Entah ingin menjadi seorang wanita karir
atau ibu rumah tangga, setiap wanita harus memperoleh pendidikan yang
tinggi. Karena mereka akan menjadi seorang ibu, dan seorang ibu yang
cerdas akan melahirkan anak- anak yang cerdas.”
Itu adalah sepenggal kutipan dari Dian
Sastrowardoyo, aktris Indonesia yang terkenal akan kemampuan aktingnya.
Sebuah kutipan yang sangat indah. Bahwa sebenarnya ada makna yang dalam
jika kita menelaahnya.
Pada situasi masyarakat saat ini, wanita
berbicara lantang mengenai generalisasi gender; bahwa mereka memiliki
hak yang sama dengan pria. Dan sebagai salah satu contoh pembuktiannya,
sebagian dari para wanita bekerja di luar, tak lagi hanya tinggal di
rumah sebagaimana mereka dulu, yang hanya sebagai rencang wingking.
Mereka telah memperoleh pendidikan tinggi, sehingga menjadi seorang
wanita karir dianggap sebagai sebuah konsekuensi.
Tidak diketahui dengan jelas, sejak kapan
dan oleh siapa paradigma ini dimulai. Namun memang merupakan hal yang
wajar bahwa pemikiran semacam ini seringkali muncul dalam benak pikiran
setiap wanita. Tetapi jika kita mau mencoba “membuka mata” dan menyadari
sepenuhnya, tujuan utama dari menimba ilmu setinggi- tingginya bagi
seorang wanita bukanlah untuk mendapatkan pekerjaan. Pekerjaan
sebenarnya hanyalah sebuah bonus. Tujuan utama dari mendapatkan
pendidikan tinggi adalah sebenarnya untuk mempersiapkan diri kita para
wanita untuk menjadi ibu terbaik. Karena ibu adalah madrasah yang
pertama dan utama dari setiap anak. Bahwa dengan menjadi wanita
terdidik, kita para wanita diharapkan dapat mendidik dan mengasuh anak
kita nantinya, untuk menjadi diri mereka yang terbaik.
Sebuah kisah di zaman Rasulullah mungkin bisa menginspirasi kita semua;
Dulu, di zaman Rasulullah SAW, ada seorang wanita bernama Muthiah.
Rasulullah berkata bahwa dia adalah seorang
calon penghuni surga. Istri Rasulullah, Aisya, sangat ingin tahu
tentang wanita ini. Dia ingin tahu, amalan apa yang dilakukannya
sehingga dia bisa dijamin oleh Allah akan menjadi penghuni surga. Aisya
akhirnya memutuskan untuk mendatangi kediaman Muthiah. Pada kunjungan
pertama, Aisya tidak diizinkan masuk ke dalam rumah karena Aisya membawa
Husein, anaknya yang masih kecil. Muthiah tidak mengizinkan karena
suaminya telah berpesan untuk tidak menerima tamu laki- laki, tanpa
menyebutkan usianya; entah lelaki dewasa atau anak- anak. Aisya akhirnya
mengerti dan kembali pulang.
Aisya datang lagi keesokan harinya. Kali ini, dia datang sendiri. Muthiah akhirnya mengizinkannya untuk masuk.
Aisya kemudian bertanya tentang amalan apa
yang dimiliki Muthiah sehingga dia bisa dijamin oleh Allah sebagai calon
penghuni surga. Muthiah kemudian berkata bahwa dia sebenarnya tak
memiliki amalan khusus apapun. Namun, ada tiga benda yang dimilikinya;
1. Sebuah sapu tangan yang digunakannya untuk mengusap keringat suaminya setelah lelah bekerja seharian,
2. Sebuah kipas yang digunakannya untuk mengipasi suaminya kala merasa kepanasan, dan
3. Sebuah tongkat kecil yang diperuntukkan suaminya untuk memukul dirinya jika masakan yang dibuatnya tidak enak.
Dari ketiga benda yang digunakannya sebagai
jalan bakti untuk suaminya itulah, yang ternyata menjadi “jembatan”
yang mengantarkannya menuju surga.
Ini adalah sebuah kisah nyata yang mungkin
jarang ditemui lagi sekarang ini. Karena para wanita telah banyak yang
bekerja, bahkan pulang lebih larut dari suaminya. Pelajaran yang bisa
dipetik dari sebuah kisah singkat tadi adalah bahwa ternyata ada
“penghargaan” khusus yang mampu didapat oleh para ibu rumah tangga, yang
bisa sepenuhnya berbakti pada keluarganya. Bahwa tujuan sebenarnya dari
seorang wanita bukanlah untuk menjadi pekerja keras, melainkan menjadi
ibu dan istri yang terbaik. Maka dari itu, tak seharusnya para ibu rumah
tangga merasa rendah diri dengan para wanita lain yang menjadi seorang
direktur, karyawati, dan sebagainya. Bahwa “bayarannya” malah didapat
secara tunai dari Tuhan atas abdinya pada keluarga.
Tak perlu disimpulkan mana yang lebih baik,
antara menjadi ibu rumah tangga dan wanita karir. Ini hanya sebuah
tulisan untuk mengingatkan bahwa menjadi ibu rumah tangga, untuk wanita
sarjana pada khususnya, bukanlah sebuah kesalahan. Bahwa menjadi ibu
rumah tangga bisa jadi membawa keberkahan lebih pada keluarganya. Satu
hal yang terpenting adalah bahwa para wanita berhak mengenyam pendidikan
tinggi, untuk dapat melahirkan para generasi penerus yang luar biasa
nantinya.
Disalin dari tulisan Rahma Nugrahaini di http://kesehatan.kompasiana.com
Post a Comment
mohon gunakan email