Pesan Rahbar

Home » , , » SAYYIDINA HUSAIN BIN ALI, PEMIMPIN PARA SYUHADA

SAYYIDINA HUSAIN BIN ALI, PEMIMPIN PARA SYUHADA

Written By Unknown on Sunday, 27 July 2014 | 23:35:00


Satu tahun sesudah kelahiran Al-Hasan, cucu Rasulullah SAW, tanggal 3 Sya’ban tahun keempat Hijriah, Rasulullah SAW menerima kabar gembira dengan kelahiran Al-Husain. Maka, beliau pun segera menuju rumah Sayyidina Ali dan Sayyidah Zahra, dan berkata kepada Asma binti ‘Umais, “Hai Asma, tolong bawa kemari anakku itu.” Asma pun lalu membawa bayi yang terbungkus kain putih itu dan memberikannya kepada Rasulullah SAW. Beliau begitu gembira lalu mendekapnya. Dibacakannya adzan di telinga kanan bayi itu, dan iqamat di telinga kirinya. Kemudian ditidurkannya cucunya itu di kamarnya, lalu beliau menangis tersedu-sedu.

Mendengar tangis Rasulullah SAW itu, bertanyalah Asma, “Demi ayah dan ibuku, siapa yang engkau tangisi ya Rasulullah?” “Anakku ini,” jawab beliau. “Dia anak zaman,” kata Asma. “Wahai Asma, dia kelak akan dibunuh oleh sekelompok pembangkang sesudahku, yang syafaatku tidak akan sampai kepada mereka,” kata Rasulullah menjelaskan. Kemudian beliau berkata pula, “Wahai Asma, jangan engkau sampaikan apa yang kukatakan tadi kepada Fatimah, dia baru saja melahirkan.”

Kemudian Rasulullah SAW bertanya kepada Ali, “Engkau beri nama siapa anakku ini?” “Saya tidak berani mendahului Anda, ya Rasulullah,” jawab Ali. Allah SWT kemudian menurunkan wahyu yang suci kepada kekasih-Nya Muhammad SAW, dengan membawa nama yang diberikan-Nya untuk anak itu. Dan ketika beliau telah menerima perintah untuk memberi nama anaknya tersebut, beliau menatap Ali dan berkata, “Namai dia Husain.”

Pada hari yang ketujuh, Rasulullah SAW bergegas datang ke rumah Az-Zahra, lalu menyembelih seekor domba sebagai aqiqah untuk Husain, mencukur rambutnya, dan bersedekah dengan perak seberat timbangan rambut itu, lantas menyuruh agar cucunya itu dikhitan. Begitulah, telah dilakukan untuk Al-Husain upacara sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW untuk kakaknya Al-Hasan.

Kedudukan Al-Husain.
Kedudukan Sayyidina Husain mempunyai kedudukan yang luhur yang tak mungkin dicapai kecuali oleh ayahnya, ibunya, kakaknya serta para imam yang merupakan putera-puteranya. Dalam kesempatan yang terbatas ini, kami akan mencoba mengemukakan hal-hal penting yang akan memperlihatkan kedudukan Al-Husain dalam pandangan syariat Islam.

Al-Quran Al-Karim, dokumen Ilahi yang agung yang tidak mengandung kebatilan di dalamnya, mengungkapkan dalam banyak ayatnya sebagian besar dari derajat luhur di sisi Allah yang diraih Al-Husain. Beberapa di antara ayat-ayat tersebut adalah :

Ayat Tathhir : “Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait, dan menyucikan kamu sesuci-sucinya.”(QS. Al-Ahzab : 33).

Para penyusun kitab-kitab hadis shahih menuturkan, sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat ini adalah, bahwa suatu kali Nabi SAW meminta diambilkan kain lalu muncullah Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Maka Nabi SAW pun berdoa, “Allahumma, ya Allah, mereka ini adalah Ahlul Baitku, karena itu hilangkanlah dosa dari mereka, dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya.” Maka turunlah ayat ini dalam hubungannya dengan peristiwa tersebut. Ayat ini merupakan kesaksian dari Allah tentang kesucian Ahlul Bait dan tingginya kedudukan mereka di sisi Allah, dan bahwa mereka itu adalah orang-orang yang memiliki kepribadian paling luhur dalam Islam.

Ayat Mubahalah : “Barangsiapa yang membantahmu tentang Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah kepadanya, marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, wanita-wanita kami dan wanita-wanita kamu, diri kami dan diri kamu, kemudian marilah kita ber-mubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang berdusta.” (QS. Ali Imran : 61).

Tentang sebab turunnya ayat ini, para ahli tafsir dan orang-orang yang berilmu berpendapat, ayat ini diturunkan ketika orang-orang Nasrani Najran bersepakat dengan Nabi SAW untuk bermubahalah. Masing-masing pihak bersaksi kepada Allah agar barangsiapa yang berdusta dalam pengakuannya, hendaknya ditimpa bencana (mati). Di tempat mubahalah yang dijanjikan, Rasulullah SAW datang dengan membawa Ahlul Baitnya. Nabi menggendong Al-Husain dan menggandeng Al-Hasan, Fatimah berjalan di belakang beliau, kemudian Ali menyusul berjalan di belakang mereka. Lalu Nabi SAW berkata, “Apabila nanti aku berdoa, aminkanlah ….” Akan tetapi orang-orang Nasrani, ketika melihat wajah-wajah yang suci dan mulia yang sedang mereka hadapi itu, segera meminta maaf kepada Rasulullah SAW dan membatalkan mubahalah. Mereka lalu tunduk kepada kekuasaan Negara beliau dan membayar jizyah. Disini bisa dilihat bahwa ayat yang mulia ini mengakui Al-Hasan dan Al-Husain sebagai “anak-anak kami”, sedangkan diri beliau sendiri dan diri Ali dinyatakan sebagai “diri kami”, sedangkan Fatimah yang mewakili seluruh wanita kaum mukminin yang ada saat itu dinyatakan sebagai “wanita-wanita kami” – suatu hal yang secara jelas dan tegas mengungkapkan bahwa apa yang dilakukan oleh Ahlul Bait tersebut mempunyai kedudukan yang mulia di sisi Allah, yang tak mungkin bisa dicapai oleh orang lain. Sebab, kalau tidak demikian, niscaya saat itu Rasulullah SAW membawa orang-orang lain selain mereka untuk bermubahalah.

Ayat Mawaddah : “Katakanlah, aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku, kecuali kasih saying terhadap keluargaku.”(QS. As-Syura : 23).

Para ahli tafsir mengatakan bahwa, ayat tersebut diturunkan mengenai Ali, Fatimah, Al-Hasan dan Al-Husain. Jabir bin Abdullah mengatakan, “Ada seorang Arab dusun datang kepada Nabi SAW dan berkata, “Wahai Muhammad, tuturkan kepadaku tentang Islam.” Nabi berkata, “Hendaknya engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, yang Maha Esa dan tanpa sekutu, dan bahwasanya Muhammad itu hamba dan utusan-Nya.” “Apakah untuk ini engkau meminta upah?” Tanya orang itu pula. “Tidak,” jawab Nabi, “Kecuali kasih sayang terhadap keluarga (mawaddah fi al-qurba).” “Kasih sayang terhadap keluargaku atau keluargamu?” tanya orang itu pula. “Keluargaku,” jawab Nabi SAW. Orang Arab itu lalu berkata, “Baik, mari sekarang aku baiat engkau, dan kepada orang yang tidak mencintaimu dan keluargamu, hendaknya laknat Allah ditimpakan kepadanya.” “Amin,” kata Nabi.

Dari ayat-ayat tersebut diatas, tampak jelaslah kedudukan Al-Husain dan Ahlul Bait Rasul, serta kedudukan mereka yang tinggi di sisi Allah SWT. Selain itu, perlu ditambahkan di sini sebagian nash yang diterima dari Rasulullah SAW mengenai Al-Husain yang tercermin dalam risalah dan umat, antara lain adalah :

1. Dalam Shahih Al-Turmudzi diriwayatkan hadis dari Ya’la bin Murrah, katanya, Nabi bersabda, “Husain merupakan bagian dariku, dan aku merupakan bagian darinya. Allah akan mencintai orang yang mencintai Husain, dan Husain adalah cucu di antarav segala cucu.” [Fadha’il Al-Khamsah].
2. Dari Salman Al-Farisi, “Aku mendengar Rasulullah SAW berkata, Al-Hasan dan Al-Husain adalah dua orang anakku. Barangsiapa yang mencintai mereka berdua berarti mencintaiku, dan barangsiapa mencintaiku, pasti Allah mencintainya, dan barangsiapa dicintai Allah, niscaya Dia memasukkannya ke dalam surga. Barangsiapa membenci mereka berdua, berarti membenciku, dan barangsiapa membenciku, pasti Allah membencinya, dan barangsiapa dibenci Allah, niscaya Dia memasukkannya ke dalam neraka dengan mukanya terlebih dahulu.” [Al-Thibrisi, I’lam Al-Wara].
3. Dari Al-Barra’ bin ‘Azib, “Aku melihat Rasulullah SAW menggendong Husain bin Ali di atas pundaknya, seraya berdoa, “Ya Allah, aku sungguh mencintainya, karena itu cintailah dia.” [Ibn Al-Shabagh, Al-Fushul Al-Muhimmah].
4. Dari Abdullah bin Mas’ud, “Rasulullah SAW berkata tentang Al-Hasan dan Al-Husain, mereka berdua adalah dua orang anakku. Barangsiapa mencintai mereka berdua, berarti mencintai aku, dan barangsiapa membenci mereka berdua, berarti membenciku.”.
5. Dari Ali ibn Al-Hasan, dari ayahnya, dari kakeknya, “Rasulullah SAW menggandeng tangan Al-Hasan dan Al-Husain, dan berkata, barangsiapa mencintai aku dan mencintai kedua anak ini dan kedua orangtua mereka, niscaya berada bersamaku di dalam surga.” [Ibn Al-Jauzi, Tadzkirat Al-Khawwash]

Al-Husain dan Peristiwa Karbala.
Ketika Sayyidina Ali ditunjuk sebagai Khalifah setelah terbunuhnya Utsman, ia berusaha untuk menegakkan kembali keadilan Islam. Ia mendapat perlawanan yang tidak terhenti dari para penguasa Bani Umayyah. Para pengikutnya mengkhianatinya. Seorang demi seorang dari sahabatnya yang setia dipanggil Tuhan. Sementara itu, para tiran menggunakan kekayaan dan kekerasan untuk menguasai rakyat banyak. Dan menjelang akhir Ramadhan 40 H, di dalam relung mihrabnya, Ali dibunuh ketika shalat subuh.

Hasan bin Ali, anak lelaki pertama Ali bin Abi Thalib, diangkat menjadi Khalifah. Ia melihat ketakutan dan kezaliman telah menyelimuti Madinah, Kufah, Basrah dan kota-kota besar dunia Islam. Kaum muslimin yang shaleh tidak henti-hentinya mendapat penganiayaan. Muawiyah juga terus menerus memfitnah keluarga Nabi dan menyebarkan keresahan. Setelah berunding dengan saudaranya Al-Husain, ia memutuskan untuk menghentikan semua derita umat ini melalui perjanjian damai dengan Muawiyah.

Segera setelah perjanjian damai itu, Muawiyah masuk ke Kufah. Ia berkata: “Hai, penduduk Kufah. Adakah kamu mengira aku memerangi kalian agar shalat, zakat dan haji. Aku tahu kalian sudah melakukan shalat, zakat dan haji. Kuperangi kalian untuk menguasai kalian. Untuk itu, aku akan tumpahkan darah, dan seluruh perjanjian yang telah aku buat akan aku letakkan di bawah injakan kakiku.” Ia melanggar perjanjian itu, Pertama, membunuh Sayyidina Hasan dengan racun. Hasan syahid pada 50 H. Kedua, ia meneruskan pembantaian dan penganiayaan pada para pengikut Imam Ali. Ketiga, ia dan para pejabatnya menggunakan harta umat (Baytul Mal) untuk kepentingan pribadi dan keempat, ia mengangkat anaknya Yazid sebagai putra mahkota dan memerintahkan dengan paksa agar rakyat menerimanya.

“Yazid manusia yang selalu berbuat dosa dan maksiat, peminum khamar, pembunuh orang yang tidak bersalah. Ia lakukan kefasikan dan kemaksiatannya secara terbuka. Orang sepertiku tidak mungkin berbaiat kepada orang seperti Yazid,” kata Husain. Cucu Rasulullah SAW itu akhirnya memutuskan untuk melakukan perlawanan terhadap Yazid. Orang yang menghabiskan malam dalam beribadat kepada Tuhan, dan siang dalam berkhidmat kepada insan, sekarang berhadapan dengan orang yang menghabiskan malam untuk bermaksiat kepada Yang Mahakuasa dan siang untuk berkhianat kepada manusia. Al-Husain beserta keluarga meninggalkan Madinah menuju Mekkah. Begitu sampai di Mekkah, ia menerima 12000 surat dari Kufah. Mereka mengundang Imam Husain untuk datang ke Kufah dan membaiatnya sebagai Khalifah. Al-Husain mengirim Muslim bin Aqil untuk membuktikan keseriusan penduduk Kufah tersebut.

Dari Mekkah, dengan meninggalkan wuquf di Arafah, Husain beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya berangkat menuju Kufah. Kerabatnya mendesak Al-Husain untuk membatalkan kepergiannya, tetapi Husain berkata: “Aku berangkat bukan karena ambisi, bukan untuk berbuat zalim atau untuk menimbulkan kerusakan. Aku berangkat untuk mendatangkan kemaslahatan pada umat kakekku. Aku ingin memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar.” Maka berangkatlah kafilah Husain, dalam terik matahari musim panas yang membakar, untuk menempuh perjalanan sejauh 1800 Km.

Ketika kafilah Husain sampai di dekat Kufah, ia menerima berita yang sangat mengejutkan. Muslim bin Aqil dan dua orang pendukungnya di Kufah sudah dibunuh Ibnu Ziyad, gubernur Kufah. Husain mengumpulkan pengikutnya dan menceritakan berita itu. Karena ketakutan, sebagian pengikutnya meninggalkan Husain. Al-Husain melanjutkan perjalanan sampai ia berhadapan dengan 1000 penunggang kuda yang dipimpin oleh Al-Hurr. Ia didesak ke sebuah tempat yang disebut Karbala, pada tanggal 2 Muharram, 61 H. Ibnu Ziyad mengirim pasukan tambahan di bawah pimpinan Umar bin Sa’ad. Pada 9 Muharram, pasukan Umar mengepung kemah-kemah Al-Husain. Ia meminta Umar untuk menangguhkan serangan sampai keesokan harinya. Bersama para pengikutnya yang setia Imam Husain menghabiskan malam dalam ibadat. Imam berkata: “Musuh hanya menghendaki nyawaku. Dengan senang aku izinkan kalian untuk pulang.” Pengikutnya berkata: “Demi Allah, tidak mungkin dan tidak pernah terjadi. Kami hidup bersama Anda atau mati bersama Anda.”

Pada 10 Muharram atau Asyura, berhadapanlah 72 pecinta Tuhan dengan 5000 penyembah setan, segelintir penegak keadilan dengan ribuan pendukung kezaliman. Sudah beberapa hari kelompok keluarga Rasulullah kehausan karena jalan ke sungai Eufrat ditutup musuh. Beberapa saat sebelum terjadi pertempuran Al-Hurr menyesali perbuatannya dan bergabung dengan Al-Husain. Menjelang sore hari, sudah 70 orang pengikut Husain syahid, setelah perjuangan yang sangat keras di tengah-tengah sengatan matahari dan kehausan. Musuh bertindak sangat kejam, dengan secara membuta membunuh siapa saja, termasuk Ali Asghar 6 bulan, yang bersimbah darah di tangan Al-Husain. Mereka juga membakar kemah-kemah para perempuan dan anak-anak. Pembantaian keluarga Nabi ini berakhir, ketika ribuan tentara mengeroyok seorang Husain. Syimr melepaskan kepala Imam Husain dan ribuan kuda mencabik-cabik dan menginjak-injak jenazahnya. Kepalanya bersama kepala-kepala para syuhada lainnya ditancapkan di ujung tombak dan diarak sepanjang 965 Km. di samping dan di belakang mereka, perempuan-perempuan dan anak-anak diseret dalam belenggu. Sebuah prosesi yang paling mengharukan dalam sejarah umat manusia. Sebuah prosesi yang melambangkan perlawanan tanpa henti terhadap kepongahan para tiran. Bagi setiap mukmin, setiap hari adalah ASYURA dan setiap bumi adalah KARBALA.

(Disarikan dari berbagai sumber; buletinmitsal.wordpress.com)

Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: