjang zaman yakni,”Jika agama Nabi Muhammad saww, tidak akan tegak kecuali dengan kematianku, maka ambillah diriku wahai pedang-pedang!” Oleh karena itu, maka Syi’ah memandang saudara-saudaranya dari Ahlussunnah wal Jama’ah dengan pandangan simpatik dan kasihan, sepertinya mereka itu menginginkan baginya agar mendapat petunjuk dan keselamatan, sebab menurut mereka nilai petunjuk sesuai dengan yang telah diriwayatkan secara saleh itu adalah lebih baik dari pada dunia beserta apa yang ada di dalamnya. Rasulullah telah bersabda kepada Imam ‘Ali ketika beliau mengutusnya untuk membuka benteng khaibar, “Perangilah mereka sehingga mereka mengucapkan, ‘Tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad saww adalah Rasulullah saww, apabila mereka telah mengucapkan itu, berarti telah terlindungi darimu diri dan hartanya dan perhitungan selanjutnya pada Allah SWT. Jika Allah SWT, memberi petunjuk satu orang dengan perantaraanmu, niscaya hal itu lebih baik bagimu dari pada engkau memiliki kuda yang terbagus.”.

Sebagaimana yang menjadikan keinginan Imam ‘Ali bin Abi Thalib hanyalah satu yakni, membimbing umat manusia dan mengembalikannya kepada Kitabullah dan sunah Rasul-Nya, maka demikian pula Syi’ahnya sekarang ini, keinginan mereka adalah untuk mempertahankan diri mereka dari segala tuduhan-tuduhan dan kedustaan, serta ingin memperkenalkan pada saudaranya Ahlussunnah tentang hakikat Ahlulbait as danselanjutnya membimbing mereka ke jalan yang lurus.

Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal, Al-Qur’an itu bukanlah bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (QS. Yusuf:111).


___________________________________________________________

Khulafaurrasyidin adalah 12 imam ahlul bait.
Ahlul bait yang disucikan adalah Rasulullah SAW, Imam Ali, Fatimah, Hasan dan Husain ( hadis ahlul kisa dari Qs.33:33).. 12 imam adalah Imam Ali + 11 keturunan Imam Ali… Mereka adalah khalifah yang ditunjuk Nabi SAW.

Dari Zaid bin Tsabit RA yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian dua Khalifah yaitu Kitab Allah yang merupakan Tali yang terbentang antara bumi dan langit, serta KeturunanKu Ahlul BaitKu. Keduanya tidak akan berpisah sampai menemuiKu di Telaga Surga Al Haudh. (Hadis Ini diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad jilid 5 hal 182, Syaikh Syuaib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad menyatakan bahwa hadis ini shahih. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir jilid 5 hal 154, Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid jilid 1 hal 170 berkata “para perawi hadis ini tsiqah”. Hadis ini juga disebutkan oleh As Suyuthi dalam Jami’ Ash Shaghir hadis no 2631 dan beliau menyatakan hadis tersebut Shahih).

Hadis di atas adalah Hadis Tsaqalain dengan matan yang khusus menggunakan kata Khalifah. Hadis ini adalah hadis yang Shahih sanadnya dan dengan jelas menyatakan bahwa Al Ithrah Ahlul Bait Nabi SAW adalah Khalifah bagi Umat islam. Oleh karena itu Premis bahwa Sang Khalifah setelah Rasulullah SAW itu ditunjuk dan diangkat oleh Rasulullah SAW adalah sangat beralasan:

اِنِّي تَارِكٌ فِيكُمُ الثَّقَلَيْنِ: كِتَابَ الله،ِ وَ عِتْرَتِي اَهْلَ بَيْتِي، مَا اِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضِلُّوا اَبَدًا، وَانَّهُمَا لَنْ يَفْتَرِقَا حَتیّ يرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ

Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya aku telah meninggalkan buat kalian dua hal yang berharga; Kitab Allah dan Itrah; Ahlul Baitku. Selama berpegang pada keduanya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya. Dan keduanya juga tidak akan berpisah hingga menjumpaiku di telaga Kautsar kelak di Hari Kiamat.” (H.R. Sahih Muslim : jilid 7, hal 122. Sunan Ad-Darimi, jilid 2, hal 432. Musnad Ahmad, jilid 3, hal 14, 17, 26 dan jilid 4, hal 371 serta jilid 5, hal 182 dan 189. Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, hal 109, 147 dan 533).

Terkait dengan sikap kita kepada Ahlul Bait, di antaranya Nabi saw. bersabda:

إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوْا كِتَابَ اللهِ وَعِتْرَتِي أَهْلَ بَيْتِي

Aku meninggalkan di tengah tengah kalian apa yang jika kalian ambil kalian tidak akan tersesat, Kitabullah dan ’itrah Ahlul Baitku. (HR. Tirmidzi).


__________________________________________________________________________

NABi SAW MENYEBUT NAMA 12 KHALiFAH UMAT.
penutupan kenabian dilengkapi oleh penunjukkan imam Dan kesempurnaan Islam yang universal dan abadi sampai akhir masa bergantung pada pengangkatan para imam.. Konsep imamah demikian ini mengacu pada ayat-ayat Al-Qur’an.

Di antara ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi acuan utama adalah ayat ke-3 Al-Ma’idah. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya pada hari ini [yaitu pada hari setelah pengangkatan Imam Ali sebagai khalifah Rasul saw] telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Aku lengkapi atas kalian nikmat-Ku, dan juga Aku telah ridha bahwa Islam sebagai agama kalian.”

Dari penelaahan terhadap ayat ini berikut tafsir dan sebab turunnya di dalam berbagai kitab tafsir, akan kita dapati bagaimana para ahli tafsir telah bersepakat, bahwa ayat tersebut turun pada haji Wada’, yaitu haji perpisahan (terakhir) Rasul saw yang terjadi beberapa bulan sebelum beliau wafat.

Masih dalam rangkaian ayat tersebut, setelah menyinggung ihwal orang-orang kafir yang telah berputus asa untuk mengadakan penyimpangan terhadap Islam, Allah SWT berfirman, “Pada hari ini orang-orang kafir telah berputus asa dari agama kalian.”.

Allah SWT menegaskan bahwa pada hari itu agama Islam dan nikmat wilayah telah Dia lengkapi dan sempurnakan.
Apabila kita cermati dengan baik riwayat-riwayat yang menjelaskan sebab turun ayat tersebut, akan tampak jelas lagi bahwa ikmal dan itmam (penyempurnaan dan pelengkapan), yang disusul oleh keputusasaan orang-orang kafir untuk melakukan penyimpangan terhadap Islam, terwujud dengan diangkatnya seorang khalifah Nabi dari sisi Allah SWT. Karena musuh-musuh Islam menduga, bahwa sepeninggal Rasul saw agama Islam dan para pemeluknya tidak punya pemimpin lagi. Terlebih Rasul sendiri tidak punya seorang putra pun. Dengan demikian, agama Islam akan menjadi lemah dan akan mengalami kehancuran.

Dugaan mereka itu sungguh keliru, karena Islam telah mencapai kesempurnaannya dengan diangkatnya seorang pengganti Rasul yang akan melanjutkan risalah dan perjuangan beliau. Maka, menjadi lengkaplah nikmat Ilahi, sementara segala angan-angan, harapan dan ambisi orang-orang kafir menjadi sirna.

Pengangkatan khalifah Nabi saw itu terjadi tatkala beliau dan rombongan jemaah haji dalam perjalanan pulang mereka dari haji Wada’. Ketika itu, beliau mengumpulkan semua jemaah haji di satu tempat yang dikenal dengan nama “Ghadir Khum”. Pada kesempatan itu, beliau menyampaikan khutbahnya yang panjang. Kepada kaum muslimin beliau bertanya:
“Bukankah aku ini lebih utama daripada diri kalian sendiri?”
Serempak mereka menjawab:
“Benar, ya Rasulullah ….”
Kemudian Nabi saw memegang tangan Ali bin Abi Thalib as dan mengangkatnya di hadapan mereka semua, lalu berkata, “Barang siapa yang menjadikan aku ini sebagai pemimpinnya, maka sungguh Ali adalah pemimpinnya.”

Dengan demikian, Nabi saw telah menetapkan wilayah Ilahiyah itu atas Imam Ali as. Segera setelah itu, seluruh kaum muslimin yang hadir di tempat itu bangkit membaiatnya. Di antara mereka, tidak ketinggalan pula khalifah kedua, Umar bin Khattab. Kepadanya Umar mengucapkan selamat dan berkata, “Engkau beruntung sekali wahai Ali. Kini engkau telah menjadi pemimpinku dan pemimpin seluruh masyarakat yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan.”.

Pada hari yang agung tersebut, turunlah ayat yang berbunyi, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian, dan telah Aku lengkapi pula nikmat-Ku atas kalian, dan Aku pun rela Islam sebagai agama kalian.
Dengan turunnya ayat ini, Rasul saw mengucapkan takbir lalu berkata, “Kesempurnaan kenabianku dan kesempurnaan agama Allah itu terletak pada wilayah Ali sepeninggalku.”.

Seorang ulama Ahlusunah terkemuka bernama Al-Juwaini menukil sebuah riwayat, “Ketika ayat tersebut turun, Abu Bakar dan Umar berkata, ‘Ya Rasul Allah, apakah kepemimpinan ini dikhususkan untuk Ali?’
Rasul menjawab, ‘Ya, wilayah (kepemimipinan) ini diturunkan untuknya dan untuk para washi-ku sampai Hari Kiamat.’

Lalu kedua orang itu berkata lagi, ‘Ya Rasul Allah, jelaskanlah kepada kami siapa sajakah mereka itu?’
Beliau menjawab, ‘Mereka itu adalah Ali, ia adalah saudaraku, wazirku, pewarisku, washiku dan khalifahku bagi umatku, dan dialah wali (pemimpin) setiap mukmin sepeninggalku, kemudian setelahnya adalah cucuku Al-Hasan, kemudian cucuku Al-Husein dan kemudian sembilan orang dari putra-putra keturunan Al-Husein secara berurutan. Al-Qur’an senantiasa bersama mereka, sebagaimana mereka selalu bersama Al-Qur’an, keduanya itu tidak akan pernah berpisah hingga mereka menjumpaiku di telaga Surga.”[1]

Kalau kita mengkaji secara seksama beberapa riwayat yang berhubungan dengan pengangkatan Ali as sebagai imam, wali dan washi Rasul saw, kita dapat memahami bahwa Rasul saw sebelum itu telah diperintahkan oleh Allah SWT untuk mengumumkan secara resmi kepada masyarakat umum tentang Imamah dan wilayah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Akan tetapi, beliau merasa kuatir terhadap protes dan penentangan mereka dalam melakukan perintah Ilahi itu. Beliau kuatir akan anggapan mereka bahwa hal itu adalah ambisi pribadi beliau semata, karenanya ada kemungkinan mereka akan menolaknya.

Untuk itu, Rasul saw menunggu kesempatan yang tepat untuk menyampaikan pesan penting tersebut hingga turunlah ayat ini, “Wahai Rasul, sampaikanlah pesan dan wahyu yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu. Dan jika kamu tidak melaksanakannya, maka berarti kamu tidak menyampaikan seluruh risalah-Nya. Dan janganlah kamu takut, karena Allah akan menjagamu dari kejahatan manusia.” (QS. Al-Ma’idah: 67).

Sejauh yang dapat kita cermati, tampak sebegitu besarnya penekanan Allah SWT atas pentingnya menyampaikan perintah Ilahi itu yang tidak kurang pentingnya daripada perintah-perintah Ilahi lainnya. Bahkan jika perintah tersebut tidak disampaikan, ini sama artinya dengan tidak pernah menyampaikan semua risalah Allah. Lebih dari itu, di dalam ayat di atas terdapat kabar gembira, bahwa Allah senantiasa akan menjaga dan melindungi Nabi saw dari berbagai kejahatan dan perlakuan buruk yang mungkin direncanakan oleh musuh-musuh Allah tatkala mereka mendengar perintah tersebut.

Berbarengan dengan turunnya ayat tersebut, Rasul saw memperoleh kesempatan yang sangat tepat untuk menyampaikan perintah Ilahi yang amat penting itu. Ketika melihat bahwa tidaklah bijak menunda perintah itu, beliau pun segera mengumpulkan kaum muslimin di padang Ghadir Khum untuk menerima pesan-pesan dan wasiat beliau.

Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa keistimewaan hari “Ghadir” ini terletak pada diumumkannya secara resmi pengangkatan Imam Ali bin Abi Thalib as di hadapan khalayak umat, sekaligus pengambilan baiat dari mereka. Karena sebelum itu, Rasul saw seringkali memberikan isyarat tentang khilafah Ali as dengan berbagai ungkapan dan dalam berbagai kesempatan sepanjang masa kenabian beliau.

Sebagai contoh, pada masa-masa awal bi’tsah (kenabian) Muhammmad saw sebuah ayat turun kepada beliau, “Berikanlah peringatan kepada keluargamu yang terdekat” (QS.As-Syu’ara: 214).
Lantas beliau berseru kepada keluarganya, “Siapakah di antara kalian yang siap menjadi penolongku dalam urusan agamaku ini, aku akan jadikan ia sebagai saudaraku, washi-ku dan khalifahku atas kalian.”.

Ahlusunnah dan Syi’ah sepakat, bahwa ketika itu tidak seorang pun dari keluarga Nabi saw yang memberikan jawaban kecuali Imam Ali bin Abi Thalib as.[2]

Demikian juga ketika turun ayat, “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya dan taati pula Ulil Amri (para Imam) di antara kalian.” (QS. An-Nisa’: 59).

Secara tegas Allah SWT mewajibkan semua orang-orang yang beriman untuk mentaati “Ulil Amri” secara mutlak. Dan, menaati mereka sama dengan mentaati Rasulullah.
Sekaitan dengan ayat di atas, Jabir bin Abdillah bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah orang-orang yang wajib ditaati seperti yang diisyaratkan dalam ayat ini?”
Rasulullah saw menjawab, “Yang wajib ditaati adalah para khalifahku wahai Jabir, yaitu para imam kaum muslimin sepeninggalku nanti. Imam pertama mereka adalah Ali bin Abi Thalib, kemudian Hasan, kemudian Husein, kemudian Ali bin Husein, kemudian Muhammad bin Ali yang telah dikenal di dalam kitab Taurat dengan nama “Al-Baqir” dan engkau akan berjumpa dengannya wahai Jabir. Apabila engkau nanti berjumpa dengannya, maka sampaikanlah salamku kepadanya. Kemudian setelah itu As-Shadiq Ja’far bin Muhammad, kemudian Musa bin Ja’far, kemudian Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin Ali, kemudian Ali bin Muhammad, kemudian Hasan bin Ali, kemudian yang terakhir ialah Al-Mahdi bin Hasan bin Ali sebagai Hujjatullah di muka bumi ini dan Khalifatullah yang terakhir.”[3]

Sebagaimana yang baru saja kita simak, Nabi saw telah mengabarkan kepada sahabat beliau yang bernama Jabir bin Abdillah Al-Anshari, bahwa dia kelak akan dapat berjumpa dengan Imam Muhammad Al-Baqir as Dan sejarah mencatat bahwa Allah mengaruniai Jabir umur panjang, ia hidup sampai pada masa Imam Baqir as Ketika berjumpa, ia begitu senang sampaikan salam Rasul saw kepada Imam as.

Abu Bashir dalam sebuah hadis yang diriwayatkannya berkata, “Aku pernah bertanya kepada Aba Abdillah Ja’far Ash-Shadiq as tentang firman Allah SWT, ‘Athi’ullaha Wa Athi’urrasula Wa Ulil Amri minkum.’
Beliau menjawab, “Sesungguhnya ayat tersebut diturunkan sehubungan dengan khilafah Ali bin Abi Thalib, Hasan dan Husein.”
Kembali aku bertanya, “Akan tetapi mengapa Allah tidak menyebutkan nama Ali dan Ahlulbaitnya di dalam Al-Qur’an?”
Imam Ja’far Ash-Shadiq as menjawab, “Katakanlah kepada mereka, ‘Bahwa ayat-ayat tentang shalat yang turun kepada Nabi sama sekali tidak menjelaskan tentang jumlah rakaatnya; tiga atau pun empat, akan tetapi Nabilah yang menjelaskan ayat-ayat tersebut kepada mereka. Begitu pula ketika turun ayat ini, beliaulah yang menjelaskan bahwa Ulil Amri itu adalah Ali bin Abi Thalib as, dan para imam dari keturunannya.

Bahkan ketika Rasulullah saw berwasiat kepada mereka agar tetap berpegang teguh kepada: “Kitabullah” dan Ahlubaitnya, yang keduanya itu tidak akan berpisah sampai akhir masa. Nabi saw menambahkan, ‘Janganlah kalian menggurui mereka, karena mereka itu lebih alim dari kalian, dan mereka tidak akan mengeluarkan kalian dari pintu petunjuk dan tidak akan menjerumuskan kalian ke dalam lembah kesesatan.’”
Kalau kita amati dengan baik sabda-sabda Nabi saw yang berhubungan dengan masalah wasiat, akan kita dapati betapa seringnya Nabi saw mengulang-ulang wasiatnya itu. Bahkan di akhir hayat, Nabi saw masih saja mengulang wasiatnya tersebut, “Sesungguhnya aku meninggalkan dua pusaka berharga untuk kalian, yaitu Kitabullah dan Ahlilbaitku. Keduanya itu tidak akan berpisah sehingga menjumpaiku di telaga Surga kelak.”.

Perlu diketahui bahwa hadis mengenai wasiat tersebut merupakan hadis yang mutawatir, baik dari Syi’ah Imamiyah maupun dari jalur Ahlusunah wal Jamaah.
Di antara tokoh-tokoh Ahlusunah yang meriwayatkan hadis tersebut adalah At-Turmudzi, An-Nasa’i, Al-Hakim, dll. Ulama yang belakangan ini pun meriwayatkan sebuah hadis lainnya, bahwa Nabi saw. telah bersabda, “Ketahuilah sesungguhnya perumpamaan Ahlulbaitku bagaikan bahtera Nuh as, siapa yang turut naik bersamanya, ia akan selamat. Dan siapa yang menolaknya, maka ia akan karam.”[4]
Termasuk hadis yang sering diulang-ulang oleh Nabi saw ialah “Wahai Ali, engkau adalah pemimpin bagi setiap mukmin setelah wafatku nanti.”[5]

CATATAN KAKI :
[1] Ghayatul Maram, bab 58, hadis ke-4.
[2] Bisa dirujuk ke ‘Abaqat Al-Anwar dan Al-Ghadir.
[3] Rujuk ke Ghayah al-Maram, jilid 10, hal. 267, Itsbat al-Hudat, jilid 3/123 dan Yanabi’ al-Mawaddah, hal. 494.
[4] Rujuk ke Mustadrak al-Hakim, jilid 3/151.
[5] Rujuk ke Mustadrak al-Hakim, jilid 3/111, 134, Ash-Shawa’iq Al-Muhriqah, hal. 103, dan Musnad Ibnu Hanbal, jilid 1/331 dan jilid 4/438.

______________________________________________________
Kelak akan datang dua belas Imam …
Jabir bin Samurah meriwayatkan: Saya mendengar Nabi (saw) berkata: ”Kelak akan ada Dua Belas Pemimpin.” Ia lalu melanjutkan kalimatnya yang saya tidak mendengarnya secara jelas. Ayah saya mengatakan, bahwa Nabi menambahkan, ”Semuanya berasal dari suku Quraisy.” [Sahih al-Bukhari (Bahasa Inggris), Hadith: 9.329, Kitabul Ahkam; Sahih al-Bukhari, (Bhs Arab), 4:165, Kitabul Ahkam].

Nabi (saw) bersabda: “Agama (Islam) akan berlanjut sampai datangnya Saat (Hari Kebangkitan), berkat peranan Dua Belas Khalifah bagi kalian, semuanya berasal dari suku Quraisy.” [Sahih Muslim, (English), Chapter DCCLIV, v3, p1010, Hadis no. 4483; Sahih Muslim (Bhs Arab), Kitab al-Imaara, 1980 Edisi Saudi Arabia, v3, p1453, Hadis no.10].

Siapakah Dua Belas Penerus Nabi (s.a.w)itu? Apa yang dikatakan para Ulama Sunni:
Ibn al-’Arabi: Kami telah menghitung pemimpin (Amir-Amir) sesudah Nabi (saw) ada dua belas. Kami temukan nama-nama mereka itu sebagai berikut: Abubakar, Umar, Usman, Ali, Hasan, Muawiyah, Yazid, Muawiyah bin Yazid, Marwan, Abdul Malik bin Marwan, Yazid bin Abdul Malik, Marwan bin Muhammad bin Marwan, As-Saffah… Sesudah ini ada lagi 27 khalifah Bani Abbas. Jika kita perhitungkan 12 dari mereka, kita hanya sampai pada Sulaiman. Jika kita ambil apa yang tersurat saja, kita cuma mendapatkan 5 orang di antara mereka dan kepadanya kita tambahkan 4 ‘Khalifah Rasyidin’, dan Umar bin Abdul Aziz…. Saya tidak paham arti hadis ini. [Ibn al-'Arabi, Sharh Sunan Tirmidhi, 9:68-69].

Qadi ‘Iyad al-Yahsubi: Jumlah khalifah yang ada lebih dari itu. Adalah keliru
untuk membatasinya hanya sampai angka dua belas. Nabi (saw) tidak mengatakan bahwa jumlahnya hanya dua belas dan bahwa tidak ada tambahan lagi. Maka mungkin saja jumlahnya lebih banyak lagi. [Al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim, 12:201-202; Ibn Hajar al-'Asqalani, Fath al-Bari, 16:339].

Jalal al-Din al-Suyuti: Hanya ada dua belas Khalifah sampai Hari Pengadilan. Dan mereka akan terus melangkah dalam kebenaran, meski mungkin kedatangan mereka tidak secara berurutan. Kita lihat bahwa dari yang dua belas itu, 4 adalah Khalifah Rasyidin, lalu Hasan, lalu Muawiyah, lalu Ibnu Zubair, dan akhirnya Umar bin Abdul Aziz. Semua ada 8. Masih sisa 4 lagi. Mungkin Mahdi, Bani Abbasiyah bisa dimasukkan ke dalamnya sebab dia seorang Bani Abbasiyah seperti Umar bin Abdul Aziz yang (berasal dari) Bani Umayyah. Dan Tahir Abbasi juga bisa dimasukkan sebab dia pemimpin yang adil. Jadi, masih dua lagi. Salah satu di antaranya adalah Mahdi, sebab ia berasal dari Ahlul Bait (keluarga) Nabi (as).” [Al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa, Halaman 12; Ibn Hajar al-Haytami, Al-Sawa'iq al-Muhriqah Halaman 19].

Ibn Hajar al-’Asqalani: Tidak seorang pun mengerti tentang hadis dari Sahih.
Bukhari ini. Adalah tidak benar untuk mengatakan bahwa Imam-imam itu akan hadir sekaligus pada satu saat bersamaan. [Ibn Hajar al-'Asqalani, Fath al-Bari 16:338-341].

Ibn al-Jawzi: Khalifah pertama Bani Umayyah adalah Yazid bin Muawiyah dan yang terakhir adalah Marwan Al-Himar. Total jumlahnya tiga belas. Usman, Muawiyah dan Ibnu Zubair tidak termasuk karena mereka tergolong Sahabat Nabi (s). Jika kita kecualikan (keluarkan) Marwan bin Hakam karena adanya kontroversi tentang statusnya sebagai Sahabat atau karena ia berkuasa padahal Abdullah bin Zubair memperoleh dukungan masyarakat, maka kita mendapatkan angka Dua Belas.… Ketika kekhalifahan muncul dari Bani Umayyah, terjadilah kekacauan yang besar sampai kukuhnya kekuasaan) Bani Abbasiyah. Bagaimana pun, kondisi awal telah berubah total. [Ibn al-Jawzi, Kashf al-Mushkil, sebagaimana dikutip dalam Ibn Hajar al-'Asqalani, Fath al-Bari 16:340 dari Sibt Ibn al-Jawzi].

Al-Nawawi: Ia bisa saja berarti bahwa kedua belas Imam berada dalam masa (periode) kejayaan Islam. Yakni ketika Islam (akan) menjadi dominan sebagai agama. Para Khalifah ini, dalam masa kekuasaan mereka, akan menyebabkan agama menjadi mulia.[Al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim ,12:202-203].

Al-Bayhaqi: Angka (dua belas) ini dihitung hingga periode Walid bin Abdul Malik. Sesudah ini, muncul kerusakan dan kekacauan. Lalu datang masa dinasti Abbasiyah. Laporan ini telah meningkatkan jumlah Imam-imam. Jika kita abaikan karakteristik mereka yang datang sesudah masa kacau-balau itu, maka angka tadi menjadi jauh lebih banyak.” [Ibn Kathir, Ta'rikh, 6:249; Al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa Halaman 11].

Ibn Kathir: Barang siapa mengikuti Bayhaqi dan setuju dengan pernyataannya bahwa kata ‘Jama’ah’ berarti Khalifah-khalifah yang datang secara tidak berurutan hingga masa Walid bin Yazid bin Abdul Malik yang jahat dan sesat itu, maka berarti ia (orang itu) setuju dengan hadis yang kami kritik dan mengecualikan tokoh-tokoh tadi. Dan jika kita menerima Kekhalifahan Ibnu Zubair sebelum Abdul Malik, jumlahnya menjadi enam belas. Padahal jumlah seluruhnya seharusnya dua belas sebelum Umar bin Abdul Aziz. Dalam perhitungan ini, Yazid bin Muawiyah termasuk di dalamnya sementara Umar bin Abdul Aziz tidak dimasukkan. Meski demikian, sudah menjadi pendapat umum bahwa para ulama menerima Umar bin Abdul Aziz sebagai seorang Khalifah yang jujur dan adil. [Ibn Kathir, Ta'rikh, 6:249-250].

Di antara simpang siur pendapat tersebut, Ulama terkenal Al-Dhahabi mengatakan dalam bukunya Tadzkirat al-Huffaz , jilid 4, halaman 298, dan Ibn Hajar al-’Asqalani menyatakan dalam al-Durar al-Kaminah, jilid 1, hal. 67 bahwa Sadruddin Ibrahim bin Muhammad bin al-Hamawayh al-Juwayni al-Shafi’i (disingkat Al-Juwayni) adalah seorang ahli Hadis yang mumpuni. Al-Juwayni menyampaikan dari Abdullah bin Abbas (ra) bahwa Nabi (sawa) mengatakan,”Saya adalah penghulu para Nabi dan Ali bin Abi Thalib adalah pemimpin para penerus, dan sesudah saya akan ada dua belas penerus. Yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib dan yang terakhir adalah Al-Mahdi.”

Al-Juwayni juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas (r) bahwa Rasulullah (sawa) berkata: ”Sudah pasti bahwa wakil-wakilku dan Bukti Allah bagi makhluk sesudahku ada dua belas. Yang pertama di antara mereka adalah saudaraku dan yang terakhir adalah anak (cucu) ku.” Orang bertanya: “Wahai Rasulullah, siapakah saudaramu itu?”. Beliau menjawab: “Ali bin Abi Thalib.” Lalu beliau ditanyai lagi: “ Dan siapakan anak (cucu) mu itu?” Nabi yang suci (sawa) menjawab: ”Al-Mahdi. Dia akan mengisi bumi dengan
keadilan dan persamaan ketika ia (bumi) dipenuhi ketidakadilan dan tirani. Dan demi Yang Mengangkatku sebagai pemberi peringatan dan memberiku kabar gembira, meski seandainya masa berputarnya dunia ini tinggal sehari saja, Allah SWT akan memperpanjang hari itu sampai diutusnya (anakku) Mahdi, kemudian ia akan disusul Ruhullah Isa bin Maryam (a.s.) yang turun ke bumi dan berdoa di belakangnya (Mahdi). Dunia akan diterangi oleh sinarnya, dan kekuatannya akan mencapai hingga ke timur dan ke barat.”

Al-Juwayni juga meriwayatkan bahwa Rasulullah (sawa) mengatakan: ”Aku dan Ali dan Hasan dan Husain dan sembilan anak cucu Husain adalah yang disucikan (dari dosa) dan dalam kebenaran.” [Al-Juwayni, Fara'id al-Simtayn, Mu'assassat al-Mahmudi li-Taba'ah, Beirut 1978, p. 160].


__________________________________________________________

Khulafaurrasyidin adalah 12 imam ahlul bait.
Ahlul bait yang disucikan adalah Rasulullah SAW, Imam Ali, Fatimah, Hasan dan Husain ( hadis ahlul kisa dari Qs.33:33).. 12 imam adalah Imam Ali + 11 keturunan Imam Ali… Mereka adalah khalifah yang ditunjuk Nabi SAW.

Dari Zaid bin Tsabit RA yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian dua Khalifah yaitu Kitab Allah yang merupakan Tali yang terbentang antara bumi dan langit, serta KeturunanKu Ahlul BaitKu. Keduanya tidak akan berpisah sampai menemuiKu di Telaga Surga Al Haudh. (Hadis Ini diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad jilid 5 hal 182, Syaikh Syuaib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad menyatakan bahwa hadis ini shahih. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir jilid 5 hal 154, Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid jilid 1 hal 170 berkata “para perawi hadis ini tsiqah”. Hadis ini juga disebutkan oleh As Suyuthi dalam Jami’ Ash Shaghir hadis no 2631 dan beliau menyatakan hadis tersebut Shahih).

Hadis di atas adalah Hadis Tsaqalain dengan matan yang khusus menggunakan kata Khalifah. Hadis ini adalah hadis yang Shahih sanadnya dan dengan jelas menyatakan bahwa Al Ithrah Ahlul Bait Nabi SAW adalah Khalifah bagi Umat islam. Oleh karena itu Premis bahwa Sang Khalifah setelah Rasulullah SAW itu ditunjuk dan diangkat oleh Rasulullah SAW adalah sangat beralasan:

اِنِّي تَارِكٌ فِيكُمُ الثَّقَلَيْنِ: كِتَابَ الله،ِ وَ عِتْرَتِي اَهْلَ بَيْتِي، مَا اِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضِلُّوا اَبَدًا، وَانَّهُمَا لَنْ يَفْتَرِقَا حَتیّ يرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ

Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya aku telah meninggalkan buat kalian dua hal yang berharga; Kitab Allah dan Itrah; Ahlul Baitku. Selama berpegang pada keduanya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya. Dan keduanya juga tidak akan berpisah hingga menjumpaiku di telaga Kautsar kelak di Hari Kiamat.” (H.R. Sahih Muslim : jilid 7, hal 122. Sunan Ad-Darimi, jilid 2, hal 432. Musnad Ahmad, jilid 3, hal 14, 17, 26 dan jilid 4, hal 371 serta jilid 5, hal 182 dan 189. Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, hal 109, 147 dan 533).

Terkait dengan sikap kita kepada Ahlul Bait, di antaranya Nabi saw. bersabda:

إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوْا كِتَابَ اللهِ وَعِتْرَتِي أَهْلَ بَيْتِي

Aku meninggalkan di tengah tengah kalian apa yang jika kalian ambil kalian tidak akan tersesat, Kitabullah dan ’itrah Ahlul Baitku. (HR. Tirmidzi).


_______________________________________________________

NABi SAW MENYEBUT NAMA 12 KHALiFAH UMAT.
Penutupan kenabian dilengkapi oleh penunjukkan imam Dan kesempurnaan Islam yang universal dan abadi sampai akhir masa bergantung pada pengangkatan para imam.. Konsep imamah demikian ini mengacu pada ayat-ayat Al-Qur’an. Di antara ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi acuan utama adalah ayat ke-3 Al-Ma’idah. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya pada hari ini [yaitu pada hari setelah pengangkatan Imam Ali sebagai khalifah Rasul saw] telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Aku lengkapi atas kalian nikmat-Ku, dan juga Aku telah ridha bahwa Islam sebagai agama kalian.”.

Dari penelaahan terhadap ayat ini berikut tafsir dan sebab turunnya di dalam berbagai kitab tafsir, akan kita dapati bagaimana para ahli tafsir telah bersepakat, bahwa ayat tersebut turun pada haji Wada’, yaitu haji perpisahan (terakhir) Rasul saw yang terjadi beberapa bulan sebelum beliau wafat.

Masih dalam rangkaian ayat tersebut, setelah menyinggung ihwal orang-orang kafir yang telah berputus asa untuk mengadakan penyimpangan terhadap Islam, Allah SWT berfirman, “Pada hari ini orang-orang kafir telah berputus asa dari agama kalian.”.

Allah SWT menegaskan bahwa pada hari itu agama Islam dan nikmat wilayah telah Dia lengkapi dan sempurnakan.
Apabila kita cermati dengan baik riwayat-riwayat yang menjelaskan sebab turun ayat tersebut, akan tampak jelas lagi bahwa ikmal dan itmam (penyempurnaan dan pelengkapan), yang disusul oleh keputusasaan orang-orang kafir untuk melakukan penyimpangan terhadap Islam, terwujud dengan diangkatnya seorang khalifah Nabi dari sisi Allah SWT. Karena musuh-musuh Islam menduga, bahwa sepeninggal Rasul saw agama Islam dan para pemeluknya tidak punya pemimpin lagi. Terlebih Rasul sendiri tidak punya seorang putra pun. Dengan demikian, agama Islam akan menjadi lemah dan akan mengalami kehancuran.

Dugaan mereka itu sungguh keliru, karena Islam telah mencapai kesempurnaannya dengan diangkatnya seorang pengganti Rasul yang akan melanjutkan risalah dan perjuangan beliau. Maka, menjadi lengkaplah nikmat Ilahi, sementara segala angan-angan, harapan dan ambisi orang-orang kafir menjadi sirna.

Pengangkatan khalifah Nabi saw itu terjadi tatkala beliau dan rombongan jemaah haji dalam perjalanan pulang mereka dari haji Wada’. Ketika itu, beliau mengumpulkan semua jemaah haji di satu tempat yang dikenal dengan nama “Ghadir Khum”. Pada kesempatan itu, beliau menyampaikan khutbahnya yang panjang. Kepada kaum muslimin beliau bertanya:
“Bukankah aku ini lebih utama daripada diri kalian sendiri?”
Serempak mereka menjawab:
“Benar, ya Rasulullah ….”
Kemudian Nabi saw memegang tangan Ali bin Abi Thalib as dan mengangkatnya di hadapan mereka semua, lalu berkata, “Barang siapa yang menjadikan aku ini sebagai pemimpinnya, maka sungguh Ali adalah pemimpinnya.”.

Dengan demikian, Nabi saw telah menetapkan wilayah Ilahiyah itu atas Imam Ali as. Segera setelah itu, seluruh kaum muslimin yang hadir di tempat itu bangkit membaiatnya. Di antara mereka, tidak ketinggalan pula khalifah kedua, Umar bin Khattab. Kepadanya Umar mengucapkan selamat dan berkata, “Engkau beruntung sekali wahai Ali. Kini engkau telah menjadi pemimpinku dan pemimpin seluruh masyarakat yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan.”.

Pada hari yang agung tersebut, turunlah ayat yang berbunyi, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian, dan telah Aku lengkapi pula nikmat-Ku atas kalian, dan Aku pun rela Islam sebagai agama kalian.
Dengan turunnya ayat ini, Rasul saw mengucapkan takbir lalu berkata, “Kesempurnaan kenabianku dan kesempurnaan agama Allah itu terletak pada wilayah Ali sepeninggalku.”.

Seorang ulama Ahlusunah terkemuka bernama Al-Juwaini menukil sebuah riwayat, “Ketika ayat tersebut turun, Abu Bakar dan Umar berkata, ‘Ya Rasul Allah, apakah kepemimpinan ini dikhususkan untuk Ali?’
Rasul menjawab, ‘Ya, wilayah (kepemimipinan) ini diturunkan untuknya dan untuk para washi-ku sampai Hari Kiamat.’.

Lalu kedua orang itu berkata lagi, ‘Ya Rasul Allah, jelaskanlah kepada kami siapa sajakah mereka itu?’
Beliau menjawab, ‘Mereka itu adalah Ali, ia adalah saudaraku, wazirku, pewarisku, washiku dan khalifahku bagi umatku, dan dialah wali (pemimpin) setiap mukmin sepeninggalku, kemudian setelahnya adalah cucuku Al-Hasan, kemudian cucuku Al-Husein dan kemudian sembilan orang dari putra-putra keturunan Al-Husein secara berurutan. Al-Qur’an senantiasa bersama mereka, sebagaimana mereka selalu bersama Al-Qur’an, keduanya itu tidak akan pernah berpisah hingga mereka menjumpaiku di telaga Surga.”[1]

Kalau kita mengkaji secara seksama beberapa riwayat yang berhubungan dengan pengangkatan Ali as sebagai imam, wali dan washi Rasul saw, kita dapat memahami bahwa Rasul saw sebelum itu telah diperintahkan oleh Allah SWT untuk mengumumkan secara resmi kepada masyarakat umum tentang Imamah dan wilayah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Akan tetapi, beliau merasa kuatir terhadap protes dan penentangan mereka dalam melakukan perintah Ilahi itu. Beliau kuatir akan anggapan mereka bahwa hal itu adalah ambisi pribadi beliau semata, karenanya ada kemungkinan mereka akan menolaknya.

Untuk itu, Rasul saw menunggu kesempatan yang tepat untuk menyampaikan pesan penting tersebut hingga turunlah ayat ini, “Wahai Rasul, sampaikanlah pesan dan wahyu yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu. Dan jika kamu tidak melaksanakannya, maka berarti kamu tidak menyampaikan seluruh risalah-Nya. Dan janganlah kamu takut, karena Allah akan menjagamu dari kejahatan manusia.” (QS. Al-Ma’idah: 67).

Sejauh yang dapat kita cermati, tampak sebegitu besarnya penekanan Allah SWT atas pentingnya menyampaikan perintah Ilahi itu yang tidak kurang pentingnya daripada perintah-perintah Ilahi lainnya. Bahkan jika perintah tersebut tidak disampaikan, ini sama artinya dengan tidak pernah menyampaikan semua risalah Allah. Lebih dari itu, di dalam ayat di atas terdapat kabar gembira, bahwa Allah senantiasa akan menjaga dan melindungi Nabi saw dari berbagai kejahatan dan perlakuan buruk yang mungkin direncanakan oleh musuh-musuh Allah tatkala mereka mendengar perintah tersebut.

Berbarengan dengan turunnya ayat tersebut, Rasul saw memperoleh kesempatan yang sangat tepat untuk menyampaikan perintah Ilahi yang amat penting itu. Ketika melihat bahwa tidaklah bijak menunda perintah itu, beliau pun segera mengumpulkan kaum muslimin di padang Ghadir Khum untuk menerima pesan-pesan dan wasiat beliau.

Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa keistimewaan hari “Ghadir” ini terletak pada diumumkannya secara resmi pengangkatan Imam Ali bin Abi Thalib as di hadapan khalayak umat, sekaligus pengambilan baiat dari mereka. Karena sebelum itu, Rasul saw seringkali memberikan isyarat tentang khilafah Ali as dengan berbagai ungkapan dan dalam berbagai kesempatan sepanjang masa kenabian beliau.
Sebagai contoh, pada masa-masa awal bi’tsah (kenabian) Muhammmad saw sebuah ayat turun kepada beliau, “Berikanlah peringatan kepada keluargamu yang terdekat” (QS.As-Syu’ara: 214).

Lantas beliau berseru kepada keluarganya, “Siapakah di antara kalian yang siap menjadi penolongku dalam urusan agamaku ini, aku akan jadikan ia sebagai saudaraku, washi-ku dan khalifahku atas kalian.”
Ahlusunnah dan Syi’ah sepakat, bahwa ketika itu tidak seorang pun dari keluarga Nabi saw yang memberikan jawaban kecuali Imam Ali bin Abi Thalib as.[2]

Demikian juga ketika turun ayat, “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya dan taati pula Ulil Amri (para Imam) di antara kalian.” (QS. An-Nisa’: 59).

Secara tegas Allah SWT mewajibkan semua orang-orang yang beriman untuk mentaati “Ulil Amri” secara mutlak. Dan, menaati mereka sama dengan mentaati Rasulullah
Sekaitan dengan ayat di atas, Jabir bin Abdillah bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah orang-orang yang wajib ditaati seperti yang diisyaratkan dalam ayat ini?”
Rasulullah saw menjawab, “Yang wajib ditaati adalah para khalifahku wahai Jabir, yaitu para imam kaum muslimin sepeninggalku nanti. Imam pertama mereka adalah Ali bin Abi Thalib, kemudian Hasan, kemudian Husein, kemudian Ali bin Husein, kemudian Muhammad bin Ali yang telah dikenal di dalam kitab Taurat dengan nama “Al-Baqir” dan engkau akan berjumpa dengannya wahai Jabir. Apabila engkau nanti berjumpa dengannya, maka sampaikanlah salamku kepadanya. Kemudian setelah itu As-Shadiq Ja’far bin Muhammad, kemudian Musa bin Ja’far, kemudian Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin Ali, kemudian Ali bin Muhammad, kemudian Hasan bin Ali, kemudian yang terakhir ialah Al-Mahdi bin Hasan bin Ali sebagai Hujjatullah di muka bumi ini dan Khalifatullah yang terakhir.”[3]

Sebagaimana yang baru saja kita simak, Nabi saw telah mengabarkan kepada sahabat beliau yang bernama Jabir bin Abdillah Al-Anshari, bahwa dia kelak akan dapat berjumpa dengan Imam Muhammad Al-Baqir as Dan sejarah mencatat bahwa Allah mengaruniai Jabir umur panjang, ia hidup sampai pada masa Imam Baqir as Ketika berjumpa, ia begitu senang sampaikan salam Rasul saw kepada Imam as.

Abu Bashir dalam sebuah hadis yang diriwayatkannya berkata, “Aku pernah bertanya kepada Aba Abdillah Ja’far Ash-Shadiq as tentang firman Allah SWT, ‘Athi’ullaha Wa Athi’urrasula Wa Ulil Amri minkum.’
Beliau menjawab, “Sesungguhnya ayat tersebut diturunkan sehubungan dengan khilafah Ali bin Abi Thalib, Hasan dan Husein.”
Kembali aku bertanya, “Akan tetapi mengapa Allah tidak menyebutkan nama Ali dan Ahlulbaitnya di dalam Al-Qur’an?”
Imam Ja’far Ash-Shadiq as menjawab, “Katakanlah kepada mereka, ‘Bahwa ayat-ayat tentang shalat yang turun kepada Nabi sama sekali tidak menjelaskan tentang jumlah rakaatnya; tiga atau pun empat, akan tetapi Nabilah yang menjelaskan ayat-ayat tersebut kepada mereka. Begitu pula ketika turun ayat ini, beliaulah yang menjelaskan bahwa Ulil Amri itu adalah Ali bin Abi Thalib as, dan para imam dari keturunannya. Bahkan ketika Rasulullah saw berwasiat kepada mereka agar tetap berpegang teguh kepada “Kitabullah” dan Ahlubaitnya, yang keduanya itu tidak akan berpisah sampai akhir masa. Nabi saw menambahkan, ‘Janganlah kalian menggurui mereka, karena mereka itu lebih alim dari kalian, dan mereka tidak akan mengeluarkan kalian dari pintu petunjuk dan tidak akan menjerumuskan kalian ke dalam lembah kesesatan.’”
Kalau kita amati dengan baik sabda-sabda Nabi saw yang berhubungan dengan masalah wasiat, akan kita dapati betapa seringnya Nabi saw mengulang-ulang wasiatnya itu. Bahkan di akhir hayat, Nabi saw masih saja mengulang wasiatnya tersebut, “Sesungguhnya aku meninggalkan dua pusaka berharga untuk kalian, yaitu Kitabullah dan Ahlilbaitku. Keduanya itu tidak akan berpisah sehingga menjumpaiku di telaga Surga kelak.”.

Perlu diketahui bahwa hadis mengenai wasiat tersebut merupakan hadis yang mutawatir, baik dari Syi’ah Imamiyah maupun dari jalur Ahlusunah wal Jamaah.

Di antara tokoh-tokoh Ahlusunah yang meriwayatkan hadis tersebut adalah At-Turmudzi, An-Nasa’i, Al-Hakim, dll. Ulama yang belakangan ini pun meriwayatkan sebuah hadis lainnya, bahwa Nabi saw. telah bersabda, “Ketahuilah sesungguhnya perumpamaan Ahlulbaitku bagaikan bahtera Nuh as, siapa yang turut naik bersamanya, ia akan selamat. Dan siapa yang menolaknya, maka ia akan karam.”[4]

Termasuk hadis yang sering diulang-ulang oleh Nabi saw ialah “Wahai Ali, engkau adalah pemimpin bagi setiap mukmin setelah wafatku nanti.”[5]

CATATAN KAKI:
[1] Ghayatul Maram, bab 58, hadis ke-4.
[2] Bisa dirujuk ke ‘Abaqat Al-Anwar dan Al-Ghadir.
[3] Rujuk ke Ghayah al-Maram, jilid 10, hal. 267, Itsbat al-Hudat, jilid 3/123 dan Yanabi’ al-Mawaddah, hal. 494.
[4] Rujuk ke Mustadrak al-Hakim, jilid 3/151.
[5] Rujuk ke Mustadrak al-Hakim, jilid 3/111, 134, Ash-Shawa’iq Al-Muhriqah, hal. 103, dan Musnad Ibnu Hanbal, jilid 1/331 dan jilid 4/438.

__________________________________________________________________
Keniscayaan Imamah.
Sebagaimana Kebijaksanaan Tuhan (al-hikmah al-Ilahiyah) menuntut perlunya pengutusan para rasul untuk membimbing umat manusia, maka demikian pula mengenai perlu adanya seorang imam. Yakni bahwa al-hikmah al-ilahiyyah ini juga menuntut perlu adanya kehadiran seorang imam setelah meninggalnya seorang rasul guna membimbing umat manusia sekaligus memelihara kemurnian ajaran para nabi dan Agama Ilahi dari penyimpangan dan perubahan. Selain itu juga untuk menerangkan kebutuhan zaman dan menyeru manusia ke Jalan Allah dan pelaksanaan ajaran para nabi. Tanpa itu semua, maka tujuan penciptaan, yaitu kesempurnaan dan kebahagiaan sulit dicapai, karena tidak adanya bimbingan.

Oleh karena itu sesudah Nabi Muhammad saw pasti ada seorang imam untuk setiap masa. Allah swt berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan bergabunglah bersama orang-orang yang benar, al-shadiqin.” (QS. At-Taubah: 119). Ayat ini tidak berlaku untuk satu masa saja, tapi untuk seluruh zaman. Seruan ini ditujukan agar orang beriman ikut bergabung dalam barisan orang-orang yang benar (al-shadiqin) adalah bukti bagi adanya imam maksum yang harus diikuti pada setiap zaman.

Hakekat Imamah.
Imamah bukanlah sekedar jabatan politik atau kekuasaan formal tapi sekaligus sebagai jabatan spritual yang sangat tinggi. Selain menyelenggarakan pemerintahan Islam, para Imam bertanggung jawab untuk membimbing umat manusia dalam urusan agama dan dunia mereka. Imam juga membimbing pikiran dan rohani masyarakat. Jabatan tinggi ini telah diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim as, Allah berfirman dalam Al-Qur’am: “Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat lalu ia menyempurnakannya. Tuhan berkata kepadanya: ‘Aku angkat engkau sebagai imam bagi umat manusia.’ Ibrahim berkata: ‘Berikan pula kepada keturunanku.’ Tuhan berkata: ‘Jabatan-Ku ini tidak akan mengenai orang-orang zalim“. (QS. Al-Baqarah: 124).

Setelah Nabi Ibrahim as melewati fase kenabian dan lulus dari sejumlah ujian besar, maka Allah mengangkatnya sebagai imam umat manusia di zamannya. Dan setelah itu, Nabi Ibrahim as juga memohon kepada Allah agar jabatan ini diberikan kepada keturunannya, tetapi Allah swt bahwa keturunannya yang zalim tidak akan mendapat posisi ini. Untuk itu, jelas sekali bahwa kedudukan ini tak bisa sekedar diterjemahkan sebagai jabatan pemerintahan duniawi yang formal.

Penetapan para Imam oleh Nabi saw.
Dalam hal ini, Nabi Muhammmad saw lah yang paling berhak menetapkan para imam sesudahnya sebagaimana yang dilakukan dalam hadis al-tsaqalain. Shahih Muslim meriwayatkan bahwa suatu hari Nabi berpidato di sebuah oase yang bernama Khum, terletak antara Mekkah dan Madinah. Nabi saw bersabda: “…Aku hanyalah seorang manusia, yang jika utusan tuhanku datang kepadaku akan kupenuhi. Aku tinggalkan pada kalian dua pusaka yang berat. Pertama, kitab Allah. Di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. (Kedua) Ahlubaitku. Aku ingatkan kamu pada Allah tentang Ahlubaitku. Aku ingatkan kamu pada Allah tentang Ahlubaitku. Aku ingatkan kamu pada Allah tentang Ahlubaitku.” (Shahih Muslim, 4: 1873).

Hadits ini juga diriwayatkan dalam Shahih Turmuzi. Bahkan di Shahih Turmuzi ada pernyataan tegas Nabi saw yang mengangkat imam sesudahnya dari lingkungan keluarganya semdiri. Demikian pula hadis-hadis yang diriwayatkan dalam Sunan al-Darimi, Khasaish al-Nasai, Musnad Ahmad, dan beberapa sumber terkenal lainnya.

Dalam hal ini, perlu dijelaskan pula bahwa dalam beberapa riwayat lainnya terdapat redaksi “Sunnati” atau Sunnahku sebagai ganti dari redaksi “Ahlubaiti“, Ahlubaitku. Akan tetapi riwayat ini hanya satu berbanding 40 hadis lainnya yang meriwayatkan “Ahlubaitku”. Sehingga kalaupun hadis “Sunnati” ini benar maka posisinya hanya saling menafsirkan saja.

Hadis-hadis Ahlussunnah Tentang 12 Orang Imam.
Pada sisi lain, terdapat juga hadis lain yang diriwayatkan oleh banyak perawi hadis utama seperti Sahih Bukhari, Muslim, Turmuzi, Abu Daud, Musnad Ibn Hanbal. Untuk itu, sangat tepat sekali kalau pada kajian ini kita bawakan riwayat tentang 12 Imam yang termuat dalam kitab-kitab Ahlussunnah. Riwayat-riwayat adalah:
1. Bukhari menukil dari Jabir bin Samurah bahwa ia berkata, “Aku mendengar Rasul berkata, “Setelahku 12 orang pemimpin akan datang.” Saat itu beliau melanjutkan ucapannya yang tak terdengar olehku. Kemudian ayahku berkata bahwa keseluruhan imam tersebut semuanya dari bangsa Quraisy.” (Shahîh Bukhârî, jilid 9, Bab Istikhlâf, hal. 81)
2. Muslim juga menukil dari Jabir bin Samurah bahwa ia berkata, “Aku mendengar Rasul SAWW berkata, “Islam akan memiliki pemimpin sampai 12 orang. Kemudian beliau bersabda yang tak bisa kupahami. Aku bertanya pada ayahku tentang apa yang tidak aku pahami itu. Ia berkata, “Beliau bersabda bahwa semuanya berasal dari kaum Quraisy. (Shahîh Muslim, jilid 6, Kitab al-Amârah, Bab an-Nâs Tâba’un li Quraisy, hal. 3)
3. Muslim menukil dari Jabir bahwa ia (Jabir) berkata, “Aku dan ayahku berjalan bersama Rasul SAWW saat itu beliau berkata, “Agama ini akan memiliki 12 pemimpin, yang kesemuanya dari bangsa Quraisy”. (Shahîh Muslim, jilid 6, Kitab al-Amârah, Bab an-Nâs Tâba’un li Quraisy, hal. 3)
4. Muslim juga menukil dari Jabir, “Aku mendengar Rasul berkata, “Agama Islam akan langgeng sampai hari Kiamat nanti, sampai dua belas orang khalifah memerintah yang kesemuanya dari Quraisy”. (Shahîh Muslim, jilid 6, Kitab al-Amârah, Bab an-Nâs Tâba’un li Quraisy, hal. 3. Sebagai telaah lebih lanjut, silahkan merujuk ke kitab Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 5, hal.86, 89, 97 dan 107; Muntakhabul Âtsâr, hal.16; Yanâbî’ul Mawaddah, hal. 446).

___________________________________________________
PERANAN PARA IMAM SYI’AH DALAM REKONSTRUKSI MASYARAKAT ISLAM.
Syahid Sayyid Muhammad Baqir Ash-Shadr.
Allah yang mengutus kenabian sampai akhirnya kepada Nabi Muhammad Saww, memutuskan bahwa [misi] beliau harus diteruskan dan dijaga oleh para penggantinya yang akan memikul tugas kepemimpinan dan suksesi setelah terminasi kenabian. Berikut ini dua belas imam, yang jumlahnya secara tekstual ditentukan oleh Rasulullah Saww.*) yang diterima secara luas oleh kaum Muslimin. Nama-nama mereka adalah sebagai berikut :
1. Imam ‘Ali bin Abi Thalib Al-Murtadha
2. Imam Hasan bin ‘Ali Al-Mujtaba
3. Imam Husain bin ‘Ali Asy-Syahid
4. Imam ‘Ali bin Husain As-Sajjad
5. Imam Muhammad bin ‘Ali Al-Baqir
6. Imam Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq
7. Imam Musa bin Ja’far Al-Kazhim
8. Imam ‘Ali bin Musa Ar-Ridha
9. Imam Muhammad bin ‘Ali Al-Jawad
10. Imam ‘Ali bin Muhammad Al-Hadi
11. Imam Hasan bin ‘Ali Al-‘Askari
12. Imam Muhammad bin Hasan Al-Mahdi

Ini menunjukkan sesuatu yang alamiah bahwa kita harus, dengan nalar yang jernih serta jiwa yang bersih, mencoba memperdalam hubungan spiritual kita dengan para pemimpin misi Islam dan melakukan studi untuk menemukan lebih dan lebih banyak lagi perihal para pemimpin terkenal ini dalam sejarah. Dengan suatu pandangan yang mencerahkan jalan perkembangan kita, semestinya kita beroleh cahaya dari sejarah brilian ihwal sepak terjang Para Imam Ahlul Bait ini.

Untuk alasan tersebut kami mengambil kesempatan ini guna memberikan semacam penjelasan ringkas atas sejarah kehidupan Para Imam Syi’ah – salam atas mereka semua !

Dalam ruang terbatas yang tersedia bagi kami adalah tidak mungkin untuk memberikan sebuah catatan dari kehidupan, gerakan, dan program dari setiap Imam secara terpisah. Kami meminta para pembaca memusatkan perhatian hanya pada bagian-bagian yang terpenting dari kehidupan para imam.
Menurut laporan dan catatan yang akan datang kami akan mendiskusikan gerakan umum dari peristiwa-peristiwa dan hanya dari aspek-aspek gerakan itulah para imam mengambil bagian. Sebagai ganti memberikan uraian mendetail atas kehidupan setiap imam, kajian akan dibuat dari sikap umum dan kesan mereka dalam kehidupan secara menyeluruh.

Kajian ini disusun di mana kehidupan para imam dicermati dan dikaji sebagai suatu fenomena yang koheren dan terpadu. Kita akan mendiskusikan karakteristik dari fenomena tersebut untuk menemukan tujuan umumnya dan kebenaran alaminya serta untuk memahami keadaan yang berjalan di dalamnya. Terakhir, kami akan memberikan catatan ringkas dari hal-hal penting dari gerakan-gerakan para imam dan peranan yang mereka mainkan dalam sejarah manusia.

Tentu saja, hal ini tidak berarti bahwa kami berpikir hal itu tidak patut dengan menelaah kehidupan para imam secara terpisah. Sebenarnya kajian yang mandiri atas bagian-bagian penting dari setiap imam adalah sepenting memperoleh suatu pengetahuan yang menyeluruh dari kehidupan para imam, sebagaimana yang akan kami coba lakukan sekarang. Sesungguhnya, adalah penting bahwa kita untuk mengenal diri kita sendiri dengan kehidupan setiap imam secara individual dan mempelajari bagian-bagian utama dari aktivitas serta cita-citanya sehingga pengetahuan ini menjadi suatu pembuka kajian seperti yang kita cita-citakan sekarang. Kita mesti melakukan kajian yang mandiri terhadap kehidupan setiap imam untuk mempersiapkan jalan kita kepada kajian yang tepat dan menyeluruh dari kehidupan para imam sebagai suatu fenomena yang koheren dan terpadu.

Tatkala kita melakukan kajian terhadap kehidupan para imam pada dua tataran ini, dalam tingkatan pertama kita memperhatikan bahwa agaknya terdapat suatu perbedaan yang besar dalam cara bagaimana mereka memimpin sendiri dalam berbagai situasi. Imam Hasan memutuskan suatu perjanjian damai dengan Mu’awiyah. Sementara Imam Husain bangkit untuk memerangi Yazid dan mengorbankan nyawanya. Kita menemukan bahwa Imam As-Sajjad menjalani seluruh kehidupannya secara tertutup lewat doa dan ibadah, sedangkan Imam Al-Baqir mencurahkan seluruh hidupnya dengan menyebarluaskan ilmu-ilmu kenabian, hadis-hadis, dan teologi (tauhid).

Namun jika kita menengok kehidupan para imam dan karakternya dalam suatu pola yang terkoordinasi, kita akan menemukan bahwa kehidupan mereka terangkai dalam satu benang merah, yang meliputi sejarah mereka dan tidak ada kontradiksi ataupun ketidaktaatasasan (inkonsistensi). Kajian seperti yang akan kita lakukan menampakkan sebuah kebenaran tunggal, sekalipun berbagai aspeknya mampu dijelaskan secara berbeda dan dengan demikian bisa memberikan kesan yang lain.

Agaknya alasan mengapa terjadi begitu banyak perbedaan dalam aksi-aksi para imam dapat dinisbatkan pada perbedaan zaman, kondisi sosial, dan kesulitan-kesulitan yang para imam hadapi. Setiap imam selama hidupnya dipertentangkan dengan berbagai persoalan dan kesulitan yang seluruhnya berbeda antara satu sama lain dalam cara menghadapinya.

Namun jika kita mengambil pandangan umum dan total dari kehidupan para imam kita, kita bisa menggambarkan hasilnya jauh lebih lebih menonjol daripada efek-efek yang bisa dihasilkan oleh kajian per individu dari para imam, karena tentunya pada kajian yang umum kita menemukan suatu harmoni yang dalam di antara semua tindakan para imam. Untuk menjelaskan noktah ini kami akan memberikan sebuah contoh :
Kita lihat bahwa Amirul Mukminin Imam ‘Ali selama kekhalifahannya mengumpulkan sahabat-sahabat Nabi Suci dan meminta kepada mereka untuk menyimpulkan tentang apa yang mereka dengar dari Nabi yang berkata mengenai imamahnya. Sejumlah besar sahabat berkata, “Ya, kami mendengar bahwa Nabi Suci mengatakan secara tegas bahwa Anda adalah Imam.”

Lagi, kita membaca dalam catatan kehidupan Imam Husain bahwa suatu ketika pada saat beribadah haji, ia mengumpulkan para sahabat Nabi Suci yang masih ada bersama dengan sejumlah besar tabi’in dan meminta kepada mereka untuk menceritakan apa yang telah mereka dengar dari Nabi perihal ‘Ali dan Ahlul Baitnya.
Lagi, kita menyaksikan bahwa Imam Al-Baqir juga berulang kali melakukan tindakan serupa, dan meminta para tabi’in dan tabi’in al-tabi’in (pengikut dari para pengikut) untuk memberikan kesaksian mengenai apa yang telah Nabi katakan berkenaan dengan kepemimpinan ‘Ali dan keturunannya.

Ketika kita mempelajari kehidupan para imam dan keselarasan tindakan-tindakan mereka, kita melihat jenis tindakan dan aktivitas tersebut seluruhnya. Tiga tindakan tersebut diambil secara berurutan oleh tiga generasi yang mewakili suatu rencana yang precalculated dan koheren, dan saling berkomplemen satu sama lain. Gagasan tindakan berkesinambungan ini adalah untuk mengingatkan berbagai generasi dan pada saat yang bersamaan untuk menjaga sunnah dari penghapusan dan pelupaan.

Keyakinan kita tentang eksistensi dari kebijakan umum yang diikuti oleh para imam kita bukanlah suatu pertanyaan yang hipotetis. Dengan demikian, adalah tidak penting untuk mencoba mencari alasan-alasannya ataupun untuk mendiskusikan perihal peristiwa sejarah apa yang mengantarkan para imam untuk mengikuti kebijakan umum. Peranan umum mereka merupakan konsekuensi alami dari kekuatan keyakinan mereka atas keimamahan mereka, yang merupakan suatu persetujuan umum kepada mereka semua. Tanggung jawab dan syarat-syaratnya adalah sama, konsekuensi alami dari persetujuan umum seharusnya menjadi suatu gerakan koheren, setiap bagian yang dalam keniscayaan sejarah harus berkomplemen dengan bagian-bagian lainnya. Adalah hanya karena perbedaan waktu yang menjadikan tindakan-tindakan yang diambil para imam tampil secara berbeda.

PERANAN UMUM PARA IMAM
Barangkali adalah tidak penting untuk membuktikan bahwa metode misionari dari para imam kita adalah identik dan bahwa mereka mengikuti garis tindakan yang wajar. Misi Islam menjadi ideologis dan doktrinal, dengan jelas, adalah penting bahwa ada yang harus telah mewujudkan suatu rencana yang pasti untuk membentengi ideologinya dari setiap jenis penyimpangan dan menjamin perkembangannya dalam seluruh waktunya.

Berdasarkan titik tolak ini bahwa kepemimpinan ideologis dari masyarakat manusia dipercayakan kepada para imam, yang telah mencapai kedudukan spiritual, evolusi ideologis, dan memperoleh derajat kemaksuman [yakni] alasan kekebalan mereka dari setiap dosa dan kesalahan. Inilah alasan mengapa mereka berada dalam kedudukan [sebagai imam] yakni, untuk membimbing dan mengawasi gerakan ideologis masyarakat.

Bagaimanapun, ketika mendiskusikan peranan umum dari para imam dan sejarah penderitaan mereka, kita tidak bermaksud untuk memperlakukan pemerintahan lahir mereka dan menganalisis pengalaman tersebut melalui Islam yang melintasi seluruh kehidupan mereka. Peristiwa-peristiwa menyakitkan yang terjadi menyusul wafatnya Nabi Islam menggusur para pemimpin Islam yang sejati dari peta pemerintahan. Tugas membimbing dan menjalankan hukum Islam jatuh kepada sebagian besar orang-orang yang menyimpangkan Islam dari jalan yang sebenarnya dan menjauhkan masyarakat Muslim dari ajaran Islam. Bagaimanapun, kita hanya ingin mendiskusikan kedudukan umum dari para imam dan seluruh kebijakan yang diikuti oleh mereka selama sejarah agung mereka. Kita akan menganalisis tahap-tahap yang dilalui mereka untuk mengatasi kesulitan-kesulitan di mana misi Islam dikonfrontasikan, dan menjelaskan apa yang telah mereka berikan demi kelangsungan ideologi Islam.

Dalam alur kajian kita perihal peranan umum para imam kita menjumpai kesan yang keliru yang hal itu tidak lebih daripada mitos. Secara umum kaum Syi’ah percaya bahwa para imam semuanya melewati keseluruhan hidup mereka dengan ketertindasan. Mereka dipinggirkan dari pemerintahan dan mengalami banyak penderitaan dan tirani. Orang-orang ini berpikir bahwa peranan para imam sepanjang hidup mereka adalah buruk, dan seperti seseorang yang memiliki rumah yang diperebutkan dan yang tidak mempunyai harapan untuk mendapatkan kembali.

Suatu analisis dari kehidupan para imam akan menunjukkan bahwa tidak hanya pemikiran yang sesat dan keliru, namun sudut pandang praktis juga sangat berbahaya dari pengikut-pengikut para imam. Suatu pandangan dari kebijakan para pemimpin ummah akan mengantarkan kepada kesimpulan yang mereka tidak mempunyai tugas sosial, bahwa mereka telah kehilangan seluruh harapan akan adanya kekuasaan pemerintahan. Dengan demikian, kita merasa bahwa adalah tugas kita untuk meluruskan pemikiran keliru ini dan mengidentifikasi noktah-noktah yang mengarah kepada kekeliruan tersebut. Untuk membuat hal itu jernih yang selama kehidupan mereka para imam memainkan suatu peranan aktif dalam mempertahankan misi dan akidah mereka, kami mengusulkan untuk mengkaji kehidupan mereka sebagai kekuatan penggerak sejarah manusia.

Sekalipun para tiran masa itu memperlakukan berbagai tindakan curang dengan menyingkirkan para imam dari pemerintahan, para imam berdasarkan tuntutan mereka sendiri bertanggung jawab dalam mempertahankan misi Islam dari setiap penyimpangan dan menjaga ajaran-ajaran aslinya, untuk menjamin ketaatan kepada perintah-perintah agama. Kapanpun terdapat penyimpangan atas ajaran Islam pada masyarakat, atau masyarakat dibenturkan dengan berbagai kesulitan yang mengancam posisi Islam dan para penguasa masa itu tidak dapat memecahkan masalah, para imam sejati-terbimbing dengan pandangan kemaksuman mereka mengambil langkah yang tepat untuk menghindarkan bahaya tersebut.
Ringkasnya, para imam Syi’ah – salam atas mereka semua – mencurahkan kemampuan mereka untuk menjaga karakter masyarakat Islam, melindungi doktrin-doktrin yang benar dan menyaksikan bahwa penyimpangan tidak tumbuh ke arah ancaman kepada ideologi itu sendiri. Apa yang kami maksud adalah bahwa mereka memainkan peranan positif dalam mengawal kepentingan-kepentingan Islam dan kaum Muslimin serta dalam mempertahankan doktrin-doktrin dasar agama.

Peran mendasar ini secara jelas terlihat dalam kehidupan Imam ‘Ali. Kita melihat bagaimana beliau melindungi masyarakatnya dengan berani dari penyimpangan dan memainkan peranannya secara positif.
Suatu ketika ‘Umar bertanya kepada masyarakat dari mimbar bagaimana mereka akan memperlakukannya jika ia menyimpangkan kebenaran kepada kesalahan. Adalah ‘Ali, Imam pertama kaum Syi’ah, yang secara tegas berkata : “Kami akan meluruskan kesalahanmu dengan pedang.”

Kita juga menyaksikan bagaimana Imam Husain, putra Imam ‘Ali yang taat, mencegah bahaya penyimpangan Islam. Ketika Yazid bin Mu’awiyah memutuskan menghapus ajaran Islam, beliau menghindarkan bahaya ancaman dengan membentuk pasukan pertahanan dan mempertaruhkan nyawanya sendiri.

Kita menyaksikan tatkala pemerintahan di zamannya menemukan dirinya sendiri tidak dapat mengatasi suatu masalah yang menghadangnya, Imam As-Sajjad, menganggap kenyataan bahwa pemerintahan tersebut merupakan pemerintahan-bandit yang kemudian beliau bangkit pada kesempatan tersebut dengan ketenangan yang besar dan melindungi besar kedudukan Islam.

Rincian fakta tersebut adalah bahwa selama kekuasaan Abdul Malik bin Marwan, kaisar Romawi menulis surat kepada khalifah, yang mengakui dirinya sendiri tidak mampu untuk menulis suatu jawaban yang tepat sebagai balasan atas surat kaisar Romawi. Imam Sajjad menyusun suatu jawaban yang itu melindungi kedudukan pemerintahan sebaik martabat bangsa Muslim.

Selama kekuasaan Hisyam bin Abdul Malik pemerintahan kafir Romawi mengancam kedaulatan dan kemerdekaan pemerintahan Muslim. Hisyam bermaksud memberlakukan mata uang Romawi di atasnya. Imam Al-Baqir, Imam kelima Syi’ah, menghadang ancaman tersebut dengan mengusulkan mata uang Islam kepada Hisyam dan kemudian menyelamatkan kemandirian ekonomi masyarakat Muslim.

Jadi kita menemukan bahwa para imam memainkan peranan utama dan agung mereka dengan melindungi masyarakat Islam dan pemerintahan Muslim dari kesalahan-kesalahan dan kegagalan-kegagalan pada suatu waktu ketika mereka berada dalam konflik yang serius dengan pemerintahan-bandit ini dan menentang pemerintahan tersebut gigi dan kuku, sekalipun penentangan mereka kebanyakan bersifat pasif dan mereka tidak berjuang dengan kekuatan militer. Bagaimanapun, mereka menjalankan peranan positif dengan memperjuangkan ajaran-ajaran Islam sekaligus melindungi nilai-nilai, moral serta doktrinnya.

Sebagai pemerintahan brutal para penjarah mencoba untuk mengaburkan citra Islam dengan memasukkan berbagai penghapusan, misi dari para imam sejati adalah untuk memperbaharui citra Islam dan menjelaskannya melalui ikhtiar-ikhtiar mereka yang tak kenal lelah atas perbedaan di antara Islamnya Nabi Suci dan Islamnya para khalifah. Setelah itu mereka menyebarkan Islam pada masyarakat umum, dan membersihkan ajaran Islam dari distorsi para khalifah.

Hal ini tampak menjadi dalam ketegaran masalah-masalah untuk sekadar menyebutkan contoh kecil guna menjelaskan noktah ini dan memberikan sorotan pada tahap di mana para imam bekerja guna melindungi masyarakat dari penyimpangan-penyimpangan [yang dilakukan] para khalifah.

Ingat kembali dalam pikiran Anda gambaran berikut : Imam Musa bin Ja’far Al-Kazhim, imam ketujuh Syi’ah, berada di dalam penjara khalifah [Harun Al-Rasyid – pent.] Nyawa beliau dalam bahaya. Raganya begitu merapat ke tanah ketika ia bersujud selama shalat seakan-akan selembar kain yang tergeletak di atas tanah. Tak seorang pun yang menduga bahwa sebenarnya seorang manusia suci sedang bersujud. Atas hal ini kepada Imam seorang utusan khalifah datang dan berkata : “Khalifah menyesali atas apa yang terjadi. Dia telah memerintahkan pembebasanmu, silakan Anda sendiri datang ke hadapan khalifah. Kemudian minta maaflah dan tariklah hatinya.”

Imam Musa tiba-tiba marah dan menolak dengan angkuhnya tawaran tersebut. Beliau lebih siap untuk diracun, namun tidak sudi membantu pemerintahan egois yang berhasil dalam tujuan-tujuan khianatnya. Dia tidak akan pernah mengizinkan aksi-aksi keji dan kotor dari pemerintahan despotik mengambil kesucian dan dengan cara demikian mencemari misi Nabi Suci.

Kembali kita lihat bahwa para imam memainkan peranan aktif dan positif dalam fruktifikasi dari wilayah doktrin masyarakat Islam. Mereka mengabdikan hidup mereka kepada Allah semata dan berdiri sebagai benteng melawan derasnya penyimpangan yang mengancam tujuan misi Islam. Mereka tidak mengizinkan umat Muslim diasingkan dari kejayaan-kejayaan Islam yang sejati di dalam pergerakan samawi awal.

Pemimpin-pemimpin besar tersebut membuat semacam peraturan di mana mereka dapat menetralisir setiap rencana curang yang dibuat untuk melawan Islam dan kaum Muslim. Mereka melindungi masyarakat Muslim yang baru-didirikan dari setiap penyimpangan. Dengan alasan ini, Imam Kesebelas Hasan Al-Askari, sewaktu beliau tinggal di Madinah, mengingatkan Al-Kindi dari kesalahpahamannya. Al-Kindi adalah seorang intelektual Arab, yang menulis kitab berjudul Mutanaqidhat Al-Quran. Ketika laporan perihal kitab ini sampai kepada Imam, Imam memanggil Al-Kindi, dan menyakinkan Al-Kindi bahwa kitabnya itu tidak mempunyai pijakan yang sahih dan memiliki kesalahan yang menyolok.

PENGABDIAN IMAM KEPADA UMAT
Kisah kehidupan para imam memberikan kesimpulan yang cukup guna memperlihatkan bahwa mereka mempunyai perhatian khusus terhadap kepentingan umat dan mengabdikan seluruh hidup mereka untuk membimbing masyarakat.

Bagaimanapun, kita harus ingat bahwa para imam tidak memperoleh kepemimpinan dari umat Muslim hanya secara kebetulan. Ataupun mereka tidak mendapatkan kedudukan ini dengan mudah karena kekerabatan mereka dengan Nabi Suci. Ada banyak orang yang juga mempunyai hubungan kekerabatan dengan Nabi Suci, namun tak seorang pun di antara mereka dapat mencapai kedudukan yang serupa. Sebenarnya ini disebabkan pengkhidmatan mereka kepada umat dan upaya-upaya mereka yang sungguh-sungguh demi kejayaan Islam di mana komunitas Syi’ah menerima mereka, dengan sepenuh hati, sebagai imam mereka. Sekalipun pemerintahan para khalifah melakukan tindakan-tindakan yang sepenuhnya mencegah para imam dari memikul kepemimpinannya, umat tetap menerima mereka sebagai para pemimpinnya.

Orang-orang menyaksikan bagaimana imam bekerja keras demi mereka. Mereka percaya bahwa imam adalah dari mereka dan untuk mereka. Setiap saat mereka merasakan kehadiran imam. Imamlah jawaban atas setiap dan seluruh persoalan mereka. Ini disebabkan pengetahuan dan perasaan bahwa kepemimpinan dari para imam diterima. Karena alasan ini Ali menjadi teladan bagi manusia, yang bangkit memprotes Utsman. Cerita yang sama diulang selama masa-masa para imam lainnya.

Imam Ketujuh Musa Al-Kazhim, berkata kepada Harun Al-Rasyid : “Harun, engkau harus tahu bahwa engkau menguasai tubuh-tubuh manusia, namun aku menguasai hati-hati mereka.”
Betapa Abdullah bin Hasan berkata kepada Imam Ash-Shadiq merupakan saksi hidup atas fakta ini. Ketika Abdullah mengharuskan orang-orang agar menyerahkan bai’at mereka kepada anaknya, Muhammad, dia datang kepada Imam Ash-Shadiq dan berkata : “Jika Anda menerima permohonanku dan membai’atmu, tak seorang pun akan ragu-ragu untuk melakukan hal yang sama. Tidak ada dua orang, apakah dari kalangan Quraisy maupun bukan-Quraisy, yang akan bertemu untuk bersepakat denganmu.”

Pernyataan ini menunjukkan bagaimana perhatian orang-orang kepada para imam sejati mereka. Kesetiaan serta ketaatan mereka adalah buah dari perhatian khusus di mana para imam memahami kemakmuran dan kesejahteraan umat dan penderitaan yang mereka alami demi kejayaan Islam dan kaum Muslim.
Memikirkan peristiwa sejarah Islam yang termasyhur yang didorong penyair Arab tersohor, Farazdak, untuk membacakan syair pujian tentang Imam Ali Zainal Abidin, Imam keempat. Secara jelas peristiwa ini menunjukkan bahwa kebesaran pemerintahan Hisyam [penguasa dari Dinasti Umayyah waktu itu – red.] dan kekuasaannya tidak dapat membuat dirinya dikasihi oleh hati-hati rakyatnya ataupun membujuk mereka untuk memyediakan jalan bagi Hisyam menuju Hajar Al-Aswad.

Pada sisi lain, pengaruh spiritual dari keluarga suci begitu meliputi sehingga segera Imam Zainal Abidin tiba di halaman Rumah Allah, orang-orang memberikan jalan kepada beliau untuk mencium Hajar Al-Aswad dengan mudah dan khidmat.

Sejarah mengatakan bahwa suatu saat sekelompok manusia yang marah mengepung istana Makmun, memprotes tindakan yang dilakukan terhadap Imam Kedelapan, Imam Ar-Ridha. Makmun begitu takut sehingga ia harus mencari pertolongan kepada sang imam sendiri agar menenangkan massa.

Kepada Makmun, Imam berkata : “Engkau yang berbuat atas umat Muslim, engkau pula yang menguasai, engkau seharusnya takut kepada Allah. Engkau telah mengabaikan kepentingan kaum Muslim dan telah mempercayakan persoalan-persoalan mereka kepada orang-orang yang tak layak untuk tugas tersebut. Perintah-perintah Allah berkaitan dengan kaum Muslim dilalaikan.”

Ini merupakan beberapa contoh kepemimpinan populer dari para imam di dalam masyarakat di mana mereka tinggal. Kepedulian khusus mereka atas masalah-masalah umat menunjukkan bahwa para imam kita menjalankan peranan positif di dalam masyarakat mereka dan bahwa mereka mempertahankan Islam dan membimbing kaum Muslimin penuh semangat (energetik) dan efektif.

PERANAN POSITIF PARA IMAM DALAM HUBUNGAN DENGAN PARA PENGUASA
Adalah mungkin untuk menelaah kehidupan para imam dari matra yang lain dan mencapai kesimpulan yang sama di mana kita sampai pada diskusi kita sebelumnya. Kita tahu bahwa aktivitas para imam, terutama selama masa imamah mereka luar biasa menakutkan pemerintahan-pemerintahan pada waktu itu. Jiwa-jiwa para oenguasa disarati dengan ketakutan yang sangat. Inilah alasan mereka untuk selalu menjaga para imam di bawah pengawasan yang ketat dan mencoba memutuskan hubungan para imam dengan manusia pada setiap tingkatan. Ketika semua pengawasan dan kontrol ini gagal untuk menghasilkan akibat yang diinginkan, para penguasa berusaha untuk mengantarkan para imam kepada kematian.

Ini bukan suatu kesempatan semata bahwa para tiran melakukan semua tindakan ini. Apakah mereka membunuh para imam hanya sebagai hiburan (pastime) ? Tentu saja jawabannya adalah negatif. Apakah peranan para imam di masyarakat tidak positif, para penguasa yang criminal-minded tidak akan mengambil resiko untuk kehormatan dan kedudukan mereka dengan melakukan tindakan-tindakan yang zalim ?
Sebenarnya para penguasa yang jahat tersebut menyadari situasi tersebut secara sangat bagus. Mereka tahu dari sisi yang mana mereka mengancam. Mereka menyaksikan peranan aktif dan positif dari para imam dalam perspektif hakikinya, sehingga memutuskan untuk mengantarkan para imam kepada maut dengan darah dingin.

Kesyahidan, pembuangan, dan hukuman penjara terhadap para imam merupakan saksi hidup atas fakta bahwa setiap momen kehidupan mereka dikhidmatkan kepada usaha, aktivitas, dan penyebaran gerakan mereka.

APAKAH PARA IMAM SANGAT MENGINGINKAN KEKUASAAN ?
Satu-satunya persoalan yang tetap tidak terjawab dan seringkali datang kepada pikiran orang-orang adalah apakah seluruh aktivitas para imam bertujuan untuk merebut kekuasaan dan menggulingkan para penguasa penjarah dan despotik, ataukah mereka hanya berusaha untuk mempertahankan Islam, melindungi kepentingan umat Muslim, menjaga Islam dan kaum Muslim dari penyimpangan ?

Persoalan ini memerlukan jawaban yang mendetail yang tidak sesuai dengan artikel ini.
Sejumlah besar hadis yang telah sampai kepada kita menunjukkan bahwa mereka tidak menganggapnya cukup untuk mengerahkan suatu revolusi bersenjata dan membentuk suatu pemerintahan. Mereka tidak yakin bahwa untuk membangun suatu pemerintahan yang adil adalah cukup. Dalam pandangan mereka kebijakan yang benar adalah menyuntikkan semangat Islam yang hakiki kepada umat dan mempersiapkan umat agar mereka meyakini imamah serta kemaksuman mereka secara wajar sebelum melakukan gerakan bersenjatan dan menggulingkan pemerintahan-penjarah. Para imam berpikir itu penting di mana manusia mesti menganggap ketaatan kepada Islam sehingga mengikat mereka dan memahami tujuan-tujuan penting atas kepemimpinan mereka. Hanya pada basis ketaatan ini berikut pemahaman atas suatu pemerintahan dari imam yang dapat dibangun dan, pada akhirnya, pencapaian-pencapaian dari suatu gerakan revolusioner umat Muslim dapat dilindungi.

Anda harus mendengar kisah dari seorang laki-laki dari Khurasan, yakni Sahl bin Hasan, yang datang ke Imam Ash-Shadiq dan meminta beliau memberikan dukungan kepada gerakan revolusioner Al-Khurasani. Imam tidak memberikan jawaban segera kepadanya dan memutuskan untuk menguji iman serta ketaatan Sahl. Suatu saat Imam meminta Sahl untuk masuk ke dalam pertungkuan yang penuh api. Al-Khurasani sangat ketakutan. Ia mundur daripada masuk ke dalam tungku api. Pada saat yang sama, Abu Bashir (atau Harun Al-Makki, menurut Syeikh Abbas Al-Qummi dalam Muntahul ‘Amal), salah seorang sahabat Imam Ash-Shadiq, datang dan mendengar perintah Imam. Ia tanpa keraguan sedikitpun masuk ke dalam tungku api tersebut. Imam berpaling kepada orang Khurasan itu dan bertanya kepadanya : “Berapa banyak Abu Bashir yang Anda miliki di Khurasan ?” Jadi, Imam menolak usulan serta permintaan dari Sahl itu.
Dengan alasan ini pula Imam Ali dapat menerima kekuasaan [pasca-kekhalifahan Utsman –red.], karena pada masa-masa tersebut ada sekelompok Muslim yang memiliki kognisi tentang imamah dan mematuhi Imam.

KETAATAN KAUM SYI’AH KEPADA IMAMAH.
Kita tahu bahwa tujuan umum dari para imam kita dalam seluruh hidup mereka adalah memberikan perlindungan kepada masyarakat Islam dari penyimpangan dan dekadensi. Noktah ini, sebagaimana telah kami jelaskan, mengimplikasikan beberapa aspek dari peranan umum mereka. Namun ada satu aspek yang belum dirujuk begitu jauh. Ini merupakan aspek pengawasan terus menerus mereka berupa pendidikan serta pelatihan khusus terhadap para pengikut mereka.

Para imam kaum Syi’ah selalu memelihara kontak langsung dengan para pengikut mereka, secara total mengontrol perilaku mereka. Dalam banyak kesempatan, mereka memberikan dukungan atas posisi mereka di masyarakat. Mereka membuat usaha-usaha keras guna memperluas wawasan pengikut-pengikut mereka dan memandu mereka dalam segala hal menuju jalan lurus Islam. Tujuan mereka adalah untuk mengangkat para pengikut mereka kepada tingkat orang-orang beriman dan tentara-tentara yang bertanggung jawab serta para perintis yang tekun agar mengetahui tugas-tugas mereka dan sudi untuk mempertaruhkan nyawa mereka demi Islam.

Ini bukan penegasan sambil lalu belaka. Suatu kajian ringkas tentang kehidupan para imam akan menunjukkan betapa semangat dan gairah mereka pompakan kepada para pengikut mereka. Kadang kala mereka memberikan perhatian bahkan kepada perbedaan-perbedaan personal mereka serta kesulitan keuangan.

Kita menemukan suatu contoh atas intervensi mereka dalam masalah-masalah pengikut mereka seperti Mu’alli ibn Khunais. Banyak hal lain pada catatan tentang perintah-perintah yang diberikan oleh para imam kepada para pengikut mereka berkaitan dengan persoalan-persoalan pribadi mereka. Tentu saja, perintah-perintah ini bervariasi sesuai dengan kebutuhan zaman, tempat, dan kenyataan hidup yang dihadapi.
Kami berpikir bahwa hal ini sangat cukup untuk tujuan kami yang disebutkan di awal. Kami telah memunculkan noktah-noktah penting guna memberikan dorongan kajian atas kehidupan para imam. Diharapkan diskusi singkat ini akan membantu yang lain untuk mengadakan investigasi lebih jauh dan membuka cara-cara pendekatan baru kepada kehidupan para imam.

Akhirnya, kami memohon Allah agar menjadikan kita semua menjadi para pengikut sejati para imam, hidup di bawah bimbingan mereka dan tinggal dengan standar yang ditetapkan oleh mereka.[]
____________________
(Diterjemahkan dari Role of the Shi’ah Imams in the Reconstruction of Islamic Society pada buku Introduction to Islamic Political System karya Muhammad Baqir Ash-Shadr, hal.86-100).
*Shahih Bukhari, hal. 175 cetakan Mesir; Shahih Muslim, jilid 2, hal.191, cetakan Mesir; Shahih Abu Dawud, jilid 2, hal. 207 cet. Mesir; Shahih Tirmidzi, jilid 2, hal.45, cet. Delhi; Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 5, hal.106, cet. Mesir; Mustadrak Al-Hakim, jilid 2, hal. 618, cet. Hyderabad.

Sumber Rujuk yang lain:
1. syiahali.wordpress.com/
2. sconprince wordpress.com/ 
3. berbagai sumber yang lainnya.

Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: