Pesan Rahbar

Home » » Fatimah menjadi murka kepada Abu Bakar. Ia pun bersumpah bahwa sampai ajal menjemputpun, Fatimah tidak mau lagi melihat wajah Abu Bakar

Fatimah menjadi murka kepada Abu Bakar. Ia pun bersumpah bahwa sampai ajal menjemputpun, Fatimah tidak mau lagi melihat wajah Abu Bakar

Written By Unknown on Tuesday 26 August 2014 | 22:05:00

Umar mencoba membakar rumah Fatimah. Wahai Al Maksum Faimah Az Zahra sikapmu adalah pedoman kami.


 http://www.youtube.com/watch?feature=player_detailpage&v=JPaKnUu97Wk

Rasulullah saw bersabda : “Siapa yang meninggal dan tidak mengenal (berbaiat) imam zamannya maka matinya , terhitung sebagai matinya orang yang dalam keadaan jahiliah.” {Syarkh Maqashid jilid 5 halaman 239, dan Syarkh fighi al-Akbar halaman 179 dan di kitab-kitab lain ahlu sunnah maupun syiah}.

Rasulullah saw berkata kepada sayidah Fatimah (putrinya) : “sesungguhnya Allah swt tidak akan mengadzabmu dan tidak akan mengadzab satupun dari anak-anakmu” {al-Mu’jam al-Kubra jilid 11 halaman 210 dan al-Shawaiq al-Muhriqah halaman 160 dan 235 Serta banyak dari kitab-kitab syiah dan kitab-kitab sunni yang lain}.

Rasulullah saw bersada : “Fatimah adalah bagian dariku siapa yang telah membuatnya marah maka telah membuatku marah” {shahih al-Bukhari hadis ke 3510 dan di seluruh kitab-kitab sunni dan syiah}.

Disebutkan di dalam shahih al-Bukhari jilid 5 halaman 177 bahwa sayidah Fatimah setelah meminta warisan Nabi (yang merupakan haknya) dari khalifah pertama dan khalifah tidak memberikan warisan itu, sejak saat itu sayidah Fatimah tidak pernah lagi berbicara kepada Kalifah pertama (Abubakar) samapai akhir hayatnya. hal ini juga disebutkan di banyak dari buku-buku sejarah ulama’ syiah dan sunni.

Juga disebutkan di kitab-kitab ahl sunnah/sunni dan syiah bahwa sayidah Fatimah meninggaldalam keadaan marah kepada khalifah pertama (Abubakar) dan khalifah kedua (Umar). Dan di kitab-kitab sunni dan syiah disebutkan bahwa sayidah Fatimah tidak mau makamnya diketahui oleh masyarakat olehkarena itu beliau meminta suaminya(sayidina Ali ra) untuk mekamkannya di malam hari supaya tidak ada yang mengetahui makamnya. dan sampai sekarang pun tidak ada satupun dari muslimin yang tahu diamana makamnya.

Point-point yang dapat diperhatikan:
* 1. Hadis diatas tentang keutamaan sayidah fatimah adalah shahih/benar karena diriwayatkan hampir di seluruh kitab-kitab syiah dan sunni,
* 2 .Tentang kemarahan sayidah Fatimah kepada khalifah pertama dan kedua juga benar karena perawinya tidak cuma satu atau sepuluh akan tetapi lebih dari itu,
* 3. Hadis tentang “orang yang tidak tahu imam zaman nya maka matinya mati jahiliyah”

juga benar karena di sunni maupun syiah ada, dari 3 point diatas kita mengetahui bahwa sayidah Fatimah pasti sebelum meninggal pasti berbaiat kepada Imam zamannya karena sayidah Fatimah orang yang pasti masuk sorga maka pasti melakukan perintah Rasulullah saw. dan dari 3point diatas kita dapat mengetahui bahwa sayidah Fatimah tidak menganggap bahwa Abubakar adalah Imam zamannya, dan pasti telah menganggap orang lain sebagai Imamnya. dan ini membuktikan bahwa kekhalifahan Abubakar tidak dibenarkan oleh sayidah Fatimah az-zahra.

Dan kalau kita perhatikan hadis-hadis dibawah ini kita ketahui bahwa siapa yang dianggap sebagai imam oleh sayidah Fatimah.:
Rasulullah saw bersabda : “Siapa yang tidak berkata bahwa Ali adalah sebaik-baik manusia maka telah kafir” {Tarikh al-Khatib al-Baghdadi jilid 3 halaman 192 , Kanz al-Ummal jilid 11 halaman 625} Rasulullah saw bersabda:”jika kalian menjadikan Ali sebagai pemimpin kalian-(dan aku melihat kalian tidak melaksanakannya)-maka kalian akan menemukan bahwa dia(Ali) adalah pemberi petunjuk yang akan menunjukkan kepada kalian jalan yang lurus dan benar.” {musnad ahmad jilid 1 halaman 108}.

Rasulullah saw bersabda : “siapa yang menaatiku maka telah menaati Allah swt, dan siapa yang melanggar perintahku maka telah melanggar perintah Allah,dan siapa yang menaati Ali maka telah menaatiku, dan siapa yang telah melanggar perintahnya maka telah melanggar perintahku.” {mustadrak Hakim jilid 3 halaman 121}
Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya Ali adalah kota hidayah, maka barangsiapa yang masuk ke dalam kota tersebut akan selamat dan siapa yang meninggalkannya akan celaka dan binasa.” {Yanabi’ al-Mawaddah jilid 1 halaman 220 hadis ke 39}.

Benarkah Riwayat Sayyidah Fathimah Marah Kepada Abu Bakar Adalah Idraaj Az Zuhriy?
Tulisan ini kami buat sebagai bantahan bagi para nashibi yang tidak henti-hentinya menyelewengkan sejarah demi menjaga kesalahan sebagian sahabat. Sangat masyhur dalam kitab shahih dan sirah bahwa Sayyidah Fathimah marah kepada Abu Bakar ketika Abu Bakar menolak tuntutannya atas warisan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Disebutkan bahwa Sayyidah Fathimah tidak mau berbicara kepada Abu Bakar sampai Beliau wafat bahkan disebutkan pula Beliau berwasiat agar dimakamkan pada malam hari sehingga Abu Bakar tidak menshalatkannya.

Nashibi yang risih dengan kabar seperti itu [terutama sangat risih jika kabar itu dijadikan hujjah oleh Syiah] membuat syubhat wat talbiis yang intinya menunjukkan bahwa riwayat marahnya Fathimah pada Abu Bakar adalah idraaj [sisipan] dari Az Zuhriy maka kedudukannya dhaif. Pernyataan nashibi itu sangat tidak benar dan inilah pembahasannya.
.
Riwayat Shaalih bin Kaisaan Dari Az Zuhriy.

أَخْبَرَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ الزُّهْرِيُّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ صَالِحِ بْنِ كَيْسَانَ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ، أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ، أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ سَأَلَتْ أَبَا بَكْرٍ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ أَنْ يَقْسِمَ لَهَا مِيرَاثَهَا مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ، مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْهِ، فَقَالَ لَهَا أَبُو بَكْرٍ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” لا نُوَّرَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ “، فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ، وَعَاشَتْ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ

Telah mengabarkan kepada kami Ya’qub bin Ibrahiim bin Sa’d Az Zuhriy dari ayahnya dari Shaalih bin Kaisaan dari Ibnu Syihaab yang berkata telah mengabarkan kepadaku Urwah bin Zubair bahwa Aisyah istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengabarkan kepadanya bahwa Fathimah binti Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bertanya kepada Abu Bakar setelah wafatnya Rasulullah tentang bagian warisannya yang ditinggalkan Rasulullah dari harta fa’i yang dikaruniakan Allah kepada Beliau. Abu Bakar berkata kepadanya “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “kami tidak mewariskan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah” maka Fathimah menjadi marah dan ia hidup setelah wafatnya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] selama enam bulan [Thabaqat Ibnu Sa’ad 8/256-257].

Terlihat jelas dalam riwayat di atas bahwa lafaz marahnya Fathimah adalah bagian dari perkataan Aisyah [radiallahu ‘anha]. Hal ini juga disebutkan dalam Shahih Bukhari no 3092-3093 dan Sunan Baihaqiy 6/300-301 no 12734.

حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ ، قَالَ : حَدَّثَنَا أَبِي ، عَنْ صَالِحٍ ، قَالَ ابْنُ شِهَابٍ : أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ ، أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، أَخْبَرَتْهُ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلَتْ أَبَا بَكْرٍ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَقْسِمَ لَهَا مِيرَاثَهَا ، مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْهِ ، فَقَالَ لَهَا أَبُو بَكْرٍ : إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : ” لَا نُورَثُ ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ ” ، فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ ، عَلَيْهَا السَّلَام ، فَهَجَرَتْ أَبَا بَكْرٍ ، فَلَمْ تَزَلْ مُهَاجِرَتَهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ ، قَالَ : وَعَاشَتْ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ ، قَالَ : وَكَانَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا تَسْأَلُ أَبَا بَكْرٍ نَصِيبَهَا مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ خَيْبَرَ ، وَفَدَكَ ، وَصَدَقَتِهِ بِالْمَدِينَةِ ، فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ عَلَيْهَا ذَلِكَ ، وَقَالَ : لَسْتُ تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْمَلُ بِهِ ، إِلَّا عَمِلْتُ بِهِ ، وَإِنِّي أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيغَ ، فَأَمَّا صَدَقَتُهُ بِالْمَدِينَةِ فَدَفَعَهَا عُمَرُ إِلَى عَلِيٍّ وَعَبَّاسٍ ، فَغَلَبَهُ عَلَيْهَا عَلِيٌّ ، وَأَمَّا خَيْبَرُ ، وَفَدَكُ ، فَأَمْسَكَهُمَا عُمَرُ ، وَقَالَ : هُمَا صَدَقَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، كَانَتَا لِحُقُوقِهِ الَّتِي تَعْرُوهُ ، وَنَوَائِبِهِ ، وَأَمْرُهُمَا إِلَى مَنْ وَلِيَ الْأَمْرَ ، قَالَ : فَهُمَا عَلَى ذَلِكَ الْيَوْمَ

Faathimah binti Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah meminta kepada Abu Bakr setelah wafatnya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] agar membagi untuk-nya bagian harta warisan yang ditinggalkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dari harta fa’i yang Allah karuniakan kepada beliau. Abu Bakr berkata kepadanya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah bersabda “Kami tidak mewariskan dan apa yang kami tinggalkan semuanya shadaqah”. Faathimah binti Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pun marah dan kemudian meng-hajr Abu Bakr. Ia terus dalam keadaan seperti itu hingga wafat. [qaala] dan ia hidup selama enam bulan sepeninggal Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. [qaala] “Fathimah pernah meminta Abu Bakr bagian dari harta yang ditinggalkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berupa tanah di Khaibar dan di Fadak dan shadaqah beliau di Madinah namun Abu Bakr mengabaikannya dan berkata Aku tidak akan meninggalkan sedikitpun sesuatu yang pernah dikerjakan Rasulullah  melainkan akan aku kerjakan. Sungguh aku takut menjadi sesat jika meninggalkan apa yang diperintahkan beliau. Adapun shadaqah beliau di Madinah telah diberikan oleh ‘Umar kepada ‘Ali dan ‘Abbas, sementara tanah di Khaibar dan Fadak telah dipertahankan oleh ‘Umar dan mengatakannya bahwa keduanya adalah shadaqah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang hak-haknya akan diberikan kepada yang mengurus dan mendiaminya sedangkan urusannya berada di bawah keputusan pemimpin”. [qaala] “dan keadaannya tetap seperti itu hingga hari ini” [Musnad Ahmad 1/6 no 25].

Menurut nashibi lafaz “dan ia hidup selama enam bulan sepeninggal Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]” bukan lafaz dari Aisyah mereka berhujjah dengan riwayat Ahmad di atas yang menunjukkan bahwa lafaz tersebut diucapkan setelah lafaz [qaala]. Lafaz qaala berarti perawi laki-laki berkata karena kalau perempuan [Aisyah] lafaznya adalah qaalat. Lafaz [qaala] ini juga diriwayatkan dalam Shahih Muslim no 1758 dan Mustakhraj Abu Awanah 4/250 no 6677.

Jika kita menuruti hujjah nashibi bahwa lafaz setelah lafaz [qaala] berarti itu idraaj [sisipan] dari perawi laki-laki bukan dari Aisyah maka itu berarti lafaz sebelum lafaz [qaala] adalah perkataan Aisyah. Maka lafaz

فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ ، عَلَيْهَا السَّلَام ، فَهَجَرَتْ أَبَا بَكْرٍ ، فَلَمْ تَزَلْ مُهَاجِرَتَهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ

Faathimah binti Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pun marah dan kemudian meng-hajr Abu Bakr. Ia terus dalam keadaan seperti itu hingga wafat.

Adalah lafaz perkataan Aisyah [radiallahu ‘anha]. Maka dengan hujjah nashibi itu sendiri dibuktikan bahwa riwayat Shalih bin Kaisaan dari Az Zuhriy menetapkan lafaz marahnya Fathimah kepada Abu Bakar adalah tsabit dari Aisyah [radiallahu ‘anha].

Tetapi benarkah apa yang dikatakan oleh nashibi bahwa lafaz [qaala] itu bermakna perawi laki-laki yang berkata bukan Aisyah [radiallahu ‘anha]. Untuk melihat lebih jelas maka kita harus memperhatikan satu-persatu riwayat tersebut. Kami mengutip riwayat tersebut hanya dari lafaz hadis Abu Bakar bahwa Nabi tidak mewariskan karena bagian itu termasuk lafaz Aisyah.

Riwayat Ibnu Sa’ad:

لا نُوَّرَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ “، فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ، وَعَاشَتْ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُر

Riwayat Ahmad:

” لَا نُورَثُ ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ ” ، فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ ، عَلَيْهَا السَّلَام ، فَهَجَرَتْ أَبَا بَكْرٍ ، فَلَمْ تَزَلْ مُهَاجِرَتَهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ ، قَالَ : وَعَاشَتْ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ ، قَالَ : وَكَانَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا تَسْأَلُ أَبَا بَكْرٍ نَصِيبَهَا مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ خَيْبَرَ ، وَفَدَكَ ، وَصَدَقَتِهِ بِالْمَدِينَةِ

Riwayat Muslim:

لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ ” ، قَالَ : وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ ، وَكَانَتْ فَاطِمَةُ تَسْأَلُ أَبَا بَكْرٍ نَصِيبَهَا مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ خَيْبَرَ ، وَفَدَكٍ وَصَدَقَتِهِ بِالْمَدِينَةِ

Riwayat Abu Awanah:

لا نُوَرَّثُ ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ ” ، قَالَ : وَعَاشَتْ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ ، قَالَ : وَكَانَتْ فَاطِمَةُ تَسْأَلُ أَبَا بَكْرٍ نَصِيبَهَا مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ خَيْبَرَ ، وَفَدَكَ ، وَصَدَقَتُهُ بِالْمَدِينَةِ

Riwayat Baihaqiy:

لا نُورَثُ ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ ” فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، فَهَجَرَتْ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، فَلَمْ تَزَلْ مُهَاجِرَةً لَهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ ، وَعَاشَتْ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ ، قَالَ : فَكَانَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا تَسْأَلُ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ نَصِيبَهَا مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ خَيْبَرَ وَفَدَكٍ وَصَدَقَتِهِ بِالْمَدِينَةِ

Riwayat Bukhariy:

لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَجَرَتْ أَبَا بَكْرٍ ، فَلَمْ تَزَلْ مُهَاجِرَتَهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ ، قَالَتْ : وَكَانَتْ فَاطِمَةُ تَسْأَلُ أَبَا بَكْرٍ نَصِيبَهَا مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ خَيْبَرَ وَفَدَكٍ وَصَدَقَتَهُ بِالْمَدِينَةِ

Jika kita perhatikan lafaz riwayat-riwayat di atas terutama pada lafaz yang diawali dengan kata [qaala] maka didapat keterangan:
  1. Riwayat marahnya Fathimah kepada Abu Bakar disebutkan oleh Ibnu Sa’ad, Ahmad bin Hanbal, Baihaqiy dan Bukhariy dimana mereka semua menyebutkan lafaz itu sebagai bagian dari lafaz Aisyah karena terikat dengan lafaz hadis Abu Bakar dan diucapkan sebelum lafaz [qaala] [kecuali riwayat Ibnu Sa’ad yang tidak ada lafaz qaala]`.
  2. Riwayat dengan lafaz “Fathimah hidup enam bulan setelah Rasulullah wafat” disebutkan oleh Muslim dan Abu Awanah setelah lafaz [qaala] tetapi dalam riwayat Baihaqiy lafaz tersebut masuk dalam lafaz Aisyah yaitu sebelum lafaz [qaala].
  3. Riwayat dengan lafaz dimana Fathimah meminta kepada Abu Bakar peninggalan khaibar, fadak dan shadaqah di madinah disebutkan Ahmad, Muslim, Abu Awanah dan Baihaqiy setelah lafaz [qaala] tetapi dalam riwayat Bukhariy lafaz tersebut adalah lafaz Aisyah karena dimulai dengan lafaz [qaalat]
Jika kita menuruti anggapan nashibi bahwa lafaz qaala bermakna perawi laki-laki berkata bukan perkataan Aisyah maka nampak terjadi kekacauan padahal hadis itu berujung pada perawi yang sama. Maka disini terdapat faedah bahwa lafaz qaala itu bermakna perawi hadis melanjutkan hadis perkataan Aisyah, sehingga pada dasarnya lafaz qaala bermakna sama dengan lafaz qaalat. Bukti shahihnya adalah riwayat Bukhari yaitu lafaz “Fathimah meminta kepada Abu Bakar peninggalan khaibar, fadak dan shadaqah di madinah” adalah perkataan Aisyah dengan lafaz qaalat dimana pada riwayat Ahmad, Muslim, Baihaqiy dan Abu Awanah itu disebutkan dengan lafaz qaala.

Riwayat Syu’aib bin Abi Hamzah Dari Az Zuhriy.
Riwayat Syu’aib bin Abi Hamzah disebutkan dalam Shahih Ibnu Hibban 11/152 no 4823 [riwayat Utsman bin Sa’id Ad Daarimiy] dan Sunan Baihaqi 6/300 no 1273 dan Ad Dalaail Baihaqiy 7/279, Musnad Asy Syamiyyin Thabraniy 4/198-199 no 3097 semuanya [riwayat Abul Yamaan] dengan lafaz yang menyebutkan kemarahan Fathimah terhadap Abu Bakar dan mensibatkannya pada perkataan Aisyah,

قَالَتْ عَائِشَةُ: فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” لا نُورَثُ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ “، إِنَّمَا كَانَ يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ مِنْ هَذَا الْمَالِ يَعْنِي مَالَ اللَّهِ لَيْسَ لَهُمْ أَنْ يَزِيدُوا عَلَى الْمَأْكَلِ، وَإِنِّي وَاللَّهِ لا أُغَيِّرُ صَدَقَاتِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ حَالِهَا الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهَا فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلأَعْمَلَنَّ فِيهَا بِمَا عَمِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهَا، فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى فَاطِمَةَ مِنْهَا شَيْئًا، فَوَجَدَتْ فَاطِمَةَ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ، فَهَجَرَتْهُ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى مَاتَتْ، وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ

‘Aaisyah berkata Lalu Abu Bakr berkata : “Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : ‘Kami tidak diwarisi dan semua yang kami tinggalkan adalah shadaqah’. Dan hanyalah keluarga Muhammad makan dari harta ini – yaitu harta Allah yang tidak ada tambahan bagi mereka selain dari yang dimakan. Dan sesungguhnya aku, demi Allah, tidak akan mengubah shadaqah-shadaqah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari keadaan semua yang ada di jaman Nabi shallallaahu ‘alahi wa sallam. Dan sungguh aku memperlakukan shadaqah tersebut seperti yang dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam padanya”. Maka Abu Bakr enggan memberikan harta peninggalan tersebut sedikitpun pada Faathimah. Maka dalam hal itu Faathimah pun marah kepada Abu Bakr, lalu ia pun meng-hajr-nya dan tidak mengajaknya bicara hingga wafat. Dan Faathimah hidup setelah wafatnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam selama enam bulan [Musnad Asy Syamiyyin Thabraniy 4/198-199 no 3097].

Kemudian disebutkan riwayat Bukhari dalam Tarikh Ash Shaghiir bahwa lafaz “Fathimah hidup setelah wafat Nabi selama enam bulan” diucapkan setelah lafaz [qaala].

حدثنا أبو اليمان انا شعيب عن الزهري أخبرني عروة بن الزبير عن عائشة فذكر الحديث قال وعاشت فاطمة بعد النبي صلى الله عليه وسلم ستة أشهر ودفنها علي

Telah menceritakan kepada kami Abul Yamaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’aib dari Az Zuhriy yang berkata telah mengabarkan kepadaku Urwah bin Zubair dari Aisyah lalu menyebutkan hadis, [qaala] “Fathimah hidup setelah wafat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] selama enam bulan kemudian wafat dikuburkan oleh Aliy [Tarikh Ash Shaghiir juz 1 no 116].

Nashibi berhujjah dengan riwayat Bukhari bahwa perkataan “Fathimah hidup enam bulan” adalah idraaj [sisipan] dari perawi sebelum Aisyah. Hal ini disebabkan lafaz itu diucapkan setelah lafaz [qaala] yang berarti perawi laki-laki berkata.

Sebenarnya dengan hujjah nashibi ini maka lafaz yang diucapkan sebelum lafaz qaala adalah lafaz Aisyah. Jadi dengan hujjah nashibi tersebut lafaz kemarahan Fathimah kepada Abu Bakar adalah perkataan Aisyah.
Tetapi benarkah demikian seperti yang dikatakan Nashibi bahwa lafaz “Fathimah hidup selama enam bulan” adalah bukan milik Aisyah tetapi idraaj [sisipan] perawi laki-laki sebelum Aisyah. Ada baiknya diperhatikan riwayat berikut:

حدثنا محمد بن عوف حدثنا عثمان بن سعيد حدثنا شعيب بن أبي حمزة عن الزهري عن عروة عن عائشة قالت عاشت فاطمة بنت رسول الله ص بعد رسول الله ص ستة اشهر

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Auf yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Utsman bin Sa’iid yang berkata telah menceritakan Syu’aib bin Abi Hamzah dari Az Zuhriy dari Urwah dari Aisyah yang berkata “Fathimah binti Rasulullah hidup setelah wafat Rasulullah selama enam bulan” [Adz Dzuriyat Ath Thaahirah Ad Duulabiy hal 110].

Muhammad bin ‘Auf bin Sufyaan Ath Thaa’iy seorang yang tsiqat. Abu Hatim berkata “shaduq”. Nasa’i berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Khallal berkata “imam hafizh pada zamannya” [At Tahdzib juz 9 no 634]. Ibnu hajar berkata “tsiqat hafizh” [At Taqrib 2/121].

أخبرناه أبو الحسين بن الفضل القطان أخبرنا عبد الله بن جعفر حدثنا يعقوب بن سفيان حدثنا أبو اليمان قال أخبرناشعيب قال وأخبرنا الحجاج بن أبي منيع حدثنا جدي جميعا عن الزهري قال حدثنا عروة أن عائشة أخبرته قالت عاشت فاطمة بنت رسول الله بعد وفاة رسول الله ستة أشهر

Telah mengabarkan kepada kami Abu Husain bin Fadhl Al Qaththaan yang berkata telah mengabarkan kepada kami ‘Abdullah bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Ya’quub bin Sufyaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Abul Yamaan yang berkata telah mengabarkan kepada kami Syu’aib, [Yaqub berkata] dan mengabarkan kepada kami Hajjaaj bin Abi Manii’ yang berkata telah menceritakan kakekku, semuanya dari Az Zuhriy yang berkata telah menceritakan kepada kami Urwah bahwa Aisyah mengabarkan kepadanya berkata “Fathimah binti Rasulullah hidup setelah wafatnya Rasulullah selama enam bulan” [Ad Dalaa’il Baihaqiy 6/366].

Abu Husain bin Fadhl Al Qaththaan adalah syaikh alim tsiqat musnad [As Siyaar Adz Dzahabiy 17/331]. Abdullah bin Ja’far adalah imam ‘allamah tsiqat [As Siyaar Adz Dzahabiy 15/532]. Yaqub bin Sufyaan Al Fasawiy seorang tsiqat hafizh [At Taqrib 2/337].

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ ، ثنا أَبُو زُرْعَةَ الدِّمَشْقِيُّ ، ثنا أَبُو الْيَمَانِ ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبُ بْنُ أَبِي حَمْزَةَ ، عَنِ الزُّهْرِيِّ ، عَنْ عُرْوَةَ ، عَنْ عَائِشَةَ ، قَالَتْ : ” تُوُفِّيَتْ فَاطِمَةُ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِسِتَّةِ أَشْهُرٍ ، وَدَفَنَهَا عَلِيٌّ لَيْلا

Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Ahmad yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Zur’ah Ad Dimasyiq yang berkata telah menceritakan kepada kami Abul Yamaan yang berkata telah mengabarkan kepada kami Syu’aib bin Abi Hamzah dari Az Zuhriy dari Urwah dari Aisyah yang berkata “Fathimah wafat enam bulan setelah wafat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Ali menguburkannya pada waktu malam” [Hilyatul Auliya 2/42].

Sulaiman bin Ahmad adalah Ath Thabraniy imam hafizh tsiqat [As Siyaar Adz Dzahabiy 16/120]. Abu Zur’ah Ad Dimasyiq adalah seorang yang tsiqat hafizh [At Taqrib 1/584].

Riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa hadis Utsman bin Sa’id dan Abul Yamaan dari Az Zuhriy menyatakan bahwa lafaz “Fathimah hidup enam bulan” adalah bagian dari lafaz Aisyaah. Maka disini terdapat faedah bahwa lafaz [qaala] yang dibawakan Bukhari itu bermakna perawi melanjutkan perkataan Aisyah bukan idraaj [sisipan] perawi tersebut.

Riwayat Uqail bin Khaalid Dari Az Zuhriy.
Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya 1/9-10 no 55 dengan matan yang mengandung lafaz Fathimah marah kepada Abu Bakar kemudian diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya no 4240-4241, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya 14/573-574 no 6607 dan Ath Thahawiy dalam Syarh Musykil Al Atsaar no 143 dengan lafaz Fathimah marah kepada Abu bakar tidak berbicara pada Abu Bakar sampai wafat dan ia hidup enam bulan setelah wafat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Berikut lafaz Bukhari

عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَام بِنْتَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَتْ إِلَى أَبِي بَكْرٍ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْهِ بِالْمَدِينَةِ، وَفَدَكٍ وَمَا بَقِيَ مِنْ خُمُسِ خَيْبَرَ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ، إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْمَالِ، وَإِنِّي وَاللَّهِ لَا أُغَيِّرُ شَيْئًا مِنْ صَدَقَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ عَنْ حَالِهَا الَّتِي كَانَ عَلَيْهَا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَلَأَعْمَلَنَّ فِيهَا بِمَا عَمِلَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى فَاطِمَةَ مِنْهَا شَيْئًا، فَوَجَدَتْ فَاطِمَةُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ فَهَجَرَتْهُ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ، وَعَاشَتْ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ

Dari ‘Aisyah Bahwa Faathimah [‘alaihassalaam] binti Rasulillah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] mengutus utusan kepada Abu Bakr untuk meminta kepadanya bagian harta warisan dari Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] dari harta fai’ di Madinah, Fadak, dan sisa harta khumus Khaibar. Maka Abu Bakar berkata  “Sesungguhnya Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] pernah bersabda ‘Kami tidak diwarisi dan semua yang kami tinggalkan adalah shadaqah’. Hanyalah keluarga Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam makan dari harta ini. sesungguhnya aku demi Allah tidak akan mengubah sedikitpun shadaqah Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] dari keadaan yang ada di zaman Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam]. Dan sungguh aku akan memperlakukan shadaqah tersebut sesuai dengan apa yang dilakukan Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] padanya”. Abu Bakar pun menolak memberikan harta peninggalan tersebut sedikitpun kepada Faathimah. Maka dalam hal itu Faathimah pun marah kepada Abu Bakr dan meng-hajr-nya. Ia tidak berbicara kepada Abu Bakr hingga wafat. Dan ia hidup selama enam bulan setelah wafatnya Nabi [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] [Shahih Bukhari no 4240].

Kemudian disebutkan dalam Shahih Muslim dengan sanad dari La’its bin Sa’d dari Uqail bahwa lafaz dimana Fathimah tidak berbicara kepada Abu Bakar sampai wafat terletak setelah lafaz [qaala].

فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ : إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ ” ، إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْمَالِ ، وَإِنِّي وَاللَّهِ لَا أُغَيِّرُ شَيْئًا مِنْ صَدَقَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ حَالِهَا ، الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهَا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَلَأَعْمَلَنَّ فِيهَا بِمَا عَمِلَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى فَاطِمَةَ شَيْئًا ، فَوَجَدَتْ فَاطِمَةُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ ، قَالَ : فَهَجَرَتْهُ فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ ، فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ دَفَنَهَا زَوْجُهَا عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ لَيْلًا ، وَلَمْ يُؤْذِنْ بِهَا أَبَا بَكْرٍ ، وَصَلَّى عَلَيْهَا عَلِي

Maka Abu Bakar berkata “Sesungguhnya Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] pernah bersabda‘Kami tidak diwarisi dan semua yang kami tinggalkan adalah shadaqah’. Keluarga Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam hanya makan dari harta ini. Dan sesungguhnya aku demi Allah tidak akan mengubah sedikitpun shadaqah Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] dari keadaan yang ada di zaman Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam]. Dan sungguh aku akan memperlakukan shadaqah tersebut sesuai dengan apa yang dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam padanya”. Abu Bakar pun menolak memberikan harta peninggalan tersebut sedikitpun kepada Faathimah. Maka dalam hal itu Faathimah pun marah kepada Abu Bakar. [qaala]“Ia meng-hajr  Abu Bakr dan tidak berbicara kepadanya hingga wafat. Dan ia hidup selama enam bulan setelah wafatnya Nabi [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] ketika ia wafat suaminya Ali menguburkannya di waktu malam dan tidak memberitahu Abu Bakar dan Ali yang menshalatkannya. [Shahih Muslim no 1759].

Nashibi berhujjah dengan riwayat Muslim bahwa lafaz Fathimah tidak berbicara pada Abu Bakar, hidup selama enam bulan setelah Nabi wafat dan ketika wafat Ali menguburkannya di waktu malam adalah idraaj [sisipan] dari perawi laki-laki bukan perkataan Aisyah.

Jika kita menuruti hujjah nashibi di atas itu berarti lafaz sebelum [qaala] adalah perkataan Aisyah maka lafaz “Fathimahpun marah kepada Abu Bakar karenanya” adalah lafaz Aisyah. Tetapi benarkah demikian seperti yang dikatakan nashibi bahwa lafaz [qaala] adalah idraaj perawi laki-laki.

أخبرنا أبو إسحاق إبراهيم بن محمد بن يحيى ، وأبو الحسين بن يعقوب الحافظ قالا : ثنا أبو العباس محمد بن إسحاق ، ثنا قتيبة بن سعيد ، ثنا الليث ، عن عقيل ، عن الزهري ، عن عروة ، عن عائشة قالت : دفنت فاطمة بنت رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم ليلا ، دفنها علي ، ولم يشعر بها أبو بكر رضي الله عنه حتى دفنت وصلى عليها علي بن أبي طالب رضي الله عنه

Telah mengabarkan kepada kami Abu Ishaaq Ibrahiim bin Muhammad bin Yahya dan Abu Husain bin Ya’quub Al Haafizh keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Abbas Muhammad bin Ishaaq yang berkata telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id yang berkata telah menceritakan kepada kami Laits dari Uqail dari Az Zuhriy dari Urwah dari Aisyah yang berkata “Fathimah dikuburkan di waktu malam, dikuburkan oleh Aliy dan tidak memberitahu Abu Bakar [radiallahu ‘anhu] sampai ia dikuburkan, dan Ali [radiallahu ‘anhu] yang menshalatkannya [Mustadrak Al Hakim no 4764].

Abu Ishaaq Ibrahim bin Muhammad bin Yahya Al Muzakkiy seorang yang dikatakan Al Khatib tsiqat tsabit [Tarikh Baghdad 6/168]. Abul Husain bin Ya’qub Al Hafizh adalah imam hafizh, Al Hakim berkata “ahli ibadah shalih shaduq tsabit” [As Siyaar Adz Dzahabiy 16/242]. Abu ‘Abbas Muhammad bin Ishaaq Ats Tsaqafiy adalah imam hafizh tsiqat syaikh islam [As Siyaar Adz Dzahabiy 14/389]. Qutaibah bin Sa’id adalah perawi Bukhari Muslim yang tsiqat tsabit [At Taqrib 2/27]. Perhatikan riwayat Muslim dengan lafaz:

قَالَ : فَهَجَرَتْهُ فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ ، فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ دَفَنَهَا زَوْجُهَا عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ لَيْلًا ، وَلَمْ يُؤْذِنْ بِهَا أَبَا بَكْرٍ ، وَصَلَّى عَلَيْهَا عَلِي

Telah dibuktikan di atas bahwa bagian terakhir lafaz Muslim yaitu “ketika ia [Sayyidah Fathimah] wafat suaminya Ali menguburkannya di waktu malam dan tidak memberitahu Abu Bakar dan Ali yang menshalatkannya” adalah perkataan Aisyah padahal lafaz itu disebutkan Muslim setelah lafaz qaala. Disini terdapat faedah bahwa lafaz qaala dalam riwayat Muslim bukan bermakna idraaj [sisipan] perawi melainkan bermakna perawi berkata melanjutkan perkataan Aisyah. Inilah yang dipahami dengan menyatukan riwayat Al Hakim dan riwayat Muslim dan hal ini bersesuaian dengan riwayat Bukhari, Ibnu Hibban dan Thahawiy yang menjadikan keseluruhan lafaz tersebut sebagai perkataan Aisyah.

Riwayat Ma’mar bin Raasyid Dari Az Zuhriy.
Diriwayatkan dalam Mushannaf Abdurrazaaq 5/472-472 no 9774, Tarikh Ath Thabariy no 935, Mustakhraj Abu Awanah no 6679, Sunan Baihaqiy 6/300 no 12732 dengan jalan sanad dari ‘Abdurrazaq dari Ma’mar dari Az Zuhriy dimana lafaz kemarahan Sayyidah Fathimah kepada Abu Bakar disebutkan setelah lafaz [qaala].

فَقَالَ لَهُمَا أَبُو بَكْرٍ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَقُولُ : لا نُورَثُ ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ ، إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ هَذَا الْمَالِ ، وَإِنِّي وَاللَّهِ لا أَدَعُ أَمْرًا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُهُ ، إِلا صَنَعْتُهُ ، قَالَ : فَهَجَرَتْهُ فَاطِمَةُ ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى مَاتَتْ ، فَدَفَنَهَا عَلِيٌّ لَيْلا ، وَلَمْ يُؤْذِنْ بِهَا أَبَا بَكْرٍ

Maka Abu Bakar berkata kepada keduanya “Aku mendengar Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] bersabda ‘Kami tidak diwarisi dan semua yang kami tinggalkan adalah shadaqah’. Dan hanyalah keluarga Muhammad [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] makan dari harta ini. Dan sesungguhnya demi Allah aku tidak akan meninggalkan perkara yang aku lihat melakukannya, kecuali aku akan melakukannya juga”. [qaala] “Maka dalam hal itu Faathimah meng-­hajr Abu Bakr dan tidak berbicara dengannya hingga wafat, maka Ali menguburkannya di waktu malam dan tidak memberitahukan kepada Abu bakar [Mushannaf 'Abdurrazaq no 9774].

Nashibi berhujjah dengan riwayat ini bahwa lafaz kemarahan Fathimah kepada Abu Bakar adalah idraaj [sisipan] dari perawi laki-laki bukan dari Aisyah. Untuk menilai validitas hujjah nashibi ini mari kita perhatikan satu-persatu riwayat tersebut yang mengandung lafaz [qaala].

Riwayat Ath Thabariy [jalan sanad dari Abu Shaalih Ad Dhiraariy dari Abdurrazaaq],

قَالَ : فَهَجَرَتْهُ فَاطِمَةُ فَلَمْ تُكَلِّمْهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى مَاتَتْ فَدَفَنَهَا عَلِيٌّ لَيْلا ، وَلَمْ يُؤْذِنْ بِهَا أَبَا بَكْرٍ . وَكَانَ لِعَلِيٍّ وَجْهٌ مِنَ النَّاسِ حَيَاةَ فَاطِمَةَ ، فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ فَاطِمَةُ انْصَرَفَتْ وُجُوهُ النَّاسِ عَنْ عَلِيٍّ ، فَمَكَثَتْ فَاطِمَةُ سِتَّةَ أَشْهُرٍ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ تُوُفِّيَتْ

Riwayat Abu Awanah [dengan jalan sanad dari Adz Dzuhliy, Muhammad bin Aliy Ash Shan’aniy dan Ishaaq Ad Dabariy dari ‘Abdurrazaaq],

قَالَ : فَهَجَرَتْهُ فَاطِمَةُ فَلَمْ تُكَلِّمُهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى مَاتَتْ ، فَدَفَنَهَا عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَيْلا وَلَمْ يؤَذِّنْ بِهَا أَبَا بَكْرٍ ، قَالَتْ عَائِشَةُ : وَكَانَ لِعَلِيٍّ مِنَ النَّاسِ وَجْهُ حَيَاةِ فَاطِمَةَ ، فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ فَاطِمَةُ انْصَرَفَتْ وجُوهُ النَّاسِ عَنْ عَلِيٍّ ، فَمَكَثَتْ فَاطِمَةُ سِتَّةَ أَشْهُرٍ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ تُوُفِّيَتْ

Riwayat Baihaqiy [dengan jalan sanad dari Ahmad bin Manshuur dari ‘Abdurrazaaq],

قَالَ : فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا وَهَجَرَتْهُ ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى مَاتَتْ ، فَدَفَنَهَا عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَيْلا ، وَلَمْ يُؤْذِنْ بِهَا أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قالتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا : فَكَانَ لِعَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مِنَ النَّاسِ وَجْهٌ حَيَاةَ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا انْصَرَفَ وُجُوهُ النَّاسِ عَنْهُ عِنْدَ ذَلِكَ

Riwayat ‘Abdurrazaaq dalam Al Mushannaf,

قَالَ : فَهَجَرَتْهُ فَاطِمَةُ ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى مَاتَتْ ، فَدَفَنَهَا عَلِيٌّ لَيْلا ، وَلَمْ يُؤْذِنْ بِهَا أَبَا بَكْرٍ ، قَالَتْ عَائِشَةُ : وَكَانَ لِعَلِيٍّ مِنَ النَّاسِ حَيَاةَ فَاطِمَةَ حَظْوَةٌ ، فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ فَاطِمَةُ انْصَرَفَتْ وُجُوهُ النَّاسِ عَنْهُ ، فَمَكَثَتْ فَاطِمَةُ سِتَّةَ أَشْهُرٍ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ تُوُفِّيَتْ

Perhatikan dalam riwayat Ath Thabariy lafaz Fathimah hidup enam bulan sepeninggal Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah bagian dari lafaz [qaala] sedangkan pada riwayat Abu Awanah dan Abdurrazaaq [dalam Al Mushannaf] lafaz tersebut adalah perkataan Aisyah. Maka disini terdapat faedah bahwa lafaz [qaala] itu bermakna perawi melanjutkan perkataan Aisyah artinya sama dengan lafaz [qaalat] bukan idraaj [sisipan] dari perawi laki-laki.

Lantas bagaimana dengan lafaz kemarahan Fathimah kepada Abu Bakar dan dikuburkannya oleh Ali di waktu malam tanpa memberitahu Abu Bakar. Untuk lebih jelasnya silakan perhatikan riwayat berikut

قَالَتْ : فَهَجَرَتْهُ فَاطِمَةُ , فَلَمْ تُكَلِّمْهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى مَاتَتْ , فَدَفَنَهَا عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَيْلا , وَلَمْ يُؤْذَنَ بِهَا أَبُو بَكْرٍ , قَالَتْ : فَكَانَ لِعَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَجْهٌ مِنَ النَّاسِ حَيَاةَ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا , فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ فَاطِمَةُ انْصَرَفَتْ وُجُوهُ النَّاسِ عَنْ عَلِيٍّ , فَمَكَثَتْ فَاطِمَةُ سِتَّةَ أَشْهُرٍ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , ثُمَّ تُوُفِّيَتْ

Riwayat dengan lafaz [qaalat] ini disebutkan oleh Abu Bakar Al Marwaziy dalam Musnad Abu Bakar no 38 dan Ath Thabraniy dalam Mu’jam Al Kabiir 1/90 dengan jalan sanad Abu Bakar bin Zanjawaih dari ‘Abdurrazaaq. Abu Bakar bin Zanjawaih seorang yang tsiqat [At Taqrib 2/107].

Maka riwayat ini menguatkan apa yang kami katakan sebelumnya bahwa lafaz [qaala] bermakna perawi melanjutkan perkataan Aisyah sehingga lafaz [qaala] dan [qaalat] adalah sama, tidak ada penyelisihan seperti yang dikatakan oleh nashibi.

Nashibi mengatakan bahwa Abu Bakar bin Zanjawaih menyelisihi jamaah tsiqat dari ‘Abdurrazaq yaitu Ishaq bin Rahawaih, Muhammad bin Rafi’, Abd bin Humaid, Abu Shalih Adh Dhiraariy, Ahmad bin Manshuur Ar Ramaadiy, Muhammad bin Yahya Adz Dzuhliy dan Ishaq bin Ibrahim Ad Dabariy.

Pernyataan nashibi itu patut diberikan catatan, riwayat Ishaq bin Rahawaih, Muhammad bin Rafi’ dan Abd bin Humaid disebutkan oleh Muslim dalam Shahih-nya secara ringkas tanpa ada penegasan apakah lafaz yang digunakan adalah [qaala] atau [qaalat]. Jika dikatakan ia mengikut riwayat Uqail maka telah berlalu pembahasannya di atas bahwa riwayat Uqail menetapkan kemarahan Fathimah kepada Abu Bakar sebagai lafaz Aisyah.

Maka tersisalah empat perawi tsiqat yang dikatakan nashibi itu menyelisihi Abu Bakar bin Zanjawaih. Ternyata Abu Bakar bin Zanjawaih tidaklah menyendiri. Perhatikan riwayat berikut:

عبد الرزاق، عن معمر، عن عروة، عن عائشة: أن عليا دفن فاطمة ليلا، ولم يؤذن بها أبا بكر

‘Abdurrazaaq dari Ma’mar dari Urwah dari Aisyah bahwa Aliy menguburkan Fathimah di waktu malam dan tidak memberitahu Abu Bakar [Mushannaf ‘Abdurrazaaq 3/521 no 6556].

حدثنا إسحاق عن عبد الرزاق عن معمر عن الزهري عن عروة عن عائشة أن علياً دفن فاطمة ليلاً ولم يؤذن بها أبابكر

Telah menceritakan kepada kami Ishaaq dari ‘Abdurrazaaq dari Ma’mar dari Az Zuhriy dari Urwah dari Aisyah bahwa Aliy menguburkan Fathimah di waktu malam dan tidak memberitahu Abu Bakar [Al Awsath Ibnu Mundzir no 3144].

حدثنا إسحاق بن إبراهيم الدبري عن عبد الرزاق عن معمر عن الزهري عن عروة عن عائشة رضي الله عنها أن عليا دفن فاطمة ليلا

Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Ibrahim Ad Dabariy dari ‘Abdurrazaaq dari Ma’mar dari Zuhriy dari Urwah dari Aisyah [radiallahu ‘anha] bahwa Ali menguburkan Fathimah di waktu malam [Mu’jam Al Kabir Thabraniy 22/398].

Ishaaq bin Ibraahim Ad Dabariy termasuk perawi yang meriwayatkan hadis tersebut dengan lafaz [qaala] tetapi ia sendiri menjadikan lafaz tersebut sebagai perkataan Aisyah. Dan ‘Abdurrazaaq sendiri dalam kitabnya Al Mushannaf menjadikan lafaz tersebut sebagai perkataan Aisyah padahal ia menuliskan dalam kitabnya lafaz [qaala]. Maka benarlah seperti yang kami katakan bahwa riwayat ‘Abdurrazaaq baik dengan lafaz [qaala] maupun [qaalat] bermakna sama yaitu menetapkan lafaz tersebut adalah perkataan Aisyah [radiallahu ‘anha].

Sekarang mari kita sederhanakan pembahasan panjang di atas mengenai jalan periwayatan Az Zuhriy dari Urwah dari Aisyah tentang kisah marahnya Fathimah sebagai Berikut:
  1. Riwayat Shalih bin Kaisaan dari Az Zuhriy menetapkan bahwa lafaz marahnya Fathimah kepada Abu Bakar dan meng-hajr-nya hingga wafat sebagai perkataan Aisyah dan lafaz [qaala] pada sebagian hadis terbukti bermakna sama dengan [qaalat].
  2. Riwayat Syu’aib bin Abi Hamzah dari Az Zuhriy menetapkan bahwa lafaz marahnya Fathimah kepada Abu Bakar dan meng-hajr-nya hingga wafat sebagai perkataan Aisyah dan lafaz [qaala] pada sebagian hadis terbukti bermakna sama dengan [qaalat].
  3. Riwayat Uqail bin Khaalid dari Az Zuhriy menetapkan bahwa lafaz marahnya Fathimah kepada Abu Bakar sebagai perkataan Aisyah dan lafaz [qaala] pada sebagian hadis terbukti bermakna sama dengan [qaalat].
  4. Riwayat Ma’mar bin Raasyid dari Az Zuhriy menetapkan bahwa lafaz marahnya Fathimah kepada Abu Bakar sebagai perkataan Aisyah dan lafaz [qaala] pada sebagian hadis terbukti bermakna sama dengan [qaalat].
Kesimpulan dengan mengumpulkan semua riwayat di atas bahwa lafaz marahnya Fathimah kepada Abu Bakar dan meng-hajr-nya hingga wafat adalah perkataan Aisyah bukan idraaj dari Az Zuhriy.
Nashibi berkata bahwa yang menguatkan lafaz tersebut sebagai idraaj Az Zuhriy adalah riwayat Baihaqiy yang memuat lafaz berikut:

قَالَ مَعْمَرٌ: قُلْتُ لِلزُّهْرِيِّ: كَمْ مَكَثَتْ فَاطِمَةُ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: سِتَّةَ أَشْهُرٍ، فقَالَ رَجُلٌ لِلزُّهْرِيِّ: فَلَمْ يُبَايِعْهُ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَتَّى مَاتَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا؟، قَالَ: وَلا أَحَدٌ مِنْ بَنِي هَاشِمٍ

Ma’mar berkata Aku bertanya kepada Az-Zuhriy “Berapa lama Faathimah hidup sepeninggal Nabi [shallallaahu ‘alaihi wa sallam]?”. Az-Zuhriy berkata “Enam bulan”. Seorang laki-laki berkata kepada Az-Zuhriy“ Apakah ‘Aliy [radliyallaahu ‘anhu] tidak berbaiat kepadanya [Abu Bakr] hingga Faathimah [radliyallaahu ‘anhaa] wafat?”. Az-Zuhriy berkata “Tidak seorang pun dari Baani Haasyim yang berbaiat” [Sunan Baihaqiy 6/300 no 12732].

Dan Al Baihaqi berkomentar bahwa lafaz penundaan baiat Ali terhadap Abu Bakar adalah munqathi’ [terputus] karena berasal dari perkataan Az Zuhriy. Maka Nashibi berkata begitu pula dengan lafaz semisal marahnya Fathimah dan pemboikotannya kepada Abu Bakar juga munqathi’ karena berasal dari perkataan Az Zuhriy.

Tentu saja pernyataan ini keliru. Jawaban Az Zuhriy atas pertanyaan Ma’mar ia ucapkan karena ia sendiri telah mendengar dari Urwah hadis Aisyah perihal Fathimah hidup enam bulan sepeninggal Nabi serta tidak berbaiatnya Ali kepada Abu Bakar sebagaimana yang diriwayatkan Aisyah dalam kitab Shahih. Jadi statusnya disini adalah perkataan sang perawi [Az Zuhriy] berdasarkan hadis Aisyah yang ia riwayatkan.
Perkataan Ma’mar di atas adalah kutipan Baihaqiy dalam riwayat ‘Abdurrazaaq dan ‘Abdurrazaaq sendiri dalam Al Mushannaf menuliskan bahwa Fathimah hidup enam bulan sepeninggal Nabi sebagai lafaz Aisyah,

قَالَتْ عَائِشَةُ : وَكَانَ لِعَلِيٍّ مِنَ النَّاسِ حَيَاةَ فَاطِمَةَ حَظْوَةٌ ، فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ فَاطِمَةُ انْصَرَفَتْ وُجُوهُ النَّاسِ عَنْهُ ، فَمَكَثَتْ فَاطِمَةُ سِتَّةَ أَشْهُرٍ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ تُوُفِّيَتْ

Pernyataan Fathimah hidup sepeninggal Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] selama enam bulan adalah berdasarkan perkataan Aisyah dan Az Zuhriy mengatakannya enam bulan bukan dari pendapatnya sendiri tetapi dari hadis yang ia dengar dan ia riwayatkan. Begitu pula halnya dengan penundaan baiat Ali kepada Abu Bakar berasal dari hadis yang ia dengar. Jadi tidak ada hujjah untuk menjadikan perkataan Az Zuhriy itu sebagai bukti idraaj.

Penggunaan Lafaz [qaala] Dalam Hadis ‘Aisyah.
Syubhat model seperti ini yaitu [idraaj Az Zuhriy] dengan mengandalkan lafaz [qaala] adalah syubhat khas ala nashibi yang menunjukkan kelemahan dalam ilmu atau gelap mata karena kebencian dan hawa nafsu. Perkara hadis atau atsar dari Aisyah dengan terselip lafaz [qaala] pada hadisnya adalah perkara ma’ruf dalam hadis-hadis Aisyah. Berikut akan kami berikan contohnya.

Hadis Pertama:

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا أبو المنذر ثنا مالك عن الفضيل بن أبي عبد الله عن عبد الله بن نيار الأسلمي عن عروة عن عائشة ان رجلا اتبع رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال اتبعك لأصيب معك فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم تؤمن بالله ورسوله قال لا قال فإنا لا نستعين بمشرك قال فقال له في المرة الثانية تؤمن بالله ورسوله قال نعم فانطلق فتبعه

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata tel;ah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Abul Mundzir yang berkata telah menceritakan kepada kami Malik dari Fudhail bin Abi ‘Abdullah dari ‘Abdullah bin Niyaar Al Aslamiy dari Urwah dari Aisyah bahwa seorang laki-laki mengikuti Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] ia berkata “aku ingin mengikutimu dan memenangkan perang bersamamu”. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “apakah engkau beriman pada Allah dan Rasul-Nya?”. Ia menjawab “tidak”. Beliau berkata “kami tidak meminta bantuan orang musyrik”. [qaala] maka Rasulullah berkata kepadanya pada kedua kalinya “apakah engkau beriman pada Allah dan Rasul-Nya?”. Ia menjawab “Ya”. Rasulullah berkata “pergilah turut berperang” maka ia mengikutinya [Musnad Ahmad 6/67 no 24431 shahih dengan syarat Muslim].

Perhatikan lafaz “qaala faqaala lahuu” yang artinya perawi berkata [qaala] : maka Beliau [Rasulullah] berkata kepadanya”. Bukankah ini adalah hadis dari Aisyah lantas siapakah yang sedang berkata “maka Beliau [Rasulullah] berkata kepadanya”, tidak lain itu adalah Aisyah. Tetapi mengapa dipakai lafaz [qaala], apakah itu berarti idraaj dari perawi sebelum Aisyah?. Jelas tidak, lafaz [qaala] menunjukkan bahwa perawi melanjutkan perkataan atau cerita Aisyah. Kisah lebih panjang hadis Aisyah di atas dapat dilihat dalam riwayat berikut:

عن عائشة زوج النبي صلى الله عليه وسلم أنها قالت خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم قبل بدر فلما كان بحرة الوبرة أدركه رجل قد كان يذكر منه جرأة ونجدة ففرح أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم حين رأوه فلما أدركه قال لرسول الله صلى الله عليه وسلم جئت لأتبعك وأصيب معك قال له رسول الله صلى الله عليه وسلم تؤمن بالله ورسوله قال لا قال فارجع فلن أستعين بمشرك قالت ثم مضى حتى إذا كنا بالشجرة أدركه الرجل فقال له كما قال أول مرة فقال له النبي صلى الله عليه وسلم كما قال أول مرة قال فارجع فلن أستعين بمشرك قال ثم رجع فأدركه بالبيداء فقال له كما قال أول مرة تؤمن بالله ورسوله قال نعم فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم فانطلق

Dari ‘Aisyah istri Nabi [shallallaahu ‘alaihi wasallam] bahwa ia berkata Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wasallam] keluar menuju Perang Badar. Setelah sampai di Harratul Wabarah Beliau ditemui oleh seorang laki-laki yang terkenal pemberani. Maka para shahabat Rasulullah merasa senang ketika melihat laki-laki itu. Setelah dia menemui Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wasallam] dia berkata kepada beliau “Saya datang untuk mengikutimu dan memenangkan perang bersamamu”. Rasulullah bertanya “Apakah kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya?”. Dia menjawab “Tidak”. Beliau berkata “Kembalilah, karena aku tidak akan meminta bantuan kepada orang musyrik”. Aisyah berkata kemudian laki-laki itu pergi. Setelah sampai di sebuah pohon, Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wasallam] ditemui lagi oleh laki-laki itu. Lalu, dia mengatakan seperti apa yang dikatakan sebelumnya. Maka Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wasallam] bertanya seperti apa yang beliau tanyakan sebelumnya. Beliau berkata “Kembalilah, karena aku tidak akan meminta bantuan kepada orang musyrik”. [qaala] kemudian laki-laki itu pergi. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ditemui lagi oleh laki-laki itu di Baidaa’, lalu Beliau bertanya sebagaimana pertanyaan sebelumnya “Apakah kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya ?”. Laki-laki itu menjawab “Ya”. Maka Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wasallam] berkata kepada laki-laki itu “Pergilah turut berperang” [Shahih Muslim no 1817].

Perhatikan lafaz yang kami cetak biru, hadis di atas bersumber dari satu orang yaitu Aisyah tetapi dalam riwayat Muslim lafaz [qaalat] dan [qaala] digunakan dalam penceritaan Aisyah. Hal ini menunjukkan bahwa kedua lafaz tersebut bermakna sama. Dan perhatikan apa yang ditulis Baihaqiy tentang kisah yang sama dalam Sunan Al Kubra 9/63 no 17877;

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، قَالَتْ : لَمَّا خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِبَلَ بَدْرٍ ، فَلَمَّا كَانَ بِحَرَّةِ الْوَبَرَةِ أَدْرَكَهُ رَجُلٌ قَدْ كَانَ يَذْكُرُ مِنْهُ جُرْأَةً وَنَجْدَةً ، فَفَرِحَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ رَأَوْهُ ، فَلَمَّا أَدْرَكَهُ ، قَالَ : ” يَا رَسُولَ اللَّهِ ، جِئْتُ لأَتِّبِعَكَ وَأُصِيبَ مَعَكَ ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ؟ قَالَ : لا ، قَالَ : فَارْجِعْ , فَلَنْ أَسْتَعِينَ بِمُشْرِكٍ ، قَالَ : ثُمَّ مَضَى ، حَتَّى إِذَا كَانَتِ الشَّجَرَةُ أَدْرَكَهُ الرَّجُلُ ، فَقَالَ لَهُ كَمَا قَالَ أَوَّلَ مَرَّةٍ ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا قَالَ أَوَّلَ مَرَّةٍ ، قَالَ : فَارْجِعْ , فَلَنْ أَسْتَعِينَ بِمُشْرِكٍ ، قَالَ : ثُمَّ رَجَعَ فَأَدْرَكَهُ بِالْبَيْدَاءِ ، فَقَالَ لَهُ كَمَا قَالَ أَوَّلَ مَرَّةٍ : تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ؟ قَالَ : نَعَمْ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : فَانْطَلِقْ “

Baihaqiy menggunakan lafaz [qaala] dalam riwayat di atas padahal dari awal digunakan lafaz [qaalat] atau Aisyah berkata. Kemudian perhatikan lafaz “kemudian laki-laki itu pergi, setelah sampai di sebuah pohon” dalam riwayat Muslim digunakan lafaz [qaalat] tetapi dalam riwayat Baihaqiy digunakan lafaz [qaala]. Disini terdapat faedah bahwa lafaz [qaala] dan [qaalat] bermakna sama. Apakah ini dikatakan idraaj [sisipan] dari perawi?. Tentu mereka yang punya pemahaman akan menjawab tidak, tetapi para nashibi telah dikenal sebagi kaum yang hampir-hampir tidak mengerti pembicaraan.

Hadis Kedua:

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَخْبَرَتْه أَنَّ بَرِيرَةَ جَاءَتْ تَسْتَعِينُهَا فِي كِتَابَتِهَا وَلَمْ تَكُنْ قَضَتْ مِنْ كِتَابَتِهَا شَيْئًا قَالَتْ لَهَا عَائِشَةُ ارْجِعِي إِلَى أَهْلِكِ فَإِنْ أَحَبُّوا أَنْ أَقْضِيَ عَنْكِ كِتَابَتَكِ وَيَكُونَ وَلَاؤُكِ لِي فَعَلْتُ فَذَكَرَتْ ذَلِكَ بَرِيرَةُ لِأَهْلِهَا فَأَبَوْا وَقَالُوا إِنْ شَاءَتْ أَنْ تَحْتَسِبَ عَلَيْكِ فَلْتَفْعَلْ وَيَكُونَ وَلَاؤُكِ لَنَا فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ابْتَاعِي فَأَعْتِقِي فَإِنَّمَا الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ قَالَ ثُمَّ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا بَالُ أُنَاسٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللَّهِ مَنْ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَلَيْسَ لَهُ وَإِنْ شَرَطَ مِائَةَ مَرَّةٍ شَرْطُ اللَّهِ أَحَقُّ وَأَوْثَق.

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Laits dari Ibnu Syihaab dari Urwah bahwa Aisyah mengabarkan kepadanya bahwa Barirah datang meminta tolong kepadaku tentang ketetapan dirinya sedang dia belum menerima ketetapan tersebut. Maka ‘Aisyah [radliallahu 'anha] berkata, kepadanya: “Kembalilah kamu kepada tuanmu. Jika mereka suka aku akan penuhi ketetapanmu dan perwalian kamu ada padaku, maka aku penuhi. Kemudian Barirah menceritakan hal itu kepada tuannya namun mereka menolak dan berkata “Jika dia mau silahkan dia berharap untuk memperolehmu, namun perwalian kamu tetap ada pada kami”. Maka aku menceritakan hal itu kepada Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam]. Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] bersabda “Belilah dan bebaskanlah karena perwalian menjadi milik orang yang membebaskannya”. [qaala] Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri dan bersabda “Mengapa ada diantara kalian membuat persyaratan dengan syarat-syarat yang tidak ada pada Kitabullah. Barangsiapa yang membuat persyaratan yang tidak ada pada Kitab Allah maka tidakberlaku baginya sekalipun dia membuat seratus kali persyaratan. Syarat dari Allah lebih berhak dan lebih kuat [Shahih Bukhari no 2561].

Apakah lafaz [qaala] berarti idraaj [sisipan] dari perawi sebelum Aisyah?. Tentu saja tidak, zahir riwayat menunjukkan bahwa kisah tersebut bersumber dari Aisyah maka lafaz [qaala] bermakna perawi melanjutkan perkataan Aisyah. Buktinya dapat dilihat pada riwayat Shahih Bukhari berikut:

فَقَالَ خُذِيهَا فَأَعْتِقِيهَا وَاشْتَرِطِي لَهُمْ الْوَلَاءَ فَإِنَّمَا الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ قَالَتْ عَائِشَةُ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي النَّاسِ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَمَا بَالُ رِجَالٍ مِنْكُمْ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَأَيُّمَا شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ فَقَضَاءُ اللَّهِ أَحَقُّ وَشَرْطُ اللَّهِ أَوْثَقُ مَا بَالُ رِجَالٍ مِنْكُمْ يَقُولُ أَحَدُهُمْ أَعْتِقْ يَا فُلَانُ وَلِيَ الْوَلَاءُ إِنَّمَا الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ

Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam bersabda] “Ambillah dia lalu bebaskanlah dan ajukanlah persyaratan wala’ kepada mereka karena wala’ menjadi milik orang yang membebaskannya”. ‘Aisyah berkata “Maka kemudian Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] berdiri di hadapan manusia lalu memuji Allah dan mengangungkan-Nya kemudian bersabda ‘amma ba’du mengapakah ada orang diantara kalian membuat persyaratan dengan syarat-syarat yang tidak ada pada Kitabulloh.  Syarat apa saja yang tidak ada pada Kitab Allah maka dia bathil sekalipun dengan seratus persyaratan. Ketetapan Allah dan syarat dari Allah lebih kuat. Dan apa alasannya orang-orang diantara kalian berkata “Bebaskanlah dia wahai fulan namun perwaliannya tetap milikku”. Sesungguhnya perwalian menjadi milik orang yang membebaskannya.[Shahih Bukhari no 2563].

Hadis Ketiga:

حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ إِسْحَاقَ ، ثنا عَبْدَةُ ، عَنْ هِشَامٍ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ عَائِشَةَ ، قَالَتْ : ” تَحَجَّرَ كَلْمُ سَعْدٍ بِالنَّزْفِ ، فَدَعَا سَعْدٌ ، فَقَالَ : اللَّهُمَّ تَعْلَمُ أَنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ أَحَبَّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أُجَاهِدَ مِنْ قَوْمٍ كَذَبُوا رَسُولَكَ وَآذَوْهُ وَأَخْرَجُوهُ ، اللَّهُمَّ فَإِنِّي أَظُنُّ إِنْ قَدْ وَضَعْتَ الْحَرْبَ فِيمَا بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ ، فَإِنْ كُنْتَ أَبْقَيْتَ مِنْ حَرْبِ قُرَيْشٍ شَيْئًا فَابْقِنِي لَهُمْ أُجَاهِدْهُمْ فِيكَ ، وَإِنْ كُنْتَ قَدْ وَضَعْتَ الْحَرْبَ فِيمَا بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ فَافْجُرْ بِهَا وَاجْعَلْ مَنِيَّتِي فِيهَا ، قَالَ : فَانْفَجَرَ مِنْ لَيْلَتِهِ فَمَا زَالَ يَسِيلُ حَتَّى مَاتَ

Telah menceritakan kepada kami Harun bin Ishaaq yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdah dari Hisyaam dari ayahnya dari ‘Aisyah yang berkata “Sa’ad sakit dengan perdarahan, maka Sa’d berdoa “Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa tidak ada yang lebih aku sukai untuk berjihad di jalan-Mu daripada memerangi kaum yang mendustakan Rasul-Mu dan mengusirnya. Ya Allah, aku mengira bahwa Engkau telah menghentikan perang antara kami dan mereka. Seandainya masih ada perang melawan Quraisy, panjangkanlah umurku supaya aku dapat berjihad melawan mereka di jalan-Mu. Sekiranya memang benar Engkau telah menghentikan perang, pancarkanlah lukaku ini dan matikanlah aku karenanya. [qaala] maka lukanya terus mengalirkan darah sampai ia meninggal. [Musnad ‘Aisyah Ibnu Abi Daud no 66].

Apakah lafaz [qaala] dalam riwayat di atas bermakna idraaj [sisipan] dari perawi sebelum Aisyah?. Jawabannya tidak, riwayat tersebut juga disebutkan Bukhari dalam Shahih-nya yaitu:

قَالَ هِشَامٌ فَأَخْبَرَنِي أَبِي عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ سَعْدًا قَالَ اللَّهُمَّ إِنَّكَ تَعْلَمُ أَنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ أَحَبَّ إِلَيَّ أَنْ أُجَاهِدَهُمْ فِيكَ مِنْ قَوْمٍ كَذَّبُوا رَسُولَكَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَخْرَجُوهُ اللَّهُمَّ فَإِنِّي أَظُنُّ أَنَّكَ قَدْ وَضَعْتَ الْحَرْبَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ فَإِنْ كَانَ بَقِيَ مِنْ حَرْبِ قُرَيْشٍ شَيْءٌ فَأَبْقِنِي لَهُ حَتَّى أُجَاهِدَهُمْ فِيكَ وَإِنْ كُنْتَ وَضَعْتَ الْحَرْبَ فَافْجُرْهَا وَاجْعَلْ مَوْتَتِي فِيهَا فَانْفَجَرَتْ مِنْ لَبَّتِهِ فَلَمْ يَرُعْهُمْ وَفِي الْمَسْجِدِ خَيْمَةٌ مِنْ بَنِي غِفَارٍ إِلَّا الدَّمُ يَسِيلُ إِلَيْهِمْ فَقَالُوا يَا أَهْلَ الْخَيْمَةِ مَا هَذَا الَّذِي يَأْتِينَا مِنْ قِبَلِكُمْ فَإِذَا سَعْدٌ يَغْذُو جُرْحُهُ دَمًا فَمَاتَ مِنْهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

Hisyam berkata Ayahku telah mengabarkan kepadaku dari ‘Aisyah bahwa Sa’ad berkata; Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa tidak ada yang lebih aku sukai untuk berjihad di jalan-Mu daripada memerangi kaum yang mendustakan Rasul-Mu shallallahu ‘alaihi wasallam dan telah mengusir beliau. Ya Allah, aku mengira bahwa Engkau telah menghentikan perang antara kami dan mereka. Seandainya masih ada perang melawan Quraisy, panjangkanlah umurku supaya aku dapat berjihad melawan mereka di jalan-Mu. Sekiranya memang benar Engkau telah menghentikan perang, pancarkanlah lukaku ini dan matikanlah aku karenanya. Maka memancarlah darah dari dadanya. Dan tidak ada yang mencengangkan mereka saat dimasjid di dalam tenda bani Ghifar, kecuali darah yang mengalir. Mereka berkata “wahai penghuni tenda, apakah yang datang kepada kami ini dari arah kalian?”. Ternyata luka Sa’ad menyemburkan darah lalu dia meninggal karena lukanya itu. Semoga Allah meridlainya. [Shahih Bukhari no 4122].

Riwayat Bukhari di atas menunjukkan dengan jelas bahwa lafaz [qaala] pada riwayat Ibnu Abi Daud sebenarnya masih termasuk bagian dari cerita Aisyah [radiallahu ‘anha]. [qaala] tersebut bermakna perawi melanjutkan cerita atau perkataan Aisyah [radiallahu ‘anha].

Hadis Keempat:

عَنْ ابْنِ شِهَابٍ حَدَّثَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ رِفَاعَةَ الْقُرَظِيَّ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ فَبَتَّ طَلَاقَهَا فَتَزَوَّجَتْ بَعْدَهُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزَّبِيرِ فَجَاءَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهَا كَانَتْ تَحْتَ رِفَاعَةَ فَطَلَّقَهَا آخِرَ ثَلَاثِ تَطْلِيقَاتٍ فَتَزَوَّجْتُ بَعْدَهُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزَّبِيرِ وَإِنَّهُ وَاللَّهِ مَا مَعَهُ إِلَّا مِثْلُ الْهُدْبَةِ وَأَخَذَتْ بِهُدْبَةٍ مِنْ جِلْبَابِهَا قَالَ فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَاحِكًا فَقَالَ لَعَلَّكِ تُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِي إِلَى رِفَاعَةَ لَا حَتَّى يَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ وَتَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ وَأَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ جَالِسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخَالِدُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ جَالِسٌ بِبَابِ الْحُجْرَةِ لَمْ يُؤْذَنْ لَهُ قَالَ فَطَفِقَ خَالِدٌ يُنَادِي أَبَا بَكْرٍ أَلَا تَزْجُرُ هَذِهِ عَمَّا تَجْهَرُ بِهِ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Dari Ibnu Syihab yang berkata telah menceritakan kepadaku Urwah bin Zubair bahwa ‘Aisyah istri Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] telah mengabarkan kepadanya bahwa Rifa’ah Al Qurazhiy telah menceraikan istrinya, setelah itu istrinya menikah dengan Abdurrahman bin Az Zabiir, kemudian ia datang kepada Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam]. Aku [Aisyah] berkata wahai Rasulullah, sesungguhnya ia pernah menjadi istri Rifa’ah, kemudian ia menceraikannya dengan talak tiga. Setelah itu, ia menikah dengan Abdurrahman bin Az Zabir, dan dia, demi Allah sesuatu yang ada padanya seperti ujung kain yang ini, sambil mengambil ujung jilbabnya. [qaala] maka Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] tersenyum sambil bersabda “sepertinya kamu ingin kembali kepada Rifa’ah, itu tidak mungkin, sampai Abdurrahman merasakan madumu dan kamu merasakan madunya”. Waktu itu, Abu Bakar sedang duduk di samping Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] dan Khalid bin Sa’id bin Al ‘Ash duduk di samping pintu, dia tidak di izinkan masuk. [qaala] Maka Khalid menyeru Abu Bakar, kenapa kamu tidak menghardik wanita itu yang berkata dengan keras di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?  [Shahih Muslim no 1433].

Perhatikan lafaz [qaala] sebelum lafaz “maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tersenyum dan bersabda”. Apakah lafaz itu berarti idraaj [sisipan] perawi padahal hadis itu adalah kisah yang diceritakan Aisyah. Begitu pula lafaz [qaala] sebelum lafaz “maka Khalid menyeru Abu Bakar”, apakah itu idraaj dari perawi bukan lafaz Aisyah?. Tentu saja tidak, lafaz [qaala] dan [qaalat] bermakna sama, perhatikan lafaz Bukhari dalam kisah istri Rifa’ah ini yaitu riwayat Aisyah yang sama hanya saja dengan lafaz;

قَالَ وَأَبُو بَكْرٍ جَالِسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَابْنُ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ جَالِسٌ بِبَابِ الْحُجْرَةِ لِيُؤْذَنَ لَهُ فَطَفِقَ خَالِدٌ يُنَادِي أَبَا بَكْرٍ يَا أَبَا بَكْرٍ أَلَا تَزْجُرُ هَذِهِ عَمَّا تَجْهَرُ بِهِ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

[qaala] dan Abu Bakar duduk di samping Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Ibnu Sa’iid bin ‘Aash duduk di depan pintu kamar supaya diizinkan masuk maka Khalid menyeru Abu Bakar “wahai Abu Bakar mengapa kamu tidak menghardik wanita ini yang berkata keras di sisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] [Shahih Bukhari no 6084].

Bukhari meriwayatkan perkataan Aisyah ini dengan lafaz [qaala] sedangkan Muslim meriwayatkan perkataan Aisyah dengan lafaz [qaalat] silakan perhatikan riwayat berikut:

عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ جَاءَتْ امْرَأَةُ رِفَاعَةَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ كُنْتُ عِنْدَ رِفَاعَةَ فَطَلَّقَنِي فَبَتَّ طَلَاقِي فَتَزَوَّجْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزَّبِيرِ وَإِنَّ مَا مَعَهُ مِثْلُ هُدْبَةِ الثَّوْبِ فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَتُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِي إِلَى رِفَاعَةَ لَا حَتَّى تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ قَالَتْ وَأَبُو بَكْرٍ عِنْدَهُ وَخَالِدٌ بِالْبَابِ يَنْتَظِرُ أَنْ يُؤْذَنَ لَهُ فَنَادَى يَا أَبَا بَكْرٍ أَلَا تَسْمَعُ هَذِهِ مَا تَجْهَرُ بِهِ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Dari Az Zuhri dari ‘Urwah dari ‘Aisyah yang berkata suatu ketika istri Rifa’ah menemui Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] dia berkata “aku adalah istri Rifa’ah, kemudian dia menceraikanku dengan talak tiga, kemudian aku menikah dengan Abdurrahman bin Az Zabiir, tapi sesuatu yang ada padanya seperti ujung kain”. Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] tersenyum mendengarnya, dan berkata “Apakah kamu ingin kembali kepada Rifa’ah? itu tidak mungkin, sebelum kamu merasakan madunya dan dia merasakan madumu”. ‘Aisyah berkata dan Abu Bakar berada di samping Rasulullah, sedangkan Khalid berada di pintu sedang menunggu untuk diizinkan, maka dia berseru “Wahai Abu Bakar, apakah kamu tidak mendengar perempuan ini berkata dengan keras di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?” [Shahih Muslim no 1433].

Contoh-contoh di atas sudah lebih dari cukup sebagai bukti bahwa lafaz [qaala] dan [qaalat] bermakna sama yaitu bagian dari riwayat Aisyah bukan idraaj [sisipan] dari perawi sebelum Aisyah.

Pembahasan Syubhat Nashibi Atas Kemarahan Sayyidah Fathimah.
Selain menyebarkan syubhat pada kedudukan hadis “kemarahan Fathimah”, nashibi juga membuat syubhat untuk mendistorsi makna hadis tersebut. Ia mengatakan kalau kemarahan Fathimah itu bersifat sementara dan manusiawi lantaran kecewa karena penolakan Abu Bakar namun setelah itu Sayyidah Fathimah menerima penjelasan Abu Bakar sebagai bentuk taslim-nya terhadap sabda Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Ada satu hal yang perlu para pembaca perhatikan nashibi itu mengatakan bahwa kemarahan Sayyidah Fathimah itu terjadi lantaran Abu Bakar menolak permintaan Sayyidah Fathimah. Bukankah nampak jelas dalam hadis shahih bahwa alasan penolakan Abu Bakar karena berdasarkan hadis Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] “Kami tidak mewariskan”. Apakah masuk akal Sayyidah Fathimah marah kepada Abu Bakar jika Beliau memang mengakui kebenaran hadis tersebut?. Bukankah Ahlul Bait [Sayyidah Fathimah] adalah orang yang selalu bersama Al Qur’an dan bukankah Al Qur’an mengatakan:

فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجاً مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيماً

Maka demi Tuhanmu, mereka [pada hakikatnya] tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya [QS An Nisa : 65].

Jika merasa berat hati kepada keputusan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] saja tidak diperbolehkan maka apalagi menyikapinya dengan marah. Penjelasan yang paling mungkin adalah Sayyidah Fathimah tidak mengakui kebenaran hadis yang disampaikan Abu Bakar. Nashibi itu berhujjah dengan riwayat berikut

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ، وَسَمِعْتُهُ مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ، عَنِ الْوَلِيدِ بْنِ جُمَيْعٍ، عَنْ أَبِي الطُّفَيْلِ، قَالَ: لَمَّا قُبِضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَتْ فَاطِمَةُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ: أَنْتَ وَرِثْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمْ أَهْلُهُ؟ قَالَ: فَقَالَ: لَا، بَلْ أَهْلُهُ، قَالَتْ: فَأَيْنَ سَهْمُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ” إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا أَطْعَمَ نَبِيًّا طُعْمَةً، ثُمَّ قَبَضَهُ جَعَلَهُ لِلَّذِي يَقُومُ مِنْ بَعْدِهِ “، فَرَأَيْتُ أَنْ أَرُدَّهُ عَلَى الْمُسْلِمِينَ، قَالَتْ: فَأَنْتَ، وَمَا سَمِعْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْلَمُ

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah. Abdullah berkata dan aku mendengarnya [juga] dari ‘Abdullah bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail dari Walid bin Jumai’ dari Abu Thufail yang berkata “ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat, Fathimah mengirim utusan kepada Abu Bakar yang pesannya “engkau yang mewarisi Rasulullah atau keluarganya?”. Abu Bakar menjawab “bukan aku tapi keluarganya”. Sayyidah Fathimah berkata “dimana bagian Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]?”. Abu Bakar berkata “aku mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla jika memberi makan seorang Nabi kemudian ia wafat maka dijadikan itu untuk orang yang bertugas setelahnya, maka aku berpendapat untuk menyerahkannya kepada kaum muslimin”. Sayyidah Fathimah berkata “engkau dan apa yang engkau dengar dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah lebih tahu” [Musnad Ahmad 1/4 no 14, Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya hasan perawinya perawi tsiqat perawi Bukhari dan Muslim kecuali Walid bin Jumai’ ia termasuk perawi Muslim].

Nashibi berhujjah dengan riwayat ini tetapi anehnya ia tidak bisa memahami karena memang akalnya tidak punya kemampuan dalam memahami riwayat atau dalam kasus ini adalah tidak paham bahasa manusia. Kalau teman anda mengatakan kepada anda “siapakah yang berhak mewarisi ayahku, engkau atau keluarga ayahku?”. Anda menjawab “tentu saja keluarga ayahmu”. Orang dari sudut bumi manapun jika berpikiran waras akan paham bahwa anda mengakui kalau keluarga teman andalah yang mewarisi ayahnya.
Namun karena pengaruh kebencian dan hawa nafsu ada sekelompok manusia bermental nashibi yang mengalami kekacauan pemahaman terutama dalam hal bahasa yang sederhana. Nashibi itu berkata:
Jawaban pertama yang dikatakan Abu Bakr itu terkait hukum umum bahwa jika ada seorang meninggal, maka hartanya diwarisi oleh anak dan keluarganya. Itulah yang nampak pada dialog dalam riwayat Abu Hurairah.
Kelucuan pertama, nashibi ini suka meloncat-loncat dalam memahami suatu riwayat. Bukankah yang sedang ia bahas adalah riwayat Abu Thufail di atas lantas kenapa buru-buru ia meloncat ke riwayat Abu Hurairah. Kita katakan padanya perhatikan terlebih dahulu hadis Abu Thufail yang anda kutip. Sayyidah Fathimah bertanya pada Abu Bakar,

: أَنْتَ وَرِثْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمْ أَهْلُهُ؟

“Engkau yang mewarisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] ataukah keluarganya?”.

Mari perhatikan para pembaca, Apakah Sayyidah Fathimah sedang membicarakan hukum warisan secara umum?. Ooh tidak, Sayyidah Fathimah langsung ke pokok masalahnya yaitu siapa yang mewarisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Lantas apa jawaban Abu Bakar,

لَا، بَلْ أَهْلُهُ

“tidak, bahkan yang mewarisinya adalah keluarganya”.

Apakah jawaban Abu Bakar ini tentang hukum waris secara umum?. Ooh tidak, Abu Bakar dengan sharih [tegas] menyatakan bahwa yang mewarisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah keluarganya.
Sekarang kalau kita bicara masalah hukum waris secara umum bahwa yang mewarisi seseorang adalah keluarganya maka kita tanya pada para pembaca berdasarkan dialog Abu Bakar dan Sayyidah Fathimah di atas, apakah hukum waris secara umum dimana seseorang diwarisi keluarganya berlaku pada diri Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]?. Kita sederhanakan lagi bahasanya, jika hukum waris umum berlaku pada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka keluarga Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang akan mewarisi Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Tentu saja berdasarkan jawaban Abu Bakar “bahkan yang mewarisinya adalah keluarganya” maka itu berarti hukum waris secara umum juga berlaku atas diri Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Adapun jawaban kedua diberikan setelah Abu Bakr benar-benar paham akan maksud Faathimah radliyallaahu ‘anhaa yang akan meminta bagian harta warisan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari harta fai’ di Fadak dan Khaibar
Sebenarnya secara tidak langsung nashibi itu sedang merendahkan IQ Abu Bakar yang tidak bisa menangkap maksud pertanyaan Sayyidah Fathimah. Apakah sebelumnya Abu Bakar tidak paham maksud pertanyaan “engkaukah yang mewarisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] atau keluarganya?”.

Kira-kira lafaz mana sih yang tidak dipahami Abu Bakar. Apakah kata “engkaukah”. Ya sebodoh-bodohnya orang akan paham maksud kata “engkau”. Apakah pada kata “Rasulullah”?. Kalau Abu Bakar tidak paham dengan kata ini mungkin lebih baik ia tidak perlu menyandang gelar sahabat Nabi. Apakah pada kata “keluarganya”?. Kita yakin Abu Bakar itu punya keluarga maka sudah pasti ia paham apa makna keluarga.

Mungkin yang belum dipahami Abu Bakar itu adalah lafaz “mewarisi”, lha kalau memang belum paham ya mbok ditanya lebih jelas bukannya langsung menjawab. Lagipula serumit apakah kata “mewarisi”. Mungkin akan ada yang bersilat lidah bahwa mewarisi itu tidak selalu dinisbatkan pada harta tetapi juga pada ilmu dan hikmah. Tetap saja jawaban Abu Bakar “tidak, bahkan keluarganya yang mewarisinya” merujuk pada mewarisi harta dimana orang yang meninggal hartanya akan diwarisi keluarganya dalam hal ini jika Rasulullah meninggal yang mewarisinya adalah keluarganya.

Jadi dari awal Abu Bakar sudah paham makna pertanyaan Sayyidah Fathimah sehingga ia bisa langsung menjawabnya. Sekarang perhatikan pertanyaan Sayyidah Fathimah selanjutnya,

: فَأَيْنَ سَهْمُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Dimanakah bagian harta Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]”

Pertanyaan Sayyidah Fathimah ini menunjukkan bahwa dalam dialog tersebut Sayyidah Fathimah memahami jawaban Abu Bakar sebelumnya sebagai pengakuan Abu Bakar kalau keluarga Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang mewarisi harta Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Sehingga Beliau langsung bertanya perihal harta Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam].

Apa jawaban Abu Bakar? Inilah dia:

: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ” إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا أَطْعَمَ نَبِيًّا طُعْمَةً، ثُمَّ قَبَضَهُ جَعَلَهُ لِلَّذِي يَقُومُ مِنْ بَعْدِهِ

Aku mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla jika memberi makan seorang Nabi suatu makanan kemudian ia wafat maka dijadikan itu untuk orang yang bertugas setelahnya.

Kita tanya pada para pembaca, apakah ada bagian dari hadis ini yang menyatakan bahwa Nabi tidak mewariskan atau apa yang Beliau tinggalkan adalah sedekah?. Tidak ada, jadi hadis di atas tidaklah menafikan hak ahli waris Nabi. Intinya jika Allah memberikan bagian makanan kepada Nabi maka jika Nabi wafat yang berhak atas makanan itu adalah orang yang bertugas setelahnya tetapi hal ini tidak lantas menelantarkan ahli waris Beliau sehingga ahli waris-Nya tidak akan mendapat apa-apa. Hukum Allah sangat jelas dalam Al Qur’an dan itulah yang dipahami oleh Sayyidah Fathimah bahwa ahli waris juga berhak atas harta Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Abu Bakar sendiri yang membawakan hadis di atas mengakui hak ahli waris Nabi.

Sayyidah Fathimah tidaklah menolak hadis Abu Bakar yang ini bahwa “ada hak atau bagian orang yang bertugas setelah Nabi dalam harta milik Nabi”. Dalam pandangan Sayyidah Fathimah ahli waris berhak atas harta Nabi dan berdasarkan hadis Abu Bakar ternyata orang yang bertugas setelah Nabi juga punya hak atas harta milik Nabi. Inilah yang dipahami dalam hadis Abu Thufail.

Hadis Abu Thufail ini berbeda dengan hadis Aisyah dan Abu Hurairah dimana Sayyidah Fathimah meminta warisan Nabi dan Abu Bakar berkata bahwa para Nabi tidak mewariskan, semua yang ditinggalkan adalah sedekah. Kedua hadis yang disampaikan Abu Bakar adalah dua hadis yang berbeda maknanya
Hadis “Nabi tidak mewariskan” menafikan hak ahli waris Nabi maka itu berarti keluarga Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mewarisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Hal ini bertentangan dengan pengakuan Abu Bakar sebelumnya dalam hadis Abu Thufail.

Hadis “Nabi tidak mewariskan dan semua yang ditinggalkan adalah sedekah” menunjukkan bahwa harta Nabi adalah untuk kaum muslimin dan ini marfu’ dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Tetapi pada hadis Abu Bakar riwayat Abu Thufail, yang berhak atas bagian Nabi itu adalah orang yang bertugas setelahnya. Dan Abu Bakar berkata:

“، فَرَأَيْتُ أَنْ أَرُدَّهُ عَلَى الْمُسْلِمِينَ،

Maka aku berpendapat atau berpandangan untuk mengembalikannya kepada kaum muslimin.

Nampak bahwa “harta tersebut untuk kaum Muslimin” adalah pendapat atau pandangan Abu Bakar padahal dalam hadis riwayat Aisyah Abu Bakar dengan jelas memarfu’kan itu kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Kedua hadis yang berbeda menunjukkan bahwa peristiwa yang diriwayatkan Abu Thufail berbeda dengan peristiwa yang diriwayatkan Aisyah. Kisah Abu Thufail terjadi sebelum Kisah Aisyah dengan alasan
  1. Pada riwayat Abu Thufail, Abu Bakar mengakui bahwa keluarga Rasulullah yang mewarisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sangat tidak mungkin kalau hal ini diucapkan setelah Abu Bakar menyatakan Nabi tidak mewariskan.
  2. Jika Sayyidah Fathimah telah mendengar hadis Abu Bakar [dalam riwayat Aisyah] maka sangat tidak mungkin Sayyidah Fathimah bertanya kembali pada Abu Bakar “engkau yang mewarisi Rasulullah atau keluarganya?”.
  3. Dalam kisah Aisyah dinyatakan bahwa Sayyidah Fathimah marah dan tidak berbicara kepada Abu Bakar sampai Beliau wafat maka tidak mungkin kisah Aisyah terjadi sebelum kisah Abu Thufail.
Ketiga poin di atas menunjukkan bahwa Kisah Abu Thufail dimana Abu Bakar mengakui bahwa keluarga Rasulullah yang mewarisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] terjadi sebelum kisah Aisyah dimana Abu Bakar menyatakan hadis Nabi tidak mewariskan.

Kisah Abu Thufail dan Kisah Aisyah diriwayatkan dengan sanad yang shahih maka yang diperlukan adalah menggabungkan keduanya. Tentu saja penggabungan keduanya tidak dengan seenak perut seperti yang dinyatakan oleh nashibi. Penggabungan tersebut harus dengan dasar yang jelas dan sesuai dengan kedua hadis tersebut.

Penggabungan kedua kisah tersebut menunjukkan bahwa pada awalnya Sayyidah Fathimah datang kepada Abu Bakar atau mengirim utusan [sebagaimana yang nampak dalam riwayat] dan pada saat itu Abu Bakar mengakui bahwa yang mewarisi Nabi adalah keluarganya hanya saja Abu Bakar menyampaikan hadis bahwa orang yang bertugas setelah Nabi berhak atas bagian [makanan] yang diberikan Allah untuk Nabi. Dan Abu Bakar sendiri berpendapat untuk mengembalikannya kepada kaum muslimin. Sayyidah Fathimah menerima hal ini tetapi bukan berarti ahli waris Nabi tidak memiliki hak sedikitpun atas harta Nabi maka kali kedua ia meminta kembali warisan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yaitu riwayat Aisyah.
Pada kali kedua, Abu Bakar menolak permintaan Sayyidah Fathimah dengan membawakan hadis “Nabi tidak mewariskan”. Berbeda dengan sebelumnya dimana Sayyidah Fathimah membenarkan hadis Abu Bakar kali ini Sayyidah Fathimah marah dan tidak mau berbicara dengan Abu Bakar sampai Beliau wafat.

Hal ini disebabkan Sayyidah Fathimah tidak mengakui hadis Nabi tidak mewariskan. Alasannya memang tidak nampak jelas tetapi bisa diperkirakan:
  1. Mungkin karena sebelumnya Abu Bakar telah mengakui bahwa keluarga Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang mewarisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] lantas sekarang Abu Bakar malah menentang perkataannya sendiri.
  2. Mungkin karena Sayyidah Fathimah beranggapan hadis tersebut bertentangan dengan hukum waris yang jelas dalam Al Qur’anul Karim dan Beliau sebagai ahlul bait adalah orang yang selalu bersama Al Qur’an dan orang yang seharusnya paling mengetahui jika memang ada hadis seperti itu.
Apapun alasannya yang jelas Sayyidah Fathimah menampakkan kemarahan setelah mendengar penjelasan Abu Bakar soal hadis Nabi tidak mewariskan. Mungkin nashibi itu akan berkata kami mendustakan hadis shahih.

Kami jawab : dalam hal ini kami berpegang pada Al Qur’anul Karim dan hadis shahih bahwa ahlul bait adalah pedoman bagi umat termasuk pedoman bagi Abu Bakar. Ditambah lagi dengan hadis kemarahan Fathimah yang adalah kemarahan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Intinya kemarahan Fathimah juga termasuk hujjah seperti halnya kemarahan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Penafsiran kami dalam hal ini adalah Abu Bakar keliru dalam pendengarannya atau pemahamannya terhadap hadis tersebut tentu kami tidak akan menyatakan bahwa Abu Bakar berdusta atas Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Kami menghormati Abu Bakar dan kejujurannya tetapi walaupun begitu Beliau tetap manusia yang bisa salah. Nashibi itu berkata:
Mengapa ketika ia mengkritik Abu Bakr ia tidak mengkritik Faathimah ? (o iya lupa, haram hukumnya mengkritik Faathimah, karena ia harus benar apapun keadaannya, dan lawannya harus salah apapun keadaannya). Kritikannya terhadap Abu Bakr secara tidak langsung merendahkan IQ Faathimah yang tidak bisa menangkap unsur manipulasi hadits yang dilakukan Abu Bakr, yang kemudian baru ditangkap oleh orang Raafidlah itu ratusan tahun setelah wafatnya. Sungguh menjijikkan ! Bodoh sekali Faathimah itu menurut logika orang Raafidlah itu.
Bagian mana dari kritikan kepada Abu Bakar yang ia maksud merendahkan IQ Sayyidah Fathimah?. Inilah akibatnya jika kebodohan bercampur dengan kebencian plus hawa nafsu. Jika diri sendiri yang bodoh tolong jangan menisbatkan pada orang lain apa lagi mengandaikannya pada semulia-mulia wanita Sayyidah Fathimah.

Silakan pembaca perhatikan pembahasan kami terhadap riwayat Abu Thufail dan riwayat Aisyah adakah kami menunjukkan atau mengisyaratkan kebodohan Abu Bakar atau Sayyidah Fathimah?. Tidak ada, justru perkataan nashibi itu yang menunjukkan kejahilannya.

Bagaimana mungkin lafaz khusus keluarga Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mewarisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] ditafsirkan Abu Bakar sedang membicarakan kaidah umum waris bukan untuk Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Nashibi itu sedang menunjukkan bahwa Abu Bakar jahil atau bodoh dalam bahasa manusia pada umumnya. Jika memang yang dibicarakan kaidah umum maka Abu Bakar akan berkata “seseorang memang diwarisi oleh keluarganya tetapi tidak untuk Rasulullah karena Beliau tidaklah diwarisi apa yang ia tinggalkan adalah sedekah”. Tetapi faktanya dengan jelas Abu Bakar menjawab “tidak bahkan keluarganya yang mewarisinya”.

Nashibi itu membawakan distorsi makna yang lain yaitu dengan mengatakan bahwa sikap meng-hajr atau berhenti berbicara kepada Abu Bakar bukan berarti berhenti total tetapi tidak berbicara dalam masalah itu hingga wafat. Nashibi itu membawakan sebagian lafaz yang ia pikir dapat mendukung hujjahnya:

فَقَالَ لَهُمَا أَبُو بَكْرٍ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَقُولُ : لا نُورَثُ ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ ، إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ هَذَا الْمَالِ ، وَإِنِّي وَاللَّهِ لا أَدَعُ أَمْرًا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُهُ ، إِلا صَنَعْتُهُ ، قَالَ : فَهَجَرَتْهُ فَاطِمَةُ ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى مَاتَتْ ، فَدَفَنَهَا عَلِيٌّ لَيْلا ، وَلَمْ يُؤْذِنْ بِهَا أَبَا بَكْرٍ

Maka Abu Bakar berkata kepada keduanya “Aku mendengar Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] bersabda ‘Kami tidak diwarisi dan semua yang kami tinggalkan adalah shadaqah’. Dan hanyalah keluarga Muhammad [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] makan dari harta ini. Dan sesungguhnya demi Allah aku tidak akan meninggalkan perkara yang aku lihat melakukannya, kecuali aku akan melakukannya juga”. [qaala] “maka dalam hal itu Faathimah meng-­hajr Abu Bakr dan tidak berbicara dengannya hingga wafat, Ali menguburkannya di waktu malam dan tidak memberitahukan kepada Abu bakar [Mushannaf 'Abdurrazaq no 9774].

Lafaz yang dijadikan hujjah nashibi itu adalah “Falam tukallimhu fii dzalika hatta maatat”. Nashibi mengartikannya sebagai tidak berbicara tentang masalah warisan sampai wafat. “Fii dzalika” diartikan nashibi sebagai “masalah warisan”. Ini termasuk distorsi dalam mengartikan lafaz riwayat.

Lafaz “fii dzalika” dalam kalimat bukan lafaz yang berdiri sendiri melainkan kata ganti yang menerangkan sesuatu hal yang telah disebutkan atau dijelaskan pada kalimat sebelumnya. Terkait dengan hadis riwayat ‘Abdurrazaaq di atas, lafaz “fii dzalik” menerangkan tentang reaksi Abu Bakar atas permintaan Sayyidah Fathimah, reaksi itu berupa penolakan Abu Bakar atas permintaan Fathimah dengan membawakan hadis Nabi tidak mewariskan. Jadi makna yang benar lafaz tersebut adalah “maka dalam hal itu [yaitu penolakan Abu Bakar] Fathimah meng-hajr-nya dan tidak berbicara dengannya sampai wafat”. Makna ini serupa dengan lafaz “fii dzalika” pada riwayat Uqail dari Az Zuhriy,

فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ، إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْمَالِ، وَإِنِّي وَاللَّهِ لَا أُغَيِّرُ شَيْئًا مِنْ صَدَقَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ عَنْ حَالِهَا الَّتِي كَانَ عَلَيْهَا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَلَأَعْمَلَنَّ فِيهَا بِمَا عَمِلَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى فَاطِمَةَ مِنْهَا شَيْئًا، فَوَجَدَتْ فَاطِمَةُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ فَهَجَرَتْهُ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ، وَعَاشَتْ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُر

Maka Abu Bakar berkata  “Sesungguhnya Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] pernah bersabda ‘Kami tidak diwarisi dan semua yang kami tinggalkan adalah shadaqah’. Hanyalah keluarga Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam makan dari harta ini. sesungguhnya aku demi Allah tidak akan mengubah sedikitpun shadaqah Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] dari keadaan yang ada di zaman Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam]. Dan sungguh aku akan memperlakukan shadaqah tersebut sesuai dengan apa yang dilakukan Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] padanya”. Abu Bakar pun menolak memberikan harta peninggalan tersebut sedikitpun kepada Faathimah. Maka dalam hal itu Faathimah pun marah kepada Abu Bakr dan meng-hajr-nya. Ia tidak berbicara kepada Abu Bakr hingga wafat. Dan ia hidup selama enam bulan setelah wafatnya Nabi [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] [Shahih Bukhari no 4240].

Dalam riwayat Uqail di atas terdapat lafaz “Fawajadat Fathimah ‘ala Abu Bakar fii dzalika” yang artinya “maka dalam hal itu Fathimah marah kepada Abu Bakar”. Apakah hal itu atau fii dzalika yang dimaksud? Itu diterangkan dalam kalimat sebelumnya yaitu Abu Bakar menolak memberikan peninggalan Nabi dengan alasan hadis Nabi tidak mewariskan. Jadi “fii dzalika” adalah kata ganti yang menerangkan penolakan Abu Bakar, maka dalam hal penolakan Abu Bakar ini, Fathimah menjadi marah kepadanya, meng-hajr-nya dan tidak berbicara hingga wafat. Itulah makna sebenarnya lafaz “fii dzalik” dalam riwayat Az Zuhriy.

Hal ini menjelaskan mengapa dalam semua riwayat lain dari Az Zuhriy selain sebagian riwayat ‘Abdurrazaq dari Ma’mar dari Aliy tidak menyebutkan lafaz “fii dzalika” karena pada dasarnya lafaz tersebut hanya sebagai kata ganti yang menegaskan penolakan Abu Bakar atas permintaan Sayyidah Fathimah.

Riwayat Shalih bin Kaisaan dari Az Zuhriy,

، فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ ، عَلَيْهَا السَّلَام ، فَهَجَرَتْ أَبَا بَكْرٍ ، فَلَمْ تَزَلْ مُهَاجِرَتَهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ

Maka Fathimah [alaihis salaam] menjadi marah dan meng-hajr Abu Bakar dan ia terus meng-hajr Abu Bakar sampai ia wafat.

Riwayat Syu’aib bin Abi Hamzah dari Az Zuhriy,

فَوَجَدَتْ فَاطِمَةَ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ، فَهَجَرَتْهُ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى مَاتَتْ

Maka dalam hal itu Fathimah marah terhadap Abu Bakar meng-hajr-nya serta tidak berbicara dengannya sampai wafat.

Riwayat Uqail bin Khaalid dari Az Zuhriy,

فَوَجَدَتْ فَاطِمَةُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ فَهَجَرَتْهُ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ

Maka dalam hal itu Sayyidah Fathimah marah kepada Abu Bakar  meng-hajr-nya serta tidak berbicara dengannya sampai wafat.

Riwayat Hisyam dari Ma’mar dari Az Zuhriy,

فَهَجَرَتْهُ فَاطِمَةُ فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى مَاتَتْ

Maka Fathimah meng-hajrnya dan tidak berbicara dengannya sampai wafat.

Riwayat Abdurrazaaq dari Ma’mar dari Az Zuhriy,

فَهَجَرَتْهُ فَاطِمَةُ فَلَمْ تُكَلِّمُهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى مَاتَت

Maka dalam hal itu Fathimah meng-hajr Abu Bakar tidak berbicara dengannya hingga wafat.

فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا وَهَجَرَتْهُ ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى مَاتَتْ

Maka Fathimah [radiallahu ‘anha] marah dan meng-hajrnya serta tidak berbicara dengannya sampai wafat.

Qarinah [petunjuk] lain yang menguatkan lafaz “tidak berbicara dengannya sampai wafat” adalah Sayyidah Fathimah dikuburkan Ali di waktu malam dan tidak memberitahu Abu Bakar hingga ia dikuburkan. Kalau seandainya hubungan Abu Bakar dengan Fathimah baik-baik saja bahkan dikatakan oleh nashibi terjalin persaudaraan erat maka apa yang mencegah Ali memberitahu Abu Bakar tentang wafatnya Sayyidah Fathimah. Qarinah ini menguatkan lafaz “terus meng-hajr-nya hingga wafat”. Secara umum dalam hidup bermasyarakat saja kalau ada anggota keluarga yang wafat, kita pasti menghubungi keluarga, tetangga, sahabat, saudara dan teman-teman kecuali kalau misalnya ada orang yang menzhalimi keluarga kita maka mungkin kita tidak perlu repot-repot memberitahunya.

Sayyidah Fathimah tidak menyendiri dalam penolakannya, diriwayatkan dalam kitab Shahih [riwayat Aisyah] bahwa Imam Ali ketika ia berbaiat kepada Abu Bakar setelah Fathimah wafat [enam bulan], Beliau mengakui bahwa ahlul bait berhak akan harta tersebut karena kekerabatan mereka dengan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].

فَدَخَلَ عَلَيْهِمْ أَبُو بَكْرٍ فَتَشَهَّدَ عَلِيٌّ فَقَالَ إِنَّا قَدْ عَرَفْنَا فَضْلَكَ وَمَا أَعْطَاكَ اللَّهُ وَلَمْ نَنْفَسْ عَلَيْكَ خَيْرًا سَاقَهُ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَكِنَّكَ اسْتَبْدَدْتَ عَلَيْنَا بِالْأَمْرِ وَكُنَّا نَرَى لِقَرَابَتِنَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَصِيبًا

Maka Abu Bakar masuk, Ali mengucapkan syahadat dan berkata “kami mengetahui keutamaanmu dan apa yang telah Allah karuniakan kepadamu, kami tidak dengki terhadap kebaikan yang diberikan Allah kepadamu tetapi kamu telah bertindak sewenang-wenang terhadap kami, kami berpandangan bahwa kami berhak memperoleh bagian karena kekerabatan kami dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] [Shahih Bukhari no 4240 & 4241].

Artinya selepas enam bulan dan setelah mendengar hadis Abu Bakar, Imam Ali masih berpendapat kalau ahlul bait lebih berhak. Kemudian dalam riwayat Malik bin Aus, Imam Ali juga datang kembali ketika Umar menjabat khalifah dan kembali meminta warisan Nabi kepada Umar.

Umar berkata:

ثم جئتماني جاءني هذا يعني – العباس – يسألني ميراثه من بن أخيه وجاءني هذا – يعني عليا – يسألني ميراث امرأته من أبيها فقلت لكما أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال لانورث ما تركنا صدقة

Kemudian kalian berdua mendatangiku, datang kepadaku dia yakni Abbas meminta kepadaku warisannya dari putra saudaranya dan dia ini datang kepadaku yakni Ali meminta warisan istrinya dari ayahnya. Maka aku berkata kepada kalian berdua bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “kami tidak mewariskan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah” [Mushannaf Abdurrazaq 5/469-470 no 9772 dengan sanad yang shahih].

Hal ini membuktikan bahwa Imam Ali dan Abbas setelah mendengar hadis Abu Bakar mereka tetap meminta warisan Nabi kepada Umar ketika Umar menjabat khalifah, tidak lain ini menunjukkan bahwa Imam Ali dan Abbas tidak mengakui kebenaran hadis Abu Bakar.

Ada petunjuk lain bahwa hadis Abu Bakar keliru yaitu pada lafaz “apa yang kami tinggalkan adalah sedekah”. Diriwayatkan dalam kabar shahih bahwa pakaian-pakaian milik Nabi masih disimpan oleh istri Beliau dan tidak disedekahkan kepada kaum muslimin.

حدثنا شيبان بن فروخ حدثنا سليمان بن المغيرة حدثنا حميد عن أبي بردة قال دخلت على عائشة فأخرجت إلينا إزارا غليظا مما يصنع باليمن وكساء من التي يسمونها الملبدة قال فأقسمت بالله إن رسول الله صلى الله عليه و سلم قبض في هذين الثوبين

Telah menceritakan kepada kami Syaiban bin Farrukh yang berkata telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Mughiirah yang berkata telah menceritakan kepada kami Humaid dari Abi Burdah yang berkata “aku masuk menemui Aisyah dan ia mengeluarkan kepada kami kain kasar buatan Yaman dan baju yang terbuat dari bahan kasar [Abu Burdah] berkata kemudian ia [Aisyah] bersumpah dengan nama Allah bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat dengan memakai kedua pakaian ini [Shahih Muslim 3/1649 no 2080].

Nashibi berpanjang-panjang berhujjah membuat pembelaan atau bantahan tetapi pembelaannya gak nyambung. Intinya ia mau mengatakan kalau pakaian adalah nafkah bagi istri maka itu dikecualikan. Tentu saja ini konyol bin naif, jika anda ingin menafkahi istri anda maka anda akan memberikan kepadanya pakaian khusus buat istri anda bukan pakaian yang sering anda pakai. Intinya bagaimana mungkin pakaian Nabi menjadi nafkah buat istri Nabi. Apa anda memberikan nafkah pakaian istri anda dengan memberikan pakaian yang anda pakai kepada istri anda?. Tolong kalau mau membantah yang cerdas sedikit lah, jangan berpanjang-panjang supaya kelihatan keren padahal gak nyambung.

Dalam masalah Fadak ini kami tidak mempermasalahkan bagaimana Abu Bakar dan Umar memperlakukan harta tersebut. Nampak dalam riwayat shahih bahwa mereka memperlakukan harta tersebut sebagaimana Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] memperlakukannya. Tetapi yang jadi permasalahan disini adalah bagaimana pandangan Ahlul Bait yaitu Sayyidah Fathimah terhadap harta tersebut?.

Sekelompok nashibi yang binasa mengatakan bahwa dengan riwayat kemarahan Fathimah kepada Abu Bakar menunjukkan bahwa Sayyidah Fathimah tamak akan harta warisan. Ini ucapan batil dari orang yang berhati busuk, kami sedikitpun tidak ragu jika harta itu ada di tangan Sayyidah Fathimah atau Imam Aliy maka mereka akan memperlakukannya seperti yang Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] lakukan. Apa nashibi pikir cuma Abu Bakar dan Umar yang mampu mengurus harta itu seperti halnya Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam]?.

Inti permasalahan antara Sayyidah Fathimah dan Abu Bakar tidak terletak pada besar kecilnya harta peninggalan Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] tetapi pada pandangan masing-masing mereka terhadap status harta tersebut. Bagi yang ingin membela Abu Bakar, kami persilakan dan bagi yang ingin membela Sayyidah Fathimah juga kami persilakan. Hal yang menjijikkan adalah ulah nashibi yang berusaha menafikan adanya perselisihan ini dengan berbagai syubhat murahan.

Bagi kami pribadi kebenaran ada pada Sayyidah Fathimah dan pandangan kami ini tegak atas dasar hujjah Al Qur’an dan Al Hadis tidak seperti tuduhan nashibi bahwa kami mendustakan hadis shahih. Jika kami dikatakan mendustakan hadis shahih maka sungguh mereka lebih layak untuk dikatakan mendustakan Al Qur’an dan Hadis. Jika mereka bisa membuat pembelaan maka mengapa kami tidak bisa membuat pembelaan.  Dan tidak ada urusannya pandangan kami ini dengan apa yang diyakini Syiah. Kami menegakkan pandangan kami bukan dengan kitab-kitab Syiah dan tidak pernah pula kami menyatakan bahwa kami ini penganut Syiah yang mewakili mazhab Syiah.

Tentu saja sebagai suatu pandangan maka ia bisa benar ataupun salah. kami tidak keberatan jika ada yang bersedia menunjukkan kesalahan pandangan kami, akan kami pelajari setiap masukan yang tertuju kepada kami dan jika memang salah maka kami akan mengakuinya. Begitu pula jika kami terbukti benar maka kami akan mempertahankan kebenaran tersebut meskipun para nashibi penuduh dan pencela itu tidak suka.
Bagi nashibi mungkin masalah ini terkait dengan khayalan mereka yang jika khayalan tersebut diungkapkan dalam bahasa nashibi akan menjadi kalimat “cuma agama nashibi yang mereka anut yang benar sedangkan agama syiah yang mereka cela adalah sesat dan menyesatkan”.

Begitu terikatnya mereka dengan waham ini sampai-sampai setiap ada pandangan yang menyelisihi mereka dan sependapat dengan Syiah akan mereka tuduh Syiah yang menyesatkan walaupun pandangan tersebut sebenarnya diungkapkan bukan oleh penganut Syiah. Yah di mata para nashibi, perkara ini bukan lagi soal mencari kebenaran tetapi sudah menjadi bagian dari pembenaran atas tuduhan mereka terhadap mazhab Syiah yang selalu mereka cela.

Kami tutup pembahasan kali ini dengan membawakan riwayat dimana keturunan Aliy bin Abi Thalib yaitu Hasan bin Muhammad bin Aliy bin Abi Thalib mengakui perselisihan yang terjadi antara Sayyidah Fathimah sampai beliau wafat dengan Abu Bakar.

عبد الرزاق عن بن جريج وعمرو بن دينار أن حسن بن محمد أخبره أن فاطمة بنت النبي صلى الله عليه و سلم دفنت بالليل قال فر بها علي من ابي بكر أن يصلي عليها كان بينهما شيء عبد الرزاق عن بن عيينة عن عمرو بن دينار عن حسن بن محمد مثله الا أنه قال اوصته بذلك

‘Abdurrazaaq dari Ibnu Juraij dan ‘Amru bin Diinar bahwa Hasan bin Muhammad mengabarkan kepadanya bahwa Fathimah binti Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dikuburkan Aliy pada malam hari untuk menghindari Abu Bakar menshalatkannya karena diantara mereka berdua ada sesuatu. ‘Abdurrazaaq dari Ibnu Uyainah dari ‘Amru bin Diinar dari Hasan bin Muhammad meriwayatkan seperti itu kecuali bahwa ia berkata “[Fathimah] telah mewasiatkan kepadanya tentang hal itu”  [Al Mushannaf ‘Abdurrazaaq 3/521 no 6554-6555].

Riwayat di atas sanadnya shahih hingga Hasan bin Muhammad. Diriwayatkan ‘Abdurrazaaq dengan sanad yaitu dari Ibnu Juraij dan Ibnu Uyainah dari ‘Amru bin Diinar dari Hasan bin Muhammad. Dalam kitab Al Mushannaf tertulis “Ibnu Juraij dan ‘Amru Diinar” ini kemungkinan besar tashif [salah tulis] yang benar adalah “Ibnu Juraij dari ‘Amru bin Diinar” hal ini dikuatkan pada lafaz “bahwa Hasan bin Muhammad mengabarkan kepadanya”. Frase “nya” disana merujuk pada satu orang maka dia adalah ‘Amru bin Diinar apalagi dikenal bahwa Ibnu Juraij termasuk salah satu murid ‘Amru bin Diinar.

Ibnu Juraij adalah ‘Abdul Malik bin ‘Abdul Aziz bin Juraij Al Makkiy seorang tsiqat faqih memiliki keutamaan tetapi melakukan tadlis dan irsal [At Taqrib 1/617]. Sufyan bin Uyainah adalah tsiqat hafizh faqih imam hujjah kecuali mengalami perubahan hafalan di akhir umurnya, dituduh melakukan tadlis tetapi dari perawi tsiqat, termasuk pemimpin thabaqat kedelapan dan ia orang yang paling tsabit dalam riwayat ‘Amru bin Diinar [At Taqrib 1/371]. ‘Amru bin Diinar Al Makkiy adalah seorang yang tsiqat tsabit [At Taqrib 1/734]. Hasan bin Muhammad bin Aliy bin Abi Thalib adalah seorang yang tsiqat faqih [At Taqrib 1/210]. Adz Dzahabiy berkata “ia termasuk ulama ahlul bait” [As Siyaar Adz Dzahabiy 4/131].

Menurut Hasan bin Muhammad, Sayyidah Fathimah telah berwasiat kepada Imam Ali agar menguburkannya di waktu malam sehingga Abu Bakar tidak bisa menshalatkannya. Hasan bin Muhammad mengatakan bahwa hal ini terjadi karena antara Sayyidah Fathimah dan Abu Bakar terjadi sesuatu, dan itu tidak lain perselisihan masalah warisan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] seperti yang dijelaskan dalam hadis Aisyah.

Tidak Shahih Abu Bakar Meminta Maaf Pada Sayyidah Fatimah.

Abu Bakar Tidak Pernah Meminta Maaf Pada Sayyidah Fatimah AS.
Sepertinya kisah Fadak ini masih terus berlanjut untuk dibahas. Kali ini sang penulis yang merasa tahu banyak soal Syiah itu telah membuat tulisan baru. Akhirnya Fatimah Memaafkan Abu Bakar
Saya Kutip Tulisan Wahabi Hakekat.com Sebagai Berikut:
____________________________________
Home Selasa, 26 Agustus, 2014 9:33:43 PM
Akhirnya Fatimah Memaafkan Abubakar PDF Cetak E-mail
Fatimah saja mau memaafkan Abubakar tanpa mensyaratkan pengalihan hak tanah fadak pada dirinya, tapi pada hari ini, setelah 14 abad dari peristiwa itu, masih banyak yang mendendam pada Abubakar.
Terkadang orang lain membuat kita begitu marah, sehingga dalam hati kita timbul dendam dan ingin melampiaskan dendam itu secepatnya. Bisa jadi dendam itu begitu merasuk sehingga kita tidak bisa menahan emosi ketika melihat orang tadi.

Kejadian di atas menimpa sahabat Abubakar, ketika beberapa orang menuduh Aisyah anaknya –yang juga istri Rasulullah- telah berzina, dan salah satu yang menuduh adalah Misthah bin Utsatsah, salah seorang sepupu Abubakar yang miskin dan hidup dari pemberian Abubakar. Ketika itu Abubakar bersumpah untuk tidak memberikan uang lagi pada Misthah. Hal ini wajar dilakukan oleh manusia biasa, yang hatinya terluka ketika Misthah –yang hidup dari uang pemberian Abubakar- ikut-ikutan menuduh Aisyah berzina. Namun Allah sang Maha Pengasih, ingin memberikan pelajaran bagi kaum muslimin tentang akhlak yang mulia, yaitu pemaaf. Lalu turunlah ayat ini menghibur Abubakar, bahwa orang pemaaf akan dimaafkan oleh Allah. Akhirnya Abubakar tetap memberikan nafkah pada sepupunya tadi, karena mengharap ampunan dari Allah.

Terjemah surat An Nur ayat 22 yang turun berkenaan Abubakar:

Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada.Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu ?Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. 24:22)

Ayat ini menjelaskan manfaat dari maaf yang kita berikan kepada orang lain, bahkan ketika orang lain melukai hati kita. Manfaat dari memberi maaf bukan hanya bersifat duniawi, yaitu si pemaaf akan dicintai orang banyak, tetapi ada manfaat ukhrawi dari memberi maaf, yaitu ampunan dari Allah, karena amalan akan dibalas dengan pahala yang setimpal.

Tetapi yang dilakukan oleh Abubakar bukan hanya memberi maaf, tetapi jauh lebih dari itu, yaitu tetap memberikan nafkah kepada orang yang pernah melukai hatinya. Lebih dari sekedar memberi maaf. Semua ini hanya mengharapkan ampunan dari Allah.

Salah satu kisah yang sering diulang-ulang oleh kaum syi’ah –yang ingin membuat black campaign kepada Abubakar – adalah kisah fadak. Tetapi kita tidak pernah mendengar ustadz syi’ah mengisahkan ending kisah ini, seakan-akan kisah ini hanya berakhir dengan Fatimah yang pulang ke rumahnya dan marah, selesai sampai di sini. Ternyata masih ada babak episode yang dipotong dan ending dari kisah fadak, tetapi entah mengapa ustadz syi’ah tidak pernah membahasnya.

Yang jelas kitab syi’ah sendiri memuat ending dari kisah fadak ini, yaitu dalam kitab Syarah Nahjul Balaghah yang ditulis oleh Ibnu Abil Hadid pada jilid 1 hal 57, dan Ibnu Al Maitsham pada jilid 5 hal 507, disebutkan :

Saat Fatimah marah Abubakar menemuinya di lain waktu dan memintakan maaf  bagi Umar, lalu Fatimah memaafkannya.

Fatimah dengan besar hati memaafkan Abubakar, yang telah melaksanakan perintah Rasulullah untuk tidak mewariskan harta peninggalannya pada ahli waris. Abubakar juga tidak menyerahkan fadak kepada Fatimah agar mau memaafkannya, tetapi di sini Fatimah juga tidak menuntut penyerahan tanah fadak sebagai syarat untuk mau memaafkan Abubakar dan Umar. Itulah akhlak putri Nabi yang sejak dini dididik untuk mencintai akherat dan membenci dunia yang fana. Inilah salah satu akhlak kenabian diwarisi Fatimah dari sang ayah.

Sudah selayaknya kita meniru teladan dari kisah di atas, tidak membawa dendam dalam hati untuk waktu yang lama. Semua yang telah berlalu hendaknya kita maafkan, demi mengharap keridhoan dan ampunan Allah. Siapa yang tidak menginginkan ampunan Allah?

Riwayat di atas menguatkan riwayat dari Sunan Baihaqi yang kami nukilkan di salah satu makalah situs ini. Namun ada penjelasan yang dirasa perlu untuk disampaikan.

Baihaqi meriwayatkan dengan sanad dari Sya’bi ia berkata: Tatkala Fatimah sakit, Abu Bakar menengok dan meminta izin kepadanya, Ali berkata: "Wahai Fatimah ini Abu Bakar minta izin." Fatimah berkata: "Apakah kau setuju aku mengijinkan ?", Ali berkata: "Ya." Maka Fatimah mengijinkan, maka Abu Bakar masuk dan Fatimah memaafkan Abu Bakar. Abu Bakar berkata: "Demi Allah saya tidak pernah meninggalkan harta, rumah, keluarga, kerabat kecuali semata-mata karena mencari ridha Allah, Rasulnya dan kalian keluarga Nabi.

Ibnu Katsir berkata: Ini suatu sanad yang kuat dan baik yang jelas Amir mendengarnya dari Ali atau seseorang yang mendengarnya dari Ali. (Al Bidayah Wannihaayah 5/252)

Ibnu Hajar mengutip dari Ad Daruquthni bahwa Sya’bi hanya meriwayatkan sebuah hadits dari Ali, hadits itu tercantum dalam shahih Bukhari. Sehingga terkesan bahwa riwayat di atas adalah putus sanadnya karena Sya’bi hanya meriwayatkan sebuah hadits dari Ali. Lalu bagaimana status riwayat ini? Jelas riwayat ini mursal, tetapi riwayat mursal memiliki banyak tingkatan, ini dijelaskan dalam kitab biografi perawi. Kita bisa memahami jika orang awam yang belum memperdalam ilmu hadits mempertanyakan riwayat ini. Tapi mestinya dia melihat bagaimana Ibnu Katsir memberi dua kemungkinan, bisa jadi dia mendengar dari Ali atau mendengar dari orang yang mendengar dari Ali, karena Ibnu Katsir menyadari penjelasan ulama bahwa Sya’bi hanya meriwayatkan satu hadits dari Ali bin Abi Thalib. Ibnu Katsir - yang tentunya lebih mengerti hadits dari kita-kita yang awam-  mengatakan sanad ini kuat dan bagus, karena Ibnu Katsir telah mempelajari status riwayat Sya’bi dari kitab biografi perawi hadits. Tidak ada salahnya kita yang awam ini membaca langsung terjemahan nukilan dari kitab biografi perawi, agar mendapat gambaran lebih jelas tentang status riwayat dari Sya’bi – yang nama lengkapnya adalah Amir bin Syurahil As Sya’bi-:

Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah dan ulama lain mengatakan bahwa Sya’bi adalah tsiqah, Al Ijli mengatakan bahwa Sya’bi meriwayatkan hadits dari empat puluh delapan sahabat, dia lebih tua dari Abu Ishaq dua tahun, dan Abu Ishaq lebih tua dua tahun dari Abdul Malik, dia tidak memursalkan hadits kecuali hampir seluruhnya adalah shahih
Tahdzibut Tahdzib jilid 5 hal 59

Pada halaman yang sama Ibnu Hajar menukil ucapan Al Ajurri dari Abu Dawud: mursal dari Sya’bi lebih aku sukai daripada mursal Nakha’i.

Ditambah lagi dengan riwayat dari Syarah Nahjul Balaghah karya Ibnul Maitsam dan Ibnu Abil Hadid yang menguatkan riwayat ini.

Allah menyebutkan salah satu sifat golongan muttaqin –orang bertakwa- dalam surat Ali Imran ayat 134, yaitu mereka yang memaafkan kesalahan manusia.

Tidak layak kita menyimpan dendam dalam hati selama bertahun-tahun, tanyakan pada diri kita apa manfaat yang kita dapat dari menyimpan dendam? Yang kita dapat adalah rasa marah, tidak ada manfaat yang kita dapat. Sebaliknya, maaf dapat membuat hati kita tenang dan lapang, selain itu kita juga mendapat berita gembira dari Allah, apakah kita tidak ingin mendapat ampunan dari Allah?

______________________________________
Sayangnya metode penulisan tetap saja tidak berubah. Beliau tetap berpegang pada riwayat-riwayat yang tidak shahih atau dipertanyakan keshahihannya. Seandainya anda tidak merasa bosan maka kali ini saya kembali akan meluruskan tulisan beliau dalam Situsnya itu. 
 
Seperti biasa sang penulis menyatakan kesimpulan di bait pertama tulisannya:
Fatimah saja mau memaafkan Abubakar tanpa mensyaratkan pengalihan hak tanah fadak pada dirinya, tapi pada hari ini, setelah 14 abad dari peristiwa itu, masih banyak yang mendendam pada Abubakar.
Kesimpulan ini keliru karena tidak ada kabar shahih yang meriwayatkan bahwa Abu Bakar meminta maaf kepada Sayyidah Fatimah AS pasca peristiwa Fadak. Kabar shahih yang ada justru kesaksian Aisyah RA bahwa Sayyidah Fatimah AS tidak pernah berbicara kepada Abu Bakar sampai akhir hayatnya pasca peristiwa Fadak.
Terkadang orang lain membuat kita begitu marah, sehingga dalam hati kita timbul dendam dan ingin melampiaskan dendam itu secepatnya. Bisa jadi dendam itu begitu merasuk sehingga kita tidak bisa menahan emosi ketika melihat orang tadi.
Oleh karena itu kesabaran dan meminta maaf adalah obat yang sangat baik :mrgreen:
Kejadian di atas menimpa sahabat Abubakar, ketika beberapa orang menuduh Aisyah anaknya –yang juga istri Rasulullah- telah berzina, dan salah satu yang menuduh adalah Misthah bin Utsatsah, salah seorang sepupu Abubakar yang miskin dan hidup dari pemberian Abubakar. Ketika itu Abubakar bersumpah untuk tidak memberikan uang lagi pada Misthah. Hal ini wajar dilakukan oleh manusia biasa, yang hatinya terluka ketika Misthah –yang hidup dari uang pemberian Abubakar- ikut-ikutan menuduh Aisyah berzina. Namun Allah sang Maha Pengasih, ingin memberikan pelajaran bagi kaum muslimin tentang akhlak yang mulia, yaitu pemaaf. Lalu turunlah ayat ini menghibur Abubakar, bahwa orang pemaaf akan dimaafkan oleh Allah. Akhirnya Abubakar tetap memberikan nafkah pada sepupunya tadi, karena mengharap ampunan dari Allah.
Sebuah pelajaran dari kisah ini adalah terkadang sahabat-sahabat Nabi(terlepas dari keutamaan Mereka) adalah manusia yang dipengaruhi kecenderungannya sehingga bisa melakukan suatu kekeliruan. Contoh di atas cukup jelas dimana ada beberapa sahabat Nabi yang ikut-ikutan dengan kaum munafik menyebarkan tuduhan terhadap Aisyah RA. Walaupun begitu Akhlak yang ditunjukkan oleh Abu Bakar RA jelas merupakan contoh yang patut di teladani.
Salah satu kisah yang sering diulang-ulang oleh kaum syi’ah –yang ingin membuat black campaign kepada Abubakar – adalah kisah fadak.
Syiah mengulang-ngulang Kisah ini karena kisah ini dalam persepsi mereka adalah bentuk kezaliman terhadap Ahlul Bait. Kebanyakan pihak Sunni justru melah membenarkan apa yang dilakukan Abu Bakar RA. Hal ini yang membuat Syiah mengulang-ngulang pembelaan mereka kepada Ahlul Bait.
Tetapi kita tidak pernah mendengar ustadz syi’ah mengisahkan ending kisah ini, seakan-akan kisah ini hanya berakhir dengan Fatimah yang pulang ke rumahnya dan marah, selesai sampai di sini.
Kabar yang shahih telah jelas menyatakan bahwa Sayyidah Fatimah AS marah dan tidak berbicara kepada Abu Bakar selama 6 bulan. Dan itu saya dengar bukan dari ustad Syiah tetapi dari Kitab Shahih Bukhari.
Ternyata masih ada babak episode yang dipotong dan ending dari kisah fadak, tetapi entah mengapa ustadz syi’ah tidak pernah membahasnya.
Mungkin Ustad Syiah itu cukup pintar untuk tidak membahas kisah-kisah yang dhaif, tidak shahih atau dipertanyakan keshahihannya. Entahlah, saya tidak tahu pasti apa sebenarnya yang dipahami oleh Ustad-ustad Syiah. :)
Yang jelas kitab syi’ah sendiri memuat ending dari kisah fadak ini, yaitu dalam kitab Syarah Nahjul Balaghah yang ditulis oleh Ibnu Abil Hadid pada jilid 1 hal 57, dan Ibnu Al Maitsham pada jilid 5 hal 507, disebutkan :
Saat Fatimah marah Abubakar menemuinya di lain waktu dan memintakan maaf bagi Umar, lalu Fatimah memaafkannya.
Mari kita mengkritisi bagian ini. Apa buktinya kalau Kitab Syarh Nahjul Balaghah Ibnu Abil Hadid adalah kitab Syiah?. 
Memang kitab Nahjul Balaghah ditulis oleh Ulama Syiah tapi kitab Syarh Nahjul Balaghah ditulis oleh Ibnu Abil Hadid. Apa buktinya Ibnu Abil Hadid seorang Syiah?. 
Sejauh yang saya tahu bukti jelas menyatakan bahwa beliau seorang Ulama Mu’tazilah. Apakah anda wahai penulis pernah melihat bahwa Ulama-ulama Syiah menyatakan kesyiahan Ibnu Abil Hadid? Berhentilah membuat tuduhan :mrgreen:
Kemudian, Apakah kitab Syarh Nahjul Balaghah adalah kitab dimana penulisnya menyatakan bahwa semua apa yang ia tulis adalah Shahih?. 
Setahu saya tidak ada bukti yang menunjukkan kalau Ibnu Abil Hadid menyatakan bahwa Semua riwayat yang ia kutip sebagai shahih. Oleh karena itu riwayat yang anda bawa itu perlu diteliti keshahihannya apalagi dalam Kitab Nahjul Balaghah yang ditulis Ulama Syiah tidak ada riwayat yang anda sebutkan itu. Riwayat itu(kalau memang ada) ditambahkan oleh mereka para Pensyarh Kitab Nahjul Balaghah.
Kemudian, bagaimana kita meneliti keshahihan riwayat tersebut jika anda wahai penulis tidak mencantumkan sanadnya? Atau riwayat tersebut memang tidak bersanad. Kalau begitu riwayat ini masih dipertanyakan keshahihannya. Nah bagaimana bisa anda berpegang pada riwayat yang belum pasti kebenarannya apalagi kalau riwayat tersebut ternyata bertentangan dengan riwayat yang jelas-jelas shahih. :roll:
Fatimah dengan besar hati memaafkan Abubakar, yang telah melaksanakan perintah Rasulullah untuk tidak mewariskan harta peninggalannya pada ahli waris. Abubakar juga tidak menyerahkan fadak kepada Fatimah agar mau memaafkannya, tetapi di sini Fatimah juga tidak menuntut penyerahan tanah fadak sebagai syarat untuk mau memaafkan Abubakar dan Umar. Itulah akhlak putri Nabi yang sejak dini dididik untuk mencintai akherat dan membenci dunia yang fana. Inilah salah satu akhlak kenabian diwarisi Fatimah dari sang ayah.
Akhlak Sayyidah Fatimah AS tidak diragukan lagi adalah akhlak yang mulia seperti yang diajarkan baginda Rasulullah SAW. Sayangnya tidak ada riwayat shahih yang menyatakan kalau Abu Bakar meminta maaf pada Sayyidah Fatimah AS.
Sudah selayaknya kita meniru teladan dari kisah di atas, tidak membawa dendam dalam hati untuk waktu yang lama. Semua yang telah berlalu hendaknya kita maafkan, demi mengharap keridhoan dan ampunan Allah. Siapa yang tidak menginginkan ampunan Allah?
Berhentilah bersikap seolah-olah semua yang anda sampaikan itu benar. Dalam kisah Fadak tidak ada unsur dendam kesumat dan cinta harta dunia yang fana. Perselisihan ini soal kebenaran yang diyakini oleh masing-masing pihak. Sayyidah Fatimah AS adalah sang pedoman bagi manusia sebagaimana yang ditetapkan Rasulullah SAW dalam Hadis Tsaqalain oleh karena itu sikap beliau menandakan penentangannya terhadap apa yang dinyatakan Abu Bakar. Mungkin bagi anda sulit sekali memahami perselisihan ini karena anda dan para Salafy lainnya (maaf kalau saya salah) tidak pernah mau menerima Sabda Rasulullah SAW dalam Hadis Tsaqalain bahwa Ahlul Bait adalah pedoman bagi umat Islam.
Riwayat di atas menguatkan riwayat dari Sunan Baihaqi yang kami nukilkan di salah satu makalah situs ini.
Riwayat Ibnu Abil Hadid yang dipertanyakan keshahihannya menjadi penguat bagi riwayat Baihaqi yang sudah jelas dhaif atau tidak shahih. Sungguh metode yang benar-benar hebat bagi seorang Salafy.
Namun ada penjelasan yang dirasa perlu untuk disampaikan.
Baihaqi meriwayatkan dengan sanad dari Sya’bi ia berkata: Tatkala Fatimah sakit, Abu Bakar menengok dan meminta izin kepadanya, Ali berkata: “Wahai Fatimah ini Abu Bakar minta izin.” Fatimah berkata: “Apakah kau setuju aku mengijinkan ?”, Ali berkata: “Ya.” Maka Fatimah mengijinkan, maka Abu Bakar masuk dan Fatimah memaafkan Abu Bakar. Abu Bakar berkata: “Demi Allah saya tidak pernah meninggalkan harta, rumah, keluarga, kerabat kecuali semata-mata karena mencari ridha Allah, Rasulnya dan kalian keluarga Nabi.
Ibnu Katsir berkata: Ini suatu sanad yang kuat dan baik yang jelas Amir mendengarnya dari Ali atau seseorang yang mendengarnya dari Ali. (Al Bidayah Wannihaayah 5/252)
Saya sudah pernah membahas tuntas riwayat ini dalam tulisan Penyimpangan Kisah Fadak Oleh Hakekat.com. 
________________________________
Penyimpangan Kisah Fadak Oleh Situs Hakekat.Com .
Kali ini tulisan saya adalah tanggapan terhadap tulisan dari situs http://www.hakekat.com tentang Fadak yang berjudul Apakah Abu Bakar membuat Fatimah Murka?Dan Apakah Fatimah Berhak Mendapat Warisan?. Dalam tulisan tersebut terdapat banyak hal yang patut disayangkan. Situs hakekat.com membuat tulisan tersebut sebagai bantahan terhadap Syiah Rafidhah(begitu situs tersebut menyebutnya). Tentu saja hal ini adalah hak mereka sepenuhnya, tapi yang patut disayangkan itu adalah keinginan Situs tersebut untuk membantah telah membuat begitu banyak kekeliruan yang saya nilai masuk dalam kategori Syiahphobia. :(

Tulisan saya kali ini berusaha untuk menilai kebenaran tulisan situs hakekat.com tersebut. Tulisan saya ini adalah suatu analisis terhadap tulisan hakekat.com yang saya nilai penuh dengan distorsi dari sudut pandang keilmuan Ahlussunnah. Mempertahankan keyakinan suatu mahzab dengan membantah pandangan mahzab lain tentu adalah hal yang biasa dalam dunia permahzaban. Tetapi alangkah baiknya kalau bantahan tersebut bersandar pada dalil-dalil yang kuat dan penarikan kesimpulan yang benar. Sekali lagi patut disayangkan ternyata tulisan hakekat.com itu tidak memiliki kedua hal tersebut. Situs hakekat.com dipengaruhi oleh kebenciannya yang mendalam terhadap Syiah sehingga membuat tulisan yang penuh distorsi dari sudut pandang keilmuan Ahlus Sunnah sendiri. Oleh karena itu saya nilai tulisan tersebut tidak patut dijadikan perwakilan Ahlus Sunnah dalam membantah Syiah. :mrgreen:
Situs hakekat.com awalnya menulis
Syi’ah Rofidhah banyak membuat alasan bahwa Abu Bakar membenci Fatimah dan barang siapa membencinya berarti membenci Rasul SAW.
Dalam hal ini saya tidak akan membela apa pandangan Syiah yang menurut situs hakekat.com menyatakan bahwa Abu Bakar RA membenci Fatimah. Dalam pandangan saya Abu Bakar RA tidak membenci Sayyidah Fatimah AS walaupun begitu sikap Abu Bakar RA terhadap Sayyidah Fatimah AS dalam masalah Fadak adalah keliru. Kemarahan Sayyidah Fatimah dalam hal ini sangat memberatkan pembelaan apapun terhadap Abu Bakar RA karena kemarahan Sayyidah Fatimah AS adalah hujjah akan kebenaran sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW.

“Fathimah adalah bagian dariku, barangsiapa yang membuatnya marah, membuatku marah!”(Hadis riwayat Bukhari dalam Shahih Bukhari jilid 5 Bab Fadhail Fathimah no 61).

Situs Hakekat.com kemudian menuliskan hadis yang dalam pandangannya menjadi pembelaan terhadap Abu Bakar RA
Diriwayatkan dari Bukhari dan Muslim dari hadist Al Miswar bin Makhromah berkata: Sesungguhnya Ali telah melamar putri Abu Jahal, Fatimah mendengarnya lantas ia menemui Rasul Saw berkatalah Fatimah: “Kaummu menyangka bahwa engkau tidak pernah marah membela anak putrimu dan sekarang Ali akan menikahi putri Abu Jahal,” maka berdirilah Rasulullah Saw mendengar kesaksian dan berkata: “Setelah selesai menikahkan beritahu saya, sesunggunhya Fatimah itu bagian dari saya, dan saya sangat membenci orang yang menyakitinya. Demi Allah, putri Rasulullah dan putri musuh Allah tidak pernah akan berkumpul dalam pangkuan seorang laki-laki.” Maka kemudian Ali tidak jadi melamar putri Abu Jahal (khitbah itu) (diriwayatkan Bukhori dalam kitab Fadhailu Shahabat)
Dengan hadis ini situs hekekat.com menyatakan:
Maka tampak jelas bahwa yang pantas dipahami dari hadis tersebut adalah Ali melamar putri Abu Jahal dan membuat Fatimah marah. Dengan ini bila hadis diterapkan pada setiap orang yang membenci Fatimah maka Ali adalah orang pertama yang termasuk. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata saat membantah keyakinan Rafidhah dalam permasalahan ini. Hadist ini disebabkan lamaran Ali terhadap putri Abu Jahal, penyebab yang masuk dalam sebuah lafadh itu menjadi pasti, dimana setiap lafadh yang berlaku pada suatu sebab tidak boleh dikeluarkan penyebabnya bahkan penyebab yang harus masuk. Disebutkan dalam sebuah hadist (apa yang meragukannya menjadikanku ragu dan yang menyakitkannya menyakitkanku) Dan yang telah dapat dipahami dengan pasti adalah bahwa lamaran terhadap putri Abu Jahal adalah meragukan dan menyakitkan. Nabi Saw dalam hal ini merasa ragu dan menyakitkan. Apabila ini merupakan sebuah ancaman yang harus ditimpakan pada Ali bin Abi Thalib dan bila bukan ancaman yang harus ditimpakan pada pelakunya maka Abu Bakar lebih jauh dari ancaman daripada Ali.
Tanggapan saya : Dalam hal ini situs tersebut keliru dalam mengambil kesimpulan.
  • Sudah jelas dalam hadis di atas disebutkan bahwa Imam Ali AS mengurungkan niatnya oleh karena itu ancaman yang dimaksud jelas tidak bisa ditujukan kepada Beliau AS Sedangkan dalam kasus Fadak Sayyidah Fatimah AS marah kepada Abu Bakar RA selama 6 bulan sampai Beliau AS wafat.
  • Hadis Shahih Bukhari tentang lamaran terhadap putri Abu Jahal jelas menunjukkan bahwa kemarahan Sayyidah Fatimah AS adalah kemarahan Rasulullah SAW dan menjadi hujjah sehingga menyebabkan Imam Ali RA mengurungkan niatnya. Oleh karena itu dengan dalil ini maka seyogianya Abu Bakar RA memberikan Fadak kepada Sayyidah Fatimah AS karena telah membuat Rasulullah SAW marah. Sayangnya Abu Bakar RA tidak mempedulikan kemarahan Sayyidah Fatimah AS dan beliau bersikeras menolak permintaan Sayyidah Fatimah AS. Hal ini jelas bertolak belakang dengan Imam Ali AS yang justru membatalkan niat lamarannya terhadap putri Abu Jahal.
Kemudian situs hakekat.com membawakan riwayat lain yang menunjukkan pembelaan terhadap Abu Bakar RA
Diriwayatkan dari Fatimah Ra. sesungguhnya ia setelah peristiwa itu rela terhadap Abu Bakar. Berdasarkan riwayat Baihaqi dengan sanad dari Sya’bi ia berkata: Tatkala Fatimah sakit, Abu Bakar menengok dan meminta izin kepadanya, Ali berkata: “Wahai Fatimah ini Abu Bakar minta izin.” Fatimah berkata: “Apakah kau setuju aku mengijinkan ?”, Ali berkata: “Ya.” Maka Fatimah mengijinkan, maka Abu Bakar masuk dan Fatimah memaafkan Abu Bakar. Abu Bakar berkata: “Demi Allah saya tidak pernah meninggalkan harta, rumah, keluarga, kerabat kecuali semata-mata karena mencari ridha Allah, Rasulnya dan kalian keluargaku semuanya.” (Assunah Al Kubro Lilbaihaqi 6/301)
Satu lagi kekeliruan hakekat.com adalah mereka tidak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa riwayat ini berstatus mursal yang berarti sanadnya terputus. Hadis dengan sanad terputus adalah dhaif menurut jumhur Ulama hadis. Hal ini sudah saya bahas dalam tulisan Menolak Keraguan Seputar Riwayat Fadak

Situs hakekat.com berhujjah dengan pendapat Ibnu Katsir yang jelas-jelas keliru:
Ibnu Katsir berkata: Ini suatu isnad yang kuat dan baik yang jelas Amir mendengarnya dari Ali atau seseorang yang mendengarnya dari Ali. (Al Bidayah Wannihaayah 5/252).
Kekeliruan dalam hal ini cukup jelas karena
  • Pernyataan Amir Asy Sya’bi mendengar dari Ali dan
  • Pernyataan Amir Asy Sya’bi mendengar dari seseorang yang mendengarnya dari Ali
Adalah dua pernyataan yang berbeda. Lantas yang manakah yang benar? Jawaban sebenarnya adalah kedua pernyataan tersebut keliru. Riwayat tersebut hanya berhenti pada Asy Sya’bi sebagaimana yang disebutkan dalam Sunan Baihaqi. Usaha Ibnu Katsir menyambung riwayat tersebut adalah usaha yang mandul dan hanyalah berdasarkan asumsi belaka. Pernyataan Ibnu Katsir sendiri mengandung keraguan apakah Asy Sya’bi mendengar dari Ali atau dari orang lain yang mendengar dari Ali. Kalau memang Asy Sya’bi mendengar dari Ali maka mengapa pula disebutkan atau Asy Sya’bi mendengarnya dari seseorang yang mendengar dari Ali. Hal ini hanya menunjukkan kebingungan Ibnu katsir. Ibnu Katsir jelas berandai-andai dalam hal ini.
.
Seandainya kita ikuti perandaian Ibnu Katsir tersebut maka tetap saja sanad riwayat tersebut tidak menjadi kuat atau shahih. Perandaian pertama Asy Sya’bi mendengar dari Ali adalah bermasalah. Riwayat Asy Sya’bi dari Ali menjadi perselisihan Ulama ahli hadis. Hadis Asy Sya’bi dari Ali tergolong hadis yang Mursal Khafi. Mursal Khafi berarti putus yang tersembunyi atau putus yang tidak terang. Hadis mursal khafi adalah hadis yang diriwayatkan seorang perawi dari seorang perawi lain yang semasa dan bertemu dengannya tetapi ia tidak menerima hadis itu daripadanya. Asy Sya’bi hanya mendengar satu hadis yang lain dari Ali (Subulus Salam jilid 2 hal 80). Hadis Mursal Khafi adalah hadis yang dhaif menurut metode keilmuan hadis. Hal ini dapat anda lihat dalam Ilmu Mushthalah Hadis A Qadir Hassan Bab Ad Dhaif Mursal Al Khafi hal 112.

Perandaian kedua Asy Sya’bi mendengarnya dari seseorang yang mendengar dari Ali menunjukkan bahwa siapa seseorang yang dimaksud adalah tidak jelas. Ketidakjelasan siapa orang yang Asy Sya’bi dengar menimbulkan keraguan karena bisa saja seseorang yang dimaksud ini adalah perawi yang dhaif atau malah pemalsu hadis. Oleh karena itu perandaian ini malah menunjukkan bahwa riwayat tersebut adalah dhaif dan tidak layak dijadikan hujjah.

Sungguh aneh sekali apa yang ditulis situs hekekat.com setelah membawakan riwayat ini
Dengan demikian terbantah sudah cacian Rafidhah terhadap Abu Bakar yang dikaitkan dengan marahnya Fatimah terhadapnya dan bila memang Fatimah marah pada awalnya namun kemudian sadar dan meninggal dalam keadaan memaafkan Abu Bakar.
Situs hakekat.com hanya mau membantah tetapi tidak kritis dalam berhujjah. Saya tidak akan memusingkan siapa yang mencaci dalam masalah ini tetapi yang patut diperhatikan adalah menarik kesimpulan dari riwayat yang tidak shahih jelas-jelas merupakan kekeliruan. :)

Mari kita teruskan kekeliruan situs tersebut
Hal ini tidak berlawanan dengan apa yang tersebut dalam hadist Aisyah yang lalu. “Sesungguhnya ia marah pada Abu Bakar lalu didiamkan sampai akhir hayatnya” hal ini sebatas pengetahuan Aisyah ra saja.
Mari lihat kembali hadis Aisyah dalam Shahih Bukhari yang pernah saya tulis dalam Analisis Riwayat Fadak.
Dari Aisyah, Ummul Mukminah RA, ia berkata “Sesungguhnya Fatimah AS binti Rasulullah SAW meminta kepada Abu Bakar sesudah wafat Rasulullah SAW supaya membagikan kepadanya harta warisan bagiannya dari harta yang ditinggalkan Rasulullah SAW dari harta fa’i yang dianugerahkan oleh Allah kepada Beliau.[Dalam riwayat lain :kamu meminta harta Nabi SAW yang berada di Madinah dan Fadak dan yang tersisa dari seperlima Khaibar 4/120] Abu Bakar lalu berkata kepadanya, [Dalam riwayat lain :Sesungguhnya Fatimah dan Abbas datang kepada Abu Bakar meminta dibagikan warisan untuk mereka berdua apa yang ditinggalkan Rasulullah SAW, saat itu mereka berdua meminta dibagi tanah dari Fadak dan saham keduanya dari tanah (Khaibar) lalu pada keduanya berkata 7/3] Abu Bakar “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda “Harta Kami tidaklah diwaris ,Harta yang kami tinggalkan adalah sedekah [Sesungguhnya keluarga Muhammad hanya makan dari harta ini, [maksudnya adalah harta Allah- Mereka tidak boleh menambah jatah makan] Abu Bakar berkata “Aku tidak akan biarkan satu urusan yang aku lihat Rasulullah SAW melakukannya kecuali aku akan melakukannya] Lalu Fatimah binti Rasulullah SAW marah kemudian ia senantiasa mendiamkan Abu Bakar [Ia tidak mau berbicara dengannya]. Pendiaman itu berlangsung hingga ia wafat dan ia hidup selama 6 bulan sesudah Rasulullah SAW. Ketika Fatimah meninggal dunia, suaminya Ali RA yang menguburkannya pada malam hari dan tidak memberitahukan kepada Abu Bakar. Kemudian Ia menshalatinya. (Kitab Mukhtasar Shahih Bukhari oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani jilid 3 hal 608 dengan no hadis 1345 terbitan Pustaka Azzam Cetakan pertama 2007 dengan penerjemah :Muhammad Faisal dan Thahirin Suparta.)
Hadis Aisyah jelas-jelas menunjukkan Sayyidah Fatimah AS marah dan mendiamkan Abu Bakar RA hingga wafat yaitu selama 6 bulan. Dengan dasar ini maka riwayat Baihaqi bahwa Sayyidah Fatimah AS berdamai dengan Abu Bakar adalah bertolak belakang dengan hadis Aisyah dalam Shahih Bukhari.

Situs hakekat.com beralasan bahwa hal itu hanya sebatas pengetahuan Aisyah saja ,situs tersebut kemudian menuliskan
Sedang hadist riwayat Sya’bi menambah pengertian kita. Abu Bakar menjenguk Fatimah dan berbicara dengan Abu Bakar serta memaafkan Abu Bakar: Aisyah dalam hal ini menafikan dan Asya’bi menetapkan. Para ulama memahami bahwa ucapan yang menetapkan lebih didahulukan dari pada yang menafikan, karena kemungkinan suatu ketetapan sudah bisa didapatkan tanpa memahami penafian terutama dalam masalah ini, yaitu kunjungan Abu Bakar terhadap Fatimah bukan suatu peristiwa yang besar dan didengar di masyarakat.
Cara penarikan kesimpulan seperti ini keliru karena kedua hadis atau riwayat yang dimaksud berbeda kedudukannya. Hadis Aisyah dalam Shahih Bukhari jelas shahih sedangkan riwayat Baihaqi adalah mursal yang berarti dhaif jadi bagaimana mungkin keduanya mau dibandingkan. Menetapkan lebih dahulu dibanding menafikan bisa saja berlaku kalau memang kedua riwayat itu sama kuat atau shahih. Kalau seandainya yang satu shahih dan yang lain dhaif maka yang shahih jelas harus diutamakan. Yang justru lebih aneh adalah kata-kata terutama dalam masalah ini, yaitu kunjungan Abu Bakar terhadap Fatimah bukan suatu peristiwa yang besar dan didengar di masyarakat. Bagaimana mungkin hal ini luput dari pengetahuan Aisyah padahal beliau benar-benar semasa dengan Sayyidah Fatimah AS dan Abu Bakar RA tetapi justru tampak jelas oleh Asy Sya’bi yang bahkan belum lahir ketika peristiwa tersebut terjadi. Sungguh cara penarikan kesimpulan yang keliru. ;)

Situs hakekat.com kemudian melanjutkan tulisannya:
Apa yang telah para ulama ungkapkan tentang Fatimah adalah bahwa ia sama sekali tidak memboikot Abu Bakar. Rasul pun telah melarang kita memboikot seseorang lebih dari tiga hari. Sedang Fatimah tidak berbicara dengannya karena memang sedang tidak ada yang harus dibicarakan.
Sudah jelas untuk mengetahui hal ini tidak perlu jauh-jauh memakai kata Ulama segala. Dengan melihat zahir hadis maka akan tampak sekali bahwa Sayyidah Fatimah AS memang marah dan mendiamkan Abu Bakar selama 6 bulan atau sampai Beliau AS wafat. Dalam hal ini berpegang pada zahir hadis adalah lebih utama sampai ada dasar kuat yang memalingkannya ke makna lain.

Mari kita lihat apa yang dikatakan Ibnu Katsir dalam Al Bidayah Wan Nihayah, Ibnu Katsir menuliskan
Adapun kemarahan Fatimah terhadap Abu Bakar, aku tidak tahu kenapa? Jika dikatakan ia marah karena Abu Bakar telah menahan harta warisan yang ditinggalkan ayahnya, maka bukankah Abu Bakar memiliki alasan yang tepat atas tindakannya itu yang langsung diriwayatkan dari ayahnya “Kami tidak mewariskan dan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah”.
Kemudian Ibnu Katsir menulis:
Jika kemarahan Fatimah disebabkan tuntutannya agar Abu Bakar Ash Shiddiq RA menyerahkan pengelolaan tanah yang dianggap sedekah dan bukan warisannya itu kepada Ali, maka Abu Bakar juga memiliki alasan tersendiri bahwa sebagai pengganti Rasulullah SAW maka wajib baginya untuk mengurus apa-apa yang diurus oleh Rasulullah SAW sebelumnya dan menangani seluruh yang ditangani Rasulullah SAW. Oleh karena itulah ia berkata “Demi Allah aku tidak akan meninggalkan suatu perkara yang dilakukan oleh Rasulullah SAW semasa hidup Beliau kecuali akan aku lakukan pula”. Oleh karena itulah Fatimah memboikotnya dan tidak berbicara dengannya hingga ia wafat.

Ibnu Katsir menunjukkan kebingungannya dengan sikap Sayyidah Fatimah AS dan jelas-jelas Ibnu Katsir sendiri menuliskan bahwa Sayyidah Fatimah memang memboikot dan tidak berbicara dengan Abu Bakar hingga Beliau AS wafat. Walaupun sudah jelas Ibnu Katsir dalam hal ini membela apa yang dilakukan Abu Bakar RA. Silakan saja, yang penting zahir hadis bahwa Sayyidah Fatimah AS marah dan mendiamkan Abu Bakar hingga ia wafat adalah benar dan itulah yang ditangkap oleh seorang Ibnu Katsir. Kutipan tulisan Ibnu Katsir diatas diambil dari terjemahan Tartib Wa Tahdzib Kitab Al Bidayah Wan Nihayah Masa Khulafa’ur Rasyidin,Cetakan Keempat, penerjemah : Abu Ihsan Al Atsari ,penerbit Darul Haq Jakarta hal 67

Situs hakekat.com berhujjah dengan pendapat Al Qurtubi:
Qurtubi berkata seputar penjelasan hadist Aisyah: Sesungguhnya tidak bertemunya Fatimah dengan Abu Bakar karena kesibukannya dalam menerima cobaan yang menimpanya dan kala keberadaannya selalu di rumah, rawi menggambarkan sebagai memutuskan hubungan. Padahal Rasul sudah bersabda bahwa tidak diperbolehkan bagi orang Islam untuk memutuskan hubungan dengan saudaranya lebih dari tiga hari. Padahal Fatimah orang yang paling tahu apa yang dihalalkan dan diharamkan. Juga orang yang paling jauh dari perselisihan dengan Rasul (Hadist AlBukhari. Riwayat Abu Ayyub Al Anshari Ra, lihat Fathul Bari 10-492)
Lihat baik-baik, pernyataan Qurtubi hanyalah suatu perandaian untuk menutupi hal yang sebenarnya. Tanpa merendahkan kedudukan beliau, saya hanya mau menyatakan bahwa apa yang dikatakan Qurtubi hanyalah asumsi belaka. Cobaan apakah yang dialami Sayyidah Fatimah AS yang membuat Beliau begitu sibuknya hingga tidak mau berbicara kepada orang lain? Bukankah sang perawi hadis jelas lebih mengetahui peristiwa sebenarnya dibanding Al Qurtubi karena sang perawi jelas-jelas mendengar langsung apa yang disampaikan kepada mereka.

Masalah Rasulullah SAW tidak membolehkan memutuskan hubungan silaturahmi lebih dari 3 hari maka saya katakan Sayyidah Fatimah AS jauh lebih tahu dalam masalah ini dibanding siapapun. Sikap Beliau Sayyidah Fatimah AS seperti yang saya jelaskan terkait dengan mempertahankan kebenaran. Sikap marah Beliau menunjukkan bahwa Beliau tidak setuju dengan apa yang dinyatakan Abu Bakar. Oleh karena itu perdamaian atau perjalinan hubungan silaturahmi akan kembali jika Abu Bakar RA menyadari kekeliruannya dan menyatakan kebenaran Sayyidah Fatimah AS. Mengapa Sayyidah Fatimah AS mesti dituntut untuk berdamai dengan apa yang Beliau anggap keliru.

Keanehan yang saya tangkap dalam hal ini adalah situs hakekat.com begitu mudahnya membenturkan secara keliru suatu hadis kepada sikap Sayyidah Fatimah AS padahal di lain waktu mereka malah bersikap apatis terhadap hadis yang menunjukkan bahwa kemarahan Sayyidah Fatimah AS adalah kemarahan Rasulullah SAW.

Mengenai pernyataan situs hakekat.com tentang Warisan dalam ajaran Syiah maka hal itu tidak akan saya tanggapi lebih lanjut karena menurut saya, saudara kita yang Syiah lebih layak dan kompeten untuk menanggapi masalah ini. Saya tidak yakin dengan apa yang situs itu nisbatkan kepada Syiah. Kalau situs tersebut saja tidak benar dalam memahami hadis dan dalil berdasarkan metode keilmuan Ahlus Sunnah maka bagaimana mungkin layak berbicara soal mahzab lain. :mrgreen:

Tulisan ini hanya sekedar koreksi terhadap kekeliruan yang penulis lihat. Walaupun begitu tidak menutup kemungkinan bahwa penulis sendiri keliru. Oleh karena itu penulis selalu terbuka untuk setiap kritik dan diskusi lebih lanjut mengenai tulisan ini. ;)
Salam Damai.

Catatan : Tulisan yang serupa dengan tulisan situs hakekat.com ternyata ada dimuat disini. Hmm mohon maaf tulisan sederhana ini dibuat seadanya di tengah banyak hal yang harus saya hadapi akhir-akhir ini. Semoga dapat mengisi kekosongan
______________________________________________
 Silakan lihat sekali lagi ;)
Ibnu Hajar mengutip dari Ad Daruquthni bahwa Sya’bi hanya meriwayatkan sebuah hadits dari Ali, hadits itu tercantum dalam shahih Bukhari. Sehingga terkesan bahwa riwayat di atas adalah putus sanadnya karena Sya’bi hanya meriwayatkan sebuah hadits dari Ali. Lalu bagaimana status riwayat ini? Jelas riwayat ini mursal, tetapi riwayat mursal memiliki banyak tingkatan, ini dijelaskan dalam kitab biografi perawi.
Sudah saya nyatakan sebelumnya bahwa riwayat As Sya’bi dari Ali adalah mursal khafi karena seperti yang dinyatakan Daruquthni, Asy Sya’bi hanya meriwayatkan satu hadis dari Ali dalam Shahih Bukhari. Sedangkan riwayat yang dinyatakan Ibnu Katsir itu bukan riwayat dalam Shahih Bukhari. Jadi sudah jelas riwayat tersebut mursal. Hadis mursal adalah dhaif kecuali ada hadis lain dengan sanad yang shahih dan muttasil yang menguatkan riwayat mursal tersebut. Dalam kitab Muqaddimah Ibnu Shalah dapat dilihat bahwa salah satu syarat hadis shahih adalah bersambung sanadnya. 8)
Kita bisa memahami jika orang awam yang belum memperdalam ilmu hadits mempertanyakan riwayat ini.
Begitukah? Apakah orang awam yang belum memperdalam ilmu hadis bisa mempertanyakan riwayat Baihaqi. Bagaimana bisa orang awam tahu kalau riwayat Baihaqi adalah mursal kecuali ia pernah membaca kitab biografi perawi hadis yang menyebutkan kalau Asy Sya’bi lahir jauh setelah Sayyidah Fatimah AS dan Abu Bakar wafat. Bagaimana bisa orang awam tahu kalau riwayat Asy Sya’bi dari Ali adalah mursal khafi kecuali ia mempelajari ini dari kitab Musthalah hadis atau membaca Kitab Al Illal Daruquthni atau membaca Fath Al Bari. Justru orang awam lah yang akan terkelabui oleh pengandaian Ibnu Katsir yang berkata Ini suatu sanad yang kuat dan baik yang jelas Amir mendengarnya dari Ali atau seseorang yang mendengarnya dari Ali :mrgreen:
Tapi mestinya dia melihat bagaimana Ibnu Katsir memberi dua kemungkinan, bisa jadi dia mendengar dari Ali atau mendengar dari orang yang mendengar dari Ali, karena Ibnu Katsir menyadari penjelasan ulama bahwa Sya’bi hanya meriwayatkan satu hadits dari Ali bin Abi Thalib.
Dan mestinya anda melihat wahai penulis dengan tingkat kelimuan anda bahwa kedua kemungkinan Ibnu Katsir itu adalah dhaif. Lihat baik-baik:
  • Kemungkinan Pertama Asy Sya’bi mendengar dari Ali, sudah jelas mursal khafi sebagaimana yang anda kutip dari Ibnu Hajar dalam Fath Al Bari. Hadis mursal sudah jelas dhaif kecuali ada hadis lain yang muttasil shahih yang menguatkan riwayat mursal tersebut.
  • Kemungkinan kedua Asy Sya’bi mendengar dari orang yang mendengar dari Ali. Bagaimana mungkin anda menyetujui Ibnu Katsir kalau sanad seperti ini kuat. Sanad seperti ini sudah jelas dhaif karena tidak diketahui siapa perawi yang mendengar dari Ali dan menyampaikan kepada Asy Sya’bi. Bukankah bisa jadi perawi tersebut adalah perawi yang dhaif. :roll:
Kemudian sang penulis tersebut malah berkata:
Ibnu Katsir – yang tentunya lebih mengerti hadits dari kita-kita yang awam- mengatakan sanad ini kuat dan bagus, karena Ibnu Katsir telah mempelajari status riwayat Sya’bi dari kitab biografi perawi hadits. Tidak ada salahnya kita yang awam ini membaca langsung terjemahan nukilan dari kitab biografi perawi, agar mendapat gambaran lebih jelas tentang status riwayat dari Sya’bi – yang nama lengkapnya adalah Amir bin Syurahil As Sya’bi-:
Setelah saya mempelajari ini, saya pun terheran-heran dengan Ibnu Katsir yang tentunya lebih mengerti masalah hadis tetapi justru menyatakan sanad yang dhaif sebagai sanad yang kuat. Sepertinya dalam pembahasan yang berkaitan dengan sentimen mahzab telah mempengaruhi seorang Ulama dalam mengambil keputusan. Baik mari kita lihat apa yang akan anda sampaikan wahai penulis:
Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah dan ulama lain mengatakan bahwa Sya’bi adalah tsiqah, Al Ijli mengatakan bahwa Sya’bi meriwayatkan hadits dari empat puluh delapan sahabat, dia lebih tua dari Abu Ishaq dua tahun, dan Abu Ishaq lebih tua dua tahun dari Abdul Malik, dia tidak memursalkan hadits kecuali hampir seluruhnya adalah shahih
Tahdzibut Tahdzib jilid 5 hal 59.
Beliau Asy Sya’bi adalah tabiin yang tsiqah. Hal ini sangat jelas dalam Kitab Rijal Hadis. Tetapi permasalahannya bukan terletak pada kredibilitas Asy Sya’bi, jadi anda membuang-buang waktu menuliskan berbagai predikat tsiqat pada Asy Sya’bi.
Pernyataan Al Ajli cukup relevan untuk dibahas. Seperti yang anda kutip Al Ajli mengatakan bahwa hampir seluruh mursal Asy Sya’bi adalah shahih. Apakah dengan begitu anda memahami bahwa hadis apapun jika Asy Sya’bi berkata Rasulullah SAW bersabda, maka hadis tersebut adalah shahih dengan kesaksian Al Ajli. Kalau iya maka anda benar-benar naif. Seorang Ulama berkata bahwa hadis seseorang yang mursal itu shahih karena dari hadis-hadis mursal yang diriwayatkan orang tersebut ternyata dibenarkan oleh hadis-hadis lain yang shahih dan sanadnya bersambung. Oleh karena itu Ulama tersebut menerima hujjah mursal seseorang. 
Al Ajli bisa jadi mengetahui banyak riwayat mursal Asy Sya’bi dan ternyata setelah ia pelajari ada banyak riwayat shahih lain yang membuktikan kebenaran riwayat mursal Asy Sya’bi. Hal ini mungkin cukup bagi Al Ajli untuk menyatakan hampir seluruh mursal Asy Sya’bi adalah shahih. Tetapi adalah tidak benar menyatakan keshahihan hadis hanya karena Asy Sya’bi yang meriwayatkannya. Hal ini bertentangan dengan kaidah jumhur dalam menetapkan keshahihan hadis seperti yang tertera dalamMuqaddimah Ibnu Shalah.
Hadis shahih adalah Hadis yang muttashil (bersambung sanadnya) disampaikan oleh setiap perawi yang adil(terpercaya) lagi dhabit sampai akhir sanadnya dan hadis itu harus bebas dari syadz dan Illat.
Dalam hal ini pernyataan Al Ajli adalah pernyataan yang harus dibuktikan kebenarannya dengan cara melihat semua riwayat mursal Asy Sya’bi dan mencari syawahidnya dari hadis shahih lain yang bersambung sanadnya. Karena bisa jadi Al Ajli tidak mengetahui ada riwayat mursal Asy Sya’bi yang tidak memiliki syawahid dari hadis shahih lain. 
Dengan dasar ini maka saya kembalikan permasalahan ini kepada anda wahai penulis, apakah ada riwayat shahih lain yang mendukung atau menguatkan kebenaran riwayat mursal Asy Sya’bi dalam Sunan Baihaqi yang anda kutip?. Sejauh penelitian saya tidak ada, tetapi mungkin anda lebih tahu dan saya yang awam ini mohon diberikan wejangan :mrgreen:
Pada halaman yang sama Ibnu Hajar menukil ucapan Al Ajurri dari Abu Dawud: mursal dari Sya’bi lebih aku sukai daripada mursal Nakha’i.
Siapapun berhak suka atau tidak suka tetapi itu tidak menjadi sebuah ketetapan bahwa mursal Asy Sya’bi sudah pasti shahih. Kembali pada Buktikan maka saya percaya.
Ditambah lagi dengan riwayat dari Syarah Nahjul Balaghah karya Ibnul Maitsam dan Ibnu Abil Hadid yang menguatkan riwayat ini.
Riwayat yang anda maksud itu masih dipertanyakan keshahihannya jadi tidak bisa menjadi penguat apapun karena riwayat itu sendiri justru lebih membutuhkan penguat dari yang lain.
Allah menyebutkan salah satu sifat golongan muttaqin –orang bertakwa- dalam surat Ali Imran ayat 134, yaitu mereka yang memaafkan kesalahan manusia.
Benar sekali, saya sangat sependapat dengan anda wahai penulis
Tidak layak kita menyimpan dendam dalam hati selama bertahun-tahun, tanyakan pada diri kita apa manfaat yang kita dapat dari menyimpan dendam? Yang kita dapat adalah rasa marah, tidak ada manfaat yang kita dapat. Sebaliknya, maaf dapat membuat hati kita tenang dan lapang, selain itu kita juga mendapat berita gembira dari Allah, apakah kita tidak ingin mendapat ampunan dari Allah?
Benar sekali wahai penulis dan saya tambahkan sangat tidak layak jika kata-kata anda ini ditujukan atas sikap Sayyidah Fatimah AS yang marah dan tidak berbicara kepada Abu Bakar RA sampai akhir hayatnya. Karena ini bukan soal dendam kesumat tetapi soal Kebenaran dan Hukum Allah SWT. :)
Saya tutup tulisan ini dengan Firman Allah SWT
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. (QS. Al Ma’idah 5:8 )
Salam Damai.

Kemurkaan Fatimah kepada Abubakar dan Umar yang menyerang rumahnya.





http://www.youtube.com/watch?v=DnfP2auUqtk&feature=player_detailpage

Muhammad lahir dalam keadaan yatim. Dan ketika Muhammad masih kecil, ibunya Aminah binti Wahhab wafat. Padahal sebagaimana umumnya anak-anak tentu Muhammad sedang begitu membutuhkan belaian kasih sayang ayah bundanya.

Dalam kedukaannya sebagai anak kecil yang kehilangan ibu yang mengasihinya, Abu Thalib, Paman Nabi itu mengambil Muhammad untuk tinggal bersamanya. Muhammad di asuk oleh Fatimah binti Asad. Darinya Muhammad memperoleh kasih sayang seorang ibu. Dalam pelukan kasih sayang Fatimah binti Asad itu Muhammad dapat memanggilnya “Wahai Ibunda!”

Setelah Muhammad dewasa, Fatimah binti Asad wafat. Muhammad sangat berduka hatinya. Ketika dalam kedukaan itu,  Allah menganugrahkan seorang putri kepada Muhammad. Setiap kali melihat putrinya itu, Muhammad selalu teringat kepada ibu angkat yang sangat dia kasihi. Maka dengan rasa kasih sayang pula Muhammad menamakan putrinya dengan Fatimah.

Fatimah tumbuh sebagai gadis yang cerdas dan cantik. Muhammad sangat menyayanginya. Ketika Fatimah berdiri di mihrabnya, berkas-berkas cahaya merekah menerangi para penghuni langit, sebagaimana cahaya bintang-bintang menerangi bumi. Oleh karena itu kemudian Fatimah diujuluki Az-Zahra oleh ayahandanya.
Muhammad sangat menyayangi Fatimah, sehingga ia berkata, “barang siapa yang menyakiti Fatimah, maka ia menyakiti aku. Fatimah adalah bagian dari diriku, barang siapa yang membuatnya marah, maka ia membuatku marah. Sesungguhnya Allah marah untuk marahnya Fatimah. Dan Allah ridha untuk ridhanya Fatimah.”

Fatimah pun begitu mencintai ayahnya. Berat benar Fatimah menanggung perasaan beban derita yang dialami oleh ayahandanya, Muhammad. Ketika Muhamamd sujud di depan Ka`bah, kaum kafir Quraisy melempari Muhammad dengan tahi dan usus unta. Fatimah tidak rela melihat ayahnya diperlakukan seperti itu, lalu meminta kafir Quraisy itu untuk  berhenti dengan memarahi mereka. Segera Fatimah menghampiri ayahandanya. Dan dengan kasih sayangnya, Fatimah yang masih berusia 9 tahun mengusap wajah ayahadannya yang penuh dengan debu dan kotoran unta. Fatimah menangis untuk ayahnya. “wahai Ayah, apa yang telah mereka lakukan kepadamu?” Fatimah memeluk Muhammad seakan Fatimah adalah Fatimah binti Asad yang ketika masa kanak-kanak Muhammad dahulu, Fatimah senantiasa memeluk Muhammad kala Muhammad merasakan kesedihan. Betapa tidak, Muhammad mencintai putrinya itu, karena Fatimah tidak saja sebagai putrinya yang cantik, pintar dan mulia akhlaknya, tetapi juga bagaikan ibu yang senantiasa menghapus duka laranya.

Sepeninggal Muhammad saw, Fatimah menangung beban derita yang dalam. Tubuhnya ringkih dan sakit-sakitan. Terutama setelah Umar memukul perutnya yang sedang hamil, sehingga Muhsin, bayi yang berada dalam kandungan Fatimah jatuh ke tanah.  Ia pun telah pergi mendatangi Abu Bakar, meminta tanah Fadaq peninggalan ayahandanya sebagai harta warisan baginya. Karena bukan saja karena Fatimah membutuhkan harta warisan itu, tetapi karena seseorang harus mengambil apa yang menjadi haknya.  Tetapi Abu Bakar menolak memberikannya, karena Abu Bakar mengaku bahwa temannya memberi tahu dirinya bahwa temannya itu pernah mendengar  Rasulullah bersabda, “Para nabi itu tidak meninggalkan warisan harta benda. Yang di wariskan para nabi itu hanyalah ilmu.” Tapi Fatimah tidak sependapat dengan Abu bakar. Perselisihan pun terjadi. Tapi Abu Bakar tetap dalam pendiriannya. Fatimah menjadi murka kepada Abu Bakar. Ia pun bersumpah bahwa sampai ajal menjemputpun, Fatimah tidak mau lagi melihat wajah Abu Bakar.

Malam-malamnya dipenuhi dengan doa dan tangisan. Karena seringnya Fatimah menangis, maka orang-orang menggelarinya al-Bahai (yang sering menangis). Tak jarang Fatimah datang ke kubur Muhammad, sambil menangis lalu mengadukan segala soalan hidupnya seakan-akan. “Wahai Rasulullah, ayahandaku! Apakah engkau melihat, apa yang telah dilakukan oleh umatmu terhadap ku?” lalu Fatimah menangis sejadi-jadinya.

Fatimah jatuh sakit. Berita sakitnya Fatimah terdengar oleh Abu Bakar. Lalu Abu Bakar menangis dan berkata, “Sungguh bagiku, keredhaan Fatimah, putri Rasulullah adalah lebih baik bagiku dari pada langit, bumi dan segala isinya.” Lalu Abu Bakar datang menjenguk serta meminta maaf kepada Fatimah.
Dengan kasih sayang, Ali selalu mendampingi Fatimah dalam sakitnya itu. Dengan nada sendu, Fatimah berkata kepada suaminya, “Wahai Putra Pamanku, saat-saat yang kunantikan sudah semakin dekat. Dan jiwaku semakin merunduk. Tidak ada yang kuharapkan selain pertemuan dengan ayahku, Rasulullah.  Dan aku ingin berwasiat kepadamu!”

Dengan lembut, Ali menjawab, “Wasiatkanlah kepadaku, duhai Fatimah, Putri Rasulullah, kekasihku!”
“wahai Putra Pamanku, engkau tidak mendustakan dan tidak mengkhianati janji-janji yang kau ucapkan. Dan aku tidak pernah berpaling dari mu, tidak pula mengkianatimu, sejak kita besama selamanya.” Demikian Fatimah, dengan suaranya yang lemah. Lalu keduanya saling berpegangan, saling berpelukan dan menangis dalam cinta.

“inilah yang ingin aku wasiatkan , Pertama, sepeninggalku engkau nikahilah Umamah binti Abi Al-Ash! Sesungguhnya ia menyayangi anak-anakku seperti aku menyayangi anak-anakku. Kedua, buatkanlah aku keranda untuk mayatku. Dan tanyakan kepada Asma binti Umais tentang bentuk kerandanya. Karena aku telah memberi tahunya tentang bentuk keranda yang aku inginkan, bila aku mati. Tutuplah kerandaku dengan rapat, dikafani dan dibungkus dengan kain lampin yang tebal. Ketiga, kuburkanlah aku di tanah Baqi pada malam hari, tak jauh dari ayahandaku dikuburkan.”

Umamah binti Abi al-Ash adalah Putri Zainab binti Muhammad. Bukanlah hal mudah bagi Ali untuk menjalankan wasiat dari Fatimah. Tapi karena cintanya kepada Fatimah, Ali berjanji untuk melaksanakan semua wasiat itu.

Setelah mendengar suaminya mau berjanji untuk melaksanakan wasiat itu, Fatimah tampak senang dan bercahaya wajahnya. “Wahai Putra Pamanku, sesungguhnya wajah ayahandaku Rasulullah, selalu hadir di pelupuk mataku. Aku rindu bertemu dengannya. Akulah orang pertama yang akan menjumpainya di antara ahli baitnya.”

Fatimah, wanita suci lagi disucikan, pemimpin kaum wanita surga, bunga terindah di dunia dan diakhirat, kini ia gugur layu ke bumi. Ia wafat pada malam selasa bulan ramadhan tahun 11 Hijriah. Semua menangis karena kehilangan wanita yang agung itu. Tapi tidak ada yang dapat dilakukan, datang dan pergi, mendapat dan kehilangan, berjumpa dan berpisah lagi adalah hukum kehidupan yang tak dapat diingkari. Tidak ada jalan lain kecuali merelakannya. Fatimah wafat dalam usia dua puluh sembilan tahun.

Kabar kematian Fatimah segera tersebar luas di Madinah. Orang-orang berdatangan dan berkumpul di rumah Fatimah. Hasan dan Husain menangis dipangkuan ayahandannya Ali,  yang juga tampak bersedih kehilangan.

Kepergian Fatmah Az-Zahra diiringi tangisan pilu seluruh kaum muslimin yang mengantarkan ke pemakaman dengan diliputi duka yang mendalam. Ali menyalatinya, dan iapun turun ke dalam liang lahat, berdiri pada bagian kepala Fatimah, mengantarnya dengan kalimat-kalimat yang membangkitkan kesedihan hadirin. Maka, jenazah yang suci dan wangi itupun dikuburkan.

Disebutkan dalam shahih Bukhori dalam kitab Bada’ al-Khalq di bab Manaqib qarabatu Rasulillah saw bahwa Rasulullah saw bersabda : ” Fatimah adalah bagian dariku, maka barang siapa yang membikin marah dia maka telah membuatku marah” hadis seperti ini juga di riwayatkan dalam kitab Kanz Al-Ummal jilid 6 halaman 230. Disebutkan juga dalam kitab shahih Bukhori dalam kitab Al-Nikah disebutkan juga dalam kitab Musnad Ahmad jilid 4 halaman 328.

Disebutkan juga dalam kitab shahih Muslim di dalam bab Fadhail as-Shahabah.
Disebutkan juga dalam kitab shahih Muslim di al-Bab al-Mutaqadim.
Disebutkan juga dalam kitab shahih at-Tirmidzi jilid 2 halaman 319.
disebutkan juga dalam kitab al-Mustadrak ala al-Shahihain jilid 3 halaman 158.

Disebutkan juga dalam kitab Hilah al-Auliya’ jilid 2 halaman 40 hadis diatas disebutkan dalam alur yang berbeda di dalam kitab as-Shawaiq al-Muhriqah hal 190 bahwa Rasulullah bersabda : ” sesungguhnya Allah swt marah untuk marahnya Fatimah dan Ridha untuk Ridhanya Fatimah.” hadis-hadis tentang kemuliaan sayidah Fatimah as dimuat di seluruh buku-buku ulama’ sunni yang mu’tabar dan penting. Sayidah Fatimah adalah kecintaan Nabi saw, kecintaan Nabi saw adalah kecintaan Allah swt. disebutkan didalam al-Quran surah al-Ahzab ayat 57 bahwa Allah swt berfirman : “sesungguhnya orang-orang yang mengganggu Allah swt dan RasulNya, maka Allah akan melaknatnya di dunia dan di akhirat dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan.”.

Disebutkan dalam kitab الوافی بالوفیات jilid 2 halaman 17 bahwa ابراهیم ابن سیار النظام berkata bahwa sesungguhnya Umar ibn khattab (khalifah kedua) telah memukul perut sayidah Fatimah as (yang dalam keadaan hamil) di hari baiat (hari dimana masyarakat dipaksa untuk berbaiat kepada Abubakar) sampai Muhsin (anak yang dikandungnya) keluar dari perutnya jatuh ketanah.

Disebutkan juga dalam kitab الامامة و السیاسة jilid 1 halaman 12 bahwa IBn Qutaibah Ad-Dainuri berkata : sesungguhnya Abubakar mencari sekelompok orang untuk berbaiat kepadanya yang mana sekelompok tersebut berada di rumah sayidina Ali as maka Abu bakar mengirim Umar, datanglah Umar ke rumah sayidina Ali as dan dia memanggil mereka semua yang berada di dalam rumah sayidina Ali as, akan tetapi mereka semua tidak ada yang menjawab teriakan Umar, dan tidak ada satupun yang keluar, maka Umar untuk kedua kalinya dengan membawa kayu bakar yang ada di tangannya dia berteriak : “demi yang jiwaku berada di tangannya kalian semua akan keluar atau aku bakar rumah ini beserta yang berada didalamnya.” satu orang dari dalam rumah berkata kepada Umar : “wahai ayahnya Hafsah sesungguhnya Fatimah berada di dalam rumah ini.”.

Umar berkata :”walaupun dia ada” (aku akan tetap membakar rumah ini). kejadian ini juga dimuat di dalam kitab العقد الفرید jilid 4 halaman 259 cetakan mesir dengan alur yang sedikit berbeda.. di dalam kitab کنز العمال jilid 3 halaman 140 bahwa umar berkata keada sayidah Fatimah as: “tidak ada orang yang lebih dicintai oleh ayahmu lebih daripada cintanya kepadamu, akan tetapi ini tidak akan mencegahku, sebagaimana sekelompok orang ini yang telah berkumpul di dekatmu, aku akan memerintah mereka untuk membakar rumahmu.”

Orang-orang yang menyerang rumah putri Nabi saw itu disebutkan di dalam kitab تاریخ الطبری jilid 2 halaman 443-444. kejadian juga disebutkan dalam kitab تاریخ ابوالغداء jilid 1 halaman 156 dengan alur yang sedikit berbeda yaitu Abubakar menyuruh Umar untuk mengambil baiat dari orang-orang yang berada di dalam rumah sayidina Ali, dan jika mereka menolak maka perintah berikutnya adalah Umar harus menyerang mereka, dan Umar membakar rumah sayidah Fatimah as.

Disebutkan di kitab2 sejarah bahwa sayidah Fatimah mulai saat itu sampai meninggal tidak mau berbicara kepada Abubakar dan Umar dan juga tidak Ridha atas perbuatan mereka, serta marah atas apa yang mereka lakukan kepadanya dan sayidina Ali as.. disebutkan juga didalam kitab sejarah bahwa sayidah Fatimah setiap selesai sholat selalu mengadu kepada Allah swt atas perbuatan mereka….

disebutkan juga dalam kitab-kitab sejarah bahwa Fatimah a.s berkata kepada Khalifah pertama dan kedua: “Jika aku membacakan hadis dari Rasulullah SAWW apakah kalian akan mengamalkannya?”
“Ya”, jawab mereka singkat.

Ia melanjutkan: “Demi Allah, apakah kalian tidak pernah mendengar Rasulullah SAWW bersabda: “Kerelaan Fathimah adalah kerelaanku dan kemurkaannya kemurkaanku. Barang siapa mencintai Fathimah putriku, maka ia telah mencintaiku, barang siapa yang membuatnya rela, maka ia telah membuatku rela, dan barang siapa membuatnya murka, maka ia telah membuatku murka”?

“Ya, kami pernah mendengarnya dari Rasulullah SAWW”, jawab mereka pendek.
“Kujadikan Allah dan malaikat sebagai saksiku bahwa kalian berdua telah membuatku murka. Jika aku kelak berjumpa dengan Rasulullah, niscaya aku akan mengadukan kalian kepadanya”, lanjutnya.
Di kitab as-Shawaiq al-Muhriqah hal 190 bahwa Rasulullah bersabda : ” sesungguhnya Allah swt marah untuk marahnya Fatimah dan Ridha untuk Ridhanya Fatimah.”.

Disebutkan di dalam al-Quran surah al-Ahzab ayat 57 bahwa Allah swt berfirman : “Sesungguhnya orang-orang yang mengganggu Allah swt dan RasulNya, maka Allah akan melaknatnya di dunia dan di akhirat dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan.”.

Kesalahan Nashibi Perihal Idraaj Dalam Hadis Aisyah Berlafaz Qaala.
Kami membuat tulisan ini khusus untuk meluruskan penyimpangan ilmu hadis ala nashibi perihal idraaj dalam hadis Aisyah yaitu hadis-hadis Aisyah yang mengandung lafaz [qaala]. Pada kasus sebelumnya, nashibi berhujjah dengan riwayat Aisyah dalam Tarikh Ash Shaghiir Al Bukhariy

حدثنا أبو اليمان انا شعيب عن الزهري أخبرني عروة بن الزبير عن عائشة فذكر الحديث قال وعاشت فاطمة بعد النبي صلى الله عليه وسلم ستة أشهر ودفنها علي

Telah menceritakan kepada kami Abul Yamaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’aib dari Az Zuhriy yang berkata telah mengabarkan kepadaku Urwah bin Zubair dari Aisyah lalu menyebutkan hadis, [qaala] “Fathimah hidup setelah wafat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] selama enam bulan kemudian wafat dikuburkan oleh Aliy [Tarikh Ash Shaghiir juz 1 no 116].

Menurut nashibi lafaz [qaala] disana adalah idraaj dan riwayat ini ia katakan menjadi bukti nyata bahwa lafaz “Fathimah hidup enam bulan” adalah idraaj Az Zuhriy. Kami katakan bahwa ini kesalahan menyedihkan dan kami tidak habis pikir bagaimana kesalahan ini bisa muncul dari orang yang sudah akrab dengan ilmu hadis. Lafaz [qaala] pada riwayat di atas bukan bermakna idraaj [sisipan perawi] tetapi bermakna perawi berkata melanjutkan perkataan Aisyah atau perawi berkata dengan membawakan perkataan Aisyah.

Kami akan membawakan salah satu contoh penulisan atau peringkasan hadis Aisyah yang mengandung lafaz [qaala].

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الرزاق أنا بن جريج قال أخبرت عن بن شهاب عن عروة عن عائشة أنها قالت وهي تذكر شأن خيبر كان النبي صلى الله عليه و سلم يبعث بن رواحة إلى اليهود فيخرص عليهم النخل حين يطيب قبل أن يؤكل منه ثم يخيرون يهود أيأخذونه بذلك الخرص أم يدفعونه إليهم بذلك وإنما كان أمر النبي صلى الله عليه و سلم بالخرص لكي يحصى الزكاة قبل أن تؤكل الثمرة وتفرق

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazaaq yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij yang berkata telah diberik kabar dari Ibnu Syihaab dari Urwah dari Aisyah bahwasanya ia berkata dan ia bercerita tentang kisah Khaibar “Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengutus Ibnu Rawaahah kepada orang-orang yahudi untuk menaksir kurma ketika telah layak panen sebelum dimakan kemudian orang-orang yahudi itu diberi pilihan, apakah mereka mengambil bagiannya dengan takaran yang ditetapkan atau membayar kepada mereka atas bagiannya. Sesungguhnya hanyalah perintah Nabi untuk menaksir kurma agar dapat dihitung pengeluaran zakatnya sebelum dimakan buahnya dan dibagi-bagikan [Musnad Ahmad 6/163 no 25344].

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا محمد بن بكر أنا بن جريج عن بن شهاب أنه بلغه عنه عن عروة عن عائشة أنها قالت وهي تذكر شأن خيبر فذكر الحديث إلا أنه قال حين يطيب أول التمر وقال قبل أن تؤكل الثمار

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bakr yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij dari Ibnu Syihaab bahwasanya telah sampai kepadanya dari Urwah dari Aisyah bahwa ia berkata dan ia bercerita tentang kejadian khaibar, kemudian menyebutkan hadisnya, hanya saja ia berkata “ketika awal panen kurma” dan berkata “sebelum dimakan buahnya” [Musnad Ahmad 6/163 no 2545].

Apakah beradasarkan riwayat Ahmad di atas maka kita katakan lafaz “Hiina yathiibu awwalut tamri” [yang dicetak merah] adalah idraaj dari Az Zuhriy karena diawali dengan lafaz [qaala] yang berarti perawi laki-laki berkata?. Jawabannya tidak, lafaz tersebut adalah lafaz Aisyah inilah salah satu riwayat lengkap yang memuat lafaz tersebut.

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ النَّيْسَابُورِيُّ , ثنا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى ح وَحَدَّثَنَا ابْنُ صَاعِدٍ , ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ زَنْجُوَيْهِ , ثنا عَبْدُ الرَّزَّاقِ , ثنا ابْنُ جُرَيْجٍ , عَنِ الزُّهْرِيِّ , عَنْ عُرْوَةَ , عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ وَهِيَ تَذْكُرُ شَأْنَ خَيْبَرَ , وَقَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبْعَثُ بِابْنِ رَوَاحَةَ إِلَى الْيَهُودِ فَيَخْرُصُ النَّخْلَ حِينَ تَطِيبُ أَوَّلَ التَّمْرَةِ قَبْلَ أَنْ يُؤْكَلَ مِنْهَا ثُمَّ يُخْبِرُ يَهُودَ يَأْخُذُونَهَا بِذَلِكَ الْخَرْصِ  أَوْ يَدْفَعُونَهُ إِلَيْهِمْ بِذَلِكَ الْخَرْصِ , وَإِنَّمَا كَانَ أَمْرُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْخَرْصِ لِكَيْ تُحْصَى الزَّكَاةُ قَبْلَ أَنْ تُؤْكَلَ الثِّمَارُ وَتَفَرَّقَ

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar An Naisaburiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya. Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Shaa’idin yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdul Malik bin Zanjuwaih yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij dari Az Zuhriy dari Urwah dari Aisyah bahwasanya ia berkata dan ia menceritakan kejadian Khaibar. Aisyah berkata “Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengutus Ibnu Rawahah kepada orang-orang yahudi untuk menaksir kurma ketika awal panen kurma sebelum dimakan kemudian orang-orang yahudi itu diberi pilihan, apakah mereka mengambil bagiannya dengan takaran yang ditetapkan atau membayar kepada mereka atas bagiannya. Sesungguhnya hanyalah perintah Nabi untuk menaksir kurma agar dapat dihitung pengeluaran zakatnya sebelum dimakan buahnya dan dibagi-bagikan [Sunan Daruquthniy 3/52 no 2052].

Jadi apa makna [qaala] dalam riwayat Ahmad sebelumnya?. Lafaz qaala disana bermakna perawi berkata dalam hadisnya yaitu perkataan Aisyah “ketika awal panen kurma”. Begitu pula dengan riwayat Bukhari dalam Tarikh As Shaghiir sebelumnya, lafaz qaala disana bermakna perawi berkata daam hadisnya yaitu perkataan Aisyah “Fathimah hidup setelah wafat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] selama enam bulan kemudian wafat dikuburkan oleh Aliy”. Kami telah membawakan bukti-bukti berupa riwayat dimana lafaz tersebut diawali dengan kata [qaalat] yang berarti Aisyah berkata.

Hal ini cukup untuk membungkam syubhat menyedihkan para nashibi, tetapi sepertinya nashibi tersebut tetap tidak akan menerimanya. Sungguh jelas terlihat siapa sebenarnya yang sedang mencari kebenaran dan siapa yang mencari pembenaran terhadap hawa nafsu dan kebenciannya.

Hanya ini sajian ringkas yang dapat kami tuliskan untuk meluruskan penyimpangan ilmu hadis ala nashibi perihal idraaj dalam hadis Aisyah. Semoga bermanfaat bagi para pembaca sekalian.  

Wassalam.

(Syiah-Ali/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: