Siapakah sahabat Nabi saw ? adakah perselisihan di antara para sahabat semenjak wafatnya Nabi ??
Membaca pikiran-pikiran Ali Syari’ati menghentak nurani keagamaan kita sebagaimana teman Syari’ati. Pesannya yang kuat secara ideologis (Islam) pada saat yang sama menunjukkan keluasan pandangannya di luar tradisi Islam seperti Marxisme dan eksistensialisme membawa kita pada Syariati yang gelisah, cerdas, dan otentik sekaligus ingin taat kepada agama “syiah merahnya”.
Syariati menolak pemikiran Marxis dan eksistensialis tapi menggunakannya untuk mengkaji Islam lewat analisis atas penantian yang aktif terhadap Imam Mahdi as yang diyakininya.
Jiwanya dididik dalam tradisi Islam, tapi pengetahuannya berkemang melalui tradisi Marxis dan eksistensialis. Kedua tradisi yang jelas memiliki struktur toritis yang bertentangan (seperti kajian Muthahhari rekan Syariati di Huseiniyah Irsyad Iran), Tapi Syariati tetaplah Syariati yang mencintai Agama dan ekspresi perlawanan Imam Husein di Karbala dalam rangka menegakkan Agama Rasul SAW. Karya Syariati adalah bahan untuk menunjukkan kembali tingginya tradisi intelektual dan spiritual Islam pada saat yang sama memliki progresifitas sosial-historis yang kuat.
Buku ini baik sebagai bahan untuk memulai membangun orientasi Islam, selanjutnya kajian Muthahhari bisa menjadi bahan menstrukturkan orientasi Islam Syari’ati.
Diantara 20 buku judul buku Ali Syari’ati yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, buku ini merupakan buku dengan terjemahan terbaik dan mudah dipahami bahkan bagi pembaca awam yang belum mengenal sosok Ali Syari’ati.
Secara garis besar, Ummah dan Imamah adalah prinsip akidah Islamiyah yang paling penting dan terkenal, khususnya dikalangan mazhab Syi’ah. Pokok permasalahan terbesar adalah makin jauhnya Islam dari nilai-nilai intelektual, perubahan, dan kehadiran Imam teladan diantara Ummah.
Dengan cerdas beliau menulis “Sejak masa Sayyid Jamaluddin Al-Afghani, kita lihat Islam sudah tidak lagi seperti apa yang tampil di permukaan. Kita ketahui bahwa di dalamnya terdapat banyak sekali sendi-sendi yang meragukan—seperti yang kita saksikan dewasa ini—atau akidah tersebut bercampur aduk dengan unsur-unsur budaya asing”.
Kritik tajam Ali Syari’ati dalam membandingkan gerakan kaum Protestan yang disebut sebagai pembaharu dunia dengan keadaan kaum Muslim yang jauh tertinggal, membuka mata pembaca terhadap kesalahan-kesalahan berpikir yang selama ini mengganggu jalannya perkembangan ilmu di kalangan Muslim.
Konsep Imam sendiri dalam mempersiapkan revolusi Islam menurut Syari’ati memiliki posisi sentral: “Imam mempunyai peranan penting dalam kehidupan, dan beriman kepada Imam memiliki makna yang besar dalam kehidupan para pemikir dan cendekiawan, khususnya para pengkaji masalah-masalah sosial…Imam juga dapat diartikan sebagai Nabi bersenjata yang baru.”.
Buku ini sangat direkomendasikan untuk dibaca bagi aktivis mahasiswa yang konsern dalam gerakan sosial. Ali Syari’ati pantas disebut sebagai pemikir Iran abad ini, karena penjelasan tentang konsep-konsep dasar Ummah dan Imamah-nya sangat terperinci dan detail, dari cara memilih seorang Imam, kepatuhan terhadap Imam, dan strategi taktis lainnya untuk menggerakan Ummah menuju revolusi.
Membaca pikiran-pikiran Ali Syari’ati menghentak nurani keagamaan kita sebagaimana teman Syari’ati. Pesannya yang kuat secara ideologis (Islam) pada saat yang sama menunjukkan keluasan pandangannya di luar tradisi Islam seperti Marxisme dan eksistensialisme membawa kita pada Syariati yang gelisah, cerdas, dan otentik sekaligus ingin taat kepada agama “syiah merahnya”.
Syariati menolak pemikiran Marxis dan eksistensialis tapi menggunakannya untuk mengkaji Islam lewat analisis atas penantian yang aktif terhadap Imam Mahdi as yang diyakininya.
Jiwanya dididik dalam tradisi Islam, tapi pengetahuannya berkemang melalui tradisi Marxis dan eksistensialis. Kedua tradisi yang jelas memiliki struktur toritis yang bertentangan (seperti kajian Muthahhari rekan Syariati di Huseiniyah Irsyad Iran), Tapi Syariati tetaplah Syariati yang mencintai Agama dan ekspresi perlawanan Imam Husein di Karbala dalam rangka menegakkan Agama Rasul SAW. Karya Syariati adalah bahan untuk menunjukkan kembali tingginya tradisi intelektual dan spiritual Islam pada saat yang sama memliki progresifitas sosial-historis yang kuat.
Buku ini baik sebagai bahan untuk memulai membangun orientasi Islam, selanjutnya kajian Muthahhari bisa menjadi bahan menstrukturkan orientasi Islam Syari’ati.
Diantara 20 buku judul buku Ali Syari’ati yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, buku ini merupakan buku dengan terjemahan terbaik dan mudah dipahami bahkan bagi pembaca awam yang belum mengenal sosok Ali Syari’ati.
Secara garis besar, Ummah dan Imamah adalah prinsip akidah Islamiyah yang paling penting dan terkenal, khususnya dikalangan mazhab Syi’ah. Pokok permasalahan terbesar adalah makin jauhnya Islam dari nilai-nilai intelektual, perubahan, dan kehadiran Imam teladan diantara Ummah.
Dengan cerdas beliau menulis “Sejak masa Sayyid Jamaluddin Al-Afghani, kita lihat Islam sudah tidak lagi seperti apa yang tampil di permukaan. Kita ketahui bahwa di dalamnya terdapat banyak sekali sendi-sendi yang meragukan—seperti yang kita saksikan dewasa ini—atau akidah tersebut bercampur aduk dengan unsur-unsur budaya asing”.
Kritik tajam Ali Syari’ati dalam membandingkan gerakan kaum Protestan yang disebut sebagai pembaharu dunia dengan keadaan kaum Muslim yang jauh tertinggal, membuka mata pembaca terhadap kesalahan-kesalahan berpikir yang selama ini mengganggu jalannya perkembangan ilmu di kalangan Muslim.
Konsep Imam sendiri dalam mempersiapkan revolusi Islam menurut Syari’ati memiliki posisi sentral: “Imam mempunyai peranan penting dalam kehidupan, dan beriman kepada Imam memiliki makna yang besar dalam kehidupan para pemikir dan cendekiawan, khususnya para pengkaji masalah-masalah sosial…Imam juga dapat diartikan sebagai Nabi bersenjata yang baru.”.
Buku ini sangat direkomendasikan untuk dibaca bagi aktivis mahasiswa yang konsern dalam gerakan sosial. Ali Syari’ati pantas disebut sebagai pemikir Iran abad ini, karena penjelasan tentang konsep-konsep dasar Ummah dan Imamah-nya sangat terperinci dan detail, dari cara memilih seorang Imam, kepatuhan terhadap Imam, dan strategi taktis lainnya untuk menggerakan Ummah menuju revolusi.
UMMAH DAN IMAMAH; SEBUAH TINJAUAN SOSIOLOGIS; DR. ALI SYARI’ATI.
A. BIOGRAFI ALI SYARI’ATI.
1. Latar Belakang Kehidupan
Ali Syari’ati adalah anak pertama Muhammad Taqi dan Zahra, lahir
pada 24 November 1933. Bertepatan dengan periode ketika ayahnya
menyelesaikan studi keagamaan dasarnya dan mulai mengajar di sebuah
sekolah dasar, Syerafat. ‘Ali lahir dalam keluarga terhormat. Dalam
keluarga ini ritual dan ritus keagamaan ditunaikan dengan seksama.
Pada masa kanak-kanak ketika teman-temannya asyik bermain,
Syari’ati asyik membaca buku-buku sastra seperti Les Miserable karya
Victor Hugo. Kegemaran ini terus berlanjut hingga masa remajanya. Sejak
tahun pertamannya di sekolah menengah atas, ia asyik membaca buku-buku
filsafat, sastra, syair, ilmu sosial dan studi keagamaan di perpustakaan
ayahnya yang berjumlah 2000 buku. Kegemarannya inilah yang membuat ia
jarang bermain dengan teman-teman sebayanya.
Pada 1955, Syari’ati masuk Fakultas Sastra Universitas Masyhad yang
baru saja diresmikan. Selama di universitas, sekalipun menghadapi
persoalan administratif akibat pekerjaan resminya sebagai guru
full-time, Syari’ati paling tinggi rangkingnya di kelas. Bakat,
pengetahuan dan kesukaannya kepada sastra menjadikannya popular di
kalangan mahasiswa. Di universitas, Syari’ati bertemu Puran-e Syari’at
Razavi, yang kemudian menjadi istrinya. Karena prestasi akademisnya di
Universitas ini, dia mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi keluar
negeri.
Pada April 1959, Syari’ati pergi ke Paris sendirian. Istri dan
putranya yang baru lahir, bernama Ehsan bergabung dengannya setahun
kemudian.
Selama di Paris, Syari’ati berkenalan dengan karya-karya dan
gagasan-gagasan baru yang mencerahkan, yang mempengaruhi pandangan hidup
dan wawasannya mengenai dunia. Dia mengikuti kuliah-kuliah para
akademisi, filosof, penyair, militan, dan membaca karya-karya mereka,
terkadang bertukar pikiran dengan mereka, serta mengamati karya-karya
seniman dan pemahat. Dari masing-masing mereka Syari’ati mendapat
sesuatu, dan kemudian mengaku berutang budi kepada mereka. Di sinilah
Syari’ati berkenalan dengan banyak tokoh intelektual barat antara lain
Louis Massignon yang begitu dihormatinya, Frantz Fanon, Jacques Berque
dan lain-lain.
Namun pribadi Syari’ati yang penuh dengan semangat perjuangan
menegakkan kebenaran dan keadilan, walaupun tidak berada di Iran, ia
tetap berjuang menentang rezim Iran. Antara 1962 dan 1963, waktu
Syari’ati tampaknya habis tersita untuk aktivitas politik dan
jurnalistiknya. Keberanian ini dia ungkapkan sebagai berikut:
Dengan bimbingan dan pertolongan Allah-lah saya berani menerjunkan
diri menghadapi berbagai fenomena, dan dengan cinta dan dukungan
mukjizatlah saya bisa mengatasi hal-hal yang menyakitkan hati saya.
Rahmat Allah telah menyebabkan saya memperoleh tenaga baru sesudah saya
mengalami kejenuhan. Tanpa bekal keahlian apapun saya menempuh jalan
yang situ saya tak akan menyia-nyiakan hidup saya barang sekejappun
untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang terlarang. Semoga Allah
menolong saya, sehingga saya bisa mengatasi berbagai kekurangan yang
dapat saya tangkap, dan semoga pula semuanya itu tidak larut oleh
kesenangan-kesenangan hidup kala umur yang pendek ini dipergunakan dalam
bentuk seperti ini.
Setelah meraih gelar doktornya pada 1963, setahun kemudian
Syari’ati dan keluarganya kembali ke Masyhad, Iran. Di sini ia mengajar
di sekolah menengah atas. Pada 1965, dia bekerja di Pusat Penelitian
Kementerian Pendidikan di Teheran. Kemudian pada 1967 Ali Syari’ati
mulai mengajar di universitas Masyhad. Inilah awal kontaknya Ali
Syari’ati dengan mahasiswa-mahasiswa Iran. Universitas Masyhad yang
relatif tenang dan teduh, segera saja semarak. Kelas Syari’ati tak lama
kemudian menjadi kelas favorit. Gaya orator Syari’ati yang memukau
memikat audiens, memperkuat isi kuliahnya yang membangkitkan orang untuk
berpikir.
Sejak Juni 1971, Syari’ati meninggalkan jabatan mengajarnya di
Universitas Masyhad, lalu dikirim ke Teheran. Ia bekerja keras untuk
menjadikan Hosseiniyeh Ershad menjadi sebuah ‘Universitas Islam’ radikal
yang modernis. Berbagai peristiwa politik di Iran pada 1971 memainkan
peranan penting dalam membentuk dan mengarahkan orientasi serta
aktivitas Hosseiniyeh Ersyad yang semakin militan dan akibatnya semakin
terkenal di kalangan kaum muda. Namun pada tanggal 19 November 1972
Hosseiniyeh Ersyad ditutup dan Syari’ati di penjara karena berbagai
aktivitas politiknya, yang mengecam rezim Syah.
Pada 16 Mei 1977, Syari’ati meninggalkan Iran. Ia mengganti namanya
menjadi ‘Ali Syari’ati. Tentara Syah, Savak akhirnya mengetahui
kepergian Ali Syari’ati mereka mengontak agen mereka di luar negeri. Di
London Inggeris, pada 19 Juni 1977 jenasah Ali Syari’ati terbujur di
lantai tempat ia menginap.
Kematian yang tragis seorang pejuang Islam yang teguh
memperjuangkan keyakinannya. Ia syahid dalam memperjuangkan apa yang
dianggapnya benar. Ali Syari’ati telah mengkuti jejak sahabat Nabi dan
Imam Ali yang begitu dikagumi dan dijadikan simbol perjuangannya, Abu
Dzar Al-Ghifari. 19 Juni tahun 1977, Doktor Ali Syari’ati, seorang
cendekiawan Iran kontemporer, gugur di London akibat dibunuh oleh agen
rahasia rezim Shah Pahlevi.
Al-Ummah wa Al-Imamah (Ummah dan Imamah) adalah karya karya lengkap
Ali Syari’ati tentang kepemimpinan dalam Islam. Didalamnya dijelaskan
secara lengkap konsep imamah sekaligus hubungannya engan ummah.
Perspketif yang digunakan adalah perspektif dari ideology Syiah.
Walaupun begitu Ali Syari’ati membahasnya sesuai dengan sejarah-sejarah
kepemimpinan Islam sejak Rasulullah sampai dengan sahabat.
B. Pemikiran Ali Syari’ati dalam buku Al-Ummah wa Al-Imamah (Ummah dan Imamah)
1. Tujuan Pemerintahan Islam.
Konsep pemerintahan Islam banyak dibahas oleh Ali Syari’ati dalam
bukunya ummah dan imamah. Menurutnya tujuan pemerintahan ini ditentukan
oleh konsep negara itu sendiri. Ali Syari’ati membedakan konsep siyasah
dalam istilah Islam dan konsep politique dalam bahasa Yunani. Berbedaan
ini berimplikasi kepada berbedanya pula tujuan yang ingin dicapai oleh
negara.
Siyasah menurutnya adalah suatu filsafat yang mendobrak dan
dinamis, dan tujuan negara dalam filsafat politik adalah merombak
bangunan, pranata-pranata, dan hubungan–hubungan sosial, bahkan juga
akidah, akhlaq, peradaban, tradisi sosial; dan secara umum menegakkan
nilai-nilai sosial diatas landasan pesan revolusi dan ideologi
revolusioner, serta bertujuan merealisasikan cita-cita dan
harapan-harapan yang lebih sempurna, membimbing masyarakat mencapai
kemajuan, menciptakan kesempurnaan dan bukan kebahagiaan, yang baik dan
bukan pelayanan, pertumbuhan dan bukan kenyamanan, kebaikan dan bukan
kekuatan yang hakiki dan superficial, yang kesemua itu bisa dirumuskan
dalam satu kalimat pendek “pembangunan masyarakat” dan bukan
“administrasi dan pemeliharaan masyarakat.
Berbeda dengan siyasah, politque yang didasarkan kepada filsafat
pemerintahan barat. Politik menurut Ali Syari’ati sama sekali tidak
bermaksud membangun melainkan bertopang pada apa yang mungkin dikerjakan
dan politik bertujuan untuk mengatur negara tidak atas dasar ideologi
revolusioner, tetapi berdasarkan pandangan popular dan mencari perkenan
bukan membimbing menuju keutamaan. Politik hanya bertujuan agar
masyarakat hidup nyaman dan bukan melakukan perbaikan terhadap
masyarakat agar mereka bisa hidup dengan baik.
Dari dua pengertian ini, lanjut Syari’ati, konsep siyasah lebih
unggul daripada konsep politik. Siyasah membangun masyarakat sedangkan
politik mengatur negara yang berimplikasi kepada pemasungan aspirasi
rakyat, pengendalian kebijaksanaan pemerintah, penindasan alam pikiran
dan penyingkapan taqiyyah.
Untuk itulah tujuan dari pemerintahan Islam adalah sama halnya
dengan konsep imamah dalam pengertian Ali Syari’ati. Berkenaan dengan
hal ini, ia berkata:
Imamah bukanlah semacam kantor dan pemelihara masyarakat dalam
bentuknya yang beku dan kaku. Tanggung jawab paling utama dan penting
dari imamah-yakni filsafat politik untuk membentuk imamah dan seperti
yang tercakup dalam pengertiannya-adalah perwujudan dari penegakan asas
pemerintahan pada kaidah kemajuan, perubahan dan transformasi dalam
bentuknya yang paling cepat, dan akan melakukan selerasi dan menggiring
ummat menuju kesempurnaan sampai pada lenyapnya ambisi sebagian individu
terhadap ketenangan dan kenyamanan.
Tampaknya yang digaris bawahi oleh Ali Syari’ati adalah adanya
perubahan dalam masyarakat yang berwujud kemajuan. Perubahan inilah yang
tonggak dari pemerintahan Islam. Ali Syari’ati menghendaki seluruh dari
rakyat sebagai individu yang merupakan bagian dari negara tidak sekedar
eksis melainkan membetuk diri kepada keadaan yang lebih baik: “…tujuan
manusia bukan sekedar eksis, melainkan pembentukan diri. Umat, dengan
demikian, tidaklah bebas dari keenakan berdiam ditempatnya, tetapi ia
harus lestari dan senantias bergerak cepat”.
Sebab pada dasarnya manusia memiliki dua karakteristik yaitu suatu
transformasi terus menerus menuju tercapainya kesempurnaan-kesempurnaan
yang mutlak dan perjalanan tanpa henti untuk menciptakan nilai-nilai
yang tertinggi. Dua prinsip diatas, mengandung makna revolosioner yang
amat dalam yang membukakan ufuk yang amat luas.
Sebagai aplikasi dari keinginan-keinginan dari Ali Syari’ati untuk
mewujudkan perubahan revolusioner dalam masyarakat Islam. Ia banyak
menulis buku yang menggugah semangat juang para kaum muda. Selain itu ia
juga mendirikan Husayniyah Irsyad yang kerap melakukan riset diberbagai
bidang.
2. Dasar-Dasar Pemerintahan Islam.
a. Keadilan.
Dalam pandangan Ali Syari’ati keadilan merupakan fundamen yang
sangat penting dalam masyarakat Islam. Hal ini diungkapkan oleh Ali
Syari’ati dengan melihat bahwa keadilan termasuk dari infra struktur
dari sistem dunia Islam.
Berkenaan dengan hal ini ia berkata sebagai berikut:
Keadilan dalam mazhab Syi’ah ialah suatu keyakinan kepada konsep
bahwa keadilan adalah sifat intrinsic Allah. Dengan demikian, setiap
tindakan manusia-entah benar atau salah-haruslah dinilai oleh-Nya.
Karena itu, ‘adl adalah infrastruktur sistem dunia dan pandangan kaum
muslimin didasarkan atasnya.
Konsekwensinya, jika suatu masyarakat tidak dibangun atas landasan
ini, maka ia adalah masyarakat yang sakit dan menyimpang, yang
dipastikan bakal hancur lantaran, seperti telah disebutkan, Allah
bersifat adil dan penciptaan bertumpu diatas keadilan. Oleh sebab itu,
sistem-sistem kehidupan haruslah juga didasarkan atasnya dan karena
kenyataan ini, maka kediktatoran dan ketidakadilan dalam pemerintahan
adalah system-sistem anti-Tuhan yang tidak alamiah, yang mesti
ditumbangkan dan dihancurkan.
Pernyataan ini menilik begitu pentingnya keadilan dalam tatanan
sebuah pemerintahan Islam. Keadilan pula ialah suatu tujuan dari
gerakan-gerakan revolusi Islam, khususnya revolusi Iran.
b. Imamah
Imamah dalam pandangan Ali Syari’ati memiliki arti penting sebagai
dasar dari pemerintahan Islam. Dalam banyak tulisannya ia menekankan
bahwa tegak berdirinya sebuah pemerintah tergantung kepada imam. Sebab
dalam ajaran syi’ah ada suatu keyakinan akan adanya imam al-Ashr atau
imam sepanjang zaman (imam of the Age) yang akan melakukan revolusi
pemikiran dan gerakan.
Imamah menurutnya adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner
yang bertentangan dengan rezim-rezim politik guna membimbing manusia
serta membangun masyarakat diatas fondasi yang benar dan kuat, yang
bakal mengarahkan menuju kesadaran, pertumbuhan dan kemandirian dalam
mengambil keputusan.
3. Kepemimpinan dalam Pemerintahan Islam.
a. Konsep Imamah.
Ali Syari’ati memulai konsep imamah dengan terlebih dahulu
menerangkan makna ummah. Ia membandingkan istilah Nation, Qaum, Qabilah
dan Sya’b dengan ummah. Baginya, keempat istilah itu – dengan
pengecualian pada istilah qabilah – sama sekali tidak mengandung arti
kemanusiaan yang dinamis. Hanya saja, kelebihan istilah qabilah
ditemukan pula pada istilah ummah. Istilah yang terakhir ini masih
memiliki kelebihan lain dibandingkan istilah qabilah, yakni ia mempunyai
gerakan yang mengarah pada tujuan yang sama. Dalam istilah ummah, gerak
yang mengarah ke tujuan bersama itu justru merupakan landasan ideologis.
Istilah ummah secara terperinci mengandung tiga konsep: kebersamaan
dalam arah dan tujuan; gerakan menuju arah dan tujuah tersebut; dan
keharusan adanya pimpinan dan petunjuk kolektif. Dari kajian filologi
ini, Syari’ati memandang bahwa sesungguhnya tidak mungkin ada ummah
tanpa imamah. Apa karakteristik imamah itu? Sebagaimana istilah ummah,
istilah imamah menampakkan diri dalam bentuk sikap sempurna, di mana
seseorang dipilih sebagai kekuatan penstabilan dan pendinamisan massa.
Yang pertama berarti menguasai massa sehingga berada dalam stabilitas
dan ketenangan, dan kemudian melindungi mereka dari ancaman, penyakit,
dan bahaya. Yang terakhir berkenaan dengan asas kemajuan dan perubahan
ideologis, sosial dan keyakinan, serta menggiring massa dan pemikiran
mereka menuju bentuk ideal.
Syari’ati memandang umat dan imam dalam kondisi yang dinamis, yang
selalu bergerak ke arah perubahan demi tujuan bersama. Ia memandang
bahwa tanggung jawab paling utama dan penting dari Imamah adalah
perwujuan dari penegakan asas pemerintahan pada kaidah kemajuan,
perubahan dan transformasi dalam bentuknya yang paling cepat, lalu
melakukan akselerasi, dan menggiring umat menuju kesempurnaan sampai
pada lenyapnya ambisi sebagian individu terhadap ketenangan dan
kenyamanan.
Dalam kalimat lain namun senada ia menulis:
Imamah dalam mazhab pemikiran Syi’ah adalah kepemimpinan progresif
dan revolusioner yang bertentangan dengan rezim-rezim politik lainnya
guna membimbing manusia serta membangun masyarakat di atas fondasi yang
benar dan kuat, yang bakal mengarahkan menuju kesadaran, pertumbuhan,
dan kemandirian dalam mengambil keputusan.
Tugas imam, di mata Syari’ati, tidak hanya terbatas memimpin
manusia dalam salah satu aspek politik, kemasyarakatan, dan
perekonomian, juga tidak terbatas pada masa-masa tertentu dalam
kedudukannya sebagai panglima, amir atau khalifah, tetapi tugasnya
adalah menyampaikan kepada umat manusia dalam semua aspek kemanusiaan
yang bermacam-macam. Seorang Imam dalam arti seperti ini, tidak terbatas
hanya pada masa hidupnya, tetapi selalu hadir di setiap saat dan hidup
selamanya. Walaupun demikian, Syari’ati mengingatkan bahwa imam bukanlah
supra-manusia tetapi manusia bisa yang memiliki banyak kelebihan di
atas manusia lain atau manusia super.
Selain itu, Syari’ati mulai menyinggung peristiwa Saqifah.
Menurutnya, dengan mengabaikan polemik nass-wasiyyat, di satu sisi, dan
bay’at al-syura, di sisi lain, dalam peristiwa Saqifah hanya ada lima
suara: dua suara dari kabilah Aus dan Khazraj, tiga suara dari
Muhajirin, yakni Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah. Itu pun
dengan catatan apabila pemimpin kabilah Aus, Sa’id bin Mu’adz, sudah
tidak ada lagi, maka otomatis Sa’ad bin Ubaidah, pemimpin Khazraj,
menjadi pemimpin tunggal orang Madinah menghadapi kelompok Mekah – yang
terakhir ini disebut Syari’ati telah memiliki kesadaran politik tinggi,
sebagamana terbukti pada akhirnya, di mana mereka (kelompok Mekah) tahu
betul apa yang sedang mereka hadapi, dan bagaimana pula seharusnya
bertindak.Syari’ati bermaksud mengatakan bahwa aspirasi dan kebutuhan
penduduk Madinah hanya ditemukan oleh lima suara, yang berarti
mengabaikan ratusan suara lainnya, dalam peristiwa Saqifah.
Bagi Syari’ati, sesungguhnya prinsip bay’at al-syura dan
nass-wasiyyat tidaklah bertentangan sama sekali dan tidak pula ada di
antara keduanya yang merupakan bid’ah dan tidak Islami. Baik bay’a,
musyawarah, maupun ijma’ (demokrasi) adalah salah satu kaidah Islamiyah
yang diajarkan oleh Al-Quran. Ali Syari’ati menegaskan sebagai berikut:
tidak ada seorang pun yang dapat mengingkari adanya wasiat Rasulullah
kepada Ali Umat harus melaksanakan wasiat ini dan menyerahkan persoalan
mereka kepada washi (orang yang diberi wasiat), dan kalau itu tidak
mereka lakukan, mereka akan tersesat.
Dalam pandangan Syari’ati, wasiyyat itu berfungsi sepanjang
beberapa generasi, hingga kelak tiba pada masanya masyarakat dapat
berdiri sendiri di atas kaki mereka, lalu memulai- setelah berakhirnya
imamah atau tahap wasiat – tahapan pembinaan revolusioner tertentu,
suatu tahap bay’a, musyawarah, dan ijma’ atau apa yang disebut Syi’ah
atau para wasiyyat Al-Rasulullah berjumlah dua belas imam, tidak lebih.
Sementara jumlah pemimpin masyarakat (politik) sesudah wafat Nabi hingga
akhir sejarah, jumlahnya tidak terbatas.
Pada masa-masa awal wasiyyat digunakan dalam proses suksesi.
Selanjutnya, menurut Syari’ati, setelah pada tahun 250 H (tahun gaibnya
Imam ke-dua belas) baru berlaku prinsip syura. Kalau ini berjalan mulus
maka pada 250 H kita telah mempunyai masyarakat yang sempurna bentuknya,
dan memiliki kelayakan yang membuatnya patut memilih pemimpin mereka
yang paling baik melalui asas musyawarah, yang kemudian menduduki kursi
kepemimpinan, dan menggerakkan sejarah sesuai dengan jalur yang telah
digariskan oleh risalah Muhammad Saw.
Masa sepeninggal Nabi sampai 250 H adalah masa revolusi yang tidak
membutuhkan demokrasi. Sayangnya, menurut Syari’ati, sesuatu yang tidak
terduga telah muncul di Saqifah, bani Sa’idah dan menyeret perjalanan
sejarah Islam ke arah lain. Syari’ati pun berandai-andai, kalau
seandainya peristiwa Saqifah itu terjadi pada 250 H dan tidak pada tahun
11 H, niscaya sejarah akan lain bentuknya. Sebab, meminjam istilah
Chandle, demokrasi – bagi masyarakat belum maju – merupakan musuh
demokrasi itu sendiri.’.
b. Pemilihan Pemimpin
Akar awal Ali Syari’ati dalam tulisannya menggambarkan beberapa
sistem pemilihan pemimpin yang dikenal pada masa sekarang hingga
akhirnya ia menawarkan satu konsep tentang pemilihan imam. Diantara
mekanisme pemilihan tersebu adalah:
Pertama, kudeta (Coup d’Etat), istilah Coup berarti
pukulan atau serangan dan etat adalah pemerintah. Dengan demikian coup
etat berarti gerakan yang secara mendadak dilakukan dalam bentuk
pemberontakan guna menumbangkan pemerintahan yang berkuasa. Kemudian
pemberontak itu menjadi penguasa baru yang menggantikan penguasa lama
yang ditumbangkannya.
Kedua, intervensi dan hegemoni. Istilah ini dalam pandangan
Syari’ati adalah dominasi atas nasib bangsa melalui serangan yang
dilancarkan oleh kekuatan asing yang kemudian menaklukkan negeri
tersebut.Ketiga, pewarisan, bentuk ini paling banyak digunakan dalam
sejarah pemilihan. Bagi kaidah pewarisan terdapat kebenaran yang
bersifat sosio filosofis. Keempat, revolusi, yang dimaksud disini adalah
revolusi dalam pengertian politik bukan dalam pengertian sosial,
perhatian ditujukan untuk terciptanya perubahan struktur sosial, yang
secara politis dimaksudkan sebagai perubahan insitusi politik dan sistem
pemerintahan, dan gerakan ini dilakukan oleh mayoritas rakyat.
Selain hal tersebut Syari’ati menyajikan pula bentuk pemilihan
pencalonan akan tetapi Syari’ati mempertanyakan apakah pencalonan ini
atau pemilihan dengan system lain adalah cara yang paling baik.
Sekarang kita bertanya, ”mungkinkah unsur-unsur yang lahir ,
tumbuh, dan memberi petunjuk dalam bentuk seperti ini-dapat
direalisasikan melalui pemberian jabatan, pemilihan umum, pewarisan atau
pencalonan? Pertanyaan lain yang muncul, ’apakah imam dipilih melalui
pengangkatan atau pemilihan ataukah berdasarkan penunjukan Nabi Muhammad
SAW, atau imam sebelumnya. Pertanyaan-pertanyaan ini dijawab oleh
Syari’ati dengan negatif. Menurutnya dalam ajaran syiah, imam dipilih
tidak dengan cara diatas melainkan dengan membuktikan kapabelitas
seseorang sebagai pemimpin. Imam bukan dipilih oleh orang diluar dirinya
akan tetapi ia muncul dari dalam dirinya sendiri. Ia berkata:
Imam adalah suatu hak yang bersifat esensial yang muncul dari diri seseorang.
Sumbernya adalah diri imam itu sendiri, dan bukan dari faktor
eksternal, semisal pengangkatan atau pemilihan. Pertama-tama ia adalah
imam sebagai posisi puncak dan manusia paling terpilih lantaran ia
memiliki aspek-aspek dan kelebihan-kelebihan seperti yang disebutkan
terdahulu. Dia adalah seorang imam, tak perduli apakah ia muncul dari
penjara Al-Mutawakkil maupun dari mimbar Rasul, baik didukung oleh
seluruh umat atau hanya diketahui keaguangnnya oleh tujuh atau delapan
kelompok saja.
Dalam alinea lain, ia menjelaskan bahwa imam adalah suatu hak yang
bersifat esensial yang muncul dari diri seseorang. Sumbernya adalah dari
diri imam itu sendiri, dan bukan dari faktor eksternal, semisal
pengangkatan atau pemilihan. Syari’ati menyimpulkan:
Imamah tidak diperoleh melalui pemilihan, melainkan melalui
pembuktian kemampuan seseorang. Artinya, masyarakat – yang merupakan
sumber kedaulatan dalam sistem demokrasi – tidak terikat dengan imam
melalui ikatan pemerintahan, tetapi berdasarkan ikatan orang banyak
dengan kenyataan yang ada (pada imam tadi). Mereka bukan menunjuknya
sebagai imam, tetapi mengakui kelayakannya (sebagai seorang imam).
Jika logika Syari’ati di atas diteruskan, maka persoalannya apakah
ada pemisahan lapangan kerja antara imam (yang diakui) dengan khalifah
(yang dipilih)?
Syari’ati menolak pandangan ini karena akan bermuara kepada
pemisahan antara agama dan negara. Kendati demikian, itu selalu identik
dengan imamah. Baginya, Imamah terbatas hanya kepada pribadi-pribadi
tertentu sebagaimana halnya dengann nubuwah, sedangkan pemerintahan
tidak terbatas pada masa, sistem dan orang-orang tertentu. Satu-satunya
garis pemisah yang ditegaskan Syari’ati adalah:
Pemerintahan (khilafah) itu merupakan tanggung jawab yang tidak
terbatas dalam sejarah, sedangkan imamah terbatas, baik dalam masa
maupun orangnya. Dengan mengabaian perbedaan tadi, imamah dan khilafah
sebenarnya merupakan tanggung jawab yang satu, untuk mencapai satu tujua
dengan satu keterbatasan, seperti telah dikemukakan di atas, di mana
seorang penguasa tidak selamanya seorang imam.
Dalam hubungannya dengan peristiwa Saqifah, ada dua persoalan besar
dari alur logika Syari’ati di atas.
Pertama, bagaimana hubungan imam dengan khalifah yang ada pada masa yang sama? Kedua, apakah imam tersebut harus dipilih oleh Allah atau Nabi sebagai pilihan yang harus pula diterima oleh umat manusia, kemudian diangkat sebagai imam untuk memimpin mereka dalam bidang politik, ataukah ia dipilih oleh manusia sendiri melalui musyawarah dan pemilihan umum?
Pertama, bagaimana hubungan imam dengan khalifah yang ada pada masa yang sama? Kedua, apakah imam tersebut harus dipilih oleh Allah atau Nabi sebagai pilihan yang harus pula diterima oleh umat manusia, kemudian diangkat sebagai imam untuk memimpin mereka dalam bidang politik, ataukah ia dipilih oleh manusia sendiri melalui musyawarah dan pemilihan umum?
Dalam pandangan Syari’ati hubungan khalifah dengan imam yang ada
pada satu masa merupakan bentuk hubungan seorang pemimpin spiritual,
politik dan sosial dengan penguasa, sebagaimana halnya yang ada pada
hubungan antara Gandhi dengan Nehru. Bentuk seperti ini, di mata
Syari’ati, adalah bentuk yang wajar, dan pemisahan antara kedua tugas
tersebut dapat memberi jaminan bagi tetap terpeliharanya keagungan dan
kehormatan imam.
Sepintas memang jawaban Syari’ati bertentangan dengan tidak
setujunya ia pada pemisahan kerja khilafah dan imamah, yang menurutnya
akan bermuara pada pemisahan antara politik dan agama. Dapat dijelaskan
bahwa bagi Syari’ati, pemisahan antara urusan politik atau negara dan
agama bukan produk Islam, tetapi produk sejarah Islam yang terpengaruh
nilai-nilai nasrani. Pada mulanya, seorang pemimpin mengurusi masalah
politik dan agama sekaligus. Ia bagaikan Nabi Muhammad yang memimpin
perang tetapi juga menjadi imam sholat.
Sejarah Islam kemudian mencatat terjadinya pergeseran yang
memisahkan antara khilafah dan imamah dalam bentuk aplikatif. Dan ini
tidak disetujui oleh Syari’ati.Ini dipersulit dengan terjadinya
pemisahan keduanya dalam ruang dan waktu yang berbeda. Terjadi pula
pereduksian peranan imamah dan khilafah dalam sejarah Islam, lalu
masing-masing ditempatkan dalam medan yang sempit.
Adapun yang dimaksud Syari’ati dengan pemisahan khilafah dan Imamah
(atribut/sifat) di atas adalah pada tataran realitas. Ada imam yang
diakui oleh sekelompok orang, lalu kelompok yang lain memilih orang lain
untuk menjadi khilafah. Di sini perlu diingatkan bahwa, bagi Syari’ati,
imamah bukanlah jabatan tetapi atribut (sifat). Penunjukan atas orang
lain sebagai khilafah di saat adanya imam, dapat disejajarkan dengan
penerimaan terhadap seorang Nabi sebagai seorang Rasul – seperti yang
diberlakukan pada Yesus – dan menunjuk orang lain pada jabatan
pemerintahan bagi bangsa Arab atau kaum muslim Emperor Islam,
sebagaimana halnya dengan Kaisar.
Bagi Syari’ati, dalam ajaran Islam tidak dikenal pemisahan urusan
negara atau politik dengan agama. Jika terjadi pada satu masa adanya
imam dan adanya Khalifah maka hubungan yang terjadi adalah bagaikan
hubungan Nehru dan Gandhi. Imam meski diam di rumah tidak berarti
ke-imam-annya hilang, karena imam adalah atribut (sifat); tanpa melewati
pemilihan. Dengan demikian, tanggung jawab dan tugas seorang imam –
meski tidak dipilih sebagai khalifah – tetaplah ada.
Berbeda dengan konsep sekular yang betul-betul menghendaki
pemisahan antara negara dan agama; dalam konsep Syari’ati, kalau pun
harus terjadi – adanya imam dan khalifah dalam satu masa – maka yang ada
adalah adanya pemimpin politik dan pemimpin spiritual. Apabila kemudian
imam terpilih sebagai khalifah (melalui pemilihan), seperti yang
terjadi pada Imam Ali dan Imam Hasan, maka bukanlah hal yang tabu
bersatunya pemimpin politik dan pemimpin spiritual dalam diri satu
pemimpin. Ini yang tidak mungkin terjadi dalam konsep sekular karena
pemimpin spiritual bukanlah sebuah sifat tetapi sebuah jabatan
tersendiri.
Berangkat dari tesis bahwa imam adalah sifat (atribut), ketika yang
bukan imam menjadi khalifah maka bukannya hak imam yang terampas;
tetapi yang terampas adalah hak umat manusia. Seorang imam tetap menjadi
imam meskipun ia tidak menjalankan kekuasaan duniawi. Yang terampas
haknya (dari memperoleh manfaat atas kehadiran imam) adalah makmum.
Adalah hak umat untuk mendapat bimbingan dari imam dan bila ada
“rekayasa” maka yang paling merugi adalah umat; karena umatlah yang
terampas haknya.
Persoalan kedua sesungguhnya bermuara pada dua prinsip;
pengangkatan dari Tuhan dan ijma’ umat Islam. Sejarah telah menjelaskan
bahwa Syi’ah cenderung pada prinsip pertama dan Sunni cenderung pada
prinsip kedua. Syari’ati menyerang prinsip kedua yang oleh Sunni
dianggap telah menjadi unsur penting pada peristiwa Saqifah. Syari’ati
sempat “terbang” ke Konferensi Asia Afrika di Bandung, menyebut Jenderal
De Gaul dari Maroko, mengutip Profesor Chandle yang mengatakan, “musuh
demokrasi dan kebebasan yang paling besar adalah demokrasi, liberalisme,
dan kebebasan individu itu sendiri”, menyerang dunia Barat atas
kecurangan mereka dalam memperkenalkan demokrasi, menyerang Robert
Kennedy, revolusi kebudayaan di Cina dan revolusi Perancis. Syari’ati
menyebut semua itu untuk menyerang demokrasi dan pemilihan pemimpin
dengan suara terbanyak.
c. Hubungan Imamah dengan Ummah
Ali Syari’ati tidak secara jelas menyiratkan hubungan antara
ima>mah dengan ummah. Ia hanya menyatakan bahwa ummat membutuhkan
sebuah teladan yang menjadi uswah, karena dalam pandangannya panutan itu
akan mendidik manusia menuju jalan perubahan. Ia berkata sebagai
berikut:
Jadi, teladan yang ideal dan sempurna bagi manusia, jelas
merupakan sesuatu yang amat penting, agar manusia dapat menempuh
perjalanan menuju kesempurnaan dan mencapai tingkat tertinggi, serta
mewarnai kepribadian mereka dengan kesempurnaan itu. Hal semacam ini
adalah sesuatu yang wajar-wajar saja, seperti yang dikatakan ayah saya,
bahwa para panutan kita, yang berkewajiban mendidik dan mewarnai moral
kita melalui petunjuk berupa prilaku dan kelebihan-kelebihan mereka, tak
bias tidak adalah manusia seperti kita juga.
Dan yang menjadi uswah tak lain adalah para imam, berhubungan dengan ini ia juga berkata:
Pada saat yang sama, ketika pengaruh imam yang spritual dan
padagogik terhadap kalbu dan peranan spritualnya dalam membimbing umat
manusia dapat disamakan dengan peran yang dimainkan oleh para hero dalam
sejarah dan mitologi serta personifikasi keagungan nilai-nilai
kemanusian, maka perwujudan dan hakikat imam tidak mungkin dapat
dimasukkan dalam kategori para hero. Sebab imam bukanlah tokoh mitologi
dan bukan pula pahlawan dalam sejarah, tetapi merupakan ungkapan seorang
manusia yang wajar sebagaimana manusia yang lain. Bedanya, dalam diri
imam tersebut terdapat perwujudan-perwujudan dan teladan-teladan dalam
karakter semua jenis manusia yang dianggap paling sempurna.
Dari penjelasan tersebut, imam dalam pandangan Ali Syari’ati adalah
manusia yang hebat dan patut untuk diteladani. Bahkan Ali Syari’ati
menyamakannya dengan pahlawan.
Pandangan ini merupakan karakteristik dari pemikiran-pemikiran Ali
Syari’ati sekaligus khas pemikiran syiah. Sebagaiman dijelaskan di awal
bahwa Ali Syari’ati sangat mengistimewakan kedudukan imam. Imam bukanlah
posisi yang dipilih oleh rakyat akan tetapi ditentukan oleh kemampuan
dirinya sendiri. Dengan demikian hubungan antara imam dengan ummah dalam
pemikiran Ali Syari’ati adalah bahwa ummah seharusnya meneladani imam
dan seorang imam harus bisa membawa ummah kepada perubahan yang lebih
baik.
(Syiah-Ali/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
(Syiah-Ali/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email