Hari ini adalah tanggal 17 Rabiul Awal, dan
menurut sebagian besar sejarawan Islam, 17 Rabiul Awal merupakan hari
lahirnya Nabi Muhammad Saw, manusia yang paling sempurna dan paling
dekat dengan Allah SWT. Hari ini juga hari lahirnya cucu Rasulullah Saw
generasi kelima, Imam Jakfar Shadiq as yang akan menghidupkan dan
membangkitkan kembali ajaran-ajaran murni kakeknya.
Tanggal 17 Rabiul Awal tahun 83
Hijriah, Imam Shadiq as terlahir ke dunia di kota Madinah. Sampai usia
12 tahun, beliau diasuh oleh kakek beliau, Imam Sajjad as, dan 19 tahun
kemudian, beliau di bawah bimbingan ayah beliau, Imam Muhammad Baqir as.
Imam Shadiq as hidup di masa ketika Dinasti Bani Umayah sedang
mengalami kemunduran dan Dinasti Bani Abbasiah mulai merebut kekuasaan.
Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh beliau untuk menyebarkan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan Islam yang murni dan hakiki.
Selain menguasai ilmu dan makrifat Islam, Imam Shadiq as juga menguasai ilmu kedokteran, kimia, matematika, dan bidang-bidang ilmu lainnya. Pada masa hidupnya, beliau adalah sumber rujukan ilmu dan dikunjungi banyak orang dari berbagai penjuru dunia untuk meminta jawaban atas berbagai persoalan ilmiah. Tercatat ada 4.000 murid yang belajar kepada Imam Shadiq as, di antaranya adalah Jabir bin Hayyan, seorang kimiawan muslim terkenal.
Periode Imam Shadiq as adalah kesempatan emas untuk menghidupkan dan membangkitkan kembali ajaran-ajaran suci Islam. Setelah wafatnya Rasulullah Saw, banyak terjadi penyimpangan terhadap ajaran-ajaran murni Islam, bahkan masyarakat lupa tentang bagaimana menunaikan shalat dan haji dengan benar. Hal itu disebabkan kesibukan mereka dengan berbagai urusan dunia seperti penaklukan wilayah atau negara, masalah keuangan dan berbagai persoalan lainnya.
Penyimpangan-penyimpangan itu terjadi sebagai dampak dari pelarangan penulisan hadis dan munculnya hadis-hadis palsu di tengah masyarakat Islam sejak masa kekuasaan Muawiyah. Agama Islam di masa itu dalam bahaya dan di ambang kehancuran. Sementara ilmu pengetahuan ditinggalkan dan terisolasi dan para ulama tidak memiliki sumber shahih untuk mengenalkan agama Islam. Selain itu, terjadi berbagai bentrokan dan konflik di antara kelompok-kelompok politik dan sosial. Perselisihan yang menyebabkan lemahnya pemerintahan Bani Umayah dan berdirinya pemerintahan Abbasiyah.
Situasi politik yang terbuka akibat lemahnya badan-badan pemerintahan di masa itu, dimanfaatkan oleh Imam Shadiq as untuk menyebarkan ajaran-ajaran murni Islam. Beliau melanjutkan gerakan ilmiah dan budaya yang sebelumnya dilakukan oleh ayahnya dengan membuka Hauzah Ilmiah di berbagai bidang ilmu dan mendidik ribuan murid. Murid-murid beliau yang menguasai ribuan hadis di berbagai cabang ilmu seperti tafsir, fikih, sejarah, akhlak, kalam, kedokteran, kimia dan lain sebagainya, sangat berpengaruh dalam menyebarkan hadis-hadis shahih Nabi Muhammad Saw dan mengajarkan ilmu-ilmu agama. Hal itu juga menjadi penghalang munculnya berbagai penyimpangan di tengah-tengah masyarakat Islam.
Murid-murid Imam Shadiq as yang mencapai 4.000 orang paling tidak telah mampu menghapus banyak penyimpangan dan syubhat, dan mengakhiri kemandekan budaya islami akibat pelarangan menukil hadis. Beliau mendorong dan mendidik setiap muridnya sesuai dengan bidang, bakat dan kapasitas murid tersebut. Hasilnya, setiap murid beliau mampu menguasai satu atau dua bidang ilmu seperti hadis, tafsir, ilmu kalam, dan cabang-cabang ilmu lainnya.
Menariknya, Imam Shadiq as meminta setiap muridnya untuk berbicara tentang cabang ilmu tertentu dan kemudian mendiskusikan hal itu dengan mereka. Metode ini bertujuan agar semua mengetahui keahlian apa saja yang harus dimiliki oleh seorang mubaligh. Hisham ibn Salim, salah satu murid beliau mengatakan, "Ketika kami bersama Imam Shadiq as, seorang laki-laki dari Syam datang. Imam Shadiq as bertanya: apa yang Anda inginkan? Laki-laki itu menjawab: mereka mengatakan kepadaku bahwa Anda adalah orang yang paling pandai di antara masyarakat. Aku akan bertanya beberapa persoalan kepada Anda. Imam Shadiq as bertanya: mengenai apa? Orang itu menjawab: tentang al-Quran, huruf muqaththa`ah, sukun, rafa`, nasab dan jar.
Imam Shadiq as kemudian berkata, "Wahai Hamran ibn A`yun! kamu yang harus menjawab pertanyaan-pertanyaan orang itu." Lelaki dari Syam tersebut berkata: "Aku ingin Anda yang menjawabnya." Beliau berkata, "Jika Anda menang atas dia maka Anda telah mengalahkanku." Lelaki itu kemudian melontarkan berbagai pertanyaan kepada Hamran, tetapi ia mampu menjawab semua pertanyaannya hingga lelaki itu lelah dan kepada Imam Shadiq as ia berkata: "Ia lelaki yang pandai. Ia menjawab setiap pertanyaanku."
Atas nasihat Imam Shadiq as, Hamran bertanya balik kepada lelaki dari Syam tersebut, namun lelaki itu tidak mampu menjawabnya. Warga Syam itu kemudian kepada Imam as berkata: "Aku ingin berbicara dengan Anda tentang ilmu Nahwu dan sastra." Kemudian Imam Shadiq as memanggil Aban ibn Taglib untuk berdiskusi dengan lelaki tersebut mengenai Nahwu dan sastra. Kali ini, lelaki dari Syam tersebut juga kalah dalam berdebat dengan Aban. Namun ia tidak menyerah. Ia meminta kepada Imam Shadiq as untuk berdiskusi tentang fikih. Beliau kemudian meminta Zararah ibn A`yun untuk meladeni lelaki itu. Ketika lelaki itu meminta berdiskusi masalah ilmu Kalam, Imam Shadiq as menunjuk Mukmin al-Thaq. Di bidang ilmu tauhid, beliau menunjuk Hisham ibn Salim, dan di bidang Imamah, beliau menunjuk Hisham ibn al-Hakam untuk berdiskusi dengan lelaki dari Syam itu. Pada akhirnya, lelaki itu kalah dan semua pertanyaan dan persoalannya dijawab oleh murid-murid Imam Shadiq as.
Melalui perluasan budaya islami, Imam Shadiq as berusaha menghapus kebodohan umat Islam. Dari satu sisi, beliau berusaha memerangi kerusakan politik di Bani Umayah dan Abasiyah dan dari sisi lainnya, cucu Rasulullah Saw itu berusaha memerangi berbagai penyimpangan akidah, persepsi dan interpretasi keliru tentang agama.
Salah satu penafsiran keliru yang terjadi di masa itu adalah melakukan qiyas dalam hukum. Diriwayatkan bahwa suatu hari Imam Shadiq as melihat seorang laki-laki yang dikenal di masyarakat dengan ketakwaannya. Lelaki mencuri dua potong roti dan dengan cepat menyembunyikan roti-roti itu di balik bajunya. Ia kemudian mencuri dua buah delima dari seorang penjual buah dan melangkah menuju ke seseorang fakir yang sedang sakit. Ia memberikan dua potong roti dan dua buah delima itu kepada orang fakir tersebut.
Melihat perbuatan lelaki itu, Imam Shadiq as heran dan kepadanya ia bertanya; "Apa yang Anda lakukan." Ia menjawab, "Aku mengambil dua potong roti dan dua buah delima, dengan demikian aku telah melakukan empat kesalahan. Tetapi dalam al-Quran disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan buruk maka ia tidak akan dibalas kecuali sesuai dengan perbuatannya itu. Oleh karena itu, dalam hal ini aku telah melakukan empat dosa. Sementara di sisi lain, Allah Swt berfirman, "Barang siapa melakukan satu perbuatan baik, maka akan dilipatgandakan 10 kali lipat." Karena aku telah memberikan dua potong roti dan dua buah delima kepada orang fakir itu, maka aku mendapatkan 40 kebaikan, dan jika dikurangi empat dosaku maka masih tersisa 36 kebaikan bagiku."
Untuk meluruskan penafsiran keliru yang diakibatkan oleh ketidakpahaman terhadap dasar-dasar pemahaman ayat itu, Imam Shadiq as membacakan Surat al-Maidah Ayat 27 yang artinya: "… Sesungguhnya Allah hanya menerima kurban (perbuatan baik) dari orang-orang yang bertakwa." Jadi, jika perbuatan tersebut tidak sah maka tidak akan mendatangkan pahala apapun. Pada dasarnya, menjauhi sumber wahyu akan menyebabkan munculnya orang-orang yang mengklaim memiliki ilmu tetapi sebenarnya tidak memahami dasar-dasar al-Quran dan agama.
Imam Shadiq as adalah sosok yang memiliki kesabaran dan toleransi yang tinggi. Beliau tidak hanya sopan dan ramah kepada umat Islam saja tetapi juga kepada pemeluk agama lain bahkan kepada orang-orang musrik dan kafir. Meski demikian, beliau sangat keras dan tegas terhadap kelompok ghulat yang membesar-besarkan Ahlul Bait as dan mensifati mereka dengan sifat-sifat yang Ahlul Bait as sendiri tidak menerimanya.
Keyakinan kelompok-kelompok ghulat adalah ancaman besar bagi dunia Islam. Imam Shadiq as yang memahami ancaman itu segera mengambil langkah-langkah untuk memerangi pemikiran keliru dan ekstim tersebut. Sebab, kecintaan yang bercampur dengan kebodohan akan melemahkan setiap akar keyakinan dan agama. Situasi itu juga akan membuka peluang bagi musuh untuk menghantam Islam. Salah satu langkah Imam Shadiq as dalam memerangi kelompok ghulat adalah memberikan petunjuk kepada masyarakat ke jalan yang benar, menjelaskan akidah murni Islam dan mengungkap keyakinan keliru kelompok-kelompok tersebut.
Dengan demikian, Imam Shadiq as telah memisahkan antara yang haq dan yang batil. Beliau melarang keras masyarakat untuk duduk bersama dengan orang-orang ghulat dan memperingatkan kaum muda tentang bahaya akidah kelompok sesat itu. Imam Shadiq as berkata, "Hendaklah pemuda-pemuda kalian waspada terhadap orang-orang ghulat supaya mereka tidak dirusak oleh kelompok tersebut. Sebab, orang-orang ghulat adalah seburuk-buruknya ciptaan Tuhan. Mereka meremehkan kebesaran Tuhan dan mengklaim hamba Tuhan sebagai Tuhan. Aku bersumpah bahwa orang-orang ghulat lebih buruk dari pada Yahudi, Nasrani, Majusi dan orang-orang musrik."
Imam Shadiq as di setiap kesempatan selalu menentang pemerintahan-pemerintahan taghut. Beliau tidak pernah menyerah terhadap tekanan dinasti-dinasti zalim di masa itu. Beliau bahkan selalu memerangi kejahatan pemerintah taghut dan akhirnya meneguk cawan kesyahidan pada tahun 148 Hijriah.
Sumber: IRIB Indonesia
Post a Comment
mohon gunakan email