Tulisan ini dibuat dengan tujuan
memaparkan kepada para pembaca yang ingin mengenal mazhab Syi’ah secara
objektif. Mengapa Syi’ah menghalalkan nikah mut’ah?. Jawaban mereka
adalah Al Qur’an dan hadis Ahlul Bait telah menghalalkannya. Kalau kita
tanya ayat Al Qur’an mana yang menyatakan tentang nikah mut’ah maka
mereka akan menjawab ayat berikut:
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Dan [diharamkan juga bagi kamu
menikahi] wanita-wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu
miliki [Allah telah menetapkan hukum itu] sebagai ketetapan-Nya atas
kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian [yaitu] mencari
istri-istri dengan hartamu untuk dinikahi bukan untuk berzina. Maka
istri-istri yang telah kamu nikmati di antara mereka, berikanlah kepada
mereka maharnya sebagai suatu kewajiban dan tiadalah mengapa bagi kamu
terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan
mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana [QS An Nisaa’ : 24].
Sebelumnya dalam salah satu tulisan
disini, kami sudah menunjukkan kepada pembaca bahwa terdapat dalil
shahih dalam kitab Ahlus Sunnah bahwa An Nisa ayat 24 di atas yaitu
lafaz “maka istri-istri yang telah kamu nikmati diantara mereka” merujuk pada nikah mut’ah. Silakan lihat selengkapnya disini.
___________________________________
Adakah Ayat Al Qur’an Tentang Nikah Mut’ah?
Syiah menyatakan kalau nikah mut’ah
dihalalkan dan terdapat ayat Al Qur’an yang menyebutkannya yaitu An
Nisaa’ ayat 24. Salafy yang suka sekali mengatakan nikah mut’ah sebagai
zina berusaha menolak klaim Syiah. Mereka mengatakan ayat tersebut bukan
tentang nikah mut’ah.
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Dan [diharamkan juga kamu mengawini]
wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki [Allah telah
menetapkan hukum itu] sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan
bagi kamu selain yang demikian [yaitu] mencari istri-istri dengan
hartamu untuk dinikahi bukan untuk berzina. Maka wanita [istri] yang telah kamu nikmati [istamta’tum] di antara mereka,
berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban dan tiadalah
mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya,
sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana [An Nisaa’ ayat 24].
Telah diriwayatkan dengan sanad yang
shahih bahwa “penggalan” An Nisaa’ ayat 24 ini berbicara tentang nikah
mut’ah. Hal ini telah diriwayatkan dari sahabat dan tabiin yang dikenal
sebagai salafus salih [menurut salafy sendiri]. Alangkah lucunya kalau
sekarang salafy membuang jauh-jauh versi salafus salih hanya karena
bertentangan dengan keyakinan mereka [kalau nikah mut’ah adalah zina].
Riwayat Para Shahabat Nabi.
حدثنا ابن المثنى قال حدثنا محمد بن جعفر قال حدثنا شعبة عن أبي مسلمة عن أبي نضرة قال قرأت هذه الآية على ابن عباس “ فما استمتعتم به منهن ” قال ابن عباس “ إلى أجل مسمى ” قال قلت ما أقرؤها كذلك! قال والله لأنزلها الله كذلك! ثلاث مرات
Telah menceritakan kepada kami Ibnu
Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far
yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Abi Maslamah
dari Abi Nadhrah yang berkata : aku membacakan ayat ini kepada Ibnu
Abbas “maka wanita yang kamu nikmati [istamta’tum]”, Ibnu Abbas berkata “sampai batas waktu tertentu”. Aku berkata “aku tidak membacanya seperti itu”. Ibnu Abbas berkata “demi Allah, Allah telah mewahyukannya seperti itu” [ia mengulangnya tiga kali] [Tafsir Ath Thabari 6/587 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy].
Riwayat ini sanadnya shahih.
Para perawinya tsiqat atau terpercaya. Riwayat ini juga disebutkan Al
Hakim dalam Al Mustadrak juz 2 no 3192 dan Ibnu Abi Dawud dalam Al
Masahif no 185 semuanya dengan jalan dari Syu’bah dari Abu Maslamah dari Abu Nadhrah dari Ibnu Abbas.
- Muhammad bin Mutsanna adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat. Adz Dzahiliy berkata “hujjah”. Abu Hatim berkata shalih al hadits shaduq”. Abu Arubah berkata “aku belum pernah melihat di Bashrah orang yang lebih tsabit dari Abu Musa [Ibnu Mutsanna] dan Yahya bin Hakim”. An Nasa’i berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Khirasy berkata “Muhammad bin Mutsanna termasuk orang yang tsabit”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Khatib berkata “tsiqat tsabit”. Daruquthni berkata “termasuk orang yang tsiqat”. Amru bin ‘Ali menyatakan tsiqat. Maslamah berkata “tsiqat masyhur termasuk hafizh” [At Tahdzib juz 9 no 698]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit” [At Taqrib 2/129]. Adz Dzahabi berkata tsiqat wara’ [Al Kasyf no 5134].
- Muhammad bin Ja’far Al Hudzaliy Abu Abdullah Al Bashriy yang dikenal dengan sebutan Ghundar adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ali bin Madini berkata “ia lebih aku sukai daripada Abdurrahman [Ibnu Mahdi] dalam periwayatan dari Syu’bah”. Abu Hatim berkata dari Muhammad bin Aban Al Balkhiy bahwa Ibnu Mahdi berkata “Ghundar lebih tsabit dariku dalam periwayatan dari Syu’bah”. Abu Hatim, Ibnu Hibban dan Ibnu Sa’ad menyatakan tsiqat. Al Ijli menyatakan ia orang bashrah yang tsiqat dan ia adalah orang yang paling tsabit dalam riwayat dari Syu’bah [At Tahdzib juz 9 no 129].
- Syu’bah bin Hajjaj adalah perawi kutubus sittah yang telah disepakati tsiqat. Syu’bah seorang yang tsiqat hafizh mutqin dan Ats Tsawri menyebutnya “amirul mukminin dalam hadis” [At Taqrib 1/418]
- Abu Maslamah adalah Sa’id bin Yazid bin Maslamah Al Azdi perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Nasa’i, Ibnu Sa’ad, Al Ijli, Al Bazzar menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 4 no 168]. Ibnu Hajar menyatakan tsiqat [At Taqrib 1/367].
- Abu Nadhrah adalah Mundzir bin Malik perawi Bukhari dalam At Ta’liq, Muslim dan Ashabus Sunan. Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah, Nasa’i, Ibnu Sa’ad, Ahmad bin Hanbal menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 10 no 528]. Ibnu Hajar menyatakan tsiqat [At Taqrib 2/213].
حدثنا حميد بن مسعدة قال حدثنا بشر بن المفضل قال حدثنا داود عن أبي نضرة قال سألت ابن عباس عن متعة النساء قال أما تقرأ ” سورة النساء ” ؟ قال قلت بلى! قال فما تقرأ فيها ( فما استمتعتم به منهن إلى أجل مسمى ) ؟ قلت لا! لو قرأتُها هكذا ما سألتك! قال : فإنها كذا
Telah menceritakan kepada kami Humaid
bin Mas’adah yang berkata telah menceritakan kepada kami Bisyr bin
Mufadhdhal yang berkata telah menceritakan kepada kami Dawud dari Abi
Nadhrah yang berkata : aku bertanya kepada Ibnu Abbas tentang nikah
mut’ah. Ibnu Abbas berkata : tidakkah engkau membaca surah An Nisaa’?.
Aku berkata “tentu”. Tidakkah kamu membaca “maka wanita yang kamu nikmati [istamta’tum] sampai batas waktu tertentu”?. Aku berkata “tidak, kalau aku membacanya seperti itu maka aku tidak akan bertanya kepadamu!. Ibnu Abbas berkata “sesungguhnya seperti itulah” [Tafsir Ath Thabari 6/587 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy].
Riwayat ini juga shahih sanadnya. Humaid bin Mas’adah
termasuk perawi Ashabus Sunan dan Muslim. Abu Hatim berkata “shaduq”.
Ibnu Hibban memasukkanya dalam Ats Tsiqat. Nasa’i menyatakan tsiqat [At
Tahdzib juz 3 no 83]. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 1/246]. Adz
Dzahabi berkata “shaduq” [Al Kasyf no 1257]. Bisyr bin Mufadhdhal adalah
perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Abu Hatim, Abu Zur’ah,
Nasa’i, Ibnu Hibban, Al Ijli, Ibnu Sa’ad dan Al Bazzar menyatakan ia
tsiqat [At Tahdzib juz 1 no 844]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit ahli
ibadah” [At Taqrib 1/130]. Dawud bin Abi Hind adalah
perawi Bukhari dalam At Ta’liq, Muslim dan Ashabus Sunan. Ahmad bin
Hanbal berkata “tsiqat tsiqat”. Ibnu Ma’in, Al Ijli, Ibnu Khirasy, Ibnu
Sa’ad, Abu Hatim dan Nasa’i menyatakan tsiqat. [At Tahdzib juz 3 no
388]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat mutqin [At Taqrib 1/283].
حدثنا عبد الله حدثنا نصر بن علي قال أخبرني أبو أحمد عن عيسى بن عمر عن عمرو بن مرة عن سعيد بن جبير ” فما استمتعتم به منهن إلى أجل مسمى ” وقال هذه قراءة أبي بن كعب
Telah menceritakan kepada kami
‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Nashr bin ‘Ali
yang berkata telah mengabarkan kepadaku Abu Ahmad dari Isa bin ‘Umar
dari ‘Amru bin Murrah dari Sa’id bin Jubair “maka wanita yang kamu nikmati [istamta’tum] sampai batas waktu tertentu” ia berkata “ini adalah bacaan Ubay bin Ka’ab” [Al Masahif Ibnu Abi Dawud no 130].
Riwayat ini shahih para perawinya tsiqat. Abdullah adalah Abdullah bin Sulaiman bin Al Asy’at As Sijistani atau yang dikenal dengan Abu Bakar bin Abi Dawud, ia adalah seorang hafizh yang tsiqat dan mutqin [Irsyad Al Qadhi no 576]. Nashr bin Ali Al Jahdhamiy adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit [At Taqrib 2/243]. Abu Ahmad Az Zubairi
adalah Muhammad bin ‘Abdullah bin Zubair perawi kutubus sittah yang
tsiqat tsabit hanya saja sering salah dalam hadis dari Ats Tsawriy [At
Taqrib 2/95]. Isa bin Umar Al Asdiy adalah perawi Tirmidzi dan Nasa’i yang tsiqat [At Taqrib 1/773]. ‘Amru bin Murrah Abu Abdullah Al Kufiy perawi kutubus sittah yang tsiqat dan ahli ibadah [At Taqrib 1/745]. Sa’id bin Jubair Al Asdiy adalah tabiin perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit faqih [At Taqrib 1/349].
Ibnu Jarir juga meriwayatkan bacaan Ubay bin Ka’ab ini dengan jalan sanad dari Abu Kuraib dari Yahya bin Isa dari Nushair bin Abi Al Asy’at dari Ibnu Habib bin Abi Tsabit dari ayahnya dari Ibnu Abbas. [Tafsir Ath Thabari 6/586 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy]. Para perawinya tsiqat kecuali Yahya bin Isa Ar Ramliy.
Yahya bin Isa Ar Ramliy
adalah perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi
dan Ibnu Majah. Ahmad bin Hanbal telah menta’dilnya. Al Ijli menyatakan
ia tsiqat tasyayyu’. Abu Muawiyah telah menulis darinya. Nasa’i berkata
“tidak kuat”. Ibnu Ma’in berkata dhaif atau tidak ada apa-apanya atau
tidak ditulis hadisnya. Maslamah berkata “tidak ada masalah padanya
tetapi di dalamnya ada kelemahan”. Ibnu Ady berkata “kebanyakan
riwayatnya tidak memiliki mutaba’ah” [At Tahdzib juz 11 no 428]. Ibnu
Hajar berkata “jujur sering salah dan tasyayyu’” [At Taqrib 2/311-312].
Adz Dzahabi berkata “shuwailih” [Man Tukullima Fihi Wa Huwa Muwatstsaq
no 376]. Ibnu Hibban menyatakan kalau ia jelek hafalannya banyak salah
sehingga meriwayatkan dari para perawi tsiqat riwayat bathil tidak
berhujjah dengannya [Al Majruhin no 1221]. Kesimpulannya Yahya bin Isa
Ar Ramliy adalah perawi yang hadisnya bisa dijadikan syawahid dan
mutaba’ah.
Ibnu Jarir juga meriwayatkan bacaan Ubay bin Ka’ab ini dengan jalan sanad dari Ibnu Basyaar dari Abdul A’la dari Sa’id dari Qatadah [Tafsir Ath Thabari 6/588 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy]. Ibnu Basyaar adalah Muhammad bin Basyaar seorang perawi kutubus sittah yang tsiqat [At Taqrib 2/58]. Abdul A’la bin Abdul A’la adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat [At Taqrib 1/551]. Sa’id bin Abi Arubah adalah
perawi kutubus sittah seorang hafizh yang tsiqat mengalami ikhtilat dan
orang yang paling tsabit riwayatnya dari Qatadah [At Taqrib 1/360]. Qatadah As Sadusiy adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit [At Taqrib 2/26].
Secara keseluruhan riwayat-riwayat ini
saling menguatkan dan menunjukkan kalau bacaan tersebut shahih dari Ubay
bin Ka’ab. Ubay bin Ka’ab dan Ibnu Abbas membaca bacaan tersebut dengan
“Famastamta’tum bihi minhunna ila ajali musamma”. Adapun perkataan Ibnu Jarir yang menafikan bacaan kedua sahabat ini merupakan kecerobohan yang nyata,
وأما ما روي عن أبيّ بن كعب وابن عباس من قراءتهما ( فما استمتعتم به منهن إلى أجل مسمى ) ، فقراءة بخلاف ما جاءت به مصاحف المسلمين وغير جائز لأحد أن يلحق في كتاب الله تعالى شيئًا لم يأت به الخبرُ القاطعُ العذرَ عمن لا يجوز خلافه
Adapun apa yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab dan Ibnu Abbas dari bacaan mereka berdua [Famastamta’ tum bihi min hunna ila ajalin musamma],
bacaan ini menyelisihi mushhaf kaum muslimin. Tidak diperbolehkan bagi
siapapun untuk menambahkan dalam kitab Allah sesuatu yg tidak datang
dari khabar yang qath’i dan tidak diperbolehkan menyelisihinya [Tafsir Ath Thabari 6/589 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy].
Komentar Ibnu Jarir ini jika diperhatikan dengan baik jelas mengandung keanehan. Beliau mengesankan kalau Ibnu Abbas dan Ubay bin Ka’ab memiliki bacaan Al Qur’an yang menyelisihi bacaan kaum muslimin dan mengesankan kalau mereka berdua menambahkan sesuatu dalam Kitab Allah.
Jika telah shahih dari Ibnu Abbas dan Ubay bin Ka’ab soal bacaan itu
maka tidak ada gunanya menafikan tanpa dalil. Yang harus dilakukan
bukannya menolak riwayat tersebut tetapi bagaimana menafsirkannya agar
tidak berkesan “menambahkan sesuatu dalam kitab Allah” atau mengesankan “terjadinya tahrif Al Qur’an” versi Ibnu Abbas dan Ubay.
Masalah seperti ini bukan barang baru bagi para ulama, bacaan tentang nikah mut’ah ini bukan satu-satunya bacaan yang diriwayatkan secara shahih oleh sahabat tetapi tidak nampak dalam mushaf kaum muslimin. Sebut saja yang paling populer adalah ayat rajam.
Telah diriwayatkan oleh sahabat mengenai ayat rajam atau bacaan yang
mengandung hukum rajam tetapi tidak nampak dalam mushaf kaum muslimin.
Apakah ada ulama yang mengatakan bahwa bacaan itu menyelisihi mushaf
kaum muslimin dan mesti ditolak?. Tidak, para ulama menafsirkan kalau
bacaan tersebut sudah dinasakh tilawah-nya tetapi matan hukumnya tidak.
Lantas apa susahnya mengatakan hal yang
sama untuk bacaan Ibnu Abbas dan Ubay bin Ka’ab di atas. Kita dapat
mengatakan kalau bacaan “ila ajalin musamma”
telah dinasakh tilawah-nya tetapi matan hukumnya tidak. Buktinya Ibnu
Abbas mengakui bahwa ayat ini memang diturunkan oleh Allah SWT dan ia
berdalil dengannya ketika ada yang bertanya tentang “nikah mut’ah”.
Syubhat Para Pengingkar.
Kemudian ada yang berusaha mementahkan
ayat nikah mut’ah ini dengan berbagai hadis yang katanya “mutawatir”
tentang haramnya mut’ah. Usaha ini pun termasuk sesuatu yang aneh.
Karena pada akhirnya apa yang mereka maksud mutawatir itu saling
kontradiktif satu sama lain. Mereka sendiri dengan usaha yang “melelahkan”
akhirnya menggeser satu demi satu hadis-hadis tersebut hingga tersisa
satu hadis pengharaman mut’ah pada saat Fathul Makkah yang hanya
diriwayatkan oleh satu orang sahabat. Jadi apanya yang mutawatir? Dan
mereka menutup mata dengan berbagai hadis yang diriwayatkan sahabat
dimana mereka membolehkan nikah mut’ah.
Syubhat yang paling lucu adalah pernyataan bahwa An Nisaa’ ayat 24 di atas menggunakan kata istimtaa’ bukannya kata mut’ah dan istimtaa’ menurutnya bukan diartikan mut’ah.
Sungguh orang seperti ini patut dikasihani, seharusnya ia membuka dulu
berbagai riwayat atau hadis untuk melihat bagaimana Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] dan para sahabat telah menggunakan kata
istimtaa’ untuk menyebutkan nikah mut’ah. Berikut diantaranya:
حدثنا عمرو بن علي قال نا يحيى بن سعيد عن إسماعيل عن قيس عن عبد الله قال كنا نغزو مع رسول الله صلى الله عليه وسلم وليس معنا نساء فاستأذنه بعضنا أن يستخصي أو قال لو أذنت لنا لاختصينا فلم يرخص لنا ورخص لنا في الاستمتاع بالثوب
Telah menceritakan kepada kami ‘Amru
bin ‘Ali yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id
dari Ismail dari Qais dari ‘Abdullah yang berkata “kami berperang
bersama Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan kami tidak membawa
wanita maka sebagian kami meminta zini untuk mengebiri atau berkata
sekiranya diizinkan kepada kami untuk mengebiri maka Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mengizinkan kami dan Beliau
[shallallahu ‘alaihi wasallam] mengizinkan kami untuk Istimtaa’ dengan pakaian [Musnad Al Bazzar 5/294 no 1671 dengan sanad yang shahih].
Apakah maksud dari kata Istimtaa’ dengan
pakaian di atas. Apakah maksudnya menikahi wanita secara permanen? Atau
maksudnya menikahi wanita secara mut’ah?. Penjelasannya ada dalam hadis
berikut:
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا وكيع عن بن أبي خالد عن قيس عن عبد الله قال كنا مع النبي صلى الله عليه و سلم ونحن شباب فقلنا يا رسول الله ألا نستخصي فنهانا ثم رخص لنا في ان ننكح المرأة بالثوب إلى الأجل ثم قرأ عبد الله { لا تحرموا طيبات ما أحل الله لكم }
Telah menceritakan kepada kami
‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata
telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Ibnu Abi Khalid dari Qais dari
Abdullah yang berkata “kami bersama Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]
dan kami masih muda, kami berkata “wahai Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wasallam] tidakkah kami dikebiri?. Beliau [shallallahu ‘alaihi
wasallam] melarang kami melakukannya kemudian Beliau [shallallahu
‘alaihi wasallam] memberi keringanan kepada kami untuk menikahi wanita dengan pakaian sampai waktu yang ditentukan.
Kemudian ‘Abdullah membaca [Al Maidah ayat 87] “janganlah kalian
mengharamkan apa yang baik yang telah Allah halalkan kepada kalian” [Musnad Ahmad 1/432 no 4113, Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya shahih dengan syarat Bukhari Muslim].
Maka arti kata Istimtaa’ yang digunakan oleh para sahabat adalah “menikahi seorang wanita sampai batas waktu yang ditentukan”.
Tidak hanya di hadis ini, bahkan di hadis-hadis yang dijadikan hujjah
pengharaman mut’ah, kata yang digunakan untuk menyebutkan “nikah mut’ah” juga dengan lafal istimtaa’.
Riwayat Para Tabi’in.
Tafsir An Nisaa’ ayat 24 sebagai dalil
bagi nikah mut’ah bukanlah mutlak milik syi’ah tetapi termasuk pemahaman
sahabat [Ibnu ‘Abbas dan Ubay] dan tabiin seperti halnya Mujahid
[seorang imam dalam tafsir], As Suddiy dan Al Hakam bin Utaibah.
حدثني محمد بن عمرو قال حدثنا أبو عاصم عن عيسى عن ابن أبي نجيح عن مجاهد فما استمتعتم به منهن قال : يعني نكاح المتعة
Telah menceritakan kepadaku Muhammad
bin ‘Amru yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aashim dari
‘Isa dari Ibnu Abi Najih dari Mujahid “maka wanita [istri] yang kamu nikmati [istimta’] diantara mereka”, ia berkata yaitu Nikah Mut’ah [Tafsir Ath Thabari 6/586 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy].
Riwayat ini sanadnya shahih sampai Mujahid. Muhammad bin ‘Amru bin ‘Abbas Al Bahiliy adalah syaikh [guru] Ibnu Jarir Ath Thabari, dan dia seorang yang tsiqat [Tarikh Baghdad 4/213 no 1411]. Abu ‘Aashim adalah Dhahhak bin Makhlad Asy Syaibani seorang perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit [At Taqrib 1/444]. Isa bin Maimun Al Jurasiy Abu Musa adalah seorang yang tsiqat [At Taqrib 1/776]. Abdullah bin Abi Najih Yasaar Al Makkiy
adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat dan dikakatan melakukan tadlis
[At Taqrib 1/541] tetapi periwayatannya dari Mujahid juga diriwayatkan
oleh Bukhari Muslim. Mujahid bin Jabr Al Makkiy adalah perawi kutubus sittah seorang yang tsiqat dan Imam dalam tafsir dan ilmu [At Taqrib 2/159]
حدثنا محمد بن المثنى قال حدثنا محمد بن جعفر قال حدثنا شعبة عن الحكم قال سألته عن هذه الآية والمحصنات من النساء إلا ما ملكت أيمانكم إلى هذا الموضع فما استمتعتم به منهن أمنسوخة هي ؟ قال لا قال الحكم وقال علي رضي الله عنه لولا أن عمر رضي الله عنه نهى عن المتعة ما زنى إلا شقي
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Al Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah
dari Al Hakam [Syu’bah] berkata aku bertanya kepadanya tentang ayat “dan
[diharamakan juga menikahi] wanita yang bersuami kecuali budak-budak
yang kamu miliki” sampai pada ayat “maka wanita [sitri] yang telah kamu nikmati [istimta’] diantara mereka”
apakah telah dihapus [mansukh]?. [Al Hakam] berkata “tidak” kemudian Al
Hakam berkata dan Ali radiallahu ‘anhu telah berkata seandainya Umar
radiallahu ‘anhu tidak melarang mut’ah maka tidak ada yang berzina kecuali orang yang celaka [Tafsir Ath Thabari 6/588 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy].
Riwayat ini sanadnya shahih sampai Al Hakam. Muhammad bin Al Mutsanna adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit [At Taqrib 2/129]. Muhammad bin Ja’far Ghundar adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat shahih kitabnya kecuali pernah keliru [At Taqrib 2/63]. Syu’bah bin Hajjaj adalah
perawi kutubus sittah yang telah disepakati tsiqat. Syu’bah seorang
yang tsiqat hafizh mutqin dan Ats Tsawri menyebutnya “amirul mukminin
dalam hadis” [At Taqrib 1/418]. Al Hakam bin Utaibah
seorang perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit faqih dikatakan
melakukan tadlis [At Taqrib 1/232]. Riwayat Al Hakam menunjukkan kalau
ia sendiri menafsirkan bahwa An Nisaa’ ayat 24 itu berkaitan dengan
nikah mut’ah sehingga ketika ditanya apakah ayat tersebut telah dihapus
ia menjawab “tidak” dan mengutip perkataan Imam Ali tentang mut’ah.
Kesimpulan:
Yang dapat disimpulkan pada pembahasan
kali ini adalah memang terdapat ayat Al Qur’an yang menghalalkan nikah
mut’ah yaitu An Nisaa’ ayat 24 dan telah diriwayatkan dari sahabat dan
tabiin [sebagai salafus salih] bahwa ayat tersebut memang berkenaan
dengan nikah mut’ah. Kalau begitu bagaimana dengan hadis-hadis
pengharaman mut’ah? Ada yang mengatakan kalau hadis-hadis ini telah
menasakh ayat tentang nikah mut’ah tetapi tentu pernyataan ini masih
perlu diteliti kembali, insya Allah akan dibahas hadis-hadis tersebut
didalam thread khusus. Kami ingatkan kepada pembaca jika ada yang
menganggap penulis menghalalkan nikah mut’ah berdasarkan postingan ini
maka orang tersebut jelas terburu-buru. Pembahasan tentang dalil nikah
mut’ah ini masih akan berlanjut dan sampai saat itu selesai kami harap
jangan ada yang mengatasnamakan penulis soal hukum nikah mut’ah.
Catatan : Terkait dengan musibah yang
menimpa saudara kita di Jepang mari kita sama-sama berdoa agar mereka
diberikan kesabaran dan bisa melewati masa sulit ini dengan baik.
_____________________________________
Menurut kami, agak rancu jika pengikut
Syi’ah ketika berdalil dengan ayat Nikah mut’ah di atas mengambil hujjah
dengan riwayat shahih Ibnu ‘Abbaas yang ada dalam kitab Ahlus Sunnah.
Mengapa kami katakan rancu karena hadis ahlus sunnah tidaklah menjadi
pegangan bagi kaum Syi’ah begitupun sebaliknya. Untuk perkara diskusi
dengan pengikut Ahlus Sunnah memang sangat baik jika Syi’ah berhujjah
dengan hadis Ahlus Sunnah tetapi ketika diminta dalil di sisi mereka
soal Ayat Nikah Mut’ah maka hadis Ibnu ‘Abbas di atas tidak bisa
dijadikan hujjah.
Seharusnya yang mereka lakukan adalah
membawakan riwayat ahlul bait dalam mazhab Syi’ah sendiri yang
menjelaskan kalau ayat tersebut memang tentang Nikah Mut’ah. Begitu
banyaknya dari pengikut Syi’ah yang menukil riwayat Ibnu ‘Abbas sehingga
berkesan seolah-olah dalam mazhab Syi’ah tidak ada keterangan tentang
itu. Oleh karena itu kami berusaha meneliti secara objektif adakah dalil
tentang ayat nikah mut’ah di atas dalam kitab hadis Syi’ah.
عدة من أصحابنا، عن سهل بن زياد، وعلي بن إبراهيم، عن أبيه جميعا، عن ابن أبي نجران، عن عاصم بن حميد، عن أبي بصير قال سألت أبا جعفر (عليه السلام) عن المتعة، فقال نزلت في القرآن فما استمتعتم به منهن فآتوهن أجورهن فريضة فلا جناح عليكم فيما تراضيتم به من بعد الفريضة
Dari sekelompok sahabat kami dari
Sahl bin Ziyaad. Dan dari ‘Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya, keduanya [Sahl
bin Ziyaad dan Ayahnya Aliy bin Ibrahim] dari ‘Ibnu Abi Najraan dari
‘Aashim bin Humaid dari Abi Bashiir yang berkata aku bertanya kepada Abu
Ja’far [‘alaihis salaam] tentang Mut’ah?. Beliau
berkata telah turun dalam Al Qur’an “Maka istri-istri yang telah kamu
nikmati di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai
suatu kewajiban dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang
kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu” [Al Kafiy Al Kulainiy 5/448].
Riwayat di atas sanadnya shahih berdasarkan standar Ilmu Rijal Syi’ah. Berikut keterangan mengenai para perawinya,
- Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680].
- Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222].
- ‘Abdurrahman bin ‘Abi Najraan Abu Fadhl seorang yang tsiqat tsiqat mu’tamad apa yang ia riwayatkan [Rijal An Najasyiy hal 235 no 622].
- ‘Aashim bin Humaid Al Hanaath seorang yang tsiqat shaduq [Rijal An Najasyiy hal 301 no 821].
- Abu Bashiir adalah Laits bin Bakhtariy Al Muradiy seorang yang tsiqat meriwayatkan dari Abu Ja’far dan Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 476].
علي بن إبراهيم، عن أبيه، عن ابن أبي عمير، عن علي بن الحسن بن رباط، عن حريز، عن عبد الرحمن بن أبي عبد الله قال سمعت أبا حنيفة يسأل أبا عبد الله (عليه السلام) عن المتعة فقال أي المتعتين تسأل قال سألتك عن متعة الحج فأنبئني عن متعة النساء أحق هي فقال سبحان الله أما قرأت كتاب الله عز وجل؟ فما استمتعتم به منهن فآتوهن أجورهن فريضة فقال أبو حنيفة والله فكأنها آية لم أقرأها قط
Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya dari
Ibnu ‘Abi Umair dari Aliy bin Hasan bin Rabaath dari Hariiz dari
‘Abdurrahman bin Abi ‘Abdullah yang berkata aku mendengar Abu Hanifah
bertanya kepada Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam] tentang Mut’ah. Maka
Beliau berkata “apakah engkau bertanya tentang dua Mut’ah?”. [Abu
Haniifah] berkata “aku telah bertanya kepadamu tentang Mut’ah haji maka
kabarkanlah kepadaku tentang Nikah Mut’ah apakah itu benar?. Beliau
berkata “Maha suci Allah, tidakkah engkau membaca Kitab Allah ‘azza
wajalla “Maka istri-istri yang telah kamu nikmati di antara mereka,
berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban”. Abu Haniifah berkata “demi Allah seolah-olah aku belum pernah membaca ayat tersebut” [Al Kafiy Al Kulainiy 5/449-450].
Riwayat di atas sanadnya shahih berdasarkan standar Ilmu Rijal Syi’ah. Berikut keterangan mengenai para perawinya,
- Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680].
- Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222].
- Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah] maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218].
- Aliy bin Hasan bin Rabaath Abu Hasan Al Kuufiy seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 251 no 659].
- Hariiz bin ‘Abdullah As Sijistaniy orang kufah yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 118].
- ‘Abdurrahman bin Abi ‘Abdullah adalah seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 30 no 62 biografi Ismail bin Hamaam cucu ‘Abdurrahman bin Abi ‘Abdullah].
Kedua riwayat shahih dalam kitab Syi’ah di atas membuktikan bahwa dalam mazhab Syi’ah telah shahih dalil kalau ayat An Nisa 24 tersebut adalah berkenaan dengan Nikah Mut’ah.
Syubhat Atas Dalil.
Ada syubhat yang disebarkan oleh para
pembenci Syi’ah dimana mereka mengatakan bahwa dalam mazhab Syi’ah orang
yang menikah mut’ah tidak disifatkan dengan ihshan atau ia bukan
termasuk muhshan padahal ayat di atas jelas menggunakan lafal
muhshiniin. Berikut dalil dalam kitab Syi’ah yang dimaksud:
علي بن إبراهيم، عن أبيه، عن ابن أبي عمير، عن هشام، وحفص بن البختري عمن ذكره، عن أبي عبد الله عليه السلام في الرجل يتزوج المتعة أتحصنه؟ قال: لا إنما ذاك على الشئ الدائم عنده
‘Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya dari
Ibnu Abi ‘Umair dari Hisyaam dan Hafsh bin Bakhtariy dari orang yang
menyebutkannya dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] tentang seorang
laki-laki yang nikah mut’ah apakah itu membuatnya ihshan?. Beliau
berkata “tidak, sesungguhnya hal itu hanyalah atas sesuatu yang da’im di
sisinya” [Al Kafiy Al Kulainiy 7/178].
Riwayat di atas dhaif sesuai standar Ilmu
Rijal Syi’ah karena di dalam sanadnya terdapat perawi majhul yang tidak
disebutkan siapa dia.
أبو علي الأشعري، عن محمد بن عبد الجبار، عن صفوان، عن إسحاق بن عمار قال: سألت أبا إبراهيم عليه السلام عن رجل إذا هو زنى وعنده السرية والأمة يطأها تحصنها الأمة وتكون عنده؟ فقال: نعم إنما ذلك لان عنده ما يغنيه عن الزنى، قلت: فان كانت عنده أمة زعم أنه لا يطأها فقال: لا يصدق، قلت: فإن كانت عنده امرأة متعة أتحصنه؟ قال لا إنما هو على الشئ الدائم عنده
Abu ‘Aliy Al Asy’ariy dari Muhammad
bin ‘Abdul Jabbaar dari Shafwaan dari Ishaaq bin ‘Ammaar yang berkata
aku bertanya kepada Abu Ibrahim [‘alaihis salaam] tentang seorang
laki-laki yang berzina sedangkan di sisinya terdapat budak wanita yang
sudah digaulinya, apakah membuat ihshan, budak wanita yang ada di
sisinya?. Beliau berkata “benar, sesungguhnya hal itu karena di sisinya
terdapat hal yang mencukupkannya dari zina”. Aku berkata “maka jika di
sisinya terdapat budak yang ia mengaku bahwa ia tidak menggaulinya”.
Beliau berkata “itu tidak dibenarkan”. Aku berkata “maka jika di sisinya
ada istri mut’ah apakah itu membuatnya ihshan”. Beliau berkata “tidak,
sesungguhnya itu hanyalah atas sesuatu yang da’im di sisinya” [Al Kafiy
Al Kulainiy 7/178].
Riwayat ini sanadny muwatstsaq
berdasarkan standar Ilmu Rijal Syi’ah. Para perawinya tsiqat termasuk
Ishaq bin ‘Ammaar hanya saja ia bermazhab menyimpang Fathahiy. Berikut
keterangan mengenai para perawinya,
- Abu ‘Aliy Al Asy’ariy adalah Ahmad bin Idris seorang yang tsiqat faqih banyak meriwayatkan hadis dan shahih riwayatnya [Rijal An Najasyiy hal 92 no 228.
- Muhammad bin ‘Abdul Jabbaar seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 391.
- Shafwaan bin Yahya Abu Muhammad Al Bajalliy seorang yang tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 197 no 524].
- Ishaaq bin ‘Ammaar adalah seorang yang tsiqat tetapi bermazhab Fathahiy [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 54].
Ihshan yang dimaksud dalam riwayat di
atas adalah sesuatu yang disifatkan pada seseorang untuk menentukan
hukuman yang akan ia peroleh jika ia berzina, kalau disifatkan dengan
ihshan maka hukumannya rajam kalau tidak disifatkan dengan ihshan maka
hukumannya cambuk. Maka ihshan disini adalah istilah khusus yang
memiliki kategori-kategori tertentu yang bisa dilihat dalam berbagai
riwayat shahih mazhab Syi’ah.
Terdapat dua pendapat dalam mazhab Syi’ah
mengenai apakah status nikah mut’ah itu membuat seseorang disifatkan
ihshan atau tidak.
- Pertama dan ini yang masyhur dari para ulama Syi’ah adalah menyatakan secara mutlak bahwa nikah mut’ah tidak disifatkan ihshan. Dalilnya berdasarkan riwayat di atas dimana mereka memahami lafaz “da’im di sisinya” dengan makna nikah da’im.
- Kedua yaitu ada yang mengatakan bahwa nikah mut’ah juga disifatkan dengan ihshan jika istrinya tersebut menetap bersamanya masih bersamanya sebagai istri dan tidak ada halangan untuk menggaulinya. Dalilnya adalah hadis yang menetapkan kriteria muhshan sebagai orang yang di sisinya terdapat wanita yang mencukupkannya dari zina dan tidak ada halangan untuk menggaulinya. Termasuk hadis di atas menjadi dalil, dimana lafaz “da’im di sisinya” ditafsirkan dengan makna menetap bersamanya.
Dalam tulisan ini kami tidak akan
membahas secara lebih rinci pendapat mana yang lebih rajih berdasarkan
kaidah ilmu dalam mazhab Syi’ah. Kami akan kembali memfokuskan pada
syubhat yang dilontarkan oleh para pembenci Syi’ah.
Syubhat mereka adalah dengan adanya riwayat di atas bahwa nikah mut’ah tidak disifatkan dengan ihshan
maka hal ini bertentangan dengan An Nisaa’ ayat 24 yang menyebutkan
pernikahan tersebut dengan lafaz muhshiniin. Oleh karena itu An Nisaa’
ayat 24 bukan berbicara tentang Nikah Mut’ah.
Syubhat ini jika dianalisis dengan
objektif akan tampak tidak nyambung. Sebenarnya mereka mempertentangkan
pikiran mereka sendiri. Mereka hanya melihat kesamaan lafaz tanpa
memahami bahwa maksud sebenarnya yang diinginkan oleh setiap lafaz itu
berbeda. Lafaz Muhshiniin dalam An Nisaa’ ayat 24 itu bermakna orang
yang menjaga diri dengan pernikahan. Artinya setiap muslim yang menikah
baik itu dengan nikah da’im atau nikah mut’ah maka ia masuk dalam
kategori muhshiniin. Apalagi dalam mazhab Syi’ah telah shahih dalilnya
bahwa nikah mut’ah masuk kedalam kategori muhshiniin An Nisaa’ ayat 24
sebagaimana telah ditunjukkan sebelumnya.
Adapun lafaz ihshan dalam riwayat di atas
terkait istilah yang berkaitan dengan hukum rajam. Lafaz ini memiliki
kriteria atau persyaratan sendiri. Dalam mazhab Syi’ah berdasarkan
riwayat-riwayat shahih maka tidak semua yang masuk kategori muhshiniin
jika berzina disebut ihshan.
Bahkan orang yang tidak menikah tetapi
memiliki budak wanita yang bisa digaulinya maka ia masuk dalam kategori
ihshan berdasarkan riwayat shahih mazhab Syi’ah di atas, walaupun
berdasarkan An Nisaa’ ayat 24 dia belum masuk kategori muhshiniin karena
belum menikah. Dan orang yang menikah walaupun dengan nikah da’im
[masuk dalam kategori muhshiniin] bisa saja dikatakan bukan ihshan
berdasarkan riwayat berikut:
عدة من أصحابنا، عن أحمد بن محمد، عن الحسين بن سعيد، عن فضالة بن أيوب، عن رفاعة، قال: سألت أبا عبد الله عليه السلام عن رجل يزني قبل أن يدخل بأهله أيرجم؟ قال: لا
Dari sekelompok sahabat kami dari
Ahmad bin Muhammad dari Husain bin Sa’id dari Fadhalah bin Ayuub dari
Rifa’ah yang berkata aku bertanya kepada Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam]
tentang seseorang yang berzina sebelum ia menyetubuhi istrinya, apakah
dirajam?. Beliau berkata “tidak” [Al Kafiy Al Kulainiy 7/179].
Di sisi Al Kulainiy lafaz “sekelompok
sahabat kami” dari Ahmad bin Muhammad bin Iisa tidak bermakna majhul
sebagaimana yang dinukil An Najasyiy,
وقال أبو جعفر الكليني: كل ما كان في كتابي عدة من أصحابنا عن أحمد بن محمد بن عيسى، فهم محمد بن يحيى وعلي بن موسى الكميذاني وداود بن كورة وأحمد بن إدريس وعلي بن إبراهيم بن هاشم
Abu Ja’far Al Kulainiy berkata
“setiap apa yang ada dalam kitabku, sekelompok sahabat kami dari Ahmad
bin Muhamad bin ‘Iisa maka mereka adalah Muhammad bin Yahya, Aliy bin
Muusa Al Kumaydzaaniy, Dawud bin Kawrah, Ahmad bin Idris dan Aliy bin
Ibrahim bin Haasyim [Rijal An Najasyiy hal 377-378 no 1026].
Maka dari itu sanad riwayat Al Kafiy di
atas kedudukannya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah. Berikut
keterangan mengenai para perawinya,
- Muhammad bin Yahya Al Aththaar seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 353 no 946]. Ahmad bin Idris Al Qummiy seorang yang tsiqat faqiih shahih riwayatnya [Rijal An Najasyiy hal 92 no 228]. Aliy bin Ibrahim bin Haasyim seorang yang tsiqat dalam hadis dan tsabit [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680].
- Ahmad bin Muhammad bin Iisa Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 351]
- Husain bin Sa’id bin Hammaad seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 355].
- Fadhalah bin Ayuub Al Azdiy disebutkan oleh An Najasyiy bahwa ia tsiqat dalam hadis dan lurus dalam agamanya [Rijal An Najasyiy hal 310-311 no 850].
- Rifa’ah bin Muusa Al Asdiy meriwayatkan dari Abu ‘Abdullah, seorang yang tsiqat dalam hadisnya [Rijal An Najasyiy hal 166 no 438].
Kesimpulannya adalah lafaz Muhshiniin
dalam An Nisaa’ ayat 24 tersebut bukan berarti bermakna ihshaan yang
mengharuskan hukuman rajam. Kalau kita melihat ke dalam fiqih ahlus
sunnah maka hal serupa ini juga ada yaitu orang yang masuk dalam
kategori muhshiniin dengan dasar pernikahan tetapi tidak ditetapkan
ihshan. Imam Syafi’i pernah berkata:
وإن أصابها في الدبر لم يحصنها
Dan sesungguhnya menggaulinya [istri] di dubur tidak disifatkan ihshan [Al Umm Asy Syafi’i 8/276].
Yang dimaksudkan oleh Imam Syafi’i adalah
seorang laki-laki yang baru menikah dan menggauli istrinya bukan pada
kemaluan tetapi pada duburnya kemudian ia berzina maka laki-laki
tersebut tidak disifatkan ihshan. Bukankah kondisi ini serupa dengan
Nikah Mut’ah yaitu masuk dalam kategori muhshiniin tetapi tidak
disifatkan dengan ihshan [berdasarkan pendapat yang masyhur dalam mazhab
Syi’ah].
Contoh lain sebenarnya dapat dilihat dalam An Nisaa’ ayat 24 tersebut. Dalam ayat tersebut digunakan lafaz Istimta’ dan lafaz ini dalam banyak hadis shahih bermakna Nikah Mut’ah.
Kemudian bagaimana tanggapan dari sebagian ulama ahlus sunnah. Mereka
membantah bahwa lafaz istimta’ disana bermakna nikah mut’ah. Menurut
mereka lafaz istimta’ bermakna bersenang-senang atau mencari kenikmatan
dan ini juga berlaku pada nikah da’im.
Jadi dengan kata lain mereka mengatakan
bahwa Istimta’ di ayat tersebut adalah nikah da’im bukan nikah mut’ah
dan menurut mereka, hal ini tidak bertentangan dengan hadis-hadis yang
menggunakan lafaz istimta’ sebagai nikah mut’ah. Bukankah disini mereka
sendiri beranggapan bahwa lafaz yang sama antara Al Qur’an dan Hadis
tidak selalu menunjukkan arti yang sama. Jadi sebenarnya para pembenci
Syi’ah tersebut ketika menyebarkan syubhat di atas mereka secara tidak
sadar malah menentang diri mereka sendiri.
Penutup:
Dalam tulisan ini kami tidak sedang
menyatakan nikah mut’ah sebagai perkara yang halal secara mutlak
sebagaimana yang ada dalam mazhab Syi’ah. Kami hanya menunjukkan kepada
para pembaca bahwa dalam mazhab Syi’ah dalil nikah mut’ah tersebut ada
dan shahih sesuai dengan standar keilmuan mazhab mereka. Kedudukan
pengikut Syi’ah dalam hal ini hanya mengikuti pedoman shahih mereka sama
seperti kedudukan pengikut Ahlus sunnah yang mengharamkan nikah mut’ah
berdasarkan dalil dalam kitab Ahlus Sunnah.
(Scondprince/Syiah-Ali/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
(Scondprince/Syiah-Ali/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email