Pertama kali pribadi yang menyebut ajaran sekte sempalan yang
diajarkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab dengan sebutan Wahhaby adalah
saudara tua sekandungnya, Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahab yang selalu
mencoba meluruskan pemahaman adiknya yang salah-kaprah tentang Islam dan
ajaran Salaf Saleh. Sebuah surat (risalah) panjang beliau tulis untuk
adiknya yang kemudian dibukukan (baca: dicetak)…
——————————————————————-
_________________________
Suatu hal yang jelas bahwa Inggris merupakan negara barat pertama yang cukup interest menggelari dakwah ini dengan “Wahhabisme”, alasannya karena dakwah ini mencapai wilayah koloni Inggris yang paling berharga, yaitu India. Banyak ‘ulamâ` di India yang memeluk dan menyokong dakwah Imâm Ibn ‘Abdil Wahhâb. Juga, Inggris menyaksikan bahwa dakwah ini tumbuh subur berkembang dimana para pengikutnya telah mencakup sekelompok ‘ulamâ` ternama di penjuru dunia Islâm. Selama masa itu, Inggris juga mengasuh sekte Qâdhiyânî dalam rangka untuk mengganti mainstream ideologi Islam. [Lihat : Dr. Muhammâd ibn Sa’d asy-Syuwai’ir, Tashhîh Khathâ’ Târîkhî Haula`l Wahhâbiyyah, Riyâdh : Dârul Habîb : 2000; hal. 55]. Mereka berhasrat untuk memperluas wilayah kekuasaan mereka di India dengan mengandalkan sebuah sekte ciptaan mereka sendiri, Qâdhiyânî, yaitu sekte yang diciptakan, diasuh dan dilindungi oleh Inggris. Sekte yang tidak menyeru jihad untuk mengusir kolonial Inggris yang berdiam di India. Oleh karena itulah, ketika dakwah Imâm Ibn ‘Abdil Wahhâb mulai menyebar di India, dan dengannya datanglah slogan jihad melawan penjajah asing, Inggris menjadi semakin resah. Mereka pun menggelari dakwah ini dan para pengikutnya sebagai ‘Wahhâbi’ dalam rangka untuk mengecilkan hati kaum muslimin di India yang ingin turut bergabung dengannya, dengan harapan perlawanan terhadap penjajah Inggris tidak akan menguat kembali.* Banyak ‘Ulamâ` yang mendukung dakwah ini ditindas, beberapa dibunuh dan lainnya dipenjara.**
Coba jika ternyata yang anti Wahhaby menulis artikel yang bersandar kepada buku-buku dan karya tulis yang ditulis oleh kaum Orientalis, pasti mereka akan menyatakan bahwa itu adalah kesesatan dan tidak dapat dipercaya. Jangankan dalam kasus semacam itu, dalam kasus kritisi fatwa si Utsaimin tentang “Bumi sebagai Pusat Tata Surya” yang terdapat dalam blog Wahaby lain, teman-teman yang tidak setuju dengan fatwa tersebut dianggap sebagai “bodoh tentang ajaran Islam” atau “Taklid Buta kepada Ilmuwan Barat yang Kafir”. Apakah dalam penamaan istilah Wahhaby pemilik blog itu tidak takild pada ucapan para orientalis yang kafir? Saya hanya menukil saja ayat yang berbunyi: “Kabura Maqtan ‘Indallahi an Taquluu ma laa Taf’aluun” (Murka besar Allah sewaktu kalian berbicara namun tidak kalian kerjakan). Apa yang dilakukan penulis dalam masalah pencetus julukan Wahaby tadi (yang menuduh kaum Orientalis) tidak lebih hanya pelaksanaan istilah “Maling teriak maling”, pencuri (Wahaby) yang menuduh dan meneriaki pencuri lain (orientalis) untuk usaha pembersihan diri.
Pertama kali pribadi yang menyebut ajaran sekte sempalan yang diajarkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab dengan sebutan Wahhaby adalah saudara tua sekandungnya, Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahab yang selalu mencoba meluruskan pemahaman adiknya yang salah-kaprah tentang Islam dan ajaran Salaf Saleh. Sebuah surat (risalah) panjang beliau tulis untuk adiknya yang kemudian dibukukan (baca: dicetak) dengan judul:
(Petir-petir Ilahi pada Mazhab al-Wahabiyah).
——————————————————————-
- Siapa Pencetus Gelar/Julukan ‘Wahhaby’?
_________________________
SIAPA PENCETUS PERTAMA ISTILAH WAHHABI?
Oleh :Al-Ustadz Jalâl Abŭ Alrŭb
Suatu hal yang jelas bahwa Inggris merupakan negara barat pertama yang cukup interest menggelari dakwah ini dengan “Wahhabisme”, alasannya karena dakwah ini mencapai wilayah koloni Inggris yang paling berharga, yaitu India. Banyak ‘ulamâ` di India yang memeluk dan menyokong dakwah Imâm Ibn ‘Abdil Wahhâb. Juga, Inggris menyaksikan bahwa dakwah ini tumbuh subur berkembang dimana para pengikutnya telah mencakup sekelompok ‘ulamâ` ternama di penjuru dunia Islâm. Selama masa itu, Inggris juga mengasuh sekte Qâdhiyânî dalam rangka untuk mengganti mainstream ideologi Islam. [Lihat : Dr. Muhammâd ibn Sa’d asy-Syuwai’ir, Tashhîh Khathâ’ Târîkhî Haula`l Wahhâbiyyah, Riyâdh : Dârul Habîb : 2000; hal. 55]. Mereka berhasrat untuk memperluas wilayah kekuasaan mereka di India dengan mengandalkan sebuah sekte ciptaan mereka sendiri, Qâdhiyânî, yaitu sekte yang diciptakan, diasuh dan dilindungi oleh Inggris. Sekte yang tidak menyeru jihad untuk mengusir kolonial Inggris yang berdiam di India. Oleh karena itulah, ketika dakwah Imâm Ibn ‘Abdil Wahhâb mulai menyebar di India, dan dengannya datanglah slogan jihad melawan penjajah asing, Inggris menjadi semakin resah. Mereka pun menggelari dakwah ini dan para pengikutnya sebagai ‘Wahhâbi’ dalam rangka untuk mengecilkan hati kaum muslimin di India yang ingin turut bergabung dengannya, dengan harapan perlawanan terhadap penjajah Inggris tidak akan menguat kembali.* Banyak ‘Ulamâ` yang mendukung dakwah ini ditindas, beberapa dibunuh dan lainnya dipenjara.**
Catatan :
* W.W. Hunter dalam bukunya yang berjudul “The Indian Musalmans”
mencatat bahwa selama pemberontakan orang India tahun 1867, Inggris
paling menakuti kebangkitan muslim ‘Wahhâbi’ yang tengah bangkit
menentang Inggris. Hunter menyatakan di dalam bukunya bahwa : “There
is no fear to the British in India except from the Wahhabis, for they
are causing disturbances againts them, and agitating the people under
the name of jihaad to throw away the yoke of disobedience to the British
and their authority.” [“Tidak
ada ketakutan bagi Inggris di India melainkan terhadap kaum Wahhâbi,
karena merekalah yang menyebabkan kerusuhan dalam rangka menentang
Inggris dan mengagitasi (membangkitkan semangat) umat dengan atas nama
jihâd untuk memusnahkan penindasan akibat dari ketidaktundukan kepada
Inggris dan kekuasaan mereka.”] Lihat: W.W. Hunter, “The Indian Musalmans”, cet.1 di London: Trűbner and Co., 1871; Calcuta: Comrade Publishers, 1945, 2nd edn.; New Delhi: Rupa & Co., 2002 Reprint
** Di
Bengal selama masa ini, banyak kaum muslimin termasuk tua, muda dan
para wanita, semuanya disebut dengan “Wahhâbi” dan dianggap sebagai
“pemberontak” yang melawan Inggris kemudian digantung pada tahun
1863-1864. Mereka yang dipenjarakan di Pulau Andaman dan disiksa adalah
para ulama dari komunitas Salafî-Ahlul Hadîts, seperti Syaikh Ja’far
Tsanisârî, Syaikh Yahyâ ‘Alî (1828-1868), Syaikh Ahmad ‘Abdullâh
(1808-1881), Syaikh Nadzîr Husain ad-Dihlawî dan masih banyak lagi
lainnya. Untuk bacaan lebih lanjut, silakan lihat :
-
Mu’înud-dîn Ahmad Khân, A History if The Fara’idi Movement in Bengal (Karachi: Pakistan Historical Society, 1965).
-
Barbara Daly Metrcalf, Islamic Revival in British India: Deoband, 1860-1900 (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1982), hal. 26-77.
-
Qiyâmud-dîn Ahmad (Professor Sejarah di Universitas Patna), The Wahhabi Movement in India (Ner Delhi: Manohar, 1994, 2nd edition). Terutama pada bab tujuh “The British Campaigns Againts the Wahhabis on the North-Western Frontier” dan bab kedelapan “State Trials of Wahhabi Leaders, 183-65.”
Muhammad Ja’far, Târikhul ‘Ajîb dan Târikhul ‘Ajîb – History of Port Blair (Nawalkshore Press, 1892, 2nd edition).
Suatu hal yang perlu dicatat, di dalam surat-surat dan laporan-laporan yang
dikirimkan kepada ayah tirinya dan pemerintahan ‘Utsmâniyyah
(Ottomans), Ibrâhîm Basyâ (Pasha), anak angkat Muhammad ‘Alî Basyâ
(Pasha), juga menggunakan istilah ‘Wahhâbi, Khowârij dan Bid’ah
(Heretics)’ untuk menggambarkan dakwah Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhâb dan
Negara Saudî [Lihat: ibid, hal. 70].
Hal ini, tentu saja, terjadi sebelum Ibrâhîm Basyâ memberontak dan
menyerang khilâfah ‘Utsmâniyyah dan hampir saja menghancurkannya di
dalam proses pemberontakannya. Dr. Nâshir Tuwaim mengatakan :
“Kaum
Orientalis terdahulu, menggunakan istilah ‘Wahhâbiyyah, Wahhâbî,
Wahhâbis’ di dalam artikel-artikel dan buku-buku mereka untuk
menyandarkan (menisbatkan) istilah ini kepada gerakan dan pengikut
Syaikh Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhâb. Beberapa diantara mereka bahkan memperluasnya dengan memasukkan istilah ini sebagai judul buku mereka, semisal Burckhardt, Brydges dan Cooper, atau sebagai judul artikel mereka, seperti Wilfred Blunt, Margoliouth, Samuel Zwemer, Thomas Patrick Hughes, Samalley dan George Rentz.
Mereka melakukan hal ini walaupun sebagian dari mereka mengakui bahwa
musuh-musuh dakwah ini menggunakan istilah ini untuk menggambarkannya,
padahal para pengikut Syaikh Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhâb tidak
menyandarkan diri mereka kepada istilah ini.
-
Margoliouth sebagai contohnya, ia mengaku bahwa istilah ‘Wahhâbiyyah” digunakan oleh musuh-musuh dakwah selama masa hidup ‘pendiri’-nya, kemudian digunakan secara bebas oleh orang-orang Eropa. Walau demikian, ia menyatakan bahwa istilah ini tidak digunakan oleh para pengikut dakwah ini di Jazîrah ‘Arab. Bahkan, mereka menyebut diri mereka sendiri sebagai “Muwahhidŭn”. [D.S. Margoliouth, Wahabiya, hal. 618, 108. Artikel karya Margoliouth yang berjudul ‘Wahhabis’ ini juga dapat ditemukan di dalam The First Encyclopaedia of Islam, 1913-1936 (New York: E.J. Brill, 1987 Reprint) vol.8 , hal.1087 karya M.T. Houtsma, T.W. Arnold, R. Basset, R. Hartman, A.J. Wensinck, H.A.R. Gibb, W. Heffening dan E. Lêvi-Provençal (ed) dan The Shorter Encyclopaedia of Islam (Leiden and London: E.J. Brill and Luzac & Co., 1960), hal. 619 karya H.A.R Gibb, J.H. Kramers dan E. Lêvi-Provençal (ed). Artikel ini juga dicetak ulang dalam :
-
Reading, UK: Ithaca Press, 1974
-
Leiden: Brill, 1997
-
Dan cetakan pertama, Leiden and London: E.J. Bril and Luzac & Co., dan New York: Cornel University Press, 1953.]
-
-
Thomas Patrick Hughes menggambarkan “Wahhâbiyyah” sebagai gerakan reformis Islâm yang didirikan oleh Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhâb, yang menyatakan bahwa musuh-musuh mereka tidak mau menyebut mereka sebagai “Muhammadiyyah” (Muhammadans), malahan, mereka menyebutnya sebagai ‘Wahhâbî’, sebuah nama setelah namanya ayahnya Syaikh… [Thomas Patrick Huges, Dictionary of Islam, hal. 59].
-
George Rentz mengatakan bahwa istilah ‘Wahhâbî’ digunakan untuk mengambarkan para pengikut Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb oleh musuh-musuh mereka sebagai ejekan bahwa Syaikh mendirikan sebuah sekte baru yang harus dihentikan dan aqidahnya ditentang. Mereka yang disebut dengan sebutan ‘Wahhâbî’ ini beranggapan bahwa Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb hanyalah seorang pengikut Sunnah, oleh karena itulah mereka menolak istilah ini dan bahkan menuntut agar dakwah beliau disebut dengan ‘ad-Da’wah ila’t Tauhîd’, dimana istilah yang tepat untuk menggambarkan para pengikutnya adalah ‘Muwahhidŭn’… [George Rentz dan AS.J. Arberry, The Wahhabis in Religion in The Middle East: Three Religion in Concord and Conflict, Vol.2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), hal. 270]. Rentz juga mengatakan bahwa, para penulis barat ketika menggunakan istilah ‘Wahhâbî’ adalah dengan maksud ejekan, ia juga menyatakan bahwa ia menggunakan istilah itu sebagai klarifikasi.
[Lihat: Nâshir ibn Ibrâhîm ibn ‘Abdullâh Tuwaim, Asy-Syaikh Muhammad ibn ‘Abd`ul Wahhâb: Hayâtuhu wa Da’watuhu fi`r Ru`yâ al-Istisyrâqiyya: Dirôsah Naqdîyyah (Riyadh:
Kementerian Urusan Keislaman, Pusat Penelitian dan Studi Islam,
1423/2003) hal. 86-7. Buku ini juga dapat dilihat secara online di http://islamport.com/d/3/amm/1/100/2213.html] .
Biar
bagaimanapun, siapa saja yang menggunakan istilah ini , baik dari masa
lalu sampai saat ini, telah melakukan beberapa kesalahan, diantaranya :
-
Mereka menyebut dakwah Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb sebagai ‘Wahhâbiyyah’, walaupun dakwah ini tidak dimulai oleh ‘Abdul Wahhâb, namun oleh puteranya Muhammad.
-
Pada awalnya, ‘Abdul Wahhâb tidak menyetujui dakwah puteranya dan menyanggah beberapa ajaran puteranya. Walau demikian, tampak pada akhir kehidupannya bahwa beliau akhirnya menyetujui dakwah puteranya. Semoga Alloh merahmatinya.
Musuh-musuh dakwah, tidak menyebut dakwah ini dengan sebutan Muhammadiyyah –terutama semenjak Muhammad, bukan ayahnya, ‘Abdul Wahhâb, memulai dakwah ini- karena dengan menyebutkan kata ini, Muhammad, mereka bisa mendapatkan simpati dan dukungan dakwah, ketimbang permusuhan dan penolakan.
Istilah
“Wahhâbi”, dimaksudkan sebagai ejekan dan untuk meyakinkan kaum
muslimin supaya tidak mengambil ilmu atau menerima dakwah Muhammad ibn
‘Abdul Wahhâb, yang telah digelari oleh mereka sebagai mubtadi’ (ahli bid’ah) yang tidak mencintai Rasulullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam.
Walaupun demikian, penggunaan istilah ini telah menjadi sinonim dengan
seruan (dakwah) untuk berpegang al-Qur`ân dan as-Sunnah dan suatu
indikasi memiliki penghormatan yang luar biasa terhadap salaf, yang
berdakwah untuk mentauhîdkan Allôh semata serta memerintahkan untuk
mentaati semua perintah Rasulullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Hal ini adalah kebalikan dari apa yang dikehendaki oleh musuh-musuh dakwah. [Lihat: Qodhî Ahmad ibn Hajar Alu Abŭthâmi (al-Bŭthâmi), Syaikh Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhâb : His Salafî Creed and Reformist Movement, hal. 66].
Pada belakang hari, banyak musuh-musuh dakwah Imam Muhammad Ibn ‘Abdul
Wahhâb akhirnya menjadi kagum terhadap dakwah dan memahami esensi
dakwahnya yang sebenarnya, melalui membaca buku-buku dan karya-karyanya.
Mereka mempelajari bahwa dakwah ini adalah dakwah Islam yang murni dan
terang, yang Alloh mengutus semua Nabi-Nya ‘alaihim`us Salâm untuknya (untuk dakwah tauhîd ini).
Menggunakan
istilah ‘Wahhâbiyyah’ ini, tidak akan menghentikan penyebaran dakwah
ini ke seluruh penjuru dunia. Bahkan pada kenyataannya, walaupun berada
di tengah-tengah dunia barat, banyak kaum muslimin yang mempraktekkan
Islam murni ini, yang mana Imâm Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhâb secara
antusias mendakwahkannya dan menjadikannya sebagai misi dakwah beliau.
Semua ini disebabkan karena tidak ada seorangpun yang dapat mengalahkan
al-Qur`ân dan as-Sunnah, tidak peduli sekuat apapun seseorang itu.
Perlu
dicatat pula, bahwa diantara karakteristik mereka yang berdakwah kepada
tauhîd adalah, adanya penghormatan yang sangat besar terhadap al-Qur`ân
dan sunnah Nabi. Mereka dikenal sebagai kaum yang mendakwahkan untuk
berpegang kuat dengan hukum Islam, memurnikan (tashfiyah) dan mendidik (tarbiyah)
bahwa peribadatan hanya milik Allôh semata serta memberikan respek
terhadap para sahabat nabî dan para ‘ulamâ` Islâm. Mereka adalah kaum
yang dikenal sebagai orang yang lebih berilmu di dalam masalah ilmu
Islam secara mendetail daripada kebanyakan orang selain mereka. Telah
menjadi suatu pengetahuan umum bahwa dimana saja ada seorang salafî
bermukim, kelas-kelas yang mengajarkan ilmu sunnah tumbuh subur.
Sekiranya istilah “Wahhâbî” ini digunakan untuk para pengikut dakwah,
bahkan sekalipun dimaksudkan untuk mengecilkan hati ummat agar tidak mau
menerima dakwah mereka, tetaplah salah baik dulu maupun sekarang,
menyebut dakwah ini dengan sebutan “Wahhâbiyyah”.
Imâm Muhammad ibn ‘Abdul Wahhâb berdakwah menyeru kepada jalan Rasulullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabat nabi, beliau tidak berdakwah menyeru kaum muslimin supaya menjadi pengikutnya. Dakwah beliau bukanlah sebuah aliran/sekte baru,
namun dakwah beliau adalah kesinambungan warisan dakwah yang dimulai
dari generasi pertama Islam dan mereka yang mengikuti jalan mereka
dengan lebih baik.
Dalihbahasakan oleh Abŭ Salmâ al-Atsarî dari Jalâl Abŭ Alrub dan Alâ Mencke (ed.), Biography and Mission of Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhâb (Orlando, Florida: Madinah Publisher, 1424/2003), hal. 677-81. Dengan tambahan catatan oleh Salafimanhaj Research, Who First Used The Term “Wahhabi”? (http://www.salafimanhaj.com/pdf/SalafiManhaj_TermWahhabi.pdf)
Catatan penterjemah :
Jalâl Abŭ Alrub adalah seorang penulis Islam salafî yang mumpuni. Beliau memiliki website bermanfaat, yaitu http://islamlife.com. Beliau aktif menulis counter dan tanggapan/bantahan terhadap syubuhat
dan penyesatan opini para jurnalis Barat. Beliau pernah terlibat debat
beberapa kali dengan para jurnalis dan penulis ’Neo-Con’. Terakhir kali,
beliau menantang debat Robert Spencer (seorang Katolik pro Neo-Con,
yang mengangkat dirinya sebagai ’Islam Specialist’ dan banyak menulis
tentang Islam secara ngawur dan tendensius. Ia adalah orang dibalik
website jihadwatch dan dhimmiwatch.) Namun, Robert Spencer sepertinya
tidak punya ’guts’ (nyali), sehingga ia tidak pernah mau berhadapan
langsung dengan Jalâl Abŭ Alrub.
____________________________________Coba jika ternyata yang anti Wahhaby menulis artikel yang bersandar kepada buku-buku dan karya tulis yang ditulis oleh kaum Orientalis, pasti mereka akan menyatakan bahwa itu adalah kesesatan dan tidak dapat dipercaya. Jangankan dalam kasus semacam itu, dalam kasus kritisi fatwa si Utsaimin tentang “Bumi sebagai Pusat Tata Surya” yang terdapat dalam blog Wahaby lain, teman-teman yang tidak setuju dengan fatwa tersebut dianggap sebagai “bodoh tentang ajaran Islam” atau “Taklid Buta kepada Ilmuwan Barat yang Kafir”. Apakah dalam penamaan istilah Wahhaby pemilik blog itu tidak takild pada ucapan para orientalis yang kafir? Saya hanya menukil saja ayat yang berbunyi: “Kabura Maqtan ‘Indallahi an Taquluu ma laa Taf’aluun” (Murka besar Allah sewaktu kalian berbicara namun tidak kalian kerjakan). Apa yang dilakukan penulis dalam masalah pencetus julukan Wahaby tadi (yang menuduh kaum Orientalis) tidak lebih hanya pelaksanaan istilah “Maling teriak maling”, pencuri (Wahaby) yang menuduh dan meneriaki pencuri lain (orientalis) untuk usaha pembersihan diri.
Pertama kali pribadi yang menyebut ajaran sekte sempalan yang diajarkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab dengan sebutan Wahhaby adalah saudara tua sekandungnya, Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahab yang selalu mencoba meluruskan pemahaman adiknya yang salah-kaprah tentang Islam dan ajaran Salaf Saleh. Sebuah surat (risalah) panjang beliau tulis untuk adiknya yang kemudian dibukukan (baca: dicetak) dengan judul:
“الصواعق الإلهية في مذهب الوهابية”
(Petir-petir Ilahi pada Mazhab al-Wahabiyah).
- Kitab tersebut beberapa kali di cetak di Turkia, Pakistan dan
beberapa negara lain, terakhir dicetak beberapa percetakan di
Beirut-Lebanon. Tentu, kitab semacam ini tidak akan pernah kita temukan
di toko-toko buku di Arab Saudi yang mazhab resminya adalah Wahhabiyah,
karena akan merusak status quonya.
Dari sini jelas sekali bahwa penamaan sekte sempalan ajaran Muhammad bin Abdul Wahab sebagai “Wahaby” bukan pihak di luar Islam atau di luar mazhab Hambali, tetapi dari saudara tua Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri, Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab. Di awal-awal risalah tersebut Syeikh Sulaiman menyatakan alasannya kenapa menyebutnya dengan ‘Wahhabiyah’ dan bukan ‘Muhammadiyah’? Beliau memaparkan bahwa, memang secara kaidah harusnya menyebutnya dengan ‘Muhamadiyah’ yang dinisbahkan kepada Muhammad bin Abdul Wahab, bukan Wahhabiyah. Akan tetapi, beliau khawatir jika ajaran sesat adiknya itu diberi nama ‘Muhamadiyah’ -yang berarti senama dengan nama Rasululah yang sakral itu- dan jika ajaran itu menyebar dan tentu akan mendapat tantangan sehingga ajaran itu menjadi bahan cemooh dari banyak pihak, maka beliau khawatir nama Muhamadiyah disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertangungjawab. Atas dasar itu, beliau merelakan penamaan ‘Wahhaby’ (yang beliau juga bin Abdul Wahhab) sebagai nama sekte sempalan ajaran adiknya, dinisbahkan kepada ayahandanya. Setelah dicetuskan istilah tersebut oleh Syeikh Sulaiman, para ulama lainpun mengikuti pengistilahan tersebut. Maka dari itu, setelah itu bermunculanlah beberapa kitab dan risalah yang ditulis oleh banyak ulama dari manca negara-negara Tim-Teng yang mengkritisi sekte sempalan Muhammad bin Abdul Wahab yang dikenal dengan Wahhaby tersebut. Sejak saat itu, sekte sempalan itu disebut WAHHABI. Jadi apa yang dilakukan Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab dengan memberikan julukan “Wahhaby” untuk sekte karya adiknya itu dikarenakan beliau melaksanakan kaidah “Taqdimul Qobih ‘alal Aqbah” (mendahulukan yang jelek dari yang lebih jelek). Bagaimana tidak, karena penisbatan kepada ayahnya untuk sekte itu merupakan suatu yang jelek (buruk), namun di sisi lain, jika dinamakan dengan nama adiknya maka ia merasa khawatir nama yang mirip dengan nama Rasulullah itu kelak akan dijadikan bahan ejekan orang. Dia berpikir, daripada nama Rasulullah dijadikan bahan cemoohan maka lebih baik nama ayahnya saja yang dijadikan nama sekte adiknya tersebut, karena setiap sekte harus dinamai dan umumnya penamaan setiap sekte dinisbahkan kepada pendirinya. Atas dasar itulah akhirnya beliau menamainya dengan “Wahabisme”.
Adapun letak kesesatan ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab versi kakaknya, Sulaiman bin Abdul Wahab, adalah terletak pada pengkafiran (Takfir) sekte tersebut terhadap kelompok muslim lain di luar sektenya. Dalam risalah karya Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahab hal itu telah disinggung. Di sini, kita akan nukilkan -dari kitab lain yang juga menyingung tentang- penggalan diskusi antara Muhammad bin Abdul Wahab dengan kakaknya, Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahab, seorang yang lebih alim dari berbagai bidang ilmu keagamaan (terkhusus masalah mazhab Hambali) dibanding adiknya. Syeikh Sulaiman pernah bertanya kepada Muhammad bin Abdul Wahab dengan pertanyaan:
“Berkata saudara yang lebih besar dan lebih alim, Sulaiman bin Abdul Wahab, kepada saudaranya (adiknya): “Wahai Muhammad bin Abdul Wahab, ada berapa rukun Islam itu?” Ia menjawab: “Ada lima.” Lantas Sulaiman berkata: “Engkau telah menjadikannya enam. Yang keenam adalah; barangsiapa yang tidak mengikutimu maka ia bukan muslim. Ini adalah rukun Islam keenam menurutmu”.” (Lihat kitab ad-Da’awi al-Munawi’in li Da’wah as-Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab, I’dad: Abdul Aziz bin Muhammad bin Abdul Lathif, Darul Wathan li an-Nasyr as-Saudiyah, cetakan pertama, tahun 1412).
Sekarang yang menjadi problem buat kaum Wahhaby dan mereka harus segera mereka menjawabnya adalah:
1- Masihkah kalian akan mengaku dan bangga bahwa Wahhaby berasal dari salah satu nama Allah, Al-Wahhab? Tidak ada bukti otentik atas kebanggan tersebut kecuali karena untuk menutupi rasa malu saja.
2- Masihkah kalian menganggap bahwa Wahhaby adalah julukan yang diberikan oleh kaum non-muslim untuk pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab?
3- Masihkah kalian berargumen dengan argumen para orientalis dalam menetapkan tuduhan kalian, sedang kalian melupakan tokoh mazhab Hambali Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab, sudara tua Muhammad bin Abdul Wahhab?
4- Kenapa kalian berargumen dengan buku-buku karya orientalis padahal jika itu dilakukan oleh orang lain (selain kelompok kalian) maka dengan serta merta kalian akan mengatakan itu merupakan kesesatan? Mana konsistensi kalian terhadap pendapat dan ucapan kalian sendiri?
5- Masihkah kalian menginkari akan ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab tentang pengkafiran terhadap kelompok lain, padahal banyak bukti yang membuktikan hal tersebut? Dalam tulisan yang akan datang akan sebutkan sedikit demi sedikit pengkafiran tersebut.
[Sastro H]
Post a Comment
mohon gunakan email