Pesan Rahbar

Home » » Beginilah Wajah Iran Menurut Para Penulis Indonesia

Beginilah Wajah Iran Menurut Para Penulis Indonesia

Written By Unknown on Wednesday 3 September 2014 | 19:54:00


Sebuah negara dan bangsa apabila digambarkan oleh penulis yang berbeda tentu akan didapati keanekaragaman yang membentuk spektrum. Betapa tidak, masing-masing penulis memiliki sudut pandang yang beragam dalam menggambarkannya.

Terlebih jika suatu negara tersebut bangsanya memiliki peradaban tua, kekayaan tradisi ilmu, seni dan budaya yang mampu mentransformasi ke bangsa lain, terlebih keberagamaan yang secara mainstream berbeda dengan di Indonesia.

Sebagamaina penggambaran tentang negara Iran yang terungkap dalam seminar “Wajah Iran dalam Bingkai Penulis Indonesia” yang digelar di Universitas Paramadina Jakarta Rabu, 12 Maret 2014.

Setidaknya hal itu terungkap oleh pernyataan Syafiq Basri Assegaf seorang wartawan yang pernah bertugas di Iran pasca Revolusi Islam Iran.

“Kalau seorang budayawan seperti Prof. Abdul Hadi mengeksplorasi tentang Iran, hanya kita dapati dari satu aspek tapi bisa mengungkap secara mendalam, fokus dan detail, tapi kalau wartawan seperti saya pengetahuannya banyak tapi sepenggal-sepenggal dan hanya mengungkap apa yang tampak saja,” ungkap Syafiq Assegaf.

Syafiq mencontohkan penggambarannya tentang Iran dari wajah wartawan dengan menceritakannya fenomena yang terjadi pada masyarakat Iran. Penggalan-penggalan kehidupan pada masyarakat Iran pasca Revolusi digambarkannya pada sebuah buku yang ditulisnya dengan judul “Iran Pasca Revolusi Reportase Perjalanan.”

Syafiq mencontohkan yang diambil dari bukunya, sisi lain dari pasca Revolusi Islam Iran (RII) yaitu munculnya kelompok masyarakat yang sakit karena tak lagi memiliki keistimewaan dan kebebasan sebagaimana yang dialami pada masa pemerintahan Syah Iran.

“Mereka adalah orang-orang kaya pada pemerintahan Syah.” Ujarnya.

Tentu saja Iran tidak semata-mata identik dengan mazhab Syiahnya saja, Iran bisa diidentikkan dengan Revolusi Islam yang diusung Imam Khomeini tahun 1979.

Wajah Iran yang digali dari aspek Revolusi Islamnya, disampaikan oleh penulis Subhi Ibrahim. Menurut Subhi, Revolusi Islam Iran merupakan revolusi terbesar ke 4 setelah Revolusi Perancis, Rusia dan Cina.

Subhi Ibrahim yang mengungkap keberhasilan Revolusi Islam Iran itu ditulisnya pada sebuah buku yang diberi judul “Ali Syariati Sang Ideolog Revolusi Islam”. Menurutnya keberhasilan Revolusi Islam Iran tak bisa dilepaskan dari peran tiga ulama besar Imam Khomeini, Ali Syariati dan Murtadho Muthohari.

Dalam penilaian Subhi ketiga ulama tersebut mampu menjadikan Islam sebagai ideologi yang menjadi basis dalam mengelola negara, pemerintahan dan peradaban.

“Agar Islam berhasil menjadi basis pengelolaan negara dan bangsa, diperlukan tafsir atas simbol-simbol agama,” ungkapnya.

Senada dengan Subhi Ibrahim yang menggali Iran dari aspek revolusinya, A. Rifai Hasan sebagai penanggap di seminar yang dihadiri atase Kebudayaan Iran Hujjatul Islam Ibrahimian menilai Revolusi islam Iran merupakan revolusi moderat.

Menurut Rifai pasca revolusi di Iran tidak lantas membasmi aktor maupun pendukung rezim lama tanpa melalui proses pengadilan, sebagaimana lazimnya revolusi di negara lain yang selalu membasmi pelaku dan pendukung rezim lama.

“Dalam revolusi moderat sebagaimana yang terjadi di Iran, sedikit masyarakat yang dirugikan,” ungkapnya.

Bagiamana Iran jika digali aspek perempuannya? Penulis Dina Y. Sulaiman yang menuliskan buku tentang Iran dengan judul “Journey to Iran”, menggambarkan bagaimana konstitusi Iran memberikan perhatian yang serius kepada perempuan.

Ia kemudian memberikan sebagian contoh UU Iran yang mengatur tentang perempuan. Dalam tubuh UUD RII terdapat dua pasal khusus berkaitan dengan perempuan, yaitu pasal 20 dan 21, sebagai berikut :


Pasal 20 [Kesetaraan di Hadapan Hukum]


Semua warga negara, baik laik-laki maupun perempuan, secara setara menerima perlindungan hukum dan memiliki semua hak kemanusiaan, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, yang sesuai dengan kriteria Islam


Pasal 21 [Hak-Hak Perempuan]


Pemerintah harus menjamin hak perempuan, yang sesuai dengan kriteria Islam, dan mewujudkan tujuan-tujuan di bawah ini:

1) menciptakan lingkungan yang kondusif untuk perkembangan kepribadian perempuan dan pengembalian hak-hak mereka, baik material maupun intelektual;
2) perlindungan terhadap para ibu, terutama pada masa kehamilan dan pengasuhan anak, dan perlindungan terhadap anak-anak yatim;

3) membentuk pengadilan yang berkompeten untuk melindungi keluarga;

4) menyediakan asuransi khusus untuk janda, perempuan tua, dan perempuan tanpa pelindung;

5) memberikan hak pengasuhan kepada ibu angkat untuk melindungi kepentingan anak ketika tidak ada pelindung legal.

Kata perempuan disebut lima kali dalam UUD tersebut (bandingkan dengan UUD 45 atau UUD Amerika Serikat yang sama sekali tidak menyebut kata ‘perempuan’). Dalam Pembukaan UUD RII terdapat dua paragraf yang khusus berbicara tentang perempuan sebagai berikut :


Perempuan dalam Konstitusi


Melalui pembentukan infrastruktur sosial yang Islami, semua elemen kemanusiaan yang (selama ini) berkhidmat kepada eksploitasi asing, harus meraih kembali identitas asli dan hak asasi mereka. Sebagai bagian dari proses ini, sudah selayaknya perempuan harus menerima penambahan (proporsi) yang besar atas (penunaian) hak-hak mereka karena pada rezim lama, mereka juga menderita opresi yang lebih besar.

Keluarga adalah unit dasar dalam masyarakat serta menjadi pusat pertumbuhan dan pembangunan manusia. Penggabungan antara kepercayaan dan idealisme, yang merupakan dasar dari pertumbuhan dan perkembangan manusia, adalah hal yang paling utama dalam pembentukan keluarga. Adalah kewajiban pemerintah Islam untuk menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk mencapai tujuan ini. Konsep keluarga ini, akan menghindarkan perempuan dari anggapan sebagai objek atau instrumen dalam mempromosikan suatu produk, atau objek eksploitasi. (Konsep keluarga) akan mengembalikan fungsi mulia perempuan sebagai ibu. Hal ini merupakan penegakan ideologi kemanusiaan, serta menempatkan perempuan sebagai pemegang peran utama dalam masyarakat sekaligus menjadi mitra perjuangan bagi laki-laki dalam berbagai area penting kehidupan. Pemberian tanggung jawab yang berat kepada perempuan ini merupakan pengejawantahan nilai Islam yang agung dan mulia.

Penulis Husein Heriyanto menggambarkan Iran dari aspek tradisi ilmiah dan capaiannya dibidang sains. Sumbangan ilmuwan Iran terhadap dunia dan Islam terungkap dari tokoh-tokoh seperti penemu ilmu aljabar yakni ulama Al-Khawarismi. Sejumlah ulama lain dalam berbagai bidang ilmu seperti Al-Ghazali, Al-Biruni mendiami rak-rak keilmuan, bahkan sejumlah muhadits seperti Bukhori dari Iran.

Menurut Husein, Iran telah mencapai kemajuan di bidang sains dengan menduduki urutan ke 16 dunia karena Iran mampu mengintegrasikan antara sains dan agama.

“Menurut paradigma sekularisme, mereka mengatakan agama dan sain tidak bisa terintegrasi, karenanya sebuah bangsa jika ingin maju harus memisahkan antara agama dan sains, namun justru Iran mampu membalik paradigma tersebut,” ungkap Husein.

Dari penulis Miftah Fauzi Rakhmat yang menuliskan buku “Kidung Angklung di Tanah Persia”, menceritakan masyarakat Iran memiliki kecintaan kepada tradisi kesyahidan dan penghormatan kepada ulama. Miftah mengungkapkan masyarakat Iran dan Indonesia memiliki akar yang sama terhadap dua hal tersebut.

“Masyarakat jka menemukan potongan kalung syuhada meski sudah berusia 20 tahun mereka tumpah ruah mengambil berkahnya.” Ujarnya.

Sementara itu pembicara pertama dari budayawan Prof. Abdul Hadi dengan tinjauan budayanya mengungkapkan bagiamana pemerintah Iran memberikan perhatian yang serius terhadap cagar budaya. Ia memberikan contoh bagiamana perhatian pemerintah Iran dengan mengabadikan budayawan Persia Umar Khayam melalui pendirian Museum Umar Khayam.

“Kota-kota di Iran seperti Teheran dengan mudah kita dapati perpustakaan, museum seni rupa, galeri seni rupa dan taman-taman yang luas. Tidak sebagaimana di Indonesia yang kota-kotanya dipenuhi Mall,” paparnya.

Abdul Hadi menggambarkan bagaimana harmonisasi antara pemerintah dengan penduduknya terkait dengan perhatiannya terhadap seni dan budaya serta tradisi ilmu.

“Masyarakat Iran sejak tahun 1990 menjadi pengunjung tetap perpustakaan filsafat, perpustakaan agama dan lainnya,” Ujarnya.

(ABI-Press/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: