Pesan Rahbar

Home » » Syiah Imamiyah bukan pihak yang memulai mencaci para sahabat. Fakta sejarah menyatakan bahwa orang-orang dari Dinasti Umawiyah-lah yang memulai mencaci Ali dari atas mimbar Jumat

Syiah Imamiyah bukan pihak yang memulai mencaci para sahabat. Fakta sejarah menyatakan bahwa orang-orang dari Dinasti Umawiyah-lah yang memulai mencaci Ali dari atas mimbar Jumat

Written By Unknown on Wednesday, 27 August 2014 | 17:12:00


Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah
Jika kita bermaksud memeriksa kesalahan dan kerancuan yang dilakukan terhadap mazhab Syiah, maka akan kita dapati poin-poin utamanya sebagai berikut:

Pertama: Kesalahan yang berkaitan dengan pengetahuan umum
Beberapa penulis nampaknya lupa bahwa Syiah terdiri dari banyak sekte. Ada yang moderat dan ada yang ekstrem. Ada yang berakidah sahih dan ada yang berakidah salah. Sekte Syiah yang moderat dan berakidah sahih utamanya adalah az-Zaidiyah (dinisbatkan kepada Imam Zaid bin Ali Zainal Abidin, terkonsentrasi di Yaman, dan sangat mirip dengan Ahlussunnah) dan al-Imamiyah al-Itsna ‘Asyariyah, sekte Syiah yang terbesar dan terpopuler yang akhir-akhir ini menjadi sasaran kritik. Mereka disebut al-Imamiyah karena menganggap imamah (kepemimpinan) sebagai prinsip akidah, sedangkan sebutan al-Itsna ‘Asyariyah dinisbahkan kepada dua belas imam mereka yang berasal dari keturunan Rasulullah saw. Terkadang mereka disebut al-Jafariyah, nisbah kepada Imam Jafar ash-Shadiq, pendiri fiqih Syiah.

Jika dalam bahasa sehari-hari julukan Syiah ditujukan kepada sekte al-Imamiyah al-Itsna Asyariah atau al-Jafariyah saja, maka dari sudut pandang ilmiah hal ini mengandung simplifikasi, karena sekte al-Itsna Asyariyah bukanlah keseluruhan Syiah.

Dalam artikel-artikel yang kami baca, nampak kerancuan yang memalukan akibat pencampuran antara sekte al-Imamiyah dengan sekte Syiah lainnya yang terkenal ekstrem dan berakidah menyimpang. Misalnya, sekte yang beranggapan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah Tuhan (sekte as-Sabaiyah, dinisbahkan kepada Abdullah bin Saba, seorang Yahudi). Juga sekte yang beranggapan bahwa posisi Ali bin Abi Thalib lebih tinggi daripada Rasulullah saw, Jibril salah alamat dalam menyampaikan wahyu, sehingga menurunkannya kepada Nabi Muhammad saw dan bukannya kepada Imam Ali. Mereka mendasarkan anggapan tersebut pada kemiripn keduanya, “seperti miripnya gagak dengan gagak yang lain.”. Karena itu mereka disebut sekte al-Ghurabiyah. Lalu, dalam suasana kemarahan yang mengiringi perusakan terhadap Masjidil Haram di Mekkah, kaum Syiah dituduh telah menodai kesucian masjid yang disakralkan kaum Muslim dan menyembunyikan Hajar Aswad. Ini adalah pencampuran antara mazhab Syiah dengan mazhab al-Qaramithah yang pada abad keempat Hijrah pernah menguasai Makkah dan memindahkan Hajar Aswad.
Banyak referensi ilmiah yang terpercaya membedakan sekte al-Itsna Asyariah dengan sekte ekstrem dan menyimpang lainnya, dan membebaskan sekte ini dari tuduhan menuhankan Imam Ali atau menempatkan beliau pada posisi yang lebih tinggi daripada Nabi Muhammad saw. Tuduhan tersebut memang seharusnya dinafikan dari kedua belas imam sekte ini. Masalah ini telah dianggap selesai pada permulaan tahun 1960-an, ketika Syekh Mahmud Syaltut, Syaikh al-Azhar, mengeluarkan fatwanya yang sangat terkenal, yang menyatakan bahwa mazhab al-Itsna Asyariah adalah sekte agama yang boleh dianut oleh setiap kaum Muslim.

Dari sisi lain, beberapa penulis biasa menyebut orang Syiah sebagai orang Persia. Ini salah. Saya telah katakan bahwa penganut Syiah di Iran hanya setengah dari penganut sekte al-Jafariyah. Setengahnya lagi hidup di luar Iran. Yang penting, orang yang hendak berbicara dalam masalah ini harus mengetahui bahwa di negara-negara Arab ada sekitar delapan juta penganut Syiah. Mereka adalah bagian tak terpisahkan dari bangsa Arab. Jadi, menggeneralisasi corak Persia kepada Syiah bukan sekadar kesalahan ilmiah, tapi juga kesalahan politis, karena hal ini melukai perasaan delapan juta orang tersebut, yang sebagian besar tinggal di Irak, sedangkan sisanya tersebar di berbagai negara Teluk, Saudi Arabia, dan Libanon.

Sekadar informasi, tidak semua penganut Syiah di Iran orang Persia. Orang Turki tidak sedikit di sana. Selain itu, di wilayah Khuzastan di Persia, ada banyak penganut mazhab Sunni. Orang Turkilah yang men-Syiah-kan Iran pada awal abad 16 Masehi di bawah pimpinan Shah Ismail ash-Shafawi, dan orang-orang Arablah yang menyebarkan ajaran-ajaran mazhab Syiah di sana, ketika Dinasti ash-Shafawiyin mengundang mereka dari Jabal Amil di Libanon dan dari Bahrain.

Dari sisi lain, sungguh mengherankan seorang ulama menamakan perang di Libanon sebagai perang Syiah-Sunni, dengan dalil sikap Organisasi Amal—yang dicitrakan oleh banyak media massa sebagai organisasi para pemeluk Syiah—terhadap kamp-kamp pengungsi Palestina. Ini adalah perkataan yang benar yang disampaikan untuk tujuan yang salah. Pertama, Organisasi Amal tidak memerangi warga Palestina di pengungsian dikarenakan mereka penganut mazhab Sunni, tapi karena Organisasi Amal berpusat di Suriah yang memiliki sikap tersendiri terhadap warga Palestina, khususnya para pengikut Yasser Arafat. Kedua, kelompok Syiah yang lebih dominan di Libanon, yaitu Hizbullah, menentang sikap Organisasi Amal dan menjalin kerja sama dengan orang-orang Palestina di Tripoli dalam melawan Israel. Sikap ini dipelopori oleh kelompok Syekh Said Syaban.

Terakhir, pernyataan paling aneh adalah orang Syiah mengkafirkan orang Sunni dan perang Irak-Iran adalah salah satu buah sikap tersebut. Saya tidak mendapatkan bukti bagi pernyataan tersebut di dalam fiqih maupun sejarah Syiah. Warga Irak pun tidak berkata seperti itu. Mereka sangat mengetahui bahwa perang tersebut tidak ada sangkut-pautnya dengan masalah Syiah-Sunni, apalagi banyak di antara tentara Irak yang berperang melawan Iran adalah penganut Syiah.

Kedua: Kesalahan yang berkaitan dengan akidah Syiah al-Imamiyah
Pernyataan paling buruk dan berbahaya yang ditujukan kepada Syiah al-Imamiyah adalah pernyataan seputar akidah mereka yang tidak berlandaskan pada dasar ilmiah yang benar. Peryataan tersebut termuat dalam resendi yang dipublikasikan koran-koran Mesir terhadap dua buku tentang Syiah yang terbit di India dan Pakistan, yang memuat informasi yang beredar di dunia Arab sekitar 30 tahun lalu (buku Fahmi Huwaidi ini terbit pada tahun 1988—Fadhil). Salah satunya berjudul al-Khuthuth al-’Aridhah li al-Asas al-Lati Qama ‘Alaiha Din asy-Syiah al-Imamiyah al-Itsna ‘Asyariyah (Garis-garis Besar Prinsip Agama Syiah Imamiyah Itsna Asyariah) karya Muhibbuddin al-Khathib. Judul buku ini telah menyatakan secara implisit bahwa Imamiyah adalah agama lain selain Islam. Lalu, isi buku ini menuturkan informasi bahwa orang Syiah memiliki al-Quran tersendiri, menganggap al-Quran yang ada sekarang telah kehilangan tiga per empat dari aslinya, menyatakan imam sama dengan Tuhan, mendahulukan wilayah dan imamah daripada syahadat, serta menyimpang dari ajaran Islam dengan konsep al-imam al-ghaib dan taqiyah yang mereka yakini.
Ringkasnya, tuduhan-tuduhan ini mengeluarkan penganut Syiah Imamiyah dari Islam. Meskipun tidak mengatakan secara tegas mereka adalah orang kafir, namun informasi yang dimuat buku ini menyatakan hal tersebut dengan tegas.

Tindakan ii membangkitkan kembali kebencian lama, yang seharusnya sudah hilang sejak seperempat abad lalu, ketika al-Azhar membebaskan Syiah Imamiyah dari tuduhan seperti itu. Al-Azhar telah membuka gerbang dialog Ahlussunnah dengan Imamiyah dan Zaidiyah, serta memasukkan pembahasan tentang Imamiyah ke dalam kurikulum Universitas al-Azhar. Majma al-Buhuts al-Islamiyah di Kairo pun telah menjadikan mazhab Imamiyah sebagai salah satu sumber fiqih Islam yang diakui, dan Kementerian Wakaf Mesir mencetak buku al-Mukhtashar an-Nafi fi Fiqh al-Imamiyah (Ringkasan Fiqih Mazhab Imamiyah) dan membagikannya secara Cuma-Cuma kepada kaum Muslim.

Ketika langkah-langkah tersebut dilakukan, artinya tuduhan terhadap akidah Imamiyah yang mengeluarkan mereka dari agama Islam telah gugur. Karena itu, mengapa kita sekarang kembali ke titik nol dan mundur 40 tahun ke belakang untuk berdebat apakah Imamiyah memiliki mushaf yang berbeda dengan kita atau tidak, dan apakah imam sama dengan Tuhan?!

Jika Syiah menganggap imamah sebagai prinsip akidah, sedangkan Ahlussunnah menganggapnya sebagai furu, maka hal ini memang memiliki konsekuensi fiqih yang sangat rumit. Namun hal ini tidak mempengaruhi kelurusan akidah dan kesahihan Islam mereka.

Lalu, masalah al-imam al-ghaib dan taqiyah. Saya tidak mengetahui apa alasan ilmiah yang cukup kuat untuk membuka kembali dua poin ini dan menganggapnya sebagai titik lemah akidah Syiah. Sebab, konsep al-imam al-ghaib secara objektif tidak berbeda dengan konsep “al-Mahdi” yang diimani oleh sekte Ahlussunnah berdasarkan beberapa hadits ahad.

Sekte Imamiyah memang menyatakan keagungan 12 orang imam dan menganggap perkataan atau “hadits-hadits” yang mereka riwayatkan sebagai sunnah. Ini adalah salah satu perbedaan penting antara fiqih Imamiyah dengan fiqih Ahlussunnah. Tapi, masalah yang rumit ini harus diserahkan kepada para ulama dari kedua belah pihak. Selain itu, “hadits-hadits” kedua belas imam itu hanya berkisar pada wilayah realitas kaum Muslim yang sangat sempit, karena mreka pada hakikatnya hanya berfungsi sebagai pemimpin spiritual, bukan pemimpin politis.

Jika kita menganggap upaya mempersempit perbedaan antara kaum Muslim sebagai tujuan kita, maka kita mungkin boleh mengatakan bahwa penyematan sifat ‘ushmah kepada beberapa cucu Rasulullah saw, yang jalur keturunannya sudah terputus sejak 12 abad lalu, adalah tindakan yang tidak berbahaya, selama sifat tersebut tidak disematkan kepada pengganti atau wakil mereka. Bahkan, saya pikir, konsep al-imam al-ghaib pun tidak berbahaya selama tidak menghambat pengaturan persoalan manusia pada zaman sekarang. Pada konteks ini saya kutipkan perkataan Syekh Hasan al-Banna, ketika ditanya tentang beberapa poin sekitar perselisihan Sunnah-Syiah sebagai berikut, “Pada saat al-imam al-ghaib itu muncul, saya akan menjadi orang pertama yang membaiatnya.”.

Konsep taqiyah, dalam pengertian berbedanya interaksi zahir dengan kandungan batin bukanlah ciptaan orang Syiah seperti disangka banyak orang. Ini adalah perilaku yang ada dasarnya di dalam Islam. Istilah taqiyah pun diderivasi dari ungkapan al-Quran, “Kecuali karena siasat memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti mereka.” (QS. Ali Imran: 28) Artinya, dibolehkan jika tindakan itu terpaksa dilakukan untuk menjaga diri dari bahaya yang tidak dapat ditanggung. Inilah yang dilakukan oleh sahabat Ammar bin Yasir ketika disiksa dengan kejam agar mengingkari Nabi Muhammad saw. Beliau pun melakukan hal tersebut secara terpaksa. Berkaitan dengan hal ini, Allah menurunkan ayat, “Barangsiapa kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia akan mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam keimanan (maka dia tidak berdosa).” (QS. An-Nahl: 106) Para sahabat yang lain pun mengakui prinsip taqiyah ini, sebagaimana dijelaskan oleh perkataan Abdullah bin Abbas yang dikutip oleh Ibnu Katsir, “Taqiyah itu bukan dengan tindakan, tapi dengan perkataan.”.

Para ulama telah menjelaskan aturan dan syarat taqiyah yang tidak dapat saya jelaskan sekarang. Poin yang perlu kita perhatikan sekarang adalah prinsip ini diakui oleh ajaran Islam, bukan hanya oleh mazhab Syiah saja. Jika suasana penindasan dan pengejaran terhadap para penganut Syiah sepanjang sejarah telah membuat mereka lebih sering bertaqiyah dan mengubahnya dari sekadar sarana menjadi prinsip keyakinan, atau dari taktik menjadi strategi, maka ini persoalan lain. Perubahan situasi sejarah boleh jadi mengembalikan posisi tersebut kepada keseimbangannya semula.

Selanjutnya, poin yang berkaitan dengan wilayah al-faqih (kekuasaan di tangan ahli agama) yang dianggap oleh banyak orang sebagai prinsip mazhab Syiah dan membuat mazhab ini mendapat serangan yang sengit. Konsep wilayat faqih dalam pengertiannya saat ini hanya mewakili sikap salah satu aliran pemikiran dalam Syiah yang tidak disepakati oleh para ulama Syiah sendiri. Konsep ini bukanlah ciptaan Imam Khomeini seperti yang disangka banyak orang, melainkan konsep yang dilontarkan sejak lama di kalangan ulama fiqih Syiah yang menyerukan kekuasaan absolut bagi ahli fiqih. Konsep ini diformulasi pada awal abad 19 oleh Allamah Ahmad an-Niraqi dalam sebuah buku yang tidak mendapat perhatian luas berjudul Awaid al-Ayyam yang memuat bab khusus tentang wilayat faqih.

Aliran ini ditentang oleh mayoritas ahli fiqih Syiah yang menyerukan keksuasaan yang relatif, bukan yang absolut, dan terbatas pada masalah sosial. Ulama kontemporer yang paling menentang konsep ini adalah Ayatullah as-Sayyid al-Khui, tokoh besar di Irak yang menulis penolakannya dalam risalah berjudul Asas al-Hukumah al-Islamiyah, dan Dr. Muhammad Jawwad Mughniyah, salah seorang ahli fiqih Imamiyah yang paling terkenal di Libanon, penulis buku al-Khumaini wa ad-Daulah al-Islamiyah. Tokoh lainnya adalah Ayatullah Syariatmadari dan Ayatullah Marasyi Najafi, dua orang tokoh Syiah terbesar saat ini.

Yang penting bagi kita dalam masalah ini, konsep wilayat faqih tidak dapat dijadikan gerbang untuk menyerang mazhab Syiah secara keseluruhan, karena mazhab ini memuat aliran lain yang menolak konsep tersebut.

Ketiga: Kesalahan yang berkaitan dengan sejarah.
Orang yang mencermati akidah seharusnya mencermati juga sejarah, terutama seputar pertikaian dalam masalah kepemimpinan kaum Muslim setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. Para pengikut Syiah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib adalah orang yang paling berhak menjadi pemimpin, lalu hak ini dirampas oleh Abu Bakar dan Umar bin Khaththab. Mereka menuduh kedua sahabat ini telah merampas hak kepemimpinan dari Ahlul Bait, sehingga buku-buku Syiah klasik berisi banyak celaan terhadap keduanya, bahkan menyifati keduanya sebagai “berhala kaum Quraisy.”.

Tindakan menghidupkan kebencian lama ini tidak ada gunanya, begitu juga pembahasan tentang siapa sebenarnya yang paling berhak menjadi khalifah, apakah Abu Bakar atau Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi, saya pikir, beberapa hal perlu diungkap kembali:
  1. Syiah Imamiyah bukan pihak yang memulai mencaci para sahabat. Fakta sejarah menyatakan bahwa orang-orang dari Dinasti Umawiyah-lah yang memulai mencaci Ali dari atas mimbar Jumat. Tradisi tercela ini hanya ditinggalkan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz. Artinya, Ali terus menerus dicela dari atas mimbar-mimbar hampir selama setengah abad.
  2. Celaan terhadap Abu Bakar dan Umar, jika pernah terjadi sebagai reaksi terhadap tindakan orang-orang dari Dinasti Umawiyah, adalah unsur eksternal yang merasuki pemikiran Syiah, yang diakibatkan oleh masa penuh fitnah dan dekadensi, serta merusak hubungan Sunni-Syiah. Itulah masa ketika salah seorang ahli fiqih bermazhab Syafiiiyah mengeluarkan fatwa bahwa makanan yang bercampur dengan arak harus dilemparkan kepada anjing atau kepada penganut mazhab Hanafiyah, lalu salah seorang ahli fiqih bermazhab Hanafiyah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan laki-laki bermazhab Hanafiyah menikahi perempuan bermazhab Syafiiyah karena keimanannya diragukan, sementara ahli fiqih bermazhab Hanafiyah lainnya membolehkan hal ini dengan menqiyaskan perempuan tersebut dengan perempuan Ahlul Kitab.
  3. Sekarang ini buku-buku Syiah telah dibersihkan dari celaan terhadap para sahabat, khususnya Abu Bakar dan Umar. Untuk meneliti masalah ini, saya telah mengumpulkan 11 buku peradaban Islam yang sekarang diajarkan kepada murid-murid tingkat SD, SMP, dan SMU di Iran, dan membaca semua kandungan pelajaran tentang Ahlussunnah, Khulafa ar-Rasyidin, dan para sahabat. Saya dapati semua buku tersebut menyebut para sahabat dengan penuh penghormatan.
Saya tidak menafikan adanya perselisihan antara Sunni-Syiah, adanya beberapa wacana yang masih harus didialogkan oleh para ulama dari kedua belah pihak, dan adanya beberapa ranjau yang harus dibersihkan dari jembatan yang menghubungkan kedua belah pihak. Tapi, saya perlu mengingatkan satu hal, kita tidak boleh memicu pertentangan antar-mazhab, baik antara Sunnah dengan Syiah, Salafiyah dengan Ibadhiyah, Zaidiyah dengan Mutashawwifah, atau antara kaum Muslim secara umum dengan non Muslim.

Menyalakan api pertikaian ini bukan hanya membakar salah satu pihak, tapi membakar seluruh umat Islam.
Saya tidak tahu ada umat lain bagaimanapun tingkat kemajuan dan kecerdasannya, yang mengacaukan potensinya, salah dalam menentukan sarana dan tujuan, merobek-robek barisannya, menyulut kebakaran di rumahnya sendiri, dan melakukan tindakan yang menyenangkan pihak yang mengharapkan kehancuran agama dan dunianya, seperti yang kita lakukan dengan suka rela!

[Saudara kita Ahlus Sunnah wal Jamaah telah menetapkan bahwa seorang Muslim Fasik dijaman Rasulullah SAWW adalah lebih Mulia daripada seorang Muslim Bertaqwa diakhir zaman].
Kenapa bisa seperti itu ?, karena mereka telah menetapkan untuk mengamalkan hukum-hukum Sahabat (Ahkamu-hum) dan Sirah-sirah mereka adalah menjadi Sunnah Ahlus Sunnah (al-Baghdadi, al-Farq baina l-Firaq, hlm. 309) bahkan lebih jauh mereka mengatakan bahwa Kami tidak dapati hari ini golongan umat ini yang bersetuju atau mendukung semua Sahabat selain dari Ahlu s-Sunnah wa l-Jama’ah (Ibid, hlm.304).

Ketika mereka ditanya siapa Sahabat maka mereka membuta beberapa definisi diantaranya dalam Syarh Muslim oleh Imam an-Nawawi dimana dia mengatakan;“Yang benar menurut mayoritas (jumhur) adalah bahwa setiap muslim yang pernah melihat Nabi walau sesaat maka ia tergolong sahabat beliau” (Syarh muslim oleh Imam an-Nawawi 16/85).

Atau dalam kitab Bukhari disebutkan, ada satu bab yang menjelaskan tentang;“Keutamaan para sahabat Nabi dan orang yan menemani Nabi atau orang muslim yang pernah melihatnya maka ia disebut sahabat beliau” (Bab Fadhoil Ashaab an-Nabi wa man Sohaba an-Nabi aw Ra’ahu min al-Muslimin fa Huwa min Ashabihi). (Sahih Bukhari 3/1335).

Benarkah pahaman itu sementara  al-Qur’an juga berbicara tentang ‘Sahabat’ Rasulullah :
1. “Kawan (Shohib) kalian (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru” (QS an-Najm: 2)
2.  “Apakah (mereka lalai) dan tidak memikirkan bahwa teman (shohib) mereka (Muhammad) tidak berpenyakit gila…” (QS al-A’raf: 184).
3. Sementara Syi’ah membagi Sahabat menjadi 3 golongan sesuai dengan firman-Nya dalam al-Fathir : 32 , Kemudian Kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang kami pilih di antara hamba-hamba kami, lalu di antara mereka  ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka  ada yang pertengahan dan diantara mereka  ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah . yang demikian itu adalah karunia yang amat besar”.

Jadi menurut Syi’ah , Sahabat itu dibagi dalam 3 golongan , yaitu  :
1. Ada sahabat yang “menganiaya (baca: zalim) diri mereka sendiri” adalah orang fasik yang melanggar batasan-batasan yang telah ditentukan Allah.
2. Ada yang pertengahan (tidak termasuk nomer 1 dan 3).
3. Ada yang yang mendapat Karunia yang besar , karena selalu berbuat kebaikan.

Dan apa kata Rasulullah SAWW tentang Sahabatnya :
1. Nabi SAWW bersabda , “Sesungguhnya ada dua belas orang pada sahabatku yang tergolong munafik” (Sahih Muslim 4/2143 hadis ke-2779).
2. Dari Abdullah bahwa Nabi SAWW bersabda : Aku akan mendahului kalian di Haudh dan sebagian dari kalian akan dibawa ke hadapanku. Kemudian mereka akan dipisahkan jauh dariku. Akuakan berkata : wahai Tuhanku! Mereka itu adalah para sahabatku (ashabi). Maka dijawab: Sesungguhnya engkau  tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh mereka setelah engkau meninggalkan mereka (inna-ka la tadri ma ahdathu ba‘da-ka) (Shahih Bukhori Hadis no.578).
3. Dari ‘Aisyah berkata:Aku telah mendengar Nabi SAWW bersabda ketika beliau berada di kalangan para sahabatnya(ashabi-hi):Aku akan menunggu mereka di kalangan kalian yang akan datang kepadaku. Demi Allah! Mereka akan ditarik menjauh dariku. Maka aku akan bersabda: Wahai Tuhanku! Mereka adalah dari(para sahabat)ku dan dari umatku. Dijawab: Sesungguhnya kamu tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh mereka selepas kamu meninggalkan mereka (inna-ka la tadri ma ‘amilu ba‘da-ka).Mereka sentiasa kembali ke belakang(kembali kepada kekafiran)(Ma zalu yarji‘un ‘ala a‘qabi-him). (Shahih Muslim Hadis no.28.(2294)).

Renungkanlah bagaimana mungkin pahaman kalian bahwa wajib untuk patuh  kepada semua Sahabat (Sa’ira Ashab al-Nabi) (al-Asy’ari, al-Ibanah, hlm. 12)adalah benar setelah ayat al-Qur’an dan Sabda Nabi Muhammad SAWW telahmenentang pahaman kalian saudaraku.

Mungkinkah Allah akan memuliakan hamba-Nya yang ‘tanpa kehendaknya (ikhtiyar)’ telah terlahir di zaman Rasul hatta mereka  telah berani menentang sebagian perintah Ilahi, dibanding seorang hamba yang berilmu dan bertakwa namun dia ditakdirkan untuk terlahir di zaman yang jauh dari kehidupan Rasul?
Renungkanlah bukankah “merenung” sesaat itu lebih baik daripada beribadah bertahun-tahun ? ,
Jangan sampai kalian kembali mendahulukan Sunnah Sahabat daripada ayat al-Qur’an dan Sabda Rasul-Nya , hanya berdasarkan Ijma para Ulama kalian atau bahkan Fatwa para Ulama kalian yang bertentangan dengan Nash.

Selamat merenung , semoga Allah belum membutakan mata hati (karena berulang kali menyakiti Allah dan Rasul-Nya) sehingga sama sekali sudah tidak mampu lagi melihat kebenaran.
Sulaim berkata : “Abu Dhar, Salman dan al-Miqdad telah memberitahuku hadis, kemudian aku telah mendengarnya pula dari Ali bin Abu Thalib as Mereka berkata : ‘Sesungguhnya seorang lelaki merasa kagum dengan Ali bin Abu Thalib as ,  Maka Rasulullah Saw. bersabda kepada Ali as :
Saudaraku (Ali) adalah : kemegahan Arab. Engkau adalah sepupuku yang paling mulia, bapa yang paling dihormati, saudara laki-laki yang paling mulia, jiwa yang paling mulia, keturunan yang paling mulia, istri yang paling mulia, mempunyai anak lelaki yang paling mulia, paman di sebelah tua yang paling dihormati, paling sempurna tingkah-lakunya, paling banyak ilmunya, paling fasih membaca al-Qur’an, paling mengetahui sunnah-sunnah Allah, paling berani hatinya, paling pemurah, paling zuhud di dunia, paling menggembeling energi, paling baik budi pekertinya, paling benar lidahnya serta paling mencintai Allah dan aku (Rasul). [1]

Anda akan hidup sesudahku selama tiga puluh tahun. Anda akan melihat kezaliman Quraisy. Kemudian Anda akan berjihad di jalan Allah jika Anda mendapatkan pembantu-pembantu. Anda akan berjihad karena takwil al-Qur’an sebagaimana telah berjihad karena Tanzilnya, Anda akan menentang al-Nakithin, al-Qasitin dan al-Mariqin dari umat ini. Anda akan mati sebagai seorang syahid di mana jenggot akan berlumuran dengan darah dari kepala Anda. Pembunuh Anda menyamai pembunuh al-Naqah (unta betina), dalam kemurkaan Allah dan berjauhan dari-Nya.Pembunuh Anda menyamai pembunuh Yahya bin Zakaria dan menyamai Fir’aun yang memiliki Pancang (al-Autad).

Kritik Terhadap Keadilan Semua Sahabat.
Al Quran dan Keadilan Para Sahabat.
Kritik pertama terhadap anggapan bahwa semua sahabat adalah adil berdasarkan ayat ayat AlQur’an  seperti yang digambarkan dalam surat At Taubah berikut:

“Orang orang Arab paling keras Dalam kekafiran dan kemunafikan, Dan paling cenderung mengabaikan Aturan aturan yang Allah turunkan atas RasulNya, Padahal Allah Mahatahu, Mahabijaksana.” ( Al Qur’an, At Taubah (IX): 97). atau:

“Sungguh mereka telah mengusahakan keonaran sebelumnya, Dan memutar balik persoalan bagimu, Sampai datang kemenangan, Dan terbukti kebenaran agama Allah, Meskipun mereka tiada suka.” ( Al Qur’an, At Taubah (IX): 48.) atau:

Dan di antara orang Arab, sekitarmu, Ada orang munafik, Demikian pula di antara orang
Madinah, Mereka berkeras dalam kemunafikan, Kau tidak mengetahui mereka, (Tapi) Kami mengenalnya… ( Al Qur’an, At Taubah (IX): 48).

Mengenai istilah munafik Bukhari meriwayat dari Sulaiman Abu Rabi dari Ismail bin Jafar dari Nafi bin Malik dari ayahnya dari Abu Hurairah yang mendengar dari Rasul yang bersabda: “Tanda tanda  dari munafik adalah: Bila berbicara, ia berbohong. Bila berjanji, tidak ia tepati. Bila memegang amanat ia akan khianati.”
Pepatah lama ‘Arab menggambarkan munafik sebagai orang yang mencium tangan yang tidak dapat ia gigit. Dan karena para istri Rasul termasuk dalam kategori Sahabat, maka dapat dimasukkan ayat ayat  dalam surat Tahrim yang turun berhubungan dengan ummul muminin ‘A’isyah dan Hafshah, dan meminta agar mereka bertobat.

Hadis dan Keadilan Para Sahabat.
Bukhari.
Bukhari (Bukhari, Shahih, jilid 4, Bab alHaudh [alHaudh, nama Telaga di Surga], akhir Bab arRuqab, hlm. 94) meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi telah bersabda: Tatkala aku sedang berdiri, muncullah serombongan orang yang kukenal dan muncul pula seorang lelaki di antara diriku dan rombongan itu. Lelaki itu berkata: “Ayo!” Aku bertanya: “Kemana?” Ia menjawab ‘Ke neraka, demi Allah!” Aku bertanya: “Ada apa dengan mereka?” Ia menjawab: “Mereka berbalik  setelah engkau wafat.”.
“Halumma”, logat orang Hijaz, kata panggil untuk lelaki atau perempuan, tunggal, dua orang maupun jamak. Dalam kalimat ini yang dipanggil adalah serombongan orang, ‘zumrah’… irtaddu ( lihat  Al Qur’an 12:96; 2:217).

Di bagian lain: Kemudian muncullah serombongan orang yang kukenal dan seorang lelaki muncul pula antara diriku dan mereka. Lelaki itu berkata: “Ayo!” Aku bertanya: ‘Kemana? “Ia menjawab: ‘Ke neraka, demi Allah!” Aku bertanya: “Ada apa dengan mereka? “Lelaki itu menjawab: ‘Mereka telah berbalik setelah engkau wafat”. Dan aku tidak melihat keikhlasan pada wajah mereka, seperti gerombolan unta tanpa gembala.

Dan yang berasal dari Asma’ binti Abi Bakar yang berkata, Nabi bersabda:
“Tatkala berada di Al Haudh, aku tiba tiba melihat ada di antara kamu yang mengingkariku ( yaruddu ‘alayya.) , yang mengikuti selain diriku. Aku berkata: “Ya Rabbi, dari diriku dan umatku?” Dan terdengar suara seseorang: “Apakah engkau mengetahui apa yang mereka lakukan sesudahmu? Demi Allah mereka terus mengingkarimu (Ma barihu yarji’una ‘ala a’ qabihim).

Dan tatakala membicarakan hadis ini Ibnu Abi Mulaikah berkata:
“Allahumma, aku berlindung kepadaMu dari perbuatan ingkar dan merusak agama kami”.
Dari bab yang sama yang berasal dari Said bin Musayyib yang berasal dari para sahabat Nabi bahwa Nabi bersabda: Di AlHaudh’ sejumlah sahabat berbalik dan aku bertanya: “Ya Rabbi! Mereka adalah sahabatku!”.

Dan mendapat jawaban: “Sesungguhnya engkau tidak tahu apa yang telah mereka lakukan sesudahmu. Mereka telah berbalik mengingkarimu!”
Dan di bagian lain bab tersebut, dari Sahl bin Sa’d yang berkata, Nabi bersabda: Saya mendahului kamu di ‘AlHaudh’, barangsiapa meliwatiku akan minum dan setelah itu tidak akan pernah haus selamanya, dan beberapa kaum yang kukenal dan mereka juga mengenalku, berbalik dariku, kemudian aku dan mereka terpisah.

Abu Hazm berkata: “Nu’man bin Abi’ Iyasy memperdengarkannya kepadaku dan menanyakan apakah aku mendengar demikian dari Sahl?’ Aku membenarkan. Ia melanjutkan: ‘Aku bersaksi bahwa menurut Abi Said Al Khudri kata kata tersebut punya kelanjutan:
Dan aku (Nabi) berkata: ‘Mereka itu adalah dari diriku’. Dan kedengaran jawaban: ‘Sungguh engkau tidak tahu apa yang terjadi sesudahmu?’ Dan aku berkata: ‘Binasalah mereka yang berobah sesudahku.’

Lagi dari Abu Hurairah yang meriwayatkan dari Rasul Allah saw yang bersabda:
Telah berbalik di hari kiamat serombongan sahabatku yang memisahkan diri di AlHaudh
dan aku bertanya: “Ya Rabbi, sahabatku,’ “Dan Allah menjawab: ‘Tiada engkau tahu apa yang mereka lakukan sesudahmu. Mereka telah berbalik dan menjadi ingkar.’

Lagi, yang berasal dari ‘Abdullah dari Nabi masih di bab yang sama: Kemudian mereka dipisahkan dariku, dan aku berseru: “Ya Rabbi, sahabatku!” Dan dijawab: “Engkau tidak tahu apa yang terjadi sesudahmu!”. Bukhari melanjutkan: “Kata kata serupa juga diriwayatkan ‘Ashim yang berasal dari Abi Wa’il. Dan Hushain juga meriwayatkan serupa yang berasal dari Abi Wa’il dari Hudzaifah dari Nabi.

Di bab lain, tatkala membicarakan Perang Hudaibiyah, Bukhari meriwayatkan dari al’ Ala’ bin Musayyib dari ayahnya ( Bukhari, Shahih,jilid 3, hlm. 30 dalam bab Ghaswah Hudaibiyah.) yang berkata: Aku bertemu alBarra’ bin ‘Azib dan aku berseru: ‘Selamat bagi Anda, Anda beruntung jadi sahabat Nabi dan Anda telah membaiat Rasul di bawah pohon, ‘bai’ah tahta syajarah!’. Ia menjawab: “Wahai anak saudaraku, engkau tidak tahu, apa yang kami lakukan sesudah Rasul wafat.!” Dan dalam bab lain Bukhari meriwayatkan yang berasal dari Ibnu ‘Abbas dari Nabi saw: (Bukhari, Shahih, jilid 2, hlm. 154, bab yang menerangkan ayat “Dan Allah menjadikan Ibrahim kesayanganNya” (QS 4:125) dalam Kitab Bad’ul Khalq).

‘Dan sejumlah sahabat mengambil jalan kiri (Golongan kiri, lihat QS 56:41) dan aku berseru “Sahabatku, sahabatku!” dan terdengar jawaban dengan kata kata: ‘Mereka tidak pernah berhenti berbalik ingkar sejak berpisah denganmu.”.

Muslim.
“Sebagian orang yang menjadikan aku sebagai sahabat akan berbalik dariku di telaga AlHaudh, yaitu tatkala dengan tiba tiba aku melihat mereka dan mereka melihat kepadaku, kemudian meninggalkanku dan aku benar benar  akan bertanya: “Wahai Rabbi, para sahabatku. Dan akan terdengar jawaban: “Engkau tidak tahu apa yang mereka lalukan sesudahmu.” (Muslim, Shahih, Kitab Fadhail, hadits 40. Lihat juga Musnad Ahmad, jilid 1, hlm. 453, jilid 2, hlm. 28 jilid 5, hlm. 48).

‘Kutukan’  terhadap Ali dalam khotbah khotbah Jum’at selama lebih dari delapan puluh tahun oleh kekuatan politik yang menyusul kemudian, serta permusuhan dan penindasan terhadap para pengikutnya, hampir menghilangkan sama sekali buah pikiran ‘Ali dalam aliran ini. Aliran ini makin melembaga dan kemudian dikenal sebagai Ahlus Sunnah.

……………………
1.  Al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-‘Ummal, vi, hlm. 157. Abu Nu‘aim al-Isfahani, Hilyah al-Auliya‘, i, hlm. 63. al-Kanji al-Syafi‘i, Kifayah al-Talib, hlm. 332.

(Syiahali/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: