Shallahuddin Al Ayyubi dan Maulid Nabi.
Secara bahasa maulid Nabi bermakna
waktu kelahiran. atau tempat kelahiran, Nabi (shallallahu alaihi
wasallam). Secara istilah, maulid Nabi biasanya dimaknai sebagai
perayaan yang berkaitan dengan waktu kelahiran Nabi Muhammad setiap
tanggal 12 Rabiul Awwal. Perayaan maulid telah menjadi bagian dari
kehidupan keagamaan masyarakat Muslim di dunia sekarang ini. Bahkan
tanggal 12 Rabiul Awwal merupakan hari libur di banyak negeri Muslim.
Kapankan sebenarnya perayaan maulid pertama kali muncul dalam sejarah
Islam?
Pada masa-masa sebelum ini kita sering
mendengar bahwa peringatan maulid muncul pertama kali pada zaman
Shalahuddin al-Ayyubi (w. 1193). Shalahuddin dikatakan mengadakan
kompetisi atau anjuran untuk melaksanakan perayaan maulid demi
membangkitkan semangat jihad kaum Muslimin pada masa itu dalam
menghadapi tentara salib. Namun sejauh yang penulis ketahui, kisah ini
sama sekali tidak memiliki rujukan.
Tidak ada satu pun penulis sejarah
Shalahuddin dan Perang Salib yang hidup sejaman dengannya yang
menyebutkan tentang hal ini. Jika Shalahuddin memang menjadikan maulid
sebagai bagian dari perjuangannya, tentu buku-buku sejarah pada masa
itu akan menyebutkan tentang hal itu walaupun sedikit.
Syair Salib.
Selain pendapat di atas, ada juga
sebagian kaum Muslimin yang menentang maulid, begitu pula beberapa
sejarawan Barat, yang mengatakan bahwa perayaan ini bersumber dari
Dinasti Fatimiyah (909-1171) yang berpaham Syiah Ismailiyah.
Dinasti inilah yang pertama kali
mengadakan perayaan maulid Nabi, serta maulid Ali dan beberapa maulid
keluarga Nabi lainnya. Bahkan ada artikel yang begitu bersemangat
mengkritik maulid menyebutkan bahwa maulid “berasal dari kaum
bathiniyyah (maksudnya Dinasti Fatimiyah, pen.) yang memiliki
dasar-dasar akidah Majusi dan Yahudi yang menghidupkan syiar-syiar kaum
salib.”
Terlepas dari perbedaan dan
permusuhannya dengan Ahlu Sunnah, Dinasti Fatimiyah pada masa itu juga
berperang menghadapi kaum salib. Jadi, menyebut dinasti Fatimiyah atau
perayaan maulid sebagai “menghidupkan syiar-syiar kaum Salib” merupakan
tuduhan yang terlalu jauh dan mengada-ada.
Beberapa buku sejarah memang menyebutkan
bahwa Dinasti Fatimiyah mengadakan perayaan maulid Nabi. Perlu
diketahui sebelumnya bahwa pemerintahan Fatimiyah berdiri pada tahun 909
M di Tunisia, memindahkan pusat kekuasaannya ke Kairo, Mesir, enam
dekade kemudian, dan runtuh pada tahun 1171, dua tahun setelah masuknya
Shalahuddin ke Mesir.
Adanya perayaan maulid oleh Dinasti Fatimiyah
disebutkan antara lain oleh dua orang sejarawan dan ilmuwan pada masa
Dinasti Mamluk, beberapa abad setelah masa hidup Shalahuddin dan
terjadinya Perang Salib. Kedua sejarawan yang sama-sama memiliki nama
Ahmad bin Ali itu dalah al-Qalqashandi (w. 1418) dan al-Makrizi (w.
1442). Menurut Nico Kaptein dalam disertasinya yang dibukukan,
Muhammad’s Birthday Festival (1193: 7-19), kedua sejarawan ini merujuk
pada tulisan para sejarawan sebelumnya yang mengalami jaman Fatimiyah, terutama Ibn Ma’mun (w. 1192) dan Ibn al-Tuwayr (w. 1220).
Al-Qalqashandi menyebutkan tentang
perayaan maulid Nabi oleh Dinasti Fatimiyah secara ringkas dalam kitab
Subh al-A’sya jilid III (1914: 502-3). Perayaan itu dilakukan pada
tanggal 12 Rabiul Awwal, dipimpin oleh Khalifah Fatimiyah dan dihadiri
oleh para pembesar kerajaan seperti Qadhi al-Qudhat, Da’i al-Du’at, dan
para pembesar kota Kairo dan Mesir. Hidangan disediakan untuk yang hadir
dan jalur ke istana ditutup dari orang-orang yang lewat di dekat tempat
itu. Setelah semua berkumpul, orang kepercayaan khalifah memberi tanda
dan acara pun dimulai dengan khutbah dari penceramah – dalam sumber lain
disebutkan bahwa acara dibuka dengan pembacaan al-Qur’an dan diikuti
dengan khutbah oleh tiga penceramah berturut-turut (Kaptein, 1993:
13-5). Setelah khutbah selesai, acara diakhiri dan orang-orang pun
kembali ke rumah masing-masing. Hal yang sama juga berlaku pada
perayaan maulid Ali bin Abi Thalib ra, maulid Fatimah, maulid Hasan dan
Hussain ra, dan maulid khalifah sendiri.
Sebagaimana disebutkan dalam
Encyclopaedia of Islam jilid 6 (1991: 895) dan juga buku Kaptein (1993:
9-10), al-Maqrizi (saya tidak merujuk langsung dari kitab beliau) juga
menjelaskan hal yang kurang lebih sama. Salah satu perayaan maulid itu
diadakan pada tahun 517 H (1123 M). Sebelum itu tentunya sudah ada
perayaan maulid juga, tetapi buku-buku sejarah tidak menyebutkan sejak
tahun berapa perayaan ini mulai dilakukan.
Kaptein (1993: 28-9) berpendapat
perayaan maulid yang berlaku di dunia Sunni merupakan kelanjutan dari
perayaan maulid Fatimiyah ini. Ia juga percaya bahwa saat terjadi
pergantian kekuasaan dari Dinasti Fatimiyah kepada Shalahuddin, perayaan
maulid Nabi tetap berlangsung di tengah masyarakat Mesir. Hanya maulid
selain maulid Nabi yang dihapuskan oleh pemerintahan Shalahuddin,
sementara maulid Nabi tetap diizinkan berjalan. Namun pendapat Kaptein
ini lebih bersifat dugaan dan penafsiran atas teks yang tidak sepenuhnya
bisa dijadikan pegangan.
Ada beberapa alasan untuk memilih pendapat yang sebaliknya.
Pertama,
sebagaimana digambarkan dalam sumber-sumber yang ada, maulid Fatimiyah
ini merupakan maulid yang bersifat elit. Ia dilaksanakan oleh istana dan
dihadiri oleh pembesar kerajaan dan tokoh-tokoh masyarakat. Tidak ada
informasi yang menyebutkan bahwa perayaan ini bersifat populer dan
dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat Mesir ketika itu, baik Sunni
maupun Syiah. Perayaan maulid Fatimiyah ini sempat dihentikan oleh
wazir Fatimiyah yang bernama al-Afdal yang memerintah pada tahun
1094-1122. Belakangan khalifah mengupayakannya lagi atas usulan beberapa
pembesar di sekitarnya (Kaptein, 1993: 24-5). Kisah tentang konflik ini
hanya berkisar di sekitar istana. Tidak ada informasi tentang apa yang
terjadi di masyarakat Mesir terkait pelarangan tersebut.
Kedua,
sejauh ini kita juga tidak menemukan sumber-sumber sejarah yang ada
menceritakan tradisi perayaan maulid di tengah masyarakat Syiah
Ismailiyah pada masa itu. Masyarakat Syiah ketika itu bukan hanya
tinggal di Mesir, tetapi juga di Suriah, Irak, dan Yaman (lihat misalnya
The Chronicle of Ibn al-Athir/ Tarikh Ibn al-Athir).
Ketiga,
dalam perjalanan hajinya ke Makkah melalui Mesir pada tahun 1183, Ibn
Jubair (2001: 31-68) sama sekali tidak menyebutkan adanya kebiasaan
maulid di Mesir.
Saat itu sudah dua belas tahun sejak
runtuhnya Dinasti Fatimiyah dan Mesir telah diperintah oleh Shalahuddin.
Pada bulan Rabiul Awwal tahun itu, Ibn Jubair (w. 1217) masih belum
menyeberang dari Mesir menuju Jeddah. Jika kebiasaan maulid di Mesir
merupakan kebiasaan yang populer di tengah masyarakat sejak masa
Fatimiyah, dan kemudian bersambung pada masa Shalahuddin, rasanya kecil
kemungkinan hal ini akan terlewat dari pengamatan Ibn Jubair untuk
kemudian ia tuangkan di dalam buku perjalanannya (The Travels of Ibn Jubayr/ Rihla). Sementara, Ibn Jubair jelas-jelas menyebutkan adanya peringatan maulid di Makkah sebagaimana akan disebutkan nanti.
Maulid Nabi antara Sunni dan Syiah.
Kemungkinan bahwa perayaan maulid Nabi
di dunia Sunni menerima pengaruh dari maulid Fatimiyah memang ada. Namun
pada saat yang sama juga ada hal-hal yang melemahkan pendapat ini.
Argumen paling menonjol yang dimiliki untuk mendukung pendapat ini
hanyalah kenyataan bahwa keberadaannya mendahului perayaan maulid di
tengah masyarakat Sunni.
Dalam kaitannya dengan pengaruh Syiah terhadap maulid di tengah masyarakat Sunni, Marion Holmes Katz dalam bukunya The Birth of Prophet Muhammad (2007: 3-4) menyarankan kemungkinan adanya pengaruh Syiah Imamiyah (Itsna Asy’ariyah).
Pengaruh ini, menurutnya, terutama dalam
hal “private and devotional aspects” dari peringatan maulid. Walaupun
pengaruh ini mungkin terjadi, hal ini pun lebih bersifat dugaan. Argumen
utamanya, seperti sebelumnya, adalah adanya teks dan riwayat Syiah
Imamiyah yang mendahului informasi tentang adanya maulid di dunia Sunni.
Maulid di kalangan Imamiyah ini berbeda
dengan yang berlaku di Dinasti Fatimiyah. Ia lebih berupa peringatan
yang bersifat individu dan anjuran untuk meningkatkan amal, khususnya
puasa, sedekah, dan berziarah.
Bagaimanapun, kalangan Imamiyah
menyepakati tanggal 17 Rabiul Awwal sebagai tanggal kelahiran Nabi,
berbeda dengan dunia Sunni yang memiliki beberapa riwayat tentang itu
yang mana tanggal 12 Rabiul Awwal kemudian menjadi pendapat yang paling
banyak diambil. Selain itu, pengaruh Syiah Imamiyah ketika itu terlalu
terbatas jika dibandingkan dengan Syiah Ismailiyah yang ditopang oleh
adanya Kerajaan Fatimiyah.
Di antara informasi awal yang
menyebutkan tentang adanya peringatan maulid di dunia Sunni adalah
catatan perjalanan Ibn Jubair. Ia melintasi Mesir dari Aleksandria ke
pelabuhan Aydzab, dalam perjalanan hajinya, antara bulan Dzul Hijjah 578
H (April 1183) dan Rabiul Awwal 579 H (Juli 1183). Setelah menetap di
Tanah Haram dan melakukan ibadah haji, ia meneruskan perjalanan ke Irak
dan Suriah sebelum kembali ke negerinya, Andalusia. Satu-satunya
peringatan maulid yang ia sebutkan hanya berlangsung di kota Makkah yang
berlangsung setiap bulan Rabiul Awwal. Itu pun tidak ia amati secara
langsung, karena ia baru masuk ke Hijaz pada bulan Rabiul Akhir.
Maulid yang disebutkan oleh Ibn Jubair
(2001: 111) berbeda dengan perayaan maulid yang kita kenal sekarang dan
mungkin memiliki asal-usul yang lebih tua daripada maulid Fatimiyah.
Maulid yang disebutkan oleh Ibn Jubair adalah pertemuan tiga makna
maulid, yaitu waktu kelahiran, tempat kelahiran, serta aktivitas yang
dilakukan terkait kedua hal itu. Maulid yang dimaksud di sini adalah
rumah tempat Nabi (shallallahu alaihi wasallam) dilahirkan di kota
Makkah dibuka untuk umum pada setiap hari Senin di bulan Rabiul Awwal
dan orang-orang berdatangan untuk mengharapkan keberkahannya. Jadi
aktivitas maulid di sini hanya sebatas peningkatan kunjungan ke tempat
Nabi dilahirkan, bukan dalam bentuk perayaan tertentu.
Sebagaimana disebutkan oleh Ibn Katsir dalam Al-Bidayah wa-l-Nihayah
jilid 3 (1997: 377), rumah Nabi ini telah diubah menjadi masjid oleh
ibu Harun al-Rasyid, Khayzuran, sewaktu ia melaksanakan haji ke Makkah.
Menurut Encyclopaedia of Islam jilid 6 (1991: 650, 895), hal ini terjadi
pada tahun 789 M, jauh sebelum adanya Dinasti Fatimiyah. Mungkin sejak
saat itu mulai terjadi peningkatan kunjungan oleh para peziarah,
terutama pada bulan Rabiul Awwal, sebagai penghormatan dan ekspresi
cinta mereka terhadap tempat dan waktu Nabi (shallallahu alaihi
wasallam) dilahirkan.
Era Nuruddin Zanki.
Informasi lainnya tentang perayaan
maulid pada masa itu datang dari Ibn Khallikan (w. 1282). Dalam Wafayat
al-A’yan, ia menyebutkan tentang adanya perayaan maulid di kota Irbil,
Irak, kota yang juga merupakan tempat kelahiran Ibn Khallikan sendiri.
Perayaan maulid itu berlangsung pada tahun 604 H (1207/8), sekitar 14
tahun setelah wafatnya Shalahuddin, dan diadakan oleh gubernur kota
Irbil, Muzaffaruddin Kukburi bin Zainuddin (w. 1233).
Muzaffaruddin merupakan adik ipar
Shalahuddin melalui pernikahannya dengan Rabia Khatun binti Ayyub. Ia
merupakan salah satu emir kepercayaan Shalahuddin dan menyertainya dalam
banyak pertempuran, termasuk Pertempuran Hattin. Muzaffaruddin juga
merupakan seorang yang banyak bersedekah. Ia membangun panti-panti untuk
kepentingan orang-orang cacat serta para janda dan anak yatim, rumah
sakit dan klinik bagi mereka yang sakit, madrasah bagi para pelajar,
serta ribat kaum sufi, dan ia biasa mengunjungi tempat-tempat itu dan
berinteraksi dengan orang-orang yang ada di dalamnya. Ibn Khallikan
menyebutkan secara detail banyak keutamaannya sebagai pemimpin yang
jarang dimiliki oleh para penguasa selainnya.
Muzaffaruddin merayakan maulid secara
besar-besaran di Irbil dan menyediakan dana yang banyak untuk keperluan
itu. Para ulama, qari’, sufi, sastrawan, dan orang-orang lainnya
berdatangan dari Baghdad, Mosul, Sinjar, dan kota-kota lainnya ke Irbil
sejak bulan Muharram untuk menghadiri perayaan tersebut. Kegiatan maulid
di Irbil ini merupakan sebuah festival besar yang terbuka untuk
masyarakat umum dan berlangsung selama sebulan lebih dan menampilkan
musik-musik rohani serta pertunjukan lainnya. Puncak kegiatan maulid
diadakan pada tanggal 8 atau 12 Rabiul Awwal secara bergantian setiap
tahun mengikuti pendapat yang ada berkenaan dengan tanggal kelahiran
Nabi (shallallahu alaihi wassalam).
Saat ia menyiapkan perayaan maulid di
tahun 1207/8 M sebagaimana disebutkan di atas, seorang ulama asal
Andalusia, Ibn Dihyah, sedang dalam perjalanan ke Khurasan dan mampir di
kota Irbil. Ia kemudian menulis sebuah buku berjudul Kitab al-Tanwir fi
Maulid al-Siraj al-Munir sebagai hadiah kepada Muzaffaruddin dan
sebagai bentuk dukungan atas perayaan maulid tersebut. Muzaffaruddin pun
menghadiahi Ibn Dihyah 1000 dinar untuk kitabnya itu.
Menurut Ibn Khallikan, nasab Ibn Dihyah
dari pihak ayah bersambung kepada sahabat Nabi yang bernama Dihyah
al-Kalbi ra. dan dari pihak ibu bersambung kepada Ali bin Musa al-Kadzim
yang merupakan keturunan Hussain bin Ali bin Abi Thalib ra (Ibn
Khallikan, 1843: 384-5, 537-41).
Ibn Khallikan tidak menyebutkan kapan
perayaan maulid ini mulai dilakukan dan apa yang melatarbelakanginya.
Namun, kita menemukan informasi tambahan tentang ini pada sebuah buku
yang ditulis oleh Abu Syamah al-Maqdisi (w. 1268). Ia merupakan seorang
ulama yang menulis sebuah kitab yang berharga tentang pemerintahan
Nuruddin dan Shalahuddin serta peristiwa Perang Salib, yaitu Kitab al-Rawdatayn fi Akhbar al-Dawlatayn. Ia menyebutkan tentang perayaan maulid dalam bukunya yang lain yang berjudul Kitab al-Ba’its ‘ala Inkar al-Bid’a wa-l-Hawadits
(1990: 95-6). Ia menyebutkan bahwa yang pertama kali melakukan perayaan
maulid (yawm mawlid al-Nabi shallallahu alaihi wasallam) adalah Syeikh
Umar al-Malla’, “seorang soleh yang masyhur”, di kota Mosul. Hal itu
kemudian diikuti oleh Muzaffaruddin dan yang lainnya.
Siapakah Syeikh Umar al-Malla’?
Ia merupakan seorang yang hidup
sederhana di zawiyahnya di kota Mosul dan banyak dikunjungi oleh para
emir dan orang-orang lainnya. Nuruddin Mahmud Zanki merupakan
sahabatnya. Ia sangat mempercayai Syeikh Umar al-Malla’, sering
berkonsultasi dengannya, serta memakan makanan yang disediakan olehnya
saat ia berkunjung ke kota Mosul. Informasi tentang perayaan maulid oleh
Syeikh Umar al-Malla’ ini membawa kita pada tahun yang lebih awal lagi
dibanding yang diberikan oleh tulisan Ibn Khallikan dan Ibn Jubair.
Perayaan maulid ini bahkan telah muncul sejak masa pemerintahan Nuruddin
Mahmud Zanki (w. 1174), sebelum era Shalahuddin al-Ayyubi (w. 1193).
Jika Abu Syamah hanya menyebutkan sekilas di dalam Kitab al-Ba’its tentang perayaan Maulid Syeikh Umar al-Malla’, informasi yang lebih detail bisa didapati dalam Kitab al-Barq al-Shami
karya Imaduddin al-Katib al-Isfahani. Imaduddin mengawali karir di
Baghdad, kemudian bekerja pada pemerintahan Nuruddin, dan setelah itu
menjadi sekretaris Shalahuddin. Kitab al-Barq al-Shami berisi
sejarah yang berkaitan dengan masa pemerintahan Shalahuddin. Kitab itu
sebagian besarnya sudah hilang, tetapi ringkasan yang dibuat oleh
al-Bundari, Sana al-Barq al-Shami, masih bisa dijumpai hingga sekarang
ini.
Dalam Sana al-Barq al-Shami
(1979: 52) disebutkan bahwa setiap tahun, pada hari-hari Maulid Nabi
(ayyam mawlid al-Nabi shallallahu alaihi wasallam), Syeikh Umar
al-Malla’ biasa mengundang para emir, para penyair, dan lainnya untuk
hadir ke tempatnya.
Dalam kesempatan itu para penyair
biasanya menyenandungkan puji-pujian terhadap Nabi (shallallahu alaihi
wasallam). Setelah itu Imaduddin menjelaskan hubungan dekat Nuruddin dan
Syeikh Umar serta masuknya Nuruddin ke Mosul ketika saudaranya yang
memimpin kota itu wafat pada tahun 1171. Imaduddin menyebut Syeikh Umar
sebagai rajulun min syuyukh al-shalihin wa a’imah al-arifin.
Kaptein (1993: 36), mengutip Mir’at
al-Zaman karya Sibt ibn al-Jauzi (w. 1257), menyebutkan bahwa Syeikh
Umar al-Malla’ juga menulis sebuah kitab sirah Nabi. Marion Holmes Katz
(2007: 2) menyebutkan bahwa kitab sirah yang ditulis Syeikh Umar ini
berjudul Wasilat al-Muta’abbidin fi Sirat Sayyid al-Mursalin. Hanya sebagian saja dari kitab itu yang masih ada dalam bentuk manuskrip di Oriental Public Library, Bankipore, India.
Pada manuskrip itu terdapat catatan
bahwa kitab itu dibacakan dalam beberapa kali kunjungan, terakhir pada
tanggal 6 Rabiul Awwal 569 (1174). Ini adalah tahun paling awal yang
kita dapati sejauh ini terkait dengan perayaan maulid di dunia Sunni
yang tampaknya menjadi cikal-bakal perayaan Maulid yang ada sekarang.
Bagaimanapun, Kaptein berpendapat bahwa
perayaan Maulid sudah berkembang di dunia Sunni pada masa pemerintahan
Nuruddin, dan Syeikh Umar al-Malla’ bukan orang yang pertama kali
memulainya sebagaimana yang disebutkan oleh Abu Syamah di dalam
al-Ba’its. Kaptein (1193: 31-3) menunjuk beberapa teks dalam Kitab
al-Rawdatayn karya Abu Syamah yang menyebutkan bahwa Nuruddin dan
orang-orang di sekitarnya juga telah melakukan perayaan maulid pada
tahun-tahun sebelumnya, antara lain pada tahun 1153. Setidaknya ada tiga
teks di dalam kitab itu, yaitu pada jilid 1 (1997: 279, 285) dan jilid 2
(1997: 315), yang menyebutkan tentang malam maulid (laylat al-milad),
tanpa ada penyebutan kata Nabi (shallallahu alaihi wasallam). Walaupun
tak ada penyebutan kata Nabi, menurut Kaptein kata itu pasti menunjuk
pada maulid Nabi, karena pada sepanjang pemerintahannya Nuruddin
berusaha membangun nilai-nilai Islam yang kuat di tengah masyarakatnya,
sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi (shallallahu alaihi wasallam).
Untuk menguatkan argumentasinya, Kaptein
juga mengutip dari buku Al-A’laq al-Khatira fi Dhikr Umara’ al-Sham
wa-l-Jazira karya Izzuddin Ibn Shaddad (w. 1285). Di sana disebutkan
bahwa pada tahun 1150, Nuruddin mendirikan Madrasah al-Hallawiyah di
Aleppo. Bersamaan dengan itu, ia menetapkan pemberian uang, makanan,
atau pakaian dalam jumlah tertentu kepada para guru pada waktu-waktu
yang ditentukan, antara lain pada bulan Ramadhan, malam nisfu sya’ban,
dan juga pada masa maulid (tertulis dalam teks dalam bentuk jamak,
mawalid). Pendapat Kaptein ini menguatkan pandangannya bahwa maulid di
dunia Sunni mendapat pengaruh dari maulid Dinasti Fatimiyah, karena pada
tahun 1150-an itu Dinasti Fatimiyah masih eksis dan masih merayakan
maulid. Kecil kemungkinan Nuruddin dan para pemimpin Sunni selainnnya
tidak mengetahui tentang hal itu.
Namun kita menemukan kelemahan pada
argumen ini. Maulid yang disebutkan berkenaan dengan Nuruddin memiliki
karakteristik yang berbeda bukan hanya dengan maulid Fatimiyah, tetapi
juga dengan maulid yang diadakan oleh Syeikh Umar al-Malla’ dan juga
Muzaffaruddin. Momen malam maulid hanya disebutkan sekilas di dalam
teks-teks pada Kitab al-Rawdatayn yang bertepatan dengan
dibacakannya syair-syair yang dihadiahkan kepada Nuruddin. Syair-syair
itu pada satu kesempatan dibuat oleh Ibn Munir dan pada kesempatan yang
lain dibuat dan dibacakan oleh Usamah ibn Munqidz. Teks-teks itu tidak
memberikan gambaran yang jelas tentang berlangsungnya sebuah perayaan
maulid. Syair-syair yang dibacakan juga bukan merupakan pujian kepada
Nabi (shallallahu alaihi wasallam), tetapi lebih berupa pujian kepada
Nuruddin. Jika syair-syair itu dibacakan dalam rangka merayakan maulid
Nabi, mengapa Nuruddin yang menjadi obyek utama pujiannya?
Hal ini berbeda dengan maulid yang
diadakan oleh Syeikh Umar yang di sana para penyair bersenandung memuji
Nabi dan ketika itu juga dibacakan kitab sirah yang ditulis oleh Syeikh
Umar. Begitu pula maulid yang diadakan oleh Muzaffaruddin dimana kita
menemukan kisah Ibn Dihyah yang menuliskan sebuah kitab berkenaan dengan
kelahiran Nabi pada kesempatan tersebut. Tambah lagi momen-momen
pemberian syair untuk Nuruddin itu disebut dengan kata ‘malam maulid’,
berbeda dengan pelaksanaan maulid Fatimiyah yang tampaknya diadakan pada
siang hari, begitu pula dengan maulid yang diadakan oleh Syeikh Umar.
Pembagian hadiah yang diberikan untuk
para guru di Madrasah Hallawiyah yang antara lain bertepatan dengan
waktu maulid juga tidak serta merta mengisyaratkan adanya sebuah bentuk
perayaan maulid. Karena pembagian hadiah bukan hanya diberikan pada
waktu-waktu keagamaan yang mengandung aktivitas ritual, tetapi juga
waktu-waktu lainnya seperti musim dingin dan musim semi.
Kalau begitu apa makna malam maulid ini
dan apa kaitannya dengan perayaan maulid? Kemungkinan malam maulid yang
berkaitan dengan Nuruddin ini belum berlangsung dalam bentuk perayaan
khusus. Mungkin pada masa itu ‘malam maulid’ sudah dikenal luas dan
ditandai oleh masyarakat Muslim Sunni sebagai momen yang perlu dikenang.
Pada kesempatan itu amal soleh, seperti membagikan hadiah kepada para
guru madrasah, ditingkatkan sebagai ungkapan syukur atas kelahiran Nabi
(shallallahu alaihi wasallam). Kita mungkin bisa menyebutnya sebagai
sebuah ‘peringatan’ (remembrance), sebuah proto-maulid, bukan sebuah
perayaan atau festival seperti yang berkembang kemudian. Argumentasi ini
lebih sejalan dengan penjelasan Abu Syamah bahwa yang melaksanakan
‘perayaan’ maulid pertama kali adalah Syeikh Umar al-Malla’, yang
merupakan sebuah pengembangan baru dari sekedar sebuah ‘peringatan’.
Maulid Nabi Bukan Dipengaruhi Maulid Yesus.
Adanya ‘peringatan’ maulid (sebagaimana disebutkan dalam artikel sebelumnya) tampaknya lebih berkaitan dengan maulid di Makkah seperti yang diceritakan oleh Ibn Jubair dibandingkan dengan maulid Fatimiyah. Nuruddin berusaha menguatkan ajaran Ahlu Sunnah dalam pemerintahannya dan membatasi praktek-praktek Syiah yang juga terdapat pada masyarakat yang ia pimpin. Jika ia mengambil peringatan maulid dari Fatimiyah, tentu hal itu akan diketahui oleh tokoh-tokoh Muslim pada masa itu, baik Syiah maupun Sunni. Kalangan Syiah mungkin akan mengungkapnya dan kalangan Sunni perlu mempertahankannya. Tapi kita tidak menemukan adanya polemik semacam ini pada masa itu.Saat membicarakan tentang maulid Fatimiyah, Kaptein (1993: 28-30) sendiri menolak kemungkinan maulid tersebut menerima pengaruh dari perayaan milad Yesus (Natal) di kalangan orang-orang Koptik di Mesir. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan karakteristik pada keduanya: maulid Fatimiyah tidak semenonjol dan sepopuler Natal (Coptic Christmas) dan ia tidak diadakan pada malam hari seperti Natal.
Namun, ketika membahas maulid di dunia Sunni, Kaptein dengan cepat menyatakan adanya kesinambungan, tanpa mempertimbangkan adanya perbedaan karakteristik keduanya. Karena itu lebih aman untuk menerima kesimpulan di dalam Encyclopaedia of Islam (1991: 895) yang menyebutkan bahwa “the memory of these Fatimid mawalid seems to have almost completely disappeared before the festivals in which Muslim authors unanimously find the origin of the mawlid.”
Dengan demikian dapat dikatakan perayaan maulid di dunia Sunni baru muncul pada awal abad ke-12, yaitu pada masa pemerintahan Nuruddin Mahmud Zanki (w. 1174).
Perayaan maulid ini pada awalnya terbatas di kota Mosul, tetapi perlahan-lahan menyebar dan tampil secara besar-besaran di Irbil beberapa waktu kemudian. Perayaan maulid yang berlaku di Mosul dan irbil ini kemudian menyebar dari sebagian wilayah Iraq ke Mesir dan kemudian ke seluruh dunia Islam seperti yang kita ketahui sekarang ini.
Abu Syamah sendiri menceritakan tentang perayaan maulid di dalam bukunya yang membahas tentang bid’ah, yaitu Kitab al-Ba’its. Ia menyebut perayaan maulid sebagai sebuah bid’ah yang berlaku di jamannya. Namun, dalam bukunya itu ia membagi bid’ah kepada bid’ah yang baik dan yang buruk sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Imam Syafi’i. Abu Syamah memasukkan maulid ke dalam kumpulan bid’ah yang baik, sebagaimana pembuatan mimbar di masjid serta pembangunan madrasah.
Lebih dari satu setengah abad sejak maulid yang diadakan di Irbil, Ibn Kathir (w. 1373) menulis tentang hal itu di dalam kitabnya Al-Bidayah wa-l-Nihayah jilid 17 (1998: 204-6). Ia menyebutkannya saat menceritakan tentang wafatnya pemimpin Irbil, Muzaffaruddin Kukburi. Sebagian besar penjelasannya sama dengan yang ada pada tulisan Ibn Khallikan, tetapi di dalamnya juga ada beberapa informasi lainnya. Ia menyebutkan keutamaan-keutamaan Muzaffaruddin, jihadnya yang menonjol, serta sedekahnya yang sangat banyak, walaupun baju yang biasa dikenakannya berbahan kasar dan harganya tak sampai 5 dirham.
Dalam tulisannya itu Ibn Katsir sama sekali tidak menyebutkan maulid yang diadakan itu bersumber dari Fatimiyah dan ia tidak pula mencelanya atau menyebutnya sebagai perbuatan bid’ah, walaupun salah satu gurunya, Ibn Taimiyah (w. 1328), mengkritik maulid sebagai perbuatan bid’ah.
Ibn Katsir bahkan memuji Muzaffaruddin dan mendoakannya dengan sebutan rahimahullah Ta’ala. Ibn Katsir juga menyebutkan tentang perayaan maulid oleh Syaikh Umar al-Malla’ dalam kitab Bidayah jilid 16 (1998: 446-7) dan menyebut tokoh zahid itu dengan sebutan al-Shaikh al-Shalih al-Abid.
Terlepas dari itu semua, perayaan maulid merupakan sesuatu yang tidak ada pada jaman Nabi, sahabat, ataupun para imam madzhab. Ia baru muncul belakangan. Maulid bukanlah sesuatu yang mesti dilaksanakan setiap tahun, apalagi setiap bulan atau setiap minggu, dan ia bukan pula ukuran kecintaan seseorang kepada Nabi (shallallahu alaihi wasallam).
Mengerjakannya tidak membuat pelakunya lebih mulia dan lebih terbukti cintanya pada Nabi dibandingkan mereka yang tidak mengerjakannya. Jika ia merupakan ukuran cinta pada Nabi dan menjadikan seseorang lebih mulia, maka bagaimana kita hendak menilai kecintaan dan kemuliaan generasi terdahulu sementara mereka tidak pernah mengadakan maulid?
Sebaliknya, yang tidak menyetujui maulid juga perlu lebih bijak dan tidak terlalu mudah membid’ahkan atau menyesatkan mereka yang menyelenggarakan maulid sebagai ungkapan rasa syukur atas kelahiran sang Nabi. Sebelumnya, mereka juga tidak dikecam oleh para ulama di jamannya maupun setelahnya. Wallahu a’lam.
Post a Comment
mohon gunakan email