Pesan Rahbar

Home » » Salahkan Syi’ah marah pada Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah (aktor peristiwa Saqifah) yang karena ulah mereka telah menyeret perjalanan sejarah Islam ke arah lain

Salahkan Syi’ah marah pada Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah (aktor peristiwa Saqifah) yang karena ulah mereka telah menyeret perjalanan sejarah Islam ke arah lain

Written By Unknown on Monday, 25 August 2014 | 21:02:00

Siapakah sahabat Nabi saw ?  adakah perselisihan di antara para sahabat semenjak wafatnya Nabi ??
Membaca pikiran-pikiran Ali Syari’ati menghentak nurani keagamaan kita sebagaimana teman Syari’ati. Pesannya yang kuat secara ideologis (Islam) pada saat yang sama menunjukkan keluasan pandangannya di luar tradisi Islam seperti Marxisme dan eksistensialisme membawa kita pada Syariati yang gelisah, cerdas, dan otentik sekaligus ingin taat kepada agama “syiah merahnya”.

Syariati menolak pemikiran Marxis dan eksistensialis tapi menggunakannya untuk mengkaji Islam lewat analisis atas penantian yang aktif terhadap Imam Mahdi as yang diyakininya.

Jiwanya dididik dalam tradisi Islam, tapi pengetahuannya berkemang melalui tradisi Marxis dan eksistensialis. Kedua tradisi yang jelas memiliki struktur toritis yang bertentangan  (seperti kajian Muthahhari rekan Syariati di Huseiniyah Irsyad Iran), Tapi Syariati tetaplah Syariati yang mencintai Agama dan ekspresi perlawanan Imam Husein di Karbala dalam rangka menegakkan Agama Rasul SAW. Karya Syariati adalah bahan untuk menunjukkan kembali tingginya tradisi intelektual dan spiritual Islam pada saat yang sama memliki progresifitas sosial-historis yang kuat.

Buku ini baik sebagai bahan untuk memulai membangun orientasi Islam, selanjutnya kajian Muthahhari bisa menjadi bahan menstrukturkan orientasi Islam Syari’ati.

Diantara 20 buku judul buku Ali Syari’ati yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, buku ini merupakan buku dengan terjemahan terbaik dan mudah dipahami bahkan bagi pembaca awam yang belum mengenal sosok Ali Syari’ati.

Secara garis besar, Ummah dan Imamah adalah prinsip akidah Islamiyah yang paling penting dan terkenal, khususnya dikalangan mazhab Syi’ah. Pokok permasalahan terbesar adalah makin jauhnya Islam dari nilai-nilai intelektual, perubahan, dan kehadiran Imam teladan diantara Ummah.

Dengan cerdas beliau menulis “Sejak masa Sayyid Jamaluddin Al-Afghani, kita lihat Islam sudah tidak lagi seperti apa yang tampil di permukaan. Kita ketahui bahwa di dalamnya terdapat banyak sekali sendi-sendi yang meragukan—seperti yang kita saksikan dewasa ini—atau akidah tersebut bercampur aduk dengan unsur-unsur budaya asing”.

Kritik tajam Ali Syari’ati dalam membandingkan gerakan kaum Protestan yang disebut sebagai pembaharu dunia dengan keadaan kaum Muslim yang jauh tertinggal, membuka mata pembaca terhadap kesalahan-kesalahan berpikir yang selama ini mengganggu jalannya perkembangan ilmu di kalangan Muslim.
Konsep Imam sendiri dalam mempersiapkan revolusi Islam menurut Syari’ati memiliki posisi sentral: “Imam mempunyai peranan penting dalam kehidupan, dan beriman kepada Imam memiliki makna yang besar dalam kehidupan para pemikir dan cendekiawan, khususnya para pengkaji masalah-masalah sosial…Imam juga dapat diartikan sebagai Nabi bersenjata yang baru.”.

Buku ini sangat direkomendasikan untuk dibaca bagi aktivis mahasiswa yang konsern dalam gerakan sosial. Ali Syari’ati pantas disebut sebagai pemikir Iran abad ini, karena penjelasan tentang konsep-konsep dasar Ummah dan Imamah-nya sangat terperinci dan detail, dari cara memilih seorang Imam, kepatuhan terhadap Imam, dan strategi taktis lainnya untuk menggerakan Ummah menuju revolusi.

UMMAH DAN IMAMAH; SEBUAH TINJAUAN SOSIOLOGIS; DR. ALI SYARI’ATI.

A. BIOGRAFI ALI SYARI’ATI.
1. Latar Belakang Kehidupan
Ali Syari’ati adalah anak pertama Muhammad Taqi dan Zahra, lahir pada 24 November 1933. Bertepatan dengan periode ketika ayahnya menyelesaikan studi keagamaan dasarnya dan mulai mengajar di sebuah sekolah dasar, Syerafat. ‘Ali lahir dalam keluarga terhormat. Dalam keluarga ini ritual dan ritus keagamaan ditunaikan dengan seksama.
Pada masa kanak-kanak ketika teman-temannya asyik bermain, Syari’ati asyik membaca buku-buku sastra seperti Les Miserable karya Victor Hugo. Kegemaran ini terus berlanjut hingga masa remajanya. Sejak tahun pertamannya di sekolah menengah atas, ia asyik membaca buku-buku filsafat, sastra, syair, ilmu sosial dan studi keagamaan di perpustakaan ayahnya yang berjumlah 2000 buku. Kegemarannya inilah yang membuat ia jarang bermain dengan teman-teman sebayanya.
Pada 1955, Syari’ati masuk Fakultas Sastra Universitas Masyhad yang baru saja diresmikan. Selama di universitas, sekalipun menghadapi persoalan administratif akibat pekerjaan resminya sebagai guru full-time, Syari’ati paling tinggi rangkingnya di kelas. Bakat, pengetahuan dan kesukaannya kepada sastra menjadikannya popular di kalangan mahasiswa. Di universitas, Syari’ati bertemu Puran-e Syari’at Razavi, yang kemudian menjadi istrinya. Karena prestasi akademisnya di Universitas ini, dia mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi keluar negeri.
Pada April 1959, Syari’ati pergi ke Paris sendirian. Istri dan putranya yang baru lahir, bernama Ehsan bergabung dengannya setahun kemudian.
Selama di Paris, Syari’ati berkenalan dengan karya-karya dan gagasan-gagasan baru yang mencerahkan, yang mempengaruhi pandangan hidup dan wawasannya mengenai dunia. Dia mengikuti kuliah-kuliah para akademisi, filosof, penyair, militan, dan membaca karya-karya mereka, terkadang bertukar pikiran dengan mereka, serta mengamati karya-karya seniman dan pemahat. Dari masing-masing mereka Syari’ati mendapat sesuatu, dan kemudian mengaku berutang budi kepada mereka. Di sinilah Syari’ati berkenalan dengan banyak tokoh intelektual barat antara lain Louis Massignon yang begitu dihormatinya, Frantz Fanon, Jacques Berque dan lain-lain.
Namun pribadi Syari’ati yang penuh dengan semangat perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan, walaupun tidak berada di Iran, ia tetap berjuang menentang rezim Iran. Antara 1962 dan 1963, waktu Syari’ati tampaknya habis tersita untuk aktivitas politik dan jurnalistiknya. Keberanian ini dia ungkapkan sebagai berikut:
Dengan bimbingan dan pertolongan Allah-lah saya berani menerjunkan diri menghadapi berbagai fenomena, dan dengan cinta dan dukungan mukjizatlah saya bisa mengatasi hal-hal yang menyakitkan hati saya. Rahmat Allah telah menyebabkan saya memperoleh tenaga baru sesudah saya mengalami kejenuhan. Tanpa bekal keahlian apapun saya menempuh jalan yang situ saya tak akan menyia-nyiakan hidup saya barang sekejappun untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang terlarang. Semoga Allah menolong saya, sehingga saya bisa mengatasi berbagai kekurangan yang dapat saya tangkap, dan semoga pula semuanya itu tidak larut oleh kesenangan-kesenangan hidup kala umur yang pendek ini dipergunakan dalam bentuk seperti ini.
Setelah meraih gelar doktornya pada 1963, setahun kemudian Syari’ati dan keluarganya kembali ke Masyhad, Iran. Di sini ia mengajar di sekolah menengah atas. Pada 1965, dia bekerja di Pusat Penelitian Kementerian Pendidikan di Teheran. Kemudian pada 1967 Ali Syari’ati mulai mengajar di universitas Masyhad. Inilah awal kontaknya Ali Syari’ati dengan mahasiswa-mahasiswa Iran. Universitas Masyhad yang relatif tenang dan teduh, segera saja semarak. Kelas Syari’ati tak lama kemudian menjadi kelas favorit. Gaya orator Syari’ati yang memukau memikat audiens, memperkuat isi kuliahnya yang membangkitkan orang untuk berpikir.
Sejak Juni 1971, Syari’ati meninggalkan jabatan mengajarnya di Universitas Masyhad, lalu dikirim ke Teheran. Ia bekerja keras untuk menjadikan Hosseiniyeh Ershad menjadi sebuah ‘Universitas Islam’ radikal yang modernis. Berbagai peristiwa politik di Iran pada 1971 memainkan peranan penting dalam membentuk dan mengarahkan orientasi serta aktivitas Hosseiniyeh Ersyad yang semakin militan dan akibatnya semakin terkenal di kalangan kaum muda. Namun pada tanggal 19 November 1972 Hosseiniyeh Ersyad ditutup dan Syari’ati di penjara karena berbagai aktivitas politiknya, yang mengecam rezim Syah.
Pada 16 Mei 1977, Syari’ati meninggalkan Iran. Ia mengganti namanya menjadi ‘Ali Syari’ati. Tentara Syah, Savak akhirnya mengetahui kepergian Ali Syari’ati mereka mengontak agen mereka di luar negeri. Di London Inggeris, pada 19 Juni 1977 jenasah Ali Syari’ati terbujur di lantai tempat ia menginap.
Kematian yang tragis seorang pejuang Islam yang teguh memperjuangkan keyakinannya. Ia syahid dalam memperjuangkan apa yang dianggapnya benar. Ali Syari’ati telah mengkuti jejak sahabat Nabi dan Imam Ali yang begitu dikagumi dan dijadikan simbol perjuangannya, Abu Dzar Al-Ghifari. 19 Juni tahun 1977, Doktor Ali Syari’ati, seorang cendekiawan Iran kontemporer, gugur di London akibat dibunuh oleh agen rahasia rezim Shah Pahlevi.
Al-Ummah wa Al-Imamah (Ummah dan Imamah) adalah karya karya lengkap Ali Syari’ati tentang kepemimpinan dalam Islam. Didalamnya dijelaskan secara lengkap konsep imamah sekaligus hubungannya engan ummah. Perspketif yang digunakan adalah perspektif dari ideology Syiah. Walaupun begitu Ali Syari’ati membahasnya sesuai dengan sejarah-sejarah kepemimpinan Islam sejak Rasulullah sampai dengan sahabat.
B. Pemikiran Ali Syari’ati dalam buku Al-Ummah wa Al-Imamah (Ummah dan Imamah)
1. Tujuan Pemerintahan Islam.
Konsep pemerintahan Islam banyak dibahas oleh Ali Syari’ati dalam bukunya ummah dan imamah. Menurutnya tujuan pemerintahan ini ditentukan oleh konsep negara itu sendiri. Ali Syari’ati membedakan konsep siyasah dalam istilah Islam dan konsep politique dalam bahasa Yunani. Berbedaan ini berimplikasi kepada berbedanya pula tujuan yang ingin dicapai oleh negara.
Siyasah menurutnya adalah suatu filsafat yang mendobrak dan dinamis, dan tujuan negara dalam filsafat politik adalah merombak bangunan, pranata-pranata, dan hubungan–hubungan sosial, bahkan juga akidah, akhlaq, peradaban, tradisi sosial; dan secara umum menegakkan nilai-nilai sosial diatas landasan pesan revolusi dan ideologi revolusioner, serta bertujuan merealisasikan cita-cita dan harapan-harapan yang lebih sempurna, membimbing masyarakat mencapai kemajuan, menciptakan kesempurnaan dan bukan kebahagiaan, yang baik dan bukan pelayanan, pertumbuhan dan bukan kenyamanan, kebaikan dan bukan kekuatan yang hakiki dan superficial, yang kesemua itu bisa dirumuskan dalam satu kalimat pendek “pembangunan masyarakat” dan bukan “administrasi dan pemeliharaan masyarakat.
Berbeda dengan siyasah, politque yang didasarkan kepada filsafat pemerintahan barat. Politik menurut Ali Syari’ati sama sekali tidak bermaksud membangun melainkan bertopang pada apa yang mungkin dikerjakan dan politik bertujuan untuk mengatur negara tidak atas dasar ideologi revolusioner, tetapi berdasarkan pandangan popular dan mencari perkenan bukan membimbing menuju keutamaan. Politik hanya bertujuan agar masyarakat hidup nyaman dan bukan melakukan perbaikan terhadap masyarakat agar mereka bisa hidup dengan baik.
Dari dua pengertian ini, lanjut Syari’ati, konsep siyasah lebih unggul daripada konsep politik. Siyasah membangun masyarakat sedangkan politik mengatur negara yang berimplikasi kepada pemasungan aspirasi rakyat, pengendalian kebijaksanaan pemerintah, penindasan alam pikiran dan penyingkapan taqiyyah.
Untuk itulah tujuan dari pemerintahan Islam adalah sama halnya dengan konsep imamah dalam pengertian Ali Syari’ati. Berkenaan dengan hal ini, ia berkata:
Imamah bukanlah semacam kantor dan pemelihara masyarakat dalam bentuknya yang beku dan kaku. Tanggung jawab paling utama dan penting dari imamah-yakni filsafat politik untuk membentuk imamah dan seperti yang tercakup dalam pengertiannya-adalah perwujudan dari penegakan asas pemerintahan pada kaidah kemajuan, perubahan dan transformasi dalam bentuknya yang paling cepat, dan akan melakukan selerasi dan menggiring ummat menuju kesempurnaan sampai pada lenyapnya ambisi sebagian individu terhadap ketenangan dan kenyamanan.
Tampaknya yang digaris bawahi oleh Ali Syari’ati adalah adanya perubahan dalam masyarakat yang berwujud kemajuan. Perubahan inilah yang tonggak dari pemerintahan Islam. Ali Syari’ati menghendaki seluruh dari rakyat sebagai individu yang merupakan bagian dari negara tidak sekedar eksis melainkan membetuk diri kepada keadaan yang lebih baik: “…tujuan manusia bukan sekedar eksis, melainkan pembentukan diri. Umat, dengan demikian, tidaklah bebas dari keenakan berdiam ditempatnya, tetapi ia harus lestari dan senantias bergerak cepat”.
Sebab pada dasarnya manusia memiliki dua karakteristik yaitu suatu transformasi terus menerus menuju tercapainya kesempurnaan-kesempurnaan yang mutlak dan perjalanan tanpa henti untuk menciptakan nilai-nilai yang tertinggi. Dua prinsip diatas, mengandung makna revolosioner yang amat dalam yang membukakan ufuk yang amat luas.
Sebagai aplikasi dari keinginan-keinginan dari Ali Syari’ati untuk mewujudkan perubahan revolusioner dalam masyarakat Islam. Ia banyak menulis buku yang menggugah semangat juang para kaum muda. Selain itu ia juga mendirikan Husayniyah Irsyad yang kerap melakukan riset diberbagai bidang.
2. Dasar-Dasar Pemerintahan Islam.
a. Keadilan.
Dalam pandangan Ali Syari’ati keadilan merupakan fundamen yang sangat penting dalam masyarakat Islam. Hal ini diungkapkan oleh Ali Syari’ati dengan melihat bahwa keadilan termasuk dari infra struktur dari sistem dunia Islam.
Berkenaan dengan hal ini ia berkata sebagai berikut:
Keadilan dalam mazhab Syi’ah ialah suatu keyakinan kepada konsep bahwa keadilan adalah sifat intrinsic Allah. Dengan demikian, setiap tindakan manusia-entah benar atau salah-haruslah dinilai oleh-Nya. Karena itu, ‘adl adalah infrastruktur sistem dunia dan pandangan kaum muslimin didasarkan atasnya.
Konsekwensinya, jika suatu masyarakat tidak dibangun atas landasan ini, maka ia adalah masyarakat yang sakit dan menyimpang, yang dipastikan bakal hancur lantaran, seperti telah disebutkan, Allah bersifat adil dan penciptaan bertumpu diatas keadilan. Oleh sebab itu, sistem-sistem kehidupan haruslah juga didasarkan atasnya dan karena kenyataan ini, maka kediktatoran dan ketidakadilan dalam pemerintahan adalah system-sistem anti-Tuhan yang tidak alamiah, yang mesti ditumbangkan dan dihancurkan.
Pernyataan ini menilik begitu pentingnya keadilan dalam tatanan sebuah pemerintahan Islam. Keadilan pula ialah suatu tujuan dari gerakan-gerakan revolusi Islam, khususnya revolusi Iran.
b. Imamah
Imamah dalam pandangan Ali Syari’ati memiliki arti penting sebagai dasar dari pemerintahan Islam. Dalam banyak tulisannya ia menekankan bahwa tegak berdirinya sebuah pemerintah tergantung kepada imam. Sebab dalam ajaran syi’ah ada suatu keyakinan akan adanya imam al-Ashr atau imam sepanjang zaman (imam of the Age) yang akan melakukan revolusi pemikiran dan gerakan.
Imamah menurutnya adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner yang bertentangan dengan rezim-rezim politik guna membimbing manusia serta membangun masyarakat diatas fondasi yang benar dan kuat, yang bakal mengarahkan menuju kesadaran, pertumbuhan dan kemandirian dalam mengambil keputusan.
3. Kepemimpinan dalam Pemerintahan Islam.
a. Konsep Imamah.
Ali Syari’ati memulai konsep imamah dengan terlebih dahulu menerangkan makna ummah. Ia membandingkan istilah Nation, Qaum, Qabilah dan Sya’b dengan ummah. Baginya, keempat istilah itu – dengan pengecualian pada istilah qabilah – sama sekali tidak mengandung arti kemanusiaan yang dinamis. Hanya saja, kelebihan istilah qabilah ditemukan pula pada istilah ummah. Istilah yang terakhir ini masih memiliki kelebihan lain dibandingkan istilah qabilah, yakni ia mempunyai gerakan yang mengarah pada tujuan yang sama. Dalam istilah ummah, gerak yang mengarah ke tujuan bersama itu justru merupakan landasan ideologis.
Istilah ummah secara terperinci mengandung tiga konsep: kebersamaan dalam arah dan tujuan; gerakan menuju arah dan tujuah tersebut; dan keharusan adanya pimpinan dan petunjuk kolektif. Dari kajian filologi ini, Syari’ati memandang bahwa sesungguhnya tidak mungkin ada ummah tanpa imamah. Apa karakteristik imamah itu? Sebagaimana istilah ummah, istilah imamah menampakkan diri dalam bentuk sikap sempurna, di mana seseorang dipilih sebagai kekuatan penstabilan dan pendinamisan massa. Yang pertama berarti menguasai massa sehingga berada dalam stabilitas dan ketenangan, dan kemudian melindungi mereka dari ancaman, penyakit, dan bahaya. Yang terakhir berkenaan dengan asas kemajuan dan perubahan ideologis, sosial dan keyakinan, serta menggiring massa dan pemikiran mereka menuju bentuk ideal.
Syari’ati memandang umat dan imam dalam kondisi yang dinamis, yang selalu bergerak ke arah perubahan demi tujuan bersama. Ia memandang bahwa tanggung jawab paling utama dan penting dari Imamah adalah perwujuan dari penegakan asas pemerintahan pada kaidah kemajuan, perubahan dan transformasi dalam bentuknya yang paling cepat, lalu melakukan akselerasi, dan menggiring umat menuju kesempurnaan sampai pada lenyapnya ambisi sebagian individu terhadap ketenangan dan kenyamanan.
Dalam kalimat lain namun senada ia menulis:
Imamah dalam mazhab pemikiran Syi’ah adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner yang bertentangan dengan rezim-rezim politik lainnya guna membimbing manusia serta membangun masyarakat di atas fondasi yang benar dan kuat, yang bakal mengarahkan menuju kesadaran, pertumbuhan, dan kemandirian dalam mengambil keputusan.
Tugas imam, di mata Syari’ati, tidak hanya terbatas memimpin manusia dalam salah satu aspek politik, kemasyarakatan, dan perekonomian, juga tidak terbatas pada masa-masa tertentu dalam kedudukannya sebagai panglima, amir atau khalifah, tetapi tugasnya adalah menyampaikan kepada umat manusia dalam semua aspek kemanusiaan yang bermacam-macam. Seorang Imam dalam arti seperti ini, tidak terbatas hanya pada masa hidupnya, tetapi selalu hadir di setiap saat dan hidup selamanya. Walaupun demikian, Syari’ati mengingatkan bahwa imam bukanlah supra-manusia tetapi manusia bisa yang memiliki banyak kelebihan di atas manusia lain atau manusia super.
Selain itu, Syari’ati mulai menyinggung peristiwa Saqifah. Menurutnya, dengan mengabaikan polemik nass-wasiyyat, di satu sisi, dan bay’at al-syura, di sisi lain, dalam peristiwa Saqifah hanya ada lima suara: dua suara dari kabilah Aus dan Khazraj, tiga suara dari Muhajirin, yakni Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah. Itu pun dengan catatan apabila pemimpin kabilah Aus, Sa’id bin Mu’adz, sudah tidak ada lagi, maka otomatis Sa’ad bin Ubaidah, pemimpin Khazraj, menjadi pemimpin tunggal orang Madinah menghadapi kelompok Mekah – yang terakhir ini disebut Syari’ati telah memiliki kesadaran politik tinggi, sebagamana terbukti pada akhirnya, di mana mereka (kelompok Mekah) tahu betul apa yang sedang mereka hadapi, dan bagaimana pula seharusnya bertindak.Syari’ati bermaksud mengatakan bahwa aspirasi dan kebutuhan penduduk Madinah hanya ditemukan oleh lima suara, yang berarti mengabaikan ratusan suara lainnya, dalam peristiwa Saqifah.
Bagi Syari’ati, sesungguhnya prinsip bay’at al-syura dan nass-wasiyyat tidaklah bertentangan sama sekali dan tidak pula ada di antara keduanya yang merupakan bid’ah dan tidak Islami. Baik bay’a, musyawarah, maupun ijma’ (demokrasi) adalah salah satu kaidah Islamiyah yang diajarkan oleh Al-Quran. Ali Syari’ati menegaskan sebagai berikut: tidak ada seorang pun yang dapat mengingkari adanya wasiat Rasulullah kepada Ali  Umat harus melaksanakan wasiat ini dan menyerahkan persoalan mereka kepada washi (orang yang diberi wasiat), dan kalau itu tidak mereka lakukan, mereka akan tersesat.
Dalam pandangan Syari’ati, wasiyyat itu berfungsi sepanjang beberapa generasi, hingga kelak tiba pada masanya masyarakat dapat berdiri sendiri di atas kaki mereka, lalu memulai- setelah berakhirnya imamah atau tahap wasiat – tahapan pembinaan revolusioner tertentu, suatu tahap bay’a, musyawarah, dan ijma’ atau apa yang disebut Syi’ah atau para wasiyyat Al-Rasulullah berjumlah dua belas imam, tidak lebih. Sementara jumlah pemimpin masyarakat (politik) sesudah wafat Nabi hingga akhir sejarah, jumlahnya tidak terbatas.
Pada masa-masa awal wasiyyat digunakan dalam proses suksesi. Selanjutnya, menurut Syari’ati, setelah pada tahun 250 H (tahun gaibnya Imam ke-dua belas) baru berlaku prinsip syura. Kalau ini berjalan mulus maka pada 250 H kita telah mempunyai masyarakat yang sempurna bentuknya, dan memiliki kelayakan yang membuatnya patut memilih pemimpin mereka yang paling baik melalui asas musyawarah, yang kemudian menduduki kursi kepemimpinan, dan menggerakkan sejarah sesuai dengan jalur yang telah digariskan oleh risalah Muhammad Saw.
Masa sepeninggal Nabi sampai 250 H adalah masa revolusi yang tidak membutuhkan demokrasi. Sayangnya, menurut Syari’ati, sesuatu yang tidak terduga telah muncul di Saqifah, bani Sa’idah dan menyeret perjalanan sejarah Islam ke arah lain. Syari’ati pun berandai-andai, kalau seandainya peristiwa Saqifah itu terjadi pada 250 H dan tidak pada tahun 11 H, niscaya sejarah akan lain bentuknya. Sebab, meminjam istilah Chandle, demokrasi – bagi masyarakat belum maju – merupakan musuh demokrasi itu sendiri.’.
b. Pemilihan Pemimpin
Akar awal Ali Syari’ati dalam tulisannya menggambarkan beberapa sistem pemilihan pemimpin yang dikenal pada masa sekarang hingga akhirnya ia menawarkan satu konsep tentang pemilihan imam. Diantara mekanisme pemilihan tersebu adalah:
Pertama, kudeta (Coup d’Etat), istilah Coup berarti pukulan atau serangan dan etat adalah pemerintah. Dengan demikian coup etat berarti gerakan yang secara mendadak dilakukan dalam bentuk pemberontakan guna menumbangkan pemerintahan yang berkuasa. Kemudian pemberontak itu menjadi penguasa baru yang menggantikan penguasa lama yang ditumbangkannya.
Kedua, intervensi dan hegemoni. Istilah ini dalam pandangan Syari’ati adalah dominasi atas nasib bangsa melalui serangan yang dilancarkan oleh kekuatan asing yang kemudian menaklukkan negeri tersebut.Ketiga, pewarisan, bentuk ini paling banyak digunakan dalam sejarah pemilihan. Bagi kaidah pewarisan terdapat kebenaran yang bersifat sosio filosofis. Keempat, revolusi, yang dimaksud disini adalah revolusi dalam pengertian politik bukan dalam pengertian sosial, perhatian ditujukan untuk terciptanya perubahan struktur sosial, yang secara politis dimaksudkan sebagai perubahan insitusi politik dan sistem pemerintahan, dan gerakan ini dilakukan oleh mayoritas rakyat.
Selain hal tersebut Syari’ati menyajikan pula bentuk pemilihan pencalonan akan tetapi Syari’ati mempertanyakan apakah pencalonan ini atau pemilihan dengan system lain adalah cara yang paling baik.
Sekarang kita bertanya, ”mungkinkah unsur-unsur yang lahir , tumbuh, dan memberi petunjuk dalam bentuk seperti ini-dapat direalisasikan melalui pemberian jabatan, pemilihan umum, pewarisan atau pencalonan? Pertanyaan lain yang muncul, ’apakah imam dipilih melalui pengangkatan atau pemilihan ataukah berdasarkan penunjukan Nabi Muhammad SAW, atau imam sebelumnya. Pertanyaan-pertanyaan ini dijawab oleh Syari’ati dengan negatif. Menurutnya dalam ajaran syiah, imam dipilih tidak dengan cara diatas melainkan dengan membuktikan kapabelitas seseorang sebagai pemimpin. Imam bukan dipilih oleh orang diluar dirinya akan tetapi ia muncul dari dalam dirinya sendiri. Ia berkata:
Imam adalah suatu hak yang bersifat esensial yang muncul dari diri seseorang.
Sumbernya adalah diri imam itu sendiri, dan bukan dari faktor eksternal, semisal pengangkatan atau pemilihan. Pertama-tama ia adalah imam sebagai posisi puncak dan manusia paling terpilih lantaran ia memiliki aspek-aspek dan kelebihan-kelebihan seperti yang disebutkan terdahulu. Dia adalah seorang imam, tak perduli apakah ia muncul dari penjara Al-Mutawakkil maupun dari mimbar Rasul, baik didukung oleh seluruh umat atau hanya diketahui keaguangnnya oleh tujuh atau delapan kelompok saja.
Dalam alinea lain, ia menjelaskan bahwa imam adalah suatu hak yang bersifat esensial yang muncul dari diri seseorang. Sumbernya adalah dari diri imam itu sendiri, dan bukan dari faktor eksternal, semisal pengangkatan atau pemilihan. Syari’ati menyimpulkan:
Imamah tidak diperoleh melalui pemilihan, melainkan melalui pembuktian kemampuan seseorang. Artinya, masyarakat – yang merupakan sumber kedaulatan dalam sistem demokrasi – tidak terikat dengan imam melalui ikatan pemerintahan, tetapi berdasarkan ikatan orang banyak dengan kenyataan yang ada (pada imam tadi). Mereka bukan menunjuknya sebagai imam, tetapi mengakui kelayakannya (sebagai seorang imam).
Jika logika Syari’ati di atas diteruskan, maka persoalannya apakah ada pemisahan lapangan kerja antara imam (yang diakui) dengan khalifah (yang dipilih)?
Syari’ati menolak pandangan ini karena akan bermuara kepada pemisahan antara agama dan negara. Kendati demikian, itu selalu identik dengan imamah. Baginya, Imamah terbatas hanya kepada pribadi-pribadi tertentu sebagaimana halnya dengann nubuwah, sedangkan pemerintahan tidak terbatas pada masa, sistem dan orang-orang tertentu. Satu-satunya garis pemisah yang ditegaskan Syari’ati adalah:
Pemerintahan (khilafah) itu merupakan tanggung jawab yang tidak terbatas dalam sejarah, sedangkan imamah terbatas, baik dalam masa maupun orangnya. Dengan mengabaian perbedaan tadi, imamah dan khilafah sebenarnya merupakan tanggung jawab yang satu, untuk mencapai satu tujua dengan satu keterbatasan, seperti telah dikemukakan di atas, di mana seorang penguasa tidak selamanya seorang imam.
Dalam hubungannya dengan peristiwa Saqifah, ada dua persoalan besar dari alur logika Syari’ati di atas.

Pertama, bagaimana hubungan imam dengan khalifah yang ada pada masa yang sama? Kedua, apakah imam tersebut harus dipilih oleh Allah atau Nabi sebagai pilihan yang harus pula diterima oleh umat manusia, kemudian diangkat sebagai imam untuk memimpin mereka dalam bidang politik, ataukah ia dipilih oleh manusia sendiri melalui musyawarah dan pemilihan umum?
Dalam pandangan Syari’ati hubungan khalifah dengan imam yang ada pada satu masa merupakan bentuk hubungan seorang pemimpin spiritual, politik dan sosial dengan penguasa, sebagaimana halnya yang ada pada hubungan antara Gandhi dengan Nehru. Bentuk seperti ini, di mata Syari’ati, adalah bentuk yang wajar, dan pemisahan antara kedua tugas tersebut dapat memberi jaminan bagi tetap terpeliharanya keagungan dan kehormatan imam.
Sepintas memang jawaban Syari’ati bertentangan dengan tidak setujunya ia pada pemisahan kerja khilafah dan imamah, yang menurutnya akan bermuara pada pemisahan antara politik dan agama. Dapat dijelaskan bahwa bagi Syari’ati, pemisahan antara urusan politik atau negara dan agama bukan produk Islam, tetapi produk sejarah Islam yang terpengaruh nilai-nilai nasrani. Pada mulanya, seorang pemimpin mengurusi masalah politik dan agama sekaligus. Ia bagaikan Nabi Muhammad yang memimpin perang tetapi juga menjadi imam sholat.
Sejarah Islam kemudian mencatat terjadinya pergeseran yang memisahkan antara khilafah dan imamah dalam bentuk aplikatif. Dan ini tidak disetujui oleh Syari’ati.Ini dipersulit dengan terjadinya pemisahan keduanya dalam ruang dan waktu yang berbeda. Terjadi pula pereduksian peranan imamah dan khilafah dalam sejarah Islam, lalu masing-masing ditempatkan dalam medan yang sempit.
Adapun yang dimaksud Syari’ati dengan pemisahan khilafah dan Imamah (atribut/sifat) di atas adalah pada tataran realitas. Ada imam yang diakui oleh sekelompok orang, lalu kelompok yang lain memilih orang lain untuk menjadi khilafah. Di sini perlu diingatkan bahwa, bagi Syari’ati, imamah bukanlah jabatan tetapi atribut (sifat). Penunjukan atas orang lain sebagai khilafah di saat adanya imam, dapat disejajarkan dengan penerimaan terhadap seorang Nabi sebagai seorang Rasul – seperti yang diberlakukan pada Yesus – dan menunjuk orang lain pada jabatan pemerintahan bagi bangsa Arab atau kaum muslim Emperor Islam, sebagaimana halnya dengan Kaisar.
Bagi Syari’ati, dalam ajaran Islam tidak dikenal pemisahan urusan negara atau politik dengan agama. Jika terjadi pada satu masa adanya imam dan adanya Khalifah maka hubungan yang terjadi adalah bagaikan hubungan Nehru dan Gandhi. Imam meski diam di rumah tidak berarti ke-imam-annya hilang, karena imam adalah atribut (sifat); tanpa melewati pemilihan. Dengan demikian, tanggung jawab dan tugas seorang imam – meski tidak dipilih sebagai khalifah – tetaplah ada.
Berbeda dengan konsep sekular yang betul-betul menghendaki pemisahan antara negara dan agama; dalam konsep Syari’ati, kalau pun harus terjadi – adanya imam dan khalifah dalam satu masa – maka yang ada adalah adanya pemimpin politik dan pemimpin spiritual. Apabila kemudian imam terpilih sebagai khalifah (melalui pemilihan), seperti yang terjadi pada Imam Ali dan Imam Hasan, maka bukanlah hal yang tabu bersatunya pemimpin politik dan pemimpin spiritual dalam diri satu pemimpin. Ini yang tidak mungkin terjadi dalam konsep sekular karena pemimpin spiritual bukanlah sebuah sifat tetapi sebuah jabatan tersendiri.
Berangkat dari tesis bahwa imam adalah sifat (atribut), ketika yang bukan imam menjadi khalifah maka bukannya hak imam yang terampas; tetapi yang terampas adalah hak umat manusia. Seorang imam tetap menjadi imam meskipun ia tidak menjalankan kekuasaan duniawi. Yang terampas haknya (dari memperoleh manfaat atas kehadiran imam) adalah makmum. Adalah hak umat untuk mendapat bimbingan dari imam dan bila ada “rekayasa” maka yang paling merugi adalah umat; karena umatlah yang terampas haknya.
Persoalan kedua sesungguhnya bermuara pada dua prinsip; pengangkatan dari Tuhan dan ijma’ umat Islam. Sejarah telah menjelaskan bahwa Syi’ah cenderung pada prinsip pertama dan Sunni cenderung pada prinsip kedua. Syari’ati menyerang prinsip kedua yang oleh Sunni dianggap telah menjadi unsur penting pada peristiwa Saqifah. Syari’ati sempat “terbang” ke Konferensi Asia Afrika di Bandung, menyebut Jenderal De Gaul dari Maroko, mengutip Profesor Chandle yang mengatakan, “musuh demokrasi dan kebebasan yang paling besar adalah demokrasi, liberalisme, dan kebebasan individu itu sendiri”, menyerang dunia Barat atas kecurangan mereka dalam memperkenalkan demokrasi, menyerang Robert Kennedy, revolusi kebudayaan di Cina dan revolusi Perancis. Syari’ati menyebut semua itu untuk menyerang demokrasi dan pemilihan pemimpin dengan suara terbanyak.
c. Hubungan Imamah dengan Ummah
Ali Syari’ati tidak secara jelas menyiratkan hubungan antara ima>mah dengan ummah. Ia hanya menyatakan bahwa ummat membutuhkan sebuah teladan yang menjadi uswah, karena dalam pandangannya panutan itu akan mendidik manusia menuju jalan perubahan. Ia berkata sebagai berikut:
Jadi, teladan yang ideal dan sempurna bagi manusia, jelas merupakan sesuatu yang amat penting, agar manusia dapat menempuh perjalanan menuju kesempurnaan dan mencapai tingkat tertinggi, serta mewarnai kepribadian mereka dengan kesempurnaan itu. Hal semacam ini adalah sesuatu yang wajar-wajar saja, seperti yang dikatakan ayah saya, bahwa para panutan kita, yang berkewajiban mendidik dan mewarnai moral kita melalui petunjuk berupa prilaku dan kelebihan-kelebihan mereka, tak bias tidak adalah manusia seperti kita juga.
Dan yang menjadi uswah tak lain adalah para imam, berhubungan dengan ini ia juga berkata:
Pada saat yang sama, ketika pengaruh imam yang spritual dan padagogik terhadap kalbu dan peranan spritualnya dalam membimbing umat manusia dapat disamakan dengan peran yang dimainkan oleh para hero dalam sejarah dan mitologi serta personifikasi keagungan nilai-nilai kemanusian, maka perwujudan dan hakikat imam tidak mungkin dapat dimasukkan dalam kategori para hero. Sebab imam bukanlah tokoh mitologi dan bukan pula pahlawan dalam sejarah, tetapi merupakan ungkapan seorang manusia yang wajar sebagaimana manusia yang lain. Bedanya, dalam diri imam tersebut terdapat perwujudan-perwujudan dan teladan-teladan dalam karakter semua jenis manusia yang dianggap paling sempurna.
Dari penjelasan tersebut, imam dalam pandangan Ali Syari’ati adalah manusia yang hebat dan patut untuk diteladani. Bahkan Ali Syari’ati menyamakannya dengan pahlawan.
Pandangan ini merupakan karakteristik dari pemikiran-pemikiran Ali Syari’ati sekaligus khas pemikiran syiah. Sebagaiman dijelaskan di awal bahwa Ali Syari’ati sangat mengistimewakan kedudukan imam. Imam bukanlah posisi yang dipilih oleh rakyat akan tetapi ditentukan oleh kemampuan dirinya sendiri. Dengan demikian hubungan antara imam dengan ummah dalam pemikiran Ali Syari’ati adalah bahwa ummah seharusnya meneladani imam dan seorang imam harus bisa membawa ummah kepada perubahan yang lebih baik.

(Syiah-Ali/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: