Pesan Rahbar

Home » , , , , , , » Studi Kritis Tentang Paham Al Badaa’ Dalam Mazhab Syi’ah

Studi Kritis Tentang Paham Al Badaa’ Dalam Mazhab Syi’ah

Written By Unknown on Wednesday, 10 September 2014 | 21:22:00


Tulisan ini kami sajikan kepada para pembaca sebagai timbangan yang adil bagi mereka yang ingin mengetahui dengan benar pandangan mazhab Syi’ah tentang Al Badaa’. Hal ini kami rasa perlu karena melihat begitu banyak para pendusta dan pembenci mazhab Syi’ah menyajikan tulisan fitnah dan dusta mengenai Al Badaa’ dalam mazhab Syi’ah. Salah satunya dapat para pembaca lihat disini.

Mari kita lihat Website dedengkot wahabi sebagai berikut:
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2014/05/al-badaa.html
___________________________________

Al-Badaa’





Telah berlalu dalam blog ini artikel berjudul Satu Cabang ‘Aqidah Syi’ah tentang Allah ta’ala, yang membahas ‘aqidah badaa’. Yaitu adanya perubahan kebijakan Allah dimana semula Ia menentukan imamah untuk anak laki-laki pertama, namun kemudian Ia ubah setelah adanya kejadian baru dimana calon imam meninggal dunia sebelum ia menjabat. Kejadian baru ini sebelumnya tidak diketahui Allah. Allah baru mengetahui setelah kejadian itu terjadi.
 
Berikut ada hadits lain yang menjelaskan hal serupa. Ath-Thuusiy – ulama Syi’ah - berkata:
 فقد رواه سعد بن عبد الله الأشعري قال: حدثني أبو هاشم داود بن القاسم الجعفري قال: كنت عند أبي الحسن عليه السلام وقت وفاة ابنه أبي جعفر - وقد كان أشار إليه ودل عليه - فإني لافكر في نفسي وأقول: هذه قضية أبي إبراهيم وقضية إسماعيل، فأقبل علي أبو الحسن عليه السلام فقال: نعم يا أبا هاشم بدا لله تعالى في أبي جعفر وصير مكانه أبا محمد، كما بدا لله في إسماعيل بعدما دل عليه أبو عبد الله عليه السلام ونصبه، وهو كما حدثت به نفسك وإن كره المبطلون
“Dan telah diriwayatkan oleh Sa’d bin ‘Abdillah Al-Asy’ariy, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Abu Haasyim Daawud bin Al-Qaasim Al-Ja’fariy, ia berkata : “Aku pernah di sisi Abul-Hasan ‘alaihis-salaam waktu wafatnya anaknya, yaitu Abu Ja’far – padahal ia telah berisyarat kepadanya dan menunjuknya (sebagai imam pengganti) - . Maka aku pun berpikir pada diriku sendiri. Aku berkata : ‘Perkara ini serupa dengan perkara Abu Ibraahiim dan perkara Ismaa’iil’. Lalu Abul-Hasan ‘alaihis-salaam mendatangiku dan berkata : “Benar wahai Abu Haasyim. Allah ta’ala memiliki pendapat baru tentang Abu Ja’far dan mengganti kedudukannya dengan Abu Muhammad sebagaimana Allah menetapkan pendapat baru tentang Ismaa’iil dan mengangkat Abu ‘Abdullah ‘alaihis-salaam. Hal itu sebagamana yang engkau katakan pada dirimu sendiri tadi, walaupun orang-orang sesat membencinya...” [Al-Ghaibah, hal. 200].

Shahih.
Badaa’ secara bahasa artinya kejelasan sesuatu setelah sebelumnya tersembunyi. Atau makna lain : adanya pendapat baru [Ash-Shihhaah, 6/2278 dan Lisaanul-‘Arab 14/66].
Sebagian orang Syi’ah mengidentikkan badaa’ dengan nasakh. Ini keliru. Pertama; orang Syi’ah sendiri membedakan antara keduanya. Kedua; seandainya sama, niscaya pembicaraan badaa’ tidak akan disebutkan secara khusus dalam kitab-kitab induk Syi’ah. Allah ta’ala menggunakan istilah nasakh bagi diri-Nya, namun tidak pernah menggunakan badaa’ untuk diri-Nya. Badaa’ hanya Allah gunakan untuk makhluk-Nya.
Allah ta’ala berfirman:
 
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” [QS. Al-Baqarah : 106].

Ini tentang nasakh.
Adapun badaa’, Allah ta’ala berfirman:
 
ثُمَّ بَدَا لَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا رَأَوُا الآيَاتِ لَيَسْجُنُنَّهُ حَتَّى حِينٍ
 
Kemudian timbul pikiran pada mereka setelah melihat tanda-tanda (kebenaran Yusuf) bahwa mereka harus memenjarakannya sampai sesuatu waktu” [QS. Yuusuf : 35].
 
وَبَدَا لَهُمْ سَيِّئَاتُ مَا كَسَبُوا وَحَاقَ بِهِمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ
 
Dan (jelaslah) bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat dan mereka diliputi oleh pembalasan yang mereka dahulu selalu memperolok-olokkannya” [QS. Az-Zumar : 48].
 
وَبَدَا لَهُمْ مِنَ اللَّهِ مَا لَمْ يَكُونُوا يَحْتَسِبُونَ * وَبَدَا لَهُمْ سَيِّئَاتُ مَا كَسَبُوا وَحَاقَ بِهِمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ
 
Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan. Dan (jelaslah) bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat dan mereka diliputi oleh pembalasan yang mereka dahulu selalu memperolok-olokkannya” [Az-Zumar : 47-48].
Mengapa Allah ta’ala tidak menggunakan istilah badaa’ pada diri-Nya ?. Karena badaa mengkonsekuensikan adanya ketidaktahuan (jahl) sebelumnya dan kemudian setelah itu muncul pengetahuan yang baru. Ini mustahil bagi Allah ta’ala.[1]
Kembali ke riwayat di awal artikel. Pantaskah Allah ta’ala mempunyai pendapat baru dengan menetapkan Abu ‘Abdillah sebagai imam setelah kejadian meninggalnya Ismaa’iil?. Maka dari sini, muncullah kelompok Ismaa’iiliyyah yang tetap menganggap Ismaa’iil lah sebagai imam dan tidak menerima klaim sepihak dari kelompok imamiyyah dengan memindahkannya ke Muusaa bin Ja’far. Ismaa’iiliyyah mempercayai bahwa Ismaa’iil bin Ja’far adalah imam yang terakhir. Perpecahan itu tetap eksis sampai sekarang.
Peristiwa pendapat baru Allah ta’ala dalam kasus penetapan Muusaa bin Ja’far tidak bisa disebut sebagai nasakh, karena nasakh itu hanya berkaitan dengan hukum syari’at, sedangkan badaa’ itu – menurut Syi’ah – berlaku pada taqdir.  Jadi, ada hal yang baru yang sebelumnya tidak diketahui yang kemudian membuat Allah menetapkan taqdir baru. Selain itu, redaksi riwayat Ath-Thuusiy di atas menggunakan kata badaa’, bukan nasakh.
Nasakh artinya menghapus, merubah, atau membatalkan dengan menggantinya yang lain. Naskh tidak mengkonsekuensikan adanya ketidaktahuan sebelumnya. Dua kata ini berbeda maknanya dalam bahasa Arab.
Semoga pengetahuan ini ada manfaatnya.
Wallaahul-musta’aan.
[abul-jauzaa’ – 01052014 – 22:00].



[1]      Sebagian orang Syi’ah mengatakan bahwa Allah ta’ala menggunakan istilah badaa’ untuk diri-Nya, diantaranya melalui firman Allah ta’ala :
 
وَبَدَأَ خَلْقَ الإنْسَانِ مِنْ طِينٍ
 
Dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah” [QS. As-Sajdah : 7].
 
إِنَّهُ يَبْدَأُ الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيدُهُ
 
Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk pada permulaannya kemudian mengulanginya (menghidupkannya) kembali (sesudah berbangkit)” [QS. Yuunus : 4].
 
Sungguh salah alamat mereka jika mereka memahami bahasa ‘Arab, karena ayat di atas berbicara tentang al-bada’ (البَدء), bukan badaa’ (البداء).
___________________________________________


Orang ini sebelumnya menunjukkan kejahilannya dalam tulisannya yang berjudul “Satu Cabang Aqidah Syi’ah Tentang AllahTa’ala”.
 
Mari kita lihat Website dedengkot wahabi sebagai berikut:
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/04/satu-cabang-aqidah-syiah-tentang-allah.html
___________________________________________
 

Satu Cabang ‘Aqidah Syi’ah tentang Allah Ta’ala





Bagi sebagian kalangan Syi'ah Indonesia, pembahasan tentang ‘aqidah mereka sendiri adalah satu hal yang jarang. Mereka – yang umumnya awam – banyak termakan syubhat dari pendekatan sejarah, kemudian tenggelam di dalamnya. Kebodohan akan agama dan ketidakakraban akan kitab-kitab rujukan seringkali dimanfaatkan. Oleh karena itu, masyarakat awam seringkali terpesona dan silau dengan beberapa tulisan Syi’ah yang sering mengutip sumber-sumber kitab Ahlus-Sunnah – bahkan untuk kitab-kitab yang jarang/susah didapatkan. Para ulama, muhaqqiqiin (peneliti), dan penuntut ilmu banyak yang telah membuktikan kedustaan tulisan mereka atas kutipan-kutipan yang tidak sebagaimana mestinya, penggunaan riwayat-riwayat lemah dan palsu, serta pemlintiran kata dan makna yang tidak sesuai yang diinginkan syari'at.

Cukuplah nasihat Al-Imam Asy-Syaafi’iy rahimahullah untuk disimak :
 
ما رأيت في أهل الأهواء قوما أشهد بالزور من الرافضة
 
“Aku tidak pernah melihat satu kaum dari pengikut hawa nafsu yang aku saksikan kedustaannya daripada Rafidlah” [Syarh Ushuulil-I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah 8/1457 dan Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 10/89, dari Ar-Rabii’. Dibawakan pula oleh Harmalah lafadh yang semisal dalam Aadaabusy-Syaafi’iy hal. 187, Al-Manaaqib lil-Baihaqiy 1/468, dan As-Sunan Al-Kubraa lil-Baihaqiy 10/208].
Sebagaimana disebutkan dalam judul, artikel kali ini sedikit akan menyinggung ‘aqidah Syi’ah tentang Allah ta’ala. Kemudian, saya ajak para Pembaca budiman bandingkan dengan ‘aqidah Ahlus-Sunnah – mana di antara keduanya yang sesuai fithrah dan akal sehat yang lurus. 

عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِي هَاشِمٍ الْجَعْفَرِيِّ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ أَبِي الْحَسَنِ ( عليه السلام ) بَعْدَ مَا مَضَى ابْنُهُ أَبُو جَعْفَرٍ وَ إِنِّي لَأُفَكِّرُ فِي نَفْسِي أُرِيدُ أَنْ أَقُولَ كَأَنَّهُمَا أَعْنِي أَبَا جَعْفَرٍ وَ أَبَا مُحَمَّدٍ فِي هَذَا الْوَقْتِ كَأَبِي الْحَسَنِ مُوسَى وَ إِسْمَاعِيلَ ابْنَيْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ ( عليه السلام ) وَ إِنَّ قِصَّتَهُمَا كَقِصَّتِهِمَا إِذْ كَانَ أَبُو مُحَمَّدٍ الْمُرْجَى بَعْدَ أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) فَأَقْبَلَ عَلَيَّ أَبُو الْحَسَنِ قَبْلَ أَنْ أَنْطِقَ فَقَالَ نَعَمْ يَا أَبَا هَاشِمٍ بَدَا لِلَّهِ فِي أَبِي مُحَمَّدٍ بَعْدَ أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) مَا لَمْ يَكُنْ يُعْرَفُ لَهُ كَمَا بَدَا لَهُ فِي مُوسَى بَعْدَ مُضِيِّ إِسْمَاعِيلَ مَا كَشَفَ بِهِ عَنْ حَالِهِ وَ هُوَ كَمَا حَدَّثَتْكَ نَفْسُكَ وَ إِنْ كَرِهَ الْمُبْطِلُونَ
 
‘Aliy bin Muhammad, dari Ishaaq bin Muhamad, dari Abu Haasyim Al-Ja’fariy, ia berkata : “Aku pernah di sisi Abul-Hasan (‘Aliy bin Muhammad) (‘alaihis-salaam) setelah wafatnya anaknya yang bernama Abu Ja’far. Dan aku waktu itu aku berpikir pada diriku sendiri untuk mengatakan : ‘Seakan-akan kejadian yang menimpa Abu Ja’far dan Abu Muhammad saat ini seperti halnya kejadian yang menimpa Abul-Hasan Muusaa dan Ismaa’iil, dua anak dari Ja’far bin Muhammad (‘alaihis-salaam). Dan sesungguhnya kisah keduanya (Abu Ja’far dan Abu Muhammad) serupa dengan kisah keduanya (Muusaa dan Ismaa’iil bin Ja’far), dikarenakan Abu Muhammad Al-Murji menjadi imam setelah Abu Ja’far’ (wafat). Tiba-tiba Abul-Hasan memandangku sebelum aku sempat berkata-kata. Ia berkata : “Benar, wahai Abu Haasyim. Allah memiliki pendapat baru tentang Abu Muhammad setelah wafatnya Abu Ja’far (‘alaihis-salaam) yang sebelumnya tidak Ia ketahui. Sebagaimana sebelumnya muncul pendapat baru pada Muusaa (bin Ja’far) sepeninggal Ismaa’il (bin Ja’far) yang sesuai dengan keadaannya. Hal itu sebagamana yang engkau katakan pada dirimu sendiri tadi, walaupun orang-orang sesat membencinya….”.
[Al-Kaafiy, juz 1 hal. 327, bab : Al-Isyaarah wan-Nash ‘alaa Abi Muhammad ‘alaihis-salaam, hadits no. 10].
Pejelasannya adalah sebagai berikut :
Menurut Syi’ah Imaamiyyah, jabatan imamah itu berpindah dari ayah ke anak laki-laki pertama kecuali Al-Hasan dan Al-Husain. Imamah Al-Hasan berpindah ke Al-Husain, tidak berpindah ke anak laki-laki pertama Al-Hasan.
Namun perkembangannya, perpindahan jabatan imamah itu ternyata mengalami perubahan. Sebagaimana disinggung dalam ‘hadits’ di atas, hal itu pertama kali terjadi pada masa Ismaa’iil, anak laki-laki pertama Ja’far Ash-Shaadiq – imam keenam Syi’ah – . Ismaa’iil yang semula calon pengganti ayahnya meninggal saat ayahnya masih hidup. Walhasil, perkara imamah Ilahiyyah yang prosedurnya telah dibakukan mengalami perubahan. Akhirnya prosedur standar ayah ke anak laki-laki pertama berubah. Imamah menjadi jatuh ke Muusaa bin Ja’far, adik dari Ismaa’iil, bukan ke tangan anak laki-laki pertama Ismaa’iil. Kejadian ini berulang sebagaimana dijelaskan dalam hadits di atas.
Inti persoalannya bukan masalah siapa yang meninggal. Tapi adanya penisbatan perubahan kebijakan Allah dimana semula Ia menentukan imamah untuk anak laki-laki pertama, namun kemudian Ia ubah setelah adanya kejadian baru dimana calon imam meninggal dunia sebelum ia menjabat. Kejadian baru ini sebelumnya tidak diketahui Allah. Allah baru mengetahui setelah kejadian itu terjadi.[1] Inilah inti ‘aqidah bada’ yang harus diyakini oleh sekte Syi’ah Imamiyyah.
‘Aqidah itu tentu saja bertentangan dengan ‘aqidah Ahlus-Sunnah. Dalam pandangan Ahlus-Sunnah, Allah ta’ala mengetahui dengan ilmu-Nya seluruh kejadian hingga hari kiamat. Allah ta’ala telah menentukan taqdir seluruh makhluk-Nya, yang kemudian tertulis dalam Lauh Mahfudh. Tidak ada sesuatu pun yang luput dari ilmu-Nya. Allah ta’ala berfirman :
 
وَمَا تَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَا تَتْلُو مِنْهُ مِنْ قُرْآنٍ وَلا تَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلا كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ وَمَا يَعْزُبُ عَنْ رَبِّكَ مِنْ مِثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي الأرْضِ وَلا فِي السَّمَاءِ وَلا أَصْغَرَ مِنْ ذَلِكَ وَلا أَكْبَرَ إِلا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
 
“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Qur'an dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biar pun sebesar dzarah (atom) di bumi atau pun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudh)” [QS. Yuunus : 61].
 
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لا يَعْلَمُهَا إِلا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلا يَعْلَمُهَا وَلا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأرْضِ وَلا رَطْبٍ وَلا يَابِسٍ إِلا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
 
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan telah tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudh)” [QS. Al-An’aam : 59].
 
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُنْذِرِ الْبَاهِلِيُّ الصَّنْعَانِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ الْمُقْرِئُ حَدَّثَنَا حَيْوَةُ بْنُ شُرَيْحٍ حَدَّثَنِي أَبُو هَانِئٍ الْخَوْلَانِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ قَدَّرَ اللَّهُ الْمَقَادِيرَ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
 
Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin ‘Abillah bin Al-Mundzir Al-Baahiliy Ash-Shan’aaniy : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yaziid Al-Muqri’ : Telah menceritakan kepada kami Haiwah bin Syuraih : Telah menceritakan kepadaku Abu Haani’ Al-Khaulaaniy, bahwasannya ia mendengar Abu ‘Abdirrahman Al-Hubuliy berkata : Aku mendengar ‘Abdullah bin ‘Amr berkata : Aku mendengar Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Allah telah menentukan takdir segala sesuatu, lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan lagit dan bumi" [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2156. Diriwayatkan juga oleh Ahmad 2/169, ‘Abd bin Humaid no. 343, Muslim no. 2653, Ibnu Hibbaan no. 6138, dan Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat hal. 374-375; shahih].
 
حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ مُسَافِرٍ الْهُذَلِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَسَّانَ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ رَبَاحٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ أَبِي عَبْلَةَ عَنْ أَبِي حَفْصَةَ قَالَ قَالَ عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ لِابْنِهِ يَا بُنَيَّ إِنَّكَ لَنْ تَجِدَ طَعْمَ حَقِيقَةِ الْإِيمَانِ حَتَّى تَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ فَقَالَ لَهُ اكْتُبْ قَالَ رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ قَالَ اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ يَا بُنَيَّ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ مَاتَ عَلَى غَيْرِ هَذَا فَلَيْسَ مِنِّي
 
Telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Musaafir Al-Hudzaliy : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Hassaa : Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid bin Rabaah, dari Ibraahiim bin Abi ‘Ablah, dari Abu Hafshah, ia berkata : Telah berkata ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit kepada anaknya : “Wahai anakku, sesungguhnya engkau tidak akan dapat merasakan lezatnya iman hingga engkau bisa memahami bahwa apa yang ditakdirkan menjadi bagianmu tidak akan meleset darimu, dan apa yang tidak ditakdirkan untuk menjadi bagianmu tidak akan engkau dapatkan. Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Pertama kali yang Allah ciptakan adalah pena, lalu Allah berfirman kepadanya : ‘Tulislah!’. Pena itu menjawab : ‘Wahai Rabb, apa yang harus aku tulis?’. Allah berfirman : ‘Tulislah semua takdir yang akan terjadi hingga datangnya hari kiamat’. Wahai anakku, aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa meninggal tidak di atas keyakinan seperti ini maka ia bukan dari golonganku" [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4700. Diriwayatkan juga oleh Ahmad 5/317, At-Tirmidziy no. 2155 & 3319, dan Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal 18/456; shahih].
Segala hal yang Allah tetapkan atau Allah hapuskan adalah berdasarkan ilmu-Nya. 
Akhirnya, saya mengajak kepada saudara-saudaraku Ahlus-Sunnah agar tidak terjebak pada syubhat kaum Syi’ah. Mereka selalu menyembunyikan kutu di balik tebal bulu yang tumbuh di kulit mereka. Saat kita semakin mendekat, tidak tersadar kutu itu telah loncat hinggap di kulit kita, bertelur dan beranak-pinak hingga menimbulkan borok yang tak kunjung bisa disembuhkan.[2]
Mempertahankan modal lebih utama daripada meraih laba.
Semoga Allah ta’ala memberikan hidayah kepada kita semua.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Abul-Jauzaa’ - bersambung ke artikel : Al-Badaa'.


[1]      Perlu diketahui bahwa sekte Syi’ah Ismaa’iiliyyah berpendapat bahwa imamah Ilahiyyah tetap berlangsung dengan pola yang dikehendaki Allah sejak jaman azali, yang berada di tangan anak cucu ‘Aliy bin Abi Thaalib menurut urutan. Hal ini berarti bahwa seorang imam - yang pada saat yang sama menjadi seorang ayah – tidak punya hak menentukan (menunjuk) imam pengganti dirinya karena ia telah ditentukan oleh Allah. Apabila pewaris syar’iy yang dalam hal ini Ismaa’iil meninggal dunia, maka ayahnya Ja’far Ash-Shaadiq tidak berhak menunjuk Muusaa, anaknya yang lain. Namun seharusnya imamah harus jatuh ke tangan anak laki-laki pertama dari Ismaa’iil. Dikarenakan sekte Imamiyyah menganut pola yang sama (dengan Ismaa’iiliyyah), maka mereka mengada-adakan paham bada’ untuk mengatasi kesulitan tersebut.
Maksudnya, disamping untuk menjatuhkan rivalnya yaitu Ismaa’iiliyyah, juga untuk melemparkan tanggung jawab perpindahan imamah dari Ismaa’iil bin Ja’far ke tangan Muusaa bin Ja’far kepada Allah ta’ala. Bukan kepada Ja’far Ash-Shaadiq, sang imam yang suci lagi ma’shum (terhindar dari kesalahan).
Dapat dipahami dari sejarah bahwa ‘aqidah bada’ tidak lain muncul dari rivalitas madzhab yang kemudian di atas namakan ‘aqidah. Dibuatlah hadits-hadits untuk mendukung paham ini sebagaimana hadits di atas. Bahkan, untuk meruncingkan rivalitas ini, para pendusta Syi’ah pun mengarang-ngarang riwayat untuk mencela Ismaa’iil bin Ja’far, yang kemudian disandarkan kepada Ja’far Ash-Shaadiq (bahwasannya ia pernah berkata) :
 
إنه عاص، لا يشبهني ولا يشبه أحداً من آبائي
 
“Sesungguhnya ia telah durhaka. Tidaklah ia menyerupaiku, tidak pula menyerupai seorang pun dari bapak-bapakku” [Bihaarul-Anwaar, 47/247].
Allah ta’ala telah ‘dikorbankan’ untuk mengokohkan madzhab. Maha Suci Allah atas kedustaan ‘aqidah bada’ ini. Semoga Allah ta’ala menghancurkan makar mereka yang ingin merusak Islam dan kaum muslimin.
[2]      Jika kita hanya mengandalkan internet (apalagi yang berbahasa Indonesia) tanpa merujuk langsung ke kitab-kitab induk Syi’ah, kebanyakan kita hanya akan mendapati pembahasan kulit saja. Mereka menutupi hakekat sebenarnya atas ‘aqidah bada’ ini. Mereka tidak mau ditolak karena konflik bada’ yang memang membingungkan bagi orang yang telah paham Al-Qur’an dan As-Sunnah. Salah satu basa-basi mereka ketika menyuguhkan penjelasan tentang ‘aqidah bada’ dapat dibaca di : http://www.al-shia.org/html/id/service/maqalat/001.htm.

______________________
Jawaban:
Pembahasannya dapat para pembaca lihat dari tulisan kami disini
*****
Satu Cabang Aqidah Syi’ah Tentang Allah SWT : Kejahilan Nashibi Tentang Bada’.
Para nashibi adalah kaum yang tidak hanya sekedar jahil tetapi juga gemar memfitnah dan membuat kedustaan terhadap mazhab lain [baca : Syi’ah]. Sudah cukup banyak para ulama Syi’ah yang membuat tulisan yang membuktikan kedustaan mereka, kutipan yang tidak sebagaimana mestinya, berhujjah dengan riwayat dhaif dan palsu. Berikut akan penulis buktikan salah satu kedustaan mereka terhadap mazhab Syi’ah.

Salah satu da’i nashibi yang cukup dikenal di dunia maya membawakan riwayat dalam Al Kafi dan dengan riwayat tersebut ia berhujjah bahwa dalam aqidah bada’ di sisi Syi’ah, Allah tidak mengetahui kejadian baru tersebut sebelumnya dan baru mengetahui setelah kejadian tersebut terjadi. Inilah riwayat yang dimaksud:

عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِي هَاشِمٍ الْجَعْفَرِيِّ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ أَبِي الْحَسَنِ ( عليه السلام ) بَعْدَ مَا مَضَى ابْنُهُ أَبُو جَعْفَرٍ وَ إِنِّي لَأُفَكِّرُ فِي نَفْسِي أُرِيدُ أَنْ أَقُولَ كَأَنَّهُمَا أَعْنِي أَبَا جَعْفَرٍ وَ أَبَا مُحَمَّدٍ فِي هَذَا الْوَقْتِ كَأَبِي الْحَسَنِ مُوسَى وَ إِسْمَاعِيلَ ابْنَيْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ ( عليه السلام ) وَ إِنَّ قِصَّتَهُمَا كَقِصَّتِهِمَا إِذْ كَانَ أَبُو مُحَمَّدٍ الْمُرْجَى بَعْدَ أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) فَأَقْبَلَ عَلَيَّ أَبُو الْحَسَنِ قَبْلَ أَنْ أَنْطِقَ فَقَالَ نَعَمْ يَا أَبَا هَاشِمٍ بَدَا لِلَّهِ فِي أَبِي مُحَمَّدٍ بَعْدَ أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) مَا لَمْ يَكُنْ يُعْرَفُ لَهُ كَمَا بَدَا لَهُ فِي مُوسَى بَعْدَ مُضِيِّ إِسْمَاعِيلَ مَا كَشَفَ بِهِ عَنْ حَالِهِ وَ هُوَ كَمَا حَدَّثَتْكَ نَفْسُكَ وَ إِنْ كَرِهَ الْمُبْطِلُونَ

Aliy bin Muhammad, dari Ishaaq bin Muhamad, dari Abu Haasyim Al-Ja’fariy, ia berkata “Aku pernah di sisi Abul-Hasan [‘alaihis salam] setelah wafatnya anaknya yang bernama Abu Ja’far. Dan aku waktu itu berpikir pada diriku sendiri untuk mengatakan ‘Seakan-akan kejadian yang menimpa Abu Ja’far dan Abu Muhammad saat ini seperti halnya kejadian yang menimpa Abul-Hasan Muusaa dan Ismaa’iil, dua anak dari Ja’far bin Muhammad [‘alaihis salam]. Dan sesungguhnya kisah keduanya [Abu Ja’far dan Abu Muhammad] serupa dengan kisah keduanya [Muusaa dan Ismaa’iil bin Ja’far], disebabkan Abu Muhammad Al-Murji menjadi imam setelah Abu Ja’far’. Tiba-tiba Abul-Hasan memandangku sebelum aku sempat berkata-kata. Ia berkata : “Benar, wahai Abu Haasyim. Allah memiliki pendapat baru tentang Abu Muhammad setelah wafatnya Abu Ja’far [‘alaihis salam] yang sebelumnya tidak Ia ketahui. Sebagaimana sebelumnya muncul pendapat baru pada Muusaa sepeninggal Ismaa’il yang sesuai dengan keadaannya. Hal itu sebagamana yang engkau katakan pada dirimu sendiri tadi, walaupun orang-orang sesat membencinya…[Al Kaafiy 1/327].

Lafaz yang dijadikan hujjah oleh nashibi tersebut adalah:

بَدَا لِلَّهِ فِي أَبِي مُحَمَّدٍ بَعْدَ أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) مَا لَمْ يَكُنْ يُعْرَفُ لَهُ

Allah memiliki pendapat baru tentang Abu Muhammad setelah wafatnya Abu Ja’far [‘alaihis salam] yang sebelumnya tidak Ia ketahui.

Dari lafaz ini nampak bahwa Allah SWT menetapkan bada’ terhadap suatu perkara dimana Allah tidak memiliki pengetahuan sebelumnya. Pernyataan ini sangat jelas kebathilannya dan riwayat tersebut kedudukannya dhaif di sisi Syiah. Al Majlisiy dalam Mirat Al Uqul 3/391 berkomentar mengenai hadis ini “majhul”.

Secara kelimuan hadis di sisi Syiah riwayat tersebut dhaif karena di dalam sanadnya terdapat Ishaq bin Muhammad An Nakha’iy yaitu Ishaq bin Muhammad bin Ahmad bin Abban. Sayyid Muhsin Al ‘Amin berkata tentangnya:

لا اقبل روايته قال ابن الغضائري انه كان فاسد المذهب كذابا في الرواية وضاعا للحديث

Tidak diterima riwayatnya, Ibnu Ghada’iriy berkata bahwa ia jelek mazhabnya pendusta dalam riwayat dan pemalsu hadis [A’yan Asy Syi’ah 3/277].

Riwayat ini juga disebutkan Ath Thuusiy dalam kitabnya Al Ghaybah tanpa adanya lafaz “yang sebelumnya tidak Allah ketahui”.

فقد رواه سعد بن عبد الله الأشعري قال: حدثني أبو هاشم داود بن القاسم الجعفري قال: كنت عند أبي الحسن عليه السلام وقت وفاة ابنه أبي جعفر – وقد كان أشار إليه ودل عليه – فإني لافكر في نفسي وأقول: هذه قضية أبي إبراهيم وقضية إسماعيل، فأقبل علي أبو الحسن عليه السلام فقال: نعم يا أبا هاشم بدا لله تعالى في أبي جعفر وصير مكانه أبا محمد، كما بدا لله في إسماعيل بعدما دل عليه أبو عبد الله عليه السلام ونصبه، وهو كما حدثت به نفسك وإن كره المبطلون

Dan sungguh telah diriwayatkan Sa’d bin ‘Abdullah Al Asy’ariy yang berkata telah menceritakan kepadaku Abu Haasyim Dawud bin Qaasim Al Ja’fariy yang berkata aku berada di sisi Abu Hasan [‘alaihis salam] ketika wafat anaknya Abu Ja’far [‘alaihis salam], dan sungguh ia telah menunjuknya. Maka aku berpikir pada diriku sendiri untuk mengatakan “ ini seperti kasus Abu Ibrahim dan kasus Ismail”. Kemudian Abu Hasan [‘alaihis salam] datang kepadaku dan berkata “benar wahai Abu Haasyim Allah memiliki pendapat baru tentang Abu Ja’far dan mengganti kedudukannya dengan Abu Muhammad sebagaimana Allah menetapkan pendapat baru tentang Ismail dan mengangkat Abu ‘Abdullah [‘alaihis salam]. Hal itu sebagamana yang engkau katakan pada dirimu sendiri tadi, walaupun orang-orang sesat membencinya… [Al Ghaybah Ath Thuusiy hal 200].

Jika riwayat ini shahih maka hal ini menjadi bukti bahwa tanbahan lafaz “yang sebelumnya tidak Allah ketahui” berasal dari Ishaq bin Muhammad An Nakaha’iy. Hanya saja riwayat Ath Thuusiy di atas tidak disebutkan sanad lengkap Ath Thuusiy hingga Sa’ad bin Abdullah Al Asy’ariy.

Dalam sudut pandang Syi’ah, Bada’ [yang dalam terjemah hadis di atas disebut “pendapat baru”] pada dasarnya bermakna perubahan atas ketetapan Allah [SWT] sebagaimana halnya nasikh dan mansukh tetapi hal ini berlaku pada takdir. Sebagaimana firman Allah SWT,

يَمحُوا اللهُ ما يَشَاء وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ ام الكتب

Allah menghapus apa yang dikehendaki-Nya dan menetapkan apa yang dikehendaki-Nya, dan di sisi-Nya terdapat Ummul Kitaab [QS Ar Raad : 39].

Dan semua yang ditetapkan oleh Allah SWT telah Allah SWT ketahui sebelumnya. Jadi Bada’ dalam aqidah Syi’ah berada dalam lingkup ilmu Allah SWT. Hal inilah yang dinyatakan dengan sanad shahih [secara ilmu hadis Syi’ah] dari Imam Ja’far [‘alaihis salam].

محمد بن يحيى، عن أحمد بن محمد، عن الحسين بن سعيد، عن الحسن بن محبوب، عن عبد الله بن سنان، عن أبي عبد الله عليه السلام قال: ما بدا لله في شئ إلا كان في علمه قبل أن يبدو له

Muhammad bin Yahya dari Ahmad bin Muhammad dari Husain bin Sa’id dari Hasan bin Mahbuub dari ‘Abdullah bin Sinaan dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salam] yang berkata “Tidaklah Allah menetapkan bada’ terhadap sesuatu kecuali hal itu berada dalam Ilmu-Nya sebelum ditetapkan atasnya”.[Al Kaafiy 1/148].

Riwayat Al Kaafiy di atas sanadnya shahih di sisi Syi’ah, diriwayatkan oleh para perawi tsiqat,
  1. Muhammad bin Yahya Al Aththaar seorang yang tsiqat [Mu’jam Rijal Al Hadits Sayyid Al Khu’iy 19/33 no 12010].
  2. Ahmad bin Muhammad bin Iisa seorang yang tsiqat [Mu’jam Rijal Al Hadits Sayyid Al Khu’iy 3/85 no 902].
  3. Husain bin Sa’id bin Hammaad seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 355].
  4. Hasan bin Mahbuub seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 354].
  5. Abdullah bin Sinaan seorang yang tsiqat, meriwayatkan dari Abu ‘Abdullah [Rijal An Najasyiy hal 214 no 558].
Inilah aqidah bada’ yang shahih di sisi Syiah, sedangkan barangsiapa yang menisbatkan bada’ terhadap sesuatu dimana Allah tidak mengetahui sebelumnya maka Syiah berlepas diri darinya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Shaduq,

وعندنا من زعم أن الله عز وجل يبدو له اليوم في شئ لم يعلمه أمس فهو كافر والبراءة منه واجبة

Dan di sisi kami barang siapa yang menganggap Allah ‘azza wajalla menetapkan sesuatu pada hari ini yang tidak Allah ketahui sebelumnya maka ia kafir dan wajib berlepas diri darinya [Kamal Ad Diin Wa Tammaam An Ni’mah hal 69,  Syaikh Shaduuq].

Note : Bagi pembaca yang berminat membaca tulisan dai nashibi tersebut silakan dilihat dalam link berikut: http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/04/satu-cabang-aqidah-syiah-tentang-allah.html
 
*****
Aneh bin ajaib bukannya belajar dari kesalahannya, orang ini malah bersikeras atas kedustaannya sebagaimana dapat pembaca lihat dalam tulisannya tentang Al Badaa’ tersebut. Silakan para pembaca membaca tulisan kami ini dengan objektif untuk melihat kedustaannya.

Badaa’ secara bahasa memang bermakna zahir [jelasnya] sesuatu setelah sebelumnya tersembunyi. Makna ini dapat dilihat dalam ayat Al Qur’an berikut:

بَدَا لَهُمْ مِنَ اللَّهِ مَا لَمْ يَكُونُوا يَحْتَسِبُونَ وَبَدَا لَهُمْ سَيِّئَاتُ مَا كَسَبُوا وَحَاقَ بِهِمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ

Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan. Dan jelaslah bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat dan mereka diliputi oleh pembalasan yang mereka dahulu selalu memperolok-olokkannya [Qs Az Zumar : 47-48].

Para pembenci Syi’ah baik dari kalangan ulama mereka atau pengikut mereka mencela mazhab Syi’ah karena menisbatkan badaa’ kepada Allah SWT. Karena menurut mereka makna badaa’ memiliki konsekuensi ketidaktahuan [jahil] sebelumnya kemudian setelah itu muncul pengetahuan yang baru. Hal ini sudah jelas mustahil bagi Allah SWT.

Andaikata tuduhan mereka terhadap Syi’ah tersebut benar maka kami tidak ragu untuk menyatakan kebathilan mazhab Syi’ah. Tetapi fakta yang ada justru menunjukkan para penuduh tersebut adalah orang yang berkhayal kemudian menisbatkan khayalan mereka kepada mazhab Syi’ah.

Bukti riwayat dalam mazhab Syi’ah telah mendustakan tuduhan para pembenci Syi’ah tersebut. Badaa’ yang diyakini dalam mazhab Syi’ah tidak memiliki konsekuensi kejahilan sebelumnya.

عدة من أصحابنا، عن أحمد بن محمد بن عيسى، عن ابن أبي عمير، عن جعفر ابن عثمان، عن سماعة، عن أبي بصير، ووهيب بن حفص، عن أبي بصير، عن أبي عبد الله عليه السلام قال: إن لله علمين: علم مكنون مخزون، لا يعلمه إلا هو، من ذلك يكون البداء وعلم علمه ملائكته ورسله وأنبياءه فنحن نعلمه

Sekelompok sahabat kami dari Ahmad bin Muhammad bin Iisa dari Ibnu Abi ‘Umair dari Ja’far bin ‘Utsman dari Sama’ah dari Abu Bashiir dan Wuhaib bin Hafsh dari Abi Bashiir dari Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam] yang berkata “Sesungguhnya Allah memiliki dua macam ilmu, [pertama] ilmu yang tersimpan dan tersembunyi, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia, dari ini lah yang terjadi badaa’ dan [kedua] ilmu yang diajarkan kepada Malaikat-Nya, Rasul-Nya dan Nabi-Nya maka kami mengetahuinya [Al Kafiy Al Kulainiy 1/147]
Riwayat Al Kafiy di atas sanadnya muwatstsaq berdasarkan standar Ilmu Rijal Syi’ah, semua perawinya tsiqat hanya saja Sama’ah bin Mihraan dikatakan bermazhab waqifiy.
Sekelompok sahabat kami yang dimaksud diantaranya adalah Muhammad bin Yahya Al Aththaar Ahmad bin Idris dan Aliy bin Ibrahiim. Telah ma’ruf bahwa jika Al Kulainiy menyebutkan sekelompok sahabat kami dari Ahmad bin Muhammad bin Iisa maka mereka adalah Muhammad bin Yahya, Aliy bin Muusa Al Kumaydzaaniy, Dawud bin Kawrah, Ahmad bin Idris dan Aliy bin Ibrahim bin Haasyim [Rijal An Najasyiy hal 377-378 no 1026]
  1. Muhammad bin Yahya Al Aththaar seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 353 no 946]. Ahmad bin Idris Al Qummiy seorang yang tsiqat faqiih shahih riwayatnya [Rijal An Najasyiy hal 92 no 228]. Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680].
  2. Ahmad bin Muhammad bin Iisa Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 351].
  3. Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah] maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218].
  4. Ja’far bin Utsman Ar Rawasiy seorang yang tsiqat [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 108].
  5. Sama’ah bin Mihraan Al Hadhramiy seorang yang tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 193 no 517].
  6. Wuhaib bin Hafsh seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 431 no 1159].
  7. Abu Bashiir adalah Abu Bashiir Al Asdiy Yahya bin Qasim seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 441 no 1187].

محمد بن يحيى، عن أحمد بن محمد، عن الحسين بن سعيد، عن الحسن بن محبوب، عن عبد الله بن سنان، عن أبي عبد الله عليه السلام قال: ما بدا لله في شئ إلا كان في علمه قبل أن يبدو له

Muhammad bin Yahya dari Ahmad bin Muhammad dari Husain bin Sa’id dari Hasan bin Mahbuub dari ‘Abdullah bin Sinaan dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salam] yang berkata “Tidaklah Allah menetapkan badaa’ terhadap sesuatu kecuali hal itu berada dalam Ilmu-Nya sebelum ditetapkan atasnya”. [Al Kaafiy 1/148].

Riwayat Al Kaafiy di atas sanadnya shahih di sisi Syi’ah, diriwayatkan oleh para perawi tsiqat,
  1. Muhammad bin Yahya Al Aththaar seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 353 no 946].
  2. Ahmad bin Muhammad bin Iisa Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 351].
  3. Husain bin Sa’id bin Hammaad seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 355].
  4. Hasan bin Mahbuub seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 354].
  5. Abdullah bin Sinaan seorang yang tsiqat, meriwayatkan dari Abu ‘Abdullah [Rijal An Najasyiy hal 214 no 558].
Riwayat di atas membuktikan bahwa Badaa’ yang diyakini dalam mazhab Syi’ah dan dinisbatkan oleh mazhab Syi’ah kepada Allah SWT bukan badaa’ yang secara bahasa dinisbatkan pada makhluk dan memiliki konsekuensi kejahilan sebelumnya.

Sampai disini silakan para pembaca pahami bahwa Badaa’ dalam keyakinan mazhab Syi’ah bukanlah badaa’ secara bahasa yang dinisbatkan kepada makhluk. Badaa’ tersebut memiliki makna khusus dalam mazhab Syi’ah dan apa yang mereka yakini tersebut berdasarkan dalil-dalil shahih di sisi mazhab mereka.
Fenomena perbedaan istilah secara bahasa dan khusus ini tidak hanya terjadi dalam mazhab Syi’ah. Bagi mereka yang sudah melalang buana membaca kitab-kitab hadis ahlus sunnah maka mereka akan menemukan fenomena seperti ini. Banyak istilah yang secara zhahir dinisbatkan kepada makhluk ternyata digunakan dan dinisbatkan kepada Allah SWT. Akan tetapi ketika istilah tersebut dinisbatkan kepada Allah SWT, mereka para ulama ahlus sunnah menetapkan makna tersebut secara khusus bagi Allah SWT tidak sama dengan makna istilah tersebut pada makhluk. Contohnya adalah terdapat riwayat dalam kitab Ahlus Sunnah yang menyebutkan Allah SWT tertawa, istiwa’ [yang sering diterjemahkan bersemayam], turun dan lain sebagainya yang sudah pasti berbeda maknanya ketika istilah-istilah tersebut dinsibatkan pada makhluk.
Apa yang dilakukan ulama Ahlus sunnah dan ulama Syi’ah memiliki satu kesamaan? Yaitu mereka memaknai istilah tersebut dengan makna yang sesuai dengan kesucian dan kebesaran Allah SWT. Seandainya tidak ada riwayat shahih yang menisbatkan istilah tersebut kepada Allah SWT maka baik ulama Syi’ah dan ulama ahlus sunnah tidak akan menisbatkan istilah tersebut kepada Allah SWT.

Jadi apa yang terjadi pada ulama Syi’ah mengenai keyakinan badaa’ yang dinisbatkan kepada Allah SWT, hal itu hanya karena dalam riwayat shahih di sisi mazhab mereka telah menisbatkan istilah badaa’ kepada Allah SWT. Jika tidak ada riwayat shahih maka mereka tidak akan menisbatkan istilah tersebut kepada Allah SWT.

Lantas apakah makna badaa’ di sisi mazhab Syi’ah. Badaa’ yang dinisbatkan kepada Allah SWT adalah perubahan ketetapan Allah SWT [sebagaimana halnya nasikh dan mansukh]. Perkara tersebut sifatnya tersembunyi bagi manusia kemudian menjadi nampak dan perkara ini semuanya berada dalam ilmu Allah. Adapun mengapa hal ini terjadi maka pastinya hanya Allah SWT yang mengetahui, sedangkan manusia hanya bisa mengira-ngira apakah maslahat dibalik perkara tersebut. Apakah ketetapan Allah SWT dapat berubah?. Jawabannya terdapat dalam Al Qur’anul Kariim,

يَمحُوا اللهُ ما يَشَاء وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ ام الكتب

Allah menghapus apa yang dikehendaki-Nya dan menetapkan apa yang dikehendaki-Nya, dan di sisi-Nya terdapat Ummul Kitaab [QS Ar Raad : 39].

Ayat inilah yang dalam mazhab Syi’ah dijadikan dasar sebagai terjadinya badaa’. Dalam kitab mazhab Syi’ah Al Kafiy bab Al Badaa’ terdapat riwayat:

علي بن إبراهيم، عن أبيه، عن ابن أبي عمير، عن هشام بن سالم وحفص بن البختري وغيرهما، عن أبي عبد الله عليه السلام قال في هذه الآية: ” يمحو الله ما يشاء ويثبت قال: فقال: وهل يمحى إلا ما كان ثابتا وهل يثبت إلا ما لم يكن

Aliy bin Ibrahiim dari Ayahnya dari Ibnu Abi ‘Umair dari Hisyaam bin Saalim dan Hafsh bin Al Bakhtariy dan selain mereka berdua dari Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam] yang berkata tentang ayat ini “Allah menghapus apa yang dikehendaki-Nya dan menetapkan apa yang dikehendaki-Nya”. Maka berkata Abu ‘Abdullah “adakah menghapuskan kecuali apa yang sudah tetap [sebelumnya] dan adakah menetapkan kecuali apa yang belum ada [sebelumnya]” [Al Kafiy Al Kulainiy 1/146-147].

Riwayat di atas sanadnya shahih sesuai standar Ilmu Rijal Syi’ah. Berikut keterangan mengenai para perawinya,
  1. Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680].
  2. Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222].
  3. Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah] maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218].
  4. Hisyaam bin Saalim meriwayatkan dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] ia tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 434 no 1165]. Hafsh bin Al Bakhtariy seorang yang tsiqat meriwayatkan dari Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam] [Rijal An Najasyiy hal 134 no 344].
Di sisi ahlus sunnah terdapat salafus shalih yang memahami ayat tersebut dalam arti takdir Allah SWT terhadap seseorang bisa berubah sesuai dengan kehendak Allah SWT.

حدثنا أبو كريب قال : حدثنا عثام ، عن الأعمش ، عن شقيق أنه كان يقول : ” اللهم إن كنت كتبتنا أشقياء ، فامحنَا واكتبنا سعداء ، وإن كنت كتبتنا سعداء فأثبتنا ، فإنك تمحو ما تشاءُ وتثبت وعندَك أمّ الكتاب

Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Atsaam dari Al A’masyiy dari Syaqiiq bahwasanya ia berkata “ya Allah jika Engkau menuliskan kami sebagai orang yang sengsara maka hapuslah nama kami dan tuliskanlah atas kami sebagai orang yang berbahagia. Dan jika Engkau menuliskan kami sebagi orang yang berbahagia maka tetapkanlah atas kami. Sesungguhnya Engkau menghapus apa yang Engkau kehendaki dan menetapkan apa yang Engkau kehendaki dan di sisimu terdapat Ummul Kitaab [Tafsir Ath Thabariy 16/481 no 20476].

Riwayat di atas sanadnya jayyid sampai ke Syaqiiq Abu Wa’il dan ia termasuk orang yang menemui masa jahiliyah,
  1. Abu Kuraib adalah Muhammad bin A’laa bin Kuraib Al Hamdaaniy seorang yang hafizh tsiqat [Taqrib At Tahdzib 2/121].
  2. ‘Atsaam bin Aliy Al Kuufiy seorang yang shaduq [Taqrib At Tahdzib 1/655].
  3. Sulaiman bin Mihraan Al A’masyiy seorang yang tsiqat hafizh tetapi melakukan tadlis [Taqrib At Tahdzib 1/392]. Adapun tadlisnya disini tidak menjadi illat [cacat] hadis karena ‘an anah A’masyiy dari Syaikhnya seperti Ibrahim, Abu Shalih dan Syaqiiq dianggap muttashil.
  4. Syaqiiq bin Salamah Abu Wa’il Al Kuufiy seorang mukhadhramun yang tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/421].
Lafaz doa Syaqiiq tersebut menyatakan keyakinannya bahwa ketetapan Allah SWT terhadap seseorang bisa berubah jika Allah SWT menghendaki.

حدثنا محمد بن حميد الرازي و سعيد بن يعقوب قالا حدثنا يحيى بن الضريس عن ابي مودود عن سليمان التيمي عن ابي عثمان النهدي عن سلمان قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لا يرد القضاء إلا الدعاء ولا يزيد العمر إلا البر

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Humaid Ar Raaziy dan Sa’iid bin Ya’quub keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Dhurais dari Abi Maudud dari Sulaiman At Taimiy dari Abi ‘Utsman An Nahdiy dari Salmaan yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali doa dan tidak ada yang dapat menambah umur kecuali perbuatan baik” [Sunan Tirmidzi 4/448 no 2139].

At Tirmidziy menyatakan hadis di atas hasan gharib. Syaikh Al Albani menyatakan hadis tersebut hasan. Terdapat pembicaraan seputar hadis ini, sanad di atas lemah tetapi memiliki penguat dari riwayat lain maka pendapat yang rajih adalah kedudukannya hasan lighairihi sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth [Syarh Musykil Al Atsar no 3068].

Sejauh ini kami telah menunjukkan keyakinan bahwa takdir Allah SWT bisa berubah jika Allah SWT menghendaki juga ada dalam riwayat ahlus sunnah. Mungkin diantara mereka pembenci Syi’ah akan tetap meributkan istilah badaa’ bahwa hal itu tidak boleh dinisbatkan kepada Allah SWT. Silakan saja tetapi alasan ini tidak ada nilainya di sisi mazhab Syi’ah. Toh mereka orang Syi’ah meyakini badaa’ berdasarkan riwayat shahih pegangan mereka dan perkara ini sama seperti ulama ahlus sunnah yang berpegang pada riwayat shahih mengenai Allah tertawa, istiwa’ dan yang lainnya.

Anehnya dalam kitab ahlus sunnah terdapat juga riwayat shahih yang menggunakan istilah badaa’ kepada Allah SWT.

حَدَّثَنِي أَحْمَدُ بْنُ إِسْحَاقَ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَاصِمٍ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي عَمْرَةَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ حَدَّثَهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ح و حَدَّثَنِي مُحَمَّدٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَجَاءٍ أَخْبَرَنَا هَمَّامٌ عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ أَخْبَرَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي عَمْرَةَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَدَّثَهُ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ ثَلَاثَةً فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ أَبْرَصَ وَأَقْرَعَ وَأَعْمَى بَدَا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يَبْتَلِيَهُمْ

Telah menceritakan kepadaku Ahmad bin Ishaaq yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin ‘Aashim yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammaam yang berkata telah menceritakan kepada kami Ishaq bin ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku ‘Abdurrahman bin Abi ‘Amrah bahwa Abu Hurairah menceritakan kepadanya bahwa ia mendengar Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Rajaa’ yang berkata telah mengabarkan kepada kami Hammaam dari Ishaq bin ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku ‘Abdurrahman bin Abi ‘Amrah bahwa Abu Hurairah [radiallahu ‘anhu] menceritakan kepadanya bahwa ia mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan ada tiga orang bani Israil, penderita kusta, botak dan buta, maka Allah ‘azza wajalla menetapkan badaa’ untuk menguji mereka…[Shahih Bukhariy 4/171 no 3464].

Riwayat Bukhariy di atas menceritakan kisah yang panjang dan cukuplah kami nukilkan lafaz dimana istilah badaa’ dinisbatkan kepada Allah SWT. Intinya kisah di atas adalah dimana Allah SWT menetapkan keadaan yang baru bagi mereka  yaitu kesembuhan penyakit mereka dan harta yang berlimpah dengan tujuan untuk menguji mereka. Ibnu Hajar memberikan komentar mengenai lafaz tersebut dalam Fath Al Bariy,

أي سبق في علم الله فأراد إظهاره ، وليس المراد أنه ظهر له بعد أن كان خافيا لأن ذلك محال في حق الله تعالى

Maksudnya adalah Allah telah mengetahui dari awal maka Allah berkehendak untuk menampakkannya, dan bukanlah maksudnya bahwa nampak atau jelas bagi Allah setelah sebelumnya tersembunyi karena hal yang demikian itu mustahil bagi Allah ta’ala [Fath Al Bariy Syarh Shahih Bukhariy 6/364].

Kemudian Ibnu Hajar juga menyebutkan riwayat Muslim yang tidak menggunakan lafaz badaa’ melainkan lafaz “Allah berkehendak untuk menguji mereka” sehingga terdapat kemungkinan perubahan lafaz tersebut berasal dari perawi hadis. Menurut kami kemungkinan perubahan lafaz tersebut tidaklah benar karena hadis Bukhariy tersebut shahih. Perbedaan lafaz dalam hadis-hadis shahih adalah perkara yang lumrah oleh karena itu jika ingin menetapkan suatu lafaz dalam hadis shahih sebagai lafaz yang salah atau keliru maka harus ditunjukkan bukti yang kuat.

Dalam hadis ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash riwayat Ahmad bin Hanbal mengenai tanda-tanda kiamat yaitu matahari terbit dari barat dan munculnya daabah di waktu dhuha, terdapat lafaz:

قال عبد الله وكان يقرأ الكتب وأظن اولاها خروجا طلوع الشمس من مغربها وذلك أنها كلما غربت أتت تحت العرش فسجدت واستأذنت في الرجوع فأذن لها في الرجوع حتى إذا بدا لله ان تطلع من مغربها

Abdullah [bin ‘Amru] berkata dan ia sedang membaca kitab “aku mengira yang muncul pertama kali adalah terbitnya matahari dari barat, hal itu karena setiap kali matahari terbenam ia datang ke bawah Arsy kemudian sujud dan meminta izin untuk kembali maka diizinkan baginya untuk kembali, sampai ketika Allah menetapkan badaa’ bahwa matahari terbit dari barat…[Musnad Ahmad 2/201 no 6881, Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata sanadnya shahih dengan syarat Bukhari Muslim].

Silakan bandingkan istilah badaa’ di atas dengan riwayat Syi’ah yang menggunakan istilah yang sama berikut:

فقد رواه سعد بن عبد الله الأشعري قال: حدثني أبو هاشم داود بن القاسم الجعفري قال: كنت عند أبي الحسن عليه السلام وقت وفاة ابنه أبي جعفر – وقد كان أشار إليه ودل عليه – فإني لافكر في نفسي وأقول: هذه قضية أبي إبراهيم وقضية إسماعيل، فأقبل علي أبو الحسن عليه السلام فقال: نعم يا أبا هاشم بدا لله تعالى في أبي جعفر وصير مكانه أبا محمد، كما بدا لله في إسماعيل بعدما دل عليه أبو عبد الله عليه السلام ونصبه، وهو كما حدثت به نفسك وإن كره المبطلون

Dan sungguh telah diriwayatkan Sa’d bin ‘Abdullah Al Asy’ariy yang berkata telah menceritakan kepadaku Abu Haasyim Dawud bin Qaasim Al Ja’fariy yang berkata aku berada di sisi Abu Hasan [‘alaihis salam] ketika wafat anaknya Abu Ja’far [‘alaihis salam], dan sungguh ia telah menunjuknya. Maka aku berpikir pada diriku sendiri untuk mengatakan “ini seperti kasus Abu Ibrahim dan kasus Ismail”. Kemudian Abu Hasan [‘alaihis salam] datang kepadaku dan berkata “benar wahai Abu Haasyim Allah menetapkan badaa’ tentang Abu Ja’far dan mengganti kedudukannya dengan Abu Muhammad sebagaimana Allah menetapkan badaa’ tentang Ismail dan mengangkat Abu ‘Abdullah [‘alaihis salam]. Hal itu sebagamana yang engkau katakan pada dirimu sendiri tadi, walaupun orang-orang sesat membencinya… [Al Ghaybah Ath Thuusiy hal 200].

Pada dasarnya istilah tersebut baik pada hadis Bukhariy dan Ahmad memiliki makna yang sama dengan hadis Ath Thuusiy yaitu perubahan atas ketetapan Allah SWT.

Maka hakikatnya dalam mazhab Syi’ah badaa’ sama seperti nasakh, adapun nasakh itu berlaku pada hukum syari’at sedangkan badaa’ itu berlaku pada takdir. Baik hukum atau takdir keduanya adalah ketetapan Allah SWT semuanya ada dalam ilmu Allah dan bisa berubah sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: