Pesan Rahbar

Home » » Mencari Asal-usul Maulid Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Mencari Asal-usul Maulid Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Written By Unknown on Monday, 7 July 2014 | 05:40:00

Shallahuddin Al Ayyubi dan Maulid Nabi.

Secara  bahasa maulid Nabi bermakna waktu kelahiran. atau tempat kelahiran, Nabi (shallallahu alaihi wasallam). Secara istilah, maulid Nabi biasanya dimaknai sebagai perayaan yang berkaitan dengan waktu kelahiran Nabi Muhammad setiap tanggal 12 Rabiul Awwal. Perayaan maulid telah menjadi bagian dari kehidupan keagamaan masyarakat Muslim di dunia sekarang ini. Bahkan tanggal 12 Rabiul Awwal merupakan hari libur di banyak negeri Muslim. Kapankan sebenarnya perayaan maulid pertama kali muncul dalam sejarah Islam?

Pada masa-masa sebelum ini kita sering mendengar bahwa peringatan maulid muncul pertama kali pada zaman Shalahuddin al-Ayyubi (w. 1193).  Shalahuddin dikatakan mengadakan kompetisi atau anjuran untuk melaksanakan perayaan maulid demi membangkitkan semangat jihad kaum Muslimin pada masa itu dalam menghadapi tentara salib. Namun sejauh yang penulis ketahui, kisah ini sama sekali tidak memiliki rujukan.
Tidak ada satu pun penulis sejarah Shalahuddin dan Perang Salib yang hidup sejaman dengannya yang menyebutkan tentang hal ini. Jika Shalahuddin memang menjadikan maulid sebagai bagian dari perjuangannya, tentu buku-buku sejarah pada  masa itu akan menyebutkan tentang hal itu walaupun sedikit.

Syair Salib.

Selain pendapat di atas, ada juga sebagian kaum Muslimin yang menentang maulid, begitu pula beberapa sejarawan Barat, yang mengatakan bahwa perayaan ini bersumber dari Dinasti Fatimiyah (909-1171) yang berpaham Syiah Ismailiyah.
 
Dinasti inilah yang pertama kali mengadakan perayaan maulid Nabi, serta maulid Ali dan beberapa maulid keluarga Nabi lainnya. Bahkan ada artikel yang begitu bersemangat mengkritik maulid menyebutkan bahwa maulid “berasal dari kaum bathiniyyah (maksudnya Dinasti Fatimiyah, pen.) yang memiliki dasar-dasar akidah Majusi dan Yahudi yang menghidupkan syiar-syiar kaum salib.”

Terlepas dari perbedaan dan permusuhannya dengan Ahlu Sunnah, Dinasti Fatimiyah pada masa itu juga berperang menghadapi kaum salib. Jadi, menyebut dinasti Fatimiyah atau perayaan maulid sebagai “menghidupkan syiar-syiar kaum Salib” merupakan tuduhan yang terlalu jauh dan mengada-ada.

Beberapa buku sejarah memang menyebutkan bahwa Dinasti Fatimiyah mengadakan perayaan maulid Nabi. Perlu diketahui sebelumnya bahwa pemerintahan Fatimiyah berdiri pada tahun 909 M di Tunisia, memindahkan pusat kekuasaannya ke Kairo, Mesir, enam dekade kemudian, dan runtuh pada tahun 1171, dua tahun setelah masuknya Shalahuddin ke Mesir. 

Adanya perayaan maulid oleh Dinasti Fatimiyah disebutkan antara lain oleh dua orang sejarawan dan ilmuwan pada masa Dinasti Mamluk, beberapa abad setelah masa hidup Shalahuddin dan terjadinya Perang Salib. Kedua sejarawan yang sama-sama memiliki nama Ahmad bin Ali itu dalah al-Qalqashandi (w. 1418) dan al-Makrizi (w. 1442). Menurut Nico Kaptein dalam disertasinya yang dibukukan, Muhammad’s Birthday Festival (1193: 7-19), kedua sejarawan ini merujuk pada tulisan para sejarawan sebelumnya yang mengalami jaman Fatimiyah, terutama Ibn Ma’mun (w. 1192) dan Ibn al-Tuwayr (w. 1220).

Al-Qalqashandi menyebutkan tentang perayaan maulid Nabi oleh Dinasti Fatimiyah secara ringkas dalam kitab Subh al-A’sya jilid III (1914: 502-3). Perayaan itu dilakukan pada tanggal 12 Rabiul Awwal, dipimpin oleh Khalifah Fatimiyah dan dihadiri oleh para pembesar kerajaan seperti Qadhi al-Qudhat, Da’i al-Du’at, dan para pembesar kota Kairo dan Mesir. Hidangan disediakan untuk yang hadir dan jalur ke istana ditutup dari orang-orang yang lewat di dekat tempat itu. Setelah semua berkumpul, orang kepercayaan khalifah memberi tanda dan acara pun dimulai dengan khutbah dari penceramah – dalam sumber lain disebutkan bahwa acara dibuka dengan pembacaan al-Qur’an dan diikuti dengan khutbah oleh tiga penceramah berturut-turut (Kaptein, 1993: 13-5). Setelah khutbah selesai, acara diakhiri dan orang-orang pun kembali ke  rumah masing-masing. Hal yang sama juga berlaku pada perayaan maulid Ali bin Abi Thalib ra, maulid Fatimah, maulid Hasan dan Hussain ra, dan maulid khalifah sendiri.

Sebagaimana disebutkan dalam Encyclopaedia of Islam jilid 6 (1991: 895) dan juga buku Kaptein (1993: 9-10), al-Maqrizi (saya tidak merujuk langsung dari kitab beliau) juga menjelaskan hal yang kurang lebih sama. Salah satu perayaan maulid itu diadakan pada tahun 517 H (1123 M). Sebelum itu tentunya sudah ada perayaan maulid juga, tetapi buku-buku sejarah tidak menyebutkan sejak tahun berapa perayaan ini mulai dilakukan.

Kaptein (1993: 28-9) berpendapat perayaan maulid yang berlaku di dunia Sunni merupakan kelanjutan dari perayaan maulid Fatimiyah ini. Ia juga percaya bahwa saat terjadi pergantian kekuasaan dari Dinasti Fatimiyah kepada Shalahuddin, perayaan maulid Nabi tetap berlangsung di tengah masyarakat Mesir. Hanya maulid selain maulid Nabi yang dihapuskan oleh pemerintahan Shalahuddin, sementara maulid Nabi tetap diizinkan berjalan. Namun pendapat Kaptein ini lebih bersifat dugaan dan penafsiran atas teks yang tidak sepenuhnya bisa dijadikan pegangan.

Ada beberapa alasan untuk memilih pendapat yang sebaliknya.
Pertama, sebagaimana digambarkan dalam sumber-sumber yang ada, maulid Fatimiyah ini merupakan maulid yang bersifat elit. Ia dilaksanakan oleh istana dan dihadiri oleh pembesar kerajaan dan tokoh-tokoh masyarakat. Tidak ada informasi yang menyebutkan bahwa perayaan ini bersifat populer dan dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat Mesir ketika itu, baik Sunni maupun Syiah. Perayaan maulid Fatimiyah ini sempat dihentikan oleh wazir Fatimiyah yang bernama al-Afdal yang memerintah pada tahun 1094-1122. Belakangan khalifah mengupayakannya lagi atas usulan beberapa pembesar di sekitarnya (Kaptein, 1993: 24-5). Kisah tentang konflik ini hanya berkisar di sekitar istana. Tidak ada informasi tentang apa yang terjadi di masyarakat Mesir terkait pelarangan tersebut.
Kedua, sejauh ini kita juga tidak menemukan sumber-sumber sejarah yang ada menceritakan tradisi perayaan maulid di tengah masyarakat Syiah Ismailiyah pada masa itu. Masyarakat Syiah ketika itu bukan hanya tinggal di Mesir, tetapi juga di Suriah, Irak, dan Yaman (lihat misalnya The Chronicle of Ibn al-Athir/ Tarikh Ibn al-Athir).
Ketiga, dalam perjalanan hajinya ke Makkah melalui Mesir pada tahun 1183, Ibn Jubair (2001: 31-68) sama sekali tidak menyebutkan adanya kebiasaan maulid di Mesir.

Saat itu sudah dua belas tahun sejak runtuhnya Dinasti Fatimiyah dan Mesir telah diperintah oleh Shalahuddin. Pada bulan Rabiul Awwal tahun itu, Ibn Jubair (w. 1217) masih belum menyeberang dari Mesir menuju Jeddah. Jika kebiasaan maulid di Mesir merupakan kebiasaan yang populer di tengah masyarakat sejak masa Fatimiyah, dan kemudian bersambung pada masa Shalahuddin, rasanya kecil kemungkinan hal ini akan terlewat dari pengamatan Ibn Jubair untuk kemudian ia tuangkan di dalam buku perjalanannya (The Travels of Ibn Jubayr/ Rihla). Sementara, Ibn Jubair jelas-jelas menyebutkan adanya peringatan maulid di Makkah sebagaimana akan disebutkan nanti.

Maulid Nabi antara Sunni dan Syiah.

Kemungkinan bahwa perayaan maulid Nabi di dunia Sunni menerima pengaruh dari maulid Fatimiyah memang ada. Namun pada saat yang sama juga ada hal-hal yang melemahkan pendapat ini. Argumen paling menonjol yang dimiliki untuk mendukung pendapat ini hanyalah kenyataan bahwa keberadaannya mendahului perayaan maulid di tengah masyarakat Sunni.

Dalam kaitannya dengan pengaruh Syiah terhadap maulid di tengah masyarakat Sunni, Marion Holmes Katz dalam bukunya The Birth of Prophet Muhammad (2007: 3-4) menyarankan kemungkinan adanya pengaruh Syiah Imamiyah (Itsna Asy’ariyah).

Pengaruh ini, menurutnya, terutama dalam hal “private and devotional aspects” dari peringatan maulid. Walaupun pengaruh ini mungkin terjadi, hal ini pun lebih bersifat dugaan. Argumen utamanya, seperti sebelumnya, adalah adanya teks dan riwayat Syiah Imamiyah yang mendahului informasi tentang adanya maulid di dunia Sunni.

Maulid di kalangan Imamiyah ini berbeda dengan yang berlaku di Dinasti Fatimiyah. Ia lebih berupa peringatan yang bersifat individu dan anjuran untuk meningkatkan amal, khususnya puasa, sedekah, dan berziarah.

Bagaimanapun, kalangan Imamiyah menyepakati tanggal 17 Rabiul Awwal sebagai tanggal kelahiran Nabi, berbeda dengan dunia Sunni yang memiliki beberapa riwayat tentang itu yang mana tanggal 12 Rabiul Awwal kemudian menjadi pendapat yang paling banyak diambil. Selain itu, pengaruh Syiah Imamiyah ketika itu terlalu terbatas jika dibandingkan dengan Syiah Ismailiyah yang ditopang oleh adanya Kerajaan Fatimiyah.
Di antara informasi awal yang menyebutkan tentang adanya peringatan maulid di dunia Sunni adalah catatan perjalanan Ibn Jubair. Ia melintasi Mesir dari Aleksandria ke pelabuhan Aydzab, dalam perjalanan hajinya, antara bulan Dzul Hijjah 578 H (April 1183) dan Rabiul Awwal 579 H (Juli 1183). Setelah menetap di Tanah Haram dan melakukan ibadah haji, ia meneruskan perjalanan ke Irak dan Suriah sebelum kembali ke negerinya, Andalusia. Satu-satunya peringatan maulid yang ia sebutkan hanya berlangsung di kota Makkah yang berlangsung setiap bulan Rabiul Awwal. Itu pun tidak ia amati secara langsung, karena ia baru masuk ke Hijaz pada bulan Rabiul Akhir.

Maulid yang disebutkan oleh Ibn Jubair (2001: 111) berbeda dengan perayaan maulid yang kita kenal sekarang dan mungkin memiliki asal-usul yang lebih tua daripada maulid Fatimiyah. Maulid yang disebutkan oleh Ibn Jubair adalah pertemuan tiga makna maulid, yaitu waktu kelahiran, tempat kelahiran, serta aktivitas yang dilakukan terkait kedua hal itu. Maulid yang dimaksud di sini adalah rumah tempat Nabi (shallallahu alaihi wasallam) dilahirkan di kota Makkah dibuka untuk umum pada setiap hari Senin di bulan Rabiul Awwal dan orang-orang berdatangan untuk mengharapkan keberkahannya. Jadi aktivitas maulid di sini hanya sebatas peningkatan kunjungan ke tempat Nabi dilahirkan, bukan dalam bentuk perayaan tertentu.
Sebagaimana disebutkan oleh Ibn Katsir dalam Al-Bidayah wa-l-Nihayah jilid 3 (1997: 377), rumah Nabi ini telah diubah menjadi masjid oleh ibu Harun al-Rasyid, Khayzuran, sewaktu ia melaksanakan haji ke Makkah. Menurut Encyclopaedia of Islam jilid 6 (1991: 650, 895), hal ini terjadi pada tahun 789 M, jauh sebelum adanya Dinasti Fatimiyah. Mungkin sejak saat itu mulai terjadi peningkatan kunjungan oleh para peziarah, terutama pada bulan Rabiul Awwal, sebagai penghormatan dan ekspresi cinta mereka terhadap tempat dan waktu Nabi (shallallahu alaihi wasallam) dilahirkan.

Era Nuruddin Zanki.

Informasi lainnya tentang perayaan maulid pada masa itu datang dari Ibn Khallikan (w. 1282). Dalam Wafayat al-A’yan, ia menyebutkan tentang adanya perayaan maulid di kota Irbil, Irak, kota yang juga merupakan tempat kelahiran Ibn Khallikan sendiri. Perayaan maulid itu berlangsung pada tahun 604 H (1207/8), sekitar 14 tahun setelah wafatnya Shalahuddin, dan diadakan oleh gubernur kota Irbil, Muzaffaruddin Kukburi bin Zainuddin (w. 1233).

Muzaffaruddin merupakan adik ipar Shalahuddin melalui pernikahannya dengan Rabia Khatun binti Ayyub. Ia merupakan salah satu emir kepercayaan Shalahuddin dan menyertainya dalam banyak pertempuran, termasuk Pertempuran Hattin. Muzaffaruddin juga merupakan seorang yang banyak bersedekah. Ia membangun panti-panti untuk kepentingan orang-orang cacat serta para janda dan anak yatim, rumah sakit dan klinik bagi mereka yang sakit, madrasah bagi para pelajar, serta ribat kaum sufi, dan ia biasa mengunjungi tempat-tempat itu dan berinteraksi dengan orang-orang yang ada di dalamnya. Ibn Khallikan menyebutkan secara detail banyak keutamaannya sebagai pemimpin yang jarang dimiliki oleh para penguasa selainnya.

Muzaffaruddin merayakan maulid secara besar-besaran di Irbil dan menyediakan dana yang banyak untuk keperluan itu. Para ulama, qari’, sufi, sastrawan, dan orang-orang lainnya berdatangan dari Baghdad, Mosul, Sinjar, dan kota-kota lainnya ke Irbil sejak bulan Muharram untuk menghadiri perayaan tersebut. Kegiatan maulid di Irbil ini merupakan sebuah festival besar yang terbuka untuk masyarakat umum dan berlangsung selama sebulan lebih dan menampilkan musik-musik rohani serta pertunjukan lainnya. Puncak kegiatan maulid diadakan pada tanggal 8 atau 12 Rabiul Awwal secara bergantian setiap tahun mengikuti pendapat yang ada berkenaan dengan tanggal kelahiran Nabi (shallallahu alaihi wassalam).

Saat ia menyiapkan perayaan maulid di tahun 1207/8 M sebagaimana disebutkan di atas, seorang ulama asal Andalusia, Ibn Dihyah, sedang dalam perjalanan ke Khurasan dan mampir di kota Irbil. Ia kemudian menulis sebuah buku berjudul Kitab al-Tanwir fi Maulid al-Siraj al-Munir sebagai hadiah kepada Muzaffaruddin dan sebagai bentuk dukungan atas perayaan maulid tersebut. Muzaffaruddin pun menghadiahi Ibn Dihyah 1000 dinar untuk kitabnya itu.

Menurut Ibn Khallikan, nasab Ibn Dihyah dari pihak ayah bersambung kepada sahabat Nabi yang bernama Dihyah al-Kalbi ra. dan dari pihak ibu bersambung kepada Ali bin Musa al-Kadzim yang merupakan keturunan Hussain bin Ali bin Abi Thalib ra (Ibn Khallikan, 1843: 384-5, 537-41).

Ibn Khallikan tidak menyebutkan kapan perayaan maulid ini mulai dilakukan dan apa yang melatarbelakanginya. Namun, kita menemukan informasi tambahan tentang ini pada sebuah buku yang ditulis oleh Abu Syamah al-Maqdisi (w. 1268). Ia merupakan seorang ulama yang menulis sebuah kitab yang berharga tentang pemerintahan Nuruddin dan Shalahuddin serta peristiwa Perang Salib, yaitu Kitab al-Rawdatayn fi Akhbar al-Dawlatayn. Ia menyebutkan tentang perayaan maulid dalam bukunya yang lain yang berjudul Kitab al-Ba’its ‘ala Inkar al-Bid’a wa-l-Hawadits (1990: 95-6). Ia menyebutkan bahwa yang pertama kali melakukan perayaan maulid (yawm mawlid al-Nabi shallallahu alaihi wasallam) adalah Syeikh Umar al-Malla’, “seorang soleh yang masyhur”, di kota Mosul. Hal itu kemudian diikuti oleh Muzaffaruddin dan yang lainnya.

Siapakah Syeikh Umar al-Malla’?
Ia merupakan seorang yang hidup sederhana di zawiyahnya di kota Mosul dan banyak dikunjungi oleh para emir dan orang-orang lainnya. Nuruddin Mahmud Zanki merupakan sahabatnya. Ia sangat mempercayai Syeikh Umar al-Malla’, sering berkonsultasi dengannya, serta memakan makanan yang disediakan olehnya saat ia berkunjung ke kota Mosul. Informasi tentang perayaan maulid oleh Syeikh Umar al-Malla’ ini membawa kita pada tahun yang lebih awal lagi dibanding yang diberikan oleh tulisan Ibn Khallikan dan Ibn Jubair. Perayaan maulid ini bahkan telah muncul sejak masa pemerintahan Nuruddin Mahmud Zanki (w. 1174), sebelum era Shalahuddin al-Ayyubi (w. 1193).

Jika Abu Syamah hanya menyebutkan sekilas di dalam Kitab al-Ba’its tentang perayaan Maulid Syeikh Umar al-Malla’, informasi yang lebih detail bisa didapati dalam Kitab al-Barq al-Shami karya Imaduddin al-Katib al-Isfahani. Imaduddin mengawali karir di Baghdad, kemudian bekerja pada pemerintahan Nuruddin, dan setelah itu menjadi sekretaris Shalahuddin. Kitab al-Barq al-Shami berisi sejarah yang berkaitan dengan masa pemerintahan Shalahuddin. Kitab itu sebagian besarnya sudah hilang, tetapi ringkasan yang dibuat oleh al-Bundari, Sana al-Barq al-Shami, masih bisa dijumpai hingga sekarang ini.

Dalam Sana al-Barq al-Shami (1979: 52) disebutkan bahwa setiap tahun, pada hari-hari Maulid Nabi (ayyam mawlid al-Nabi shallallahu alaihi wasallam), Syeikh Umar al-Malla’ biasa mengundang para emir, para penyair, dan lainnya untuk hadir ke tempatnya.

Dalam kesempatan itu para penyair biasanya menyenandungkan puji-pujian terhadap Nabi (shallallahu alaihi wasallam). Setelah itu Imaduddin menjelaskan hubungan dekat Nuruddin dan Syeikh Umar serta masuknya Nuruddin ke Mosul ketika saudaranya yang memimpin kota itu wafat pada tahun 1171. Imaduddin menyebut Syeikh Umar sebagai rajulun min syuyukh al-shalihin wa a’imah al-arifin.

Kaptein (1993: 36), mengutip Mir’at al-Zaman karya Sibt ibn al-Jauzi (w. 1257), menyebutkan bahwa Syeikh Umar al-Malla’ juga menulis sebuah kitab sirah Nabi. Marion Holmes Katz (2007: 2) menyebutkan bahwa kitab sirah yang ditulis Syeikh Umar ini berjudul Wasilat al-Muta’abbidin fi Sirat Sayyid al-Mursalin. Hanya sebagian saja dari kitab itu yang masih ada dalam bentuk manuskrip di Oriental Public Library, Bankipore, India.

Pada manuskrip itu terdapat catatan bahwa kitab itu dibacakan dalam beberapa kali kunjungan, terakhir pada tanggal 6 Rabiul Awwal 569 (1174). Ini adalah tahun paling awal yang kita dapati sejauh ini terkait dengan perayaan maulid di dunia Sunni yang tampaknya menjadi cikal-bakal perayaan Maulid yang ada sekarang.

Bagaimanapun, Kaptein berpendapat bahwa perayaan Maulid sudah berkembang di dunia Sunni pada masa pemerintahan Nuruddin, dan Syeikh Umar al-Malla’ bukan orang yang pertama kali memulainya sebagaimana yang disebutkan oleh Abu Syamah di dalam al-Ba’its. Kaptein (1193: 31-3) menunjuk beberapa teks dalam Kitab al-Rawdatayn karya Abu Syamah yang menyebutkan bahwa Nuruddin dan orang-orang di sekitarnya juga telah melakukan perayaan maulid pada tahun-tahun sebelumnya, antara lain pada tahun 1153. Setidaknya ada tiga teks di dalam kitab itu, yaitu pada jilid 1 (1997: 279, 285) dan jilid 2 (1997: 315), yang menyebutkan tentang malam maulid (laylat al-milad), tanpa ada penyebutan kata Nabi (shallallahu alaihi wasallam). Walaupun tak ada penyebutan kata Nabi, menurut Kaptein kata itu pasti menunjuk pada maulid Nabi, karena pada sepanjang pemerintahannya Nuruddin berusaha membangun nilai-nilai Islam yang kuat di tengah masyarakatnya, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi (shallallahu alaihi wasallam).

Untuk menguatkan argumentasinya, Kaptein juga mengutip dari buku Al-A’laq al-Khatira fi Dhikr Umara’ al-Sham wa-l-Jazira karya Izzuddin Ibn Shaddad (w. 1285). Di sana disebutkan bahwa pada tahun 1150, Nuruddin mendirikan Madrasah al-Hallawiyah di Aleppo. Bersamaan dengan itu, ia menetapkan pemberian uang, makanan, atau pakaian dalam jumlah tertentu kepada para guru pada waktu-waktu yang ditentukan, antara lain pada bulan Ramadhan, malam nisfu sya’ban, dan juga pada masa maulid (tertulis dalam teks dalam bentuk jamak, mawalid). Pendapat Kaptein ini menguatkan pandangannya bahwa maulid di dunia Sunni mendapat pengaruh dari maulid Dinasti Fatimiyah, karena pada tahun 1150-an itu Dinasti Fatimiyah masih eksis dan masih merayakan maulid. Kecil kemungkinan Nuruddin dan para pemimpin Sunni selainnnya tidak mengetahui tentang hal itu.

Namun kita menemukan kelemahan pada argumen ini. Maulid yang disebutkan berkenaan dengan Nuruddin memiliki karakteristik yang berbeda bukan hanya dengan maulid Fatimiyah, tetapi juga dengan maulid yang diadakan oleh Syeikh Umar al-Malla’ dan juga Muzaffaruddin. Momen malam maulid hanya disebutkan sekilas di dalam teks-teks pada Kitab al-Rawdatayn yang bertepatan dengan dibacakannya syair-syair yang dihadiahkan kepada Nuruddin. Syair-syair itu pada satu kesempatan dibuat oleh Ibn Munir dan pada kesempatan yang lain dibuat dan dibacakan oleh Usamah ibn Munqidz. Teks-teks itu tidak memberikan gambaran yang jelas tentang berlangsungnya sebuah perayaan maulid. Syair-syair yang dibacakan juga bukan merupakan pujian kepada Nabi (shallallahu alaihi wasallam), tetapi lebih berupa pujian kepada Nuruddin. Jika syair-syair itu dibacakan dalam rangka merayakan maulid Nabi, mengapa Nuruddin yang menjadi obyek utama pujiannya?

Hal ini berbeda dengan maulid yang diadakan oleh Syeikh Umar yang di sana para penyair bersenandung memuji Nabi dan ketika itu juga dibacakan kitab sirah yang ditulis oleh Syeikh Umar. Begitu pula maulid yang diadakan oleh Muzaffaruddin dimana kita menemukan kisah Ibn Dihyah yang menuliskan sebuah kitab berkenaan dengan kelahiran Nabi pada kesempatan tersebut. Tambah lagi momen-momen pemberian syair untuk Nuruddin itu disebut dengan kata ‘malam maulid’, berbeda dengan pelaksanaan maulid Fatimiyah yang tampaknya diadakan pada siang hari, begitu pula dengan maulid yang diadakan oleh Syeikh Umar.

Pembagian hadiah yang diberikan untuk para guru di Madrasah Hallawiyah yang antara lain bertepatan dengan waktu maulid juga tidak serta merta mengisyaratkan adanya sebuah bentuk perayaan maulid. Karena pembagian hadiah bukan hanya diberikan pada waktu-waktu keagamaan yang mengandung aktivitas ritual, tetapi juga waktu-waktu lainnya seperti musim dingin dan musim semi.

Kalau begitu apa makna malam maulid ini dan apa kaitannya dengan perayaan maulid? Kemungkinan malam maulid yang berkaitan dengan Nuruddin ini belum berlangsung dalam bentuk perayaan khusus. Mungkin pada masa itu ‘malam maulid’ sudah dikenal luas dan ditandai oleh masyarakat Muslim Sunni sebagai momen yang perlu dikenang. Pada kesempatan itu amal soleh, seperti membagikan hadiah kepada para guru madrasah, ditingkatkan sebagai ungkapan syukur atas kelahiran Nabi (shallallahu alaihi wasallam). Kita mungkin bisa menyebutnya sebagai sebuah ‘peringatan’ (remembrance), sebuah proto-maulid, bukan sebuah perayaan atau festival seperti yang berkembang kemudian. Argumentasi ini lebih sejalan dengan penjelasan Abu Syamah bahwa yang melaksanakan ‘perayaan’ maulid pertama kali adalah Syeikh Umar al-Malla’, yang merupakan sebuah pengembangan baru dari sekedar sebuah ‘peringatan’.

Maulid Nabi Bukan Dipengaruhi Maulid Yesus.

Adanya ‘peringatan’ maulid (sebagaimana disebutkan dalam artikel sebelumnya) tampaknya lebih berkaitan dengan maulid di Makkah seperti yang diceritakan oleh Ibn Jubair dibandingkan dengan maulid Fatimiyah. Nuruddin berusaha menguatkan ajaran Ahlu Sunnah dalam pemerintahannya dan membatasi praktek-praktek Syiah yang juga terdapat pada masyarakat yang ia pimpin. Jika ia mengambil peringatan maulid dari Fatimiyah, tentu hal itu akan diketahui oleh tokoh-tokoh Muslim pada masa itu, baik Syiah maupun Sunni. Kalangan Syiah mungkin akan mengungkapnya dan kalangan Sunni perlu mempertahankannya. Tapi kita tidak menemukan adanya polemik semacam ini pada masa itu.

Saat membicarakan tentang maulid Fatimiyah, Kaptein (1993: 28-30) sendiri menolak kemungkinan maulid tersebut menerima pengaruh dari perayaan milad Yesus (Natal) di kalangan orang-orang Koptik di Mesir. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan karakteristik pada keduanya: maulid Fatimiyah tidak semenonjol dan sepopuler Natal (Coptic Christmas) dan ia tidak diadakan pada malam hari seperti Natal.

Namun, ketika membahas maulid di dunia Sunni, Kaptein dengan cepat menyatakan adanya kesinambungan, tanpa mempertimbangkan adanya perbedaan karakteristik keduanya. Karena itu lebih aman untuk menerima kesimpulan di dalam Encyclopaedia of Islam (1991: 895) yang menyebutkan bahwa “the memory of these Fatimid mawalid seems to have almost completely disappeared before the festivals in which Muslim authors unanimously find the origin of the mawlid.”

Dengan demikian dapat dikatakan perayaan maulid di dunia Sunni baru muncul pada awal abad ke-12, yaitu pada masa pemerintahan Nuruddin Mahmud Zanki (w. 1174).
Perayaan maulid ini pada awalnya terbatas di kota Mosul, tetapi perlahan-lahan menyebar dan tampil secara besar-besaran di Irbil beberapa waktu kemudian. Perayaan maulid yang berlaku di Mosul dan irbil ini kemudian menyebar dari sebagian wilayah Iraq ke Mesir dan kemudian ke seluruh dunia Islam seperti yang kita ketahui sekarang ini.

Abu Syamah sendiri menceritakan tentang perayaan maulid di dalam bukunya yang membahas tentang bid’ah, yaitu Kitab al-Ba’its. Ia menyebut perayaan maulid sebagai sebuah bid’ah yang berlaku di jamannya. Namun, dalam bukunya itu ia membagi bid’ah kepada bid’ah yang baik dan yang buruk sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Imam Syafi’i. Abu Syamah memasukkan maulid ke dalam kumpulan bid’ah yang baik, sebagaimana pembuatan mimbar di masjid serta pembangunan madrasah.

Lebih dari satu setengah abad sejak maulid yang diadakan di Irbil, Ibn Kathir (w. 1373) menulis tentang hal itu di dalam kitabnya Al-Bidayah wa-l-Nihayah jilid 17 (1998: 204-6). Ia menyebutkannya saat menceritakan tentang wafatnya pemimpin Irbil, Muzaffaruddin Kukburi. Sebagian besar penjelasannya sama dengan yang ada pada tulisan Ibn Khallikan, tetapi di dalamnya juga ada beberapa informasi lainnya. Ia menyebutkan keutamaan-keutamaan Muzaffaruddin, jihadnya yang menonjol, serta sedekahnya yang sangat banyak, walaupun baju yang biasa dikenakannya berbahan kasar dan harganya tak sampai 5 dirham.
Dalam tulisannya itu Ibn Katsir sama sekali tidak menyebutkan maulid yang diadakan itu bersumber dari Fatimiyah dan ia tidak pula mencelanya atau menyebutnya sebagai perbuatan bid’ah, walaupun salah satu gurunya, Ibn Taimiyah (w. 1328), mengkritik maulid sebagai perbuatan bid’ah.

Ibn Katsir bahkan memuji Muzaffaruddin dan mendoakannya dengan sebutan rahimahullah Ta’ala. Ibn Katsir juga menyebutkan tentang perayaan maulid oleh Syaikh Umar al-Malla’ dalam kitab Bidayah jilid 16 (1998: 446-7) dan menyebut tokoh zahid itu dengan sebutan al-Shaikh al-Shalih al-Abid.

Terlepas dari itu semua, perayaan maulid merupakan sesuatu yang tidak ada pada jaman Nabi, sahabat, ataupun para imam madzhab. Ia baru muncul belakangan. Maulid bukanlah sesuatu yang mesti dilaksanakan setiap tahun, apalagi setiap bulan atau setiap minggu, dan ia bukan pula ukuran kecintaan seseorang kepada Nabi (shallallahu alaihi wasallam).

Mengerjakannya tidak membuat pelakunya lebih mulia dan lebih terbukti cintanya pada Nabi dibandingkan mereka yang tidak mengerjakannya. Jika ia merupakan ukuran cinta pada Nabi dan menjadikan seseorang lebih mulia, maka bagaimana kita hendak menilai kecintaan dan kemuliaan generasi terdahulu sementara mereka tidak pernah mengadakan maulid?
Sebaliknya, yang tidak menyetujui maulid juga perlu lebih bijak dan tidak terlalu mudah membid’ahkan atau menyesatkan mereka yang menyelenggarakan maulid sebagai ungkapan rasa syukur atas kelahiran sang Nabi. Sebelumnya, mereka juga tidak dikecam oleh para ulama di jamannya maupun setelahnya. Wallahu a’lam.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: