Cukup banyak situs nashibi-wahabi [yang ngaku-ngaku salafy] menyebarkan syubhat bahwa Imam Ali membaiat Abu Bakar pada awal-awal ia dibaiat. Mereka mengutip riwayat dhaif dan melemparkan riwayat shahih. Mereka mengutip dari riwayat [yang tidak mu’tabar menurut sebagian mereka] dan melemparkan riwayat mu’tabar dan shahih di sisi mereka. Mengapa hal itu terjadi?. Karena kebencian mereka terhadap Syiah. Salafy nashibi itu menganggap pernyataan Imam Ali membaiat Abu Bakar setelah enam bulansebagai “syubhat Syi’ah”. Menurut salafy nashibi yang namanya “syubhat Syi’ah” pasti dusta jadi harus dibantah meskipun dengan dalih mengais-ngais riwayat dhaif.
Kami akan berusaha membahas masalah ini dengan objektif dan akan kami tunjukkan bahwa kabar yang shahih dan tsabit adalah Imam Ali membaiat Abu Bakar setelah enam bulan yaitu setelah wafatnya Sayyidah Fathimah [‘Alaihis Salam] dan ini tidak ada kaitannya dengan Syiah dan riwayat di sisi mereka. Riwayat yang menyatakan Imam Ali membaiat Abu Bakar setelah enam bulan adalah riwayat shahih dan tsabit dari kitab yang mu’tabar di sisi para ulama yaitu Shahih Bukhari. Tidak ada keraguan akan keshahihan riwayat ini:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَام بِنْتَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَتْ إِلَى أَبِي بَكْرٍ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْهِ بِالْمَدِينَةِ وَفَدَكٍ وَمَا بَقِيَ مِنْ خُمُسِ خَيْبَرَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْمَالِ وَإِنِّي وَاللَّهِ لَا أُغَيِّرُ شَيْئًا مِنْ صَدَقَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ حَالِهَا الَّتِي كَانَ عَلَيْهَا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَأَعْمَلَنَّ فِيهَا بِمَا عَمِلَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى فَاطِمَةَ مِنْهَا شَيْئًا فَوَجَدَتْ فَاطِمَةُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ فَهَجَرَتْهُ فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ وَعَاشَتْ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ دَفَنَهَا زَوْجُهَا عَلِيٌّ لَيْلًا وَلَمْ يُؤْذِنْ بِهَا أَبَا بَكْرٍ وَصَلَّى عَلَيْهَا وَكَانَ لِعَلِيٍّ مِنْ النَّاسِ وَجْهٌ حَيَاةَ فَاطِمَةَ فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ اسْتَنْكَرَ عَلِيٌّ وُجُوهَ النَّاسِ فَالْتَمَسَ مُصَالَحَةَ أَبِي بَكْرٍ وَمُبَايَعَتَهُ وَلَمْ يَكُنْ يُبَايِعُ تِلْكَ الْأَشْهُرَ فَأَرْسَلَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ أَنْ ائْتِنَا وَلَا يَأْتِنَا أَحَدٌ مَعَكَ كَرَاهِيَةً لِمَحْضَرِ عُمَرَ فَقَالَ عُمَرُ لَا وَاللَّهِ لَا تَدْخُلُ عَلَيْهِمْ وَحْدَكَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ وَمَا عَسَيْتَهُمْ أَنْ يَفْعَلُوا بِي وَاللَّهِ لآتِيَنَّهُمْ فَدَخَلَ عَلَيْهِمْ أَبُو بَكْرٍ فَتَشَهَّدَ عَلِيٌّ فَقَالَ إِنَّا قَدْ عَرَفْنَا فَضْلَكَ وَمَا أَعْطَاكَ اللَّهُ وَلَمْ نَنْفَسْ عَلَيْكَ خَيْرًا سَاقَهُ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَكِنَّكَ اسْتَبْدَدْتَ عَلَيْنَا بِالْأَمْرِ وَكُنَّا نَرَى لِقَرَابَتِنَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَصِيبًا حَتَّى فَاضَتْ عَيْنَا أَبِي بَكْرٍ فَلَمَّا تَكَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَرَابَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ أَصِلَ مِنْ قَرَابَتِي وَأَمَّا الَّذِي شَجَرَ بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ مِنْ هَذِهِ الْأَمْوَالِ فَلَمْ آلُ فِيهَا عَنْ الْخَيْرِ وَلَمْ أَتْرُكْ أَمْرًا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُهُ فِيهَا إِلَّا صَنَعْتُهُ فَقَالَ عَلِيٌّ لِأَبِي بَكْرٍ مَوْعِدُكَ الْعَشِيَّةَ لِلْبَيْعَةِ فَلَمَّا صَلَّى أَبُو بَكْرٍ الظُّهْرَ رَقِيَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَتَشَهَّدَ وَذَكَرَ شَأْنَ عَلِيٍّ وَتَخَلُّفَهُ عَنْ الْبَيْعَةِ وَعُذْرَهُ بِالَّذِي اعْتَذَرَ إِلَيْهِ ثُمَّ اسْتَغْفَرَ وَتَشَهَّدَ عَلِيٌّ فَعَظَّمَ حَقَّ أَبِي بَكْرٍ وَحَدَّثَ أَنَّهُ لَمْ يَحْمِلْهُ عَلَى الَّذِي صَنَعَ نَفَاسَةً عَلَى أَبِي بَكْرٍ وَلَا إِنْكَارًا لِلَّذِي فَضَّلَهُ اللَّهُ بِهِ وَلَكِنَّا نَرَى لَنَا فِي هَذَا الْأَمْرِ نَصِيبًا فَاسْتَبَدَّ عَلَيْنَا فَوَجَدْنَا فِي أَنْفُسِنَا فَسُرَّ بِذَلِكَ الْمُسْلِمُونَ وَقَالُوا أَصَبْتَ وَكَانَ الْمُسْلِمُونَ إِلَى عَلِيٍّ قَرِيبًا حِينَ رَاجَعَ الْأَمْرَ الْمَعْرُوفَ
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Bukair yang berkata telah menceritakan kepada kami Al-Laits dari ‘Uqail dari Ibnu Syihaab dari ‘Urwah dari ‘Aaisyah Bahwasannya Faathimah [‘alaihis-salaam] binti Nabi [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] mengutus utusan kepada Abu Bakr meminta warisannya dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dari harta fa’i yang Allah berikan kepada beliau di Madinah dan Fadak, serta sisa seperlima ghanimah Khaibar. Abu Bakr berkata ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda ‘Kami tidak diwarisi, segala yang kami tinggalkan hanya sebagai sedekah”. Hanya saja, keluarga Muhammad [shallallahu 'alaihi wasallam] makan dari harta ini’. Dan demi Allah, aku tidak akan merubah sedikitpun shadaqah Rasulullah [shallallaahu 'alaihi wa sallam] dari keadaannya semula sebagaimana harta itu dikelola semasa Rasulullah [shallallaahu 'alaihi wa sallam], dan akan aku kelola sebagaimana Rasulullah mengelola. Maka Abu Bakr enggan menyerahkan sedikitpun kepada Fathimah sehingga Fathimah marah kepada Abu Bakr dalam masalah ini. Fathimah akhirnya mengabaikan Abu Bakr dan tak pernah mengajaknya bicara hingga ia meninggal. Dan ia hidup enam bulan sepeninggal Nabi [shallallaahu 'alaihi wa sallam]. Ketika wafat, ia dimandikan oleh suaminya, Aliy, ketika malam hari, dan ‘Aliy tidak memberitahukan perihal meninggalnya kepada Abu Bakr. Padahal semasa Faathimah hidup, Aliy dituakan oleh masyarakat tetapi, ketika Faathimah wafat, ‘Aliy memungkiri penghormatan orang-orang kepadanya, dan ia lebih cenderung berdamai dengan Abu Bakr dan berbaiat kepadanya, meskipun ia sendiri tidak berbaiat di bulan-bulan itu. ‘Aliy kemudian mengutus seorang utusan kepada Abu Bakar yang inti pesannya ‘Tolong datang kepada kami, dan jangan seorangpun bersamamu!’. Ucapan ‘Aliy ini karena ia tidak suka jika Umar turut hadir. Namun ‘Umar berkata ‘Tidak, demi Allah, jangan engkau temui mereka sendirian’. Abu Bakr berkata ‘Kalian tidak tahu apa yang akan mereka lakukan terhadapku. Demi Allah, aku sajalah yang menemui mereka.’ Abu Bakr lantas menemui mereka. ‘Aliy mengucapkan syahadat dan berkata ”Kami tahu keutamaanmu dan apa yang telah Allah kurniakan kepadamu. Kami tidak mendengki kebaikan yang telah Allah berikan padamu, namun engkau telah sewenang-wenang dalam memperlakukan kami. Kami berpandangan, kami lebih berhak karena kedekatan kekerabatan kami dari Rasulullah [shallallaahu 'alaihi wa sallam’]. Hingga kemudian kedua mata Abu Bakr menangis. Ketika Abu Bakr bicara, ia berkata “Demi Yang jiwaku ada di tangan-Nya, kekerabatan Rasulullah lebih aku cintai daripada aku menyambung kekerabatanku sendiri. Adapun perselisihan antara aku dan kalian dalam perkara ini, sebenarnya aku selalu berusaha berbuat kebaikan. Tidaklah kutinggalkan sebuah perkara yang kulihat Rasulullah [shallallahu 'alaihi wa sallam] melakukannya, melainkan aku melakukannya juga’. Kemudian ‘Aliy berkata kepada Abu Bakr ‘Waktu baiat kepadamu adalah nanti sore’. Ketika Abu Bakr telah shalat Dhuhur, ia naik mimbar. Ia ucapkan syahadat, lalu ia menjelaskan permasalahan ‘Aliy dan ketidakikutsertaannya dari bai’at serta alasannya. ‘Aliy kemudian beristighfar dan mengucapkan syahadat, lalu mengemukakan keagungan hak Abu Bakar, dan ia menceritakan bahwa apa yang ia lakukan tidak sampai membuatnya dengki kepada Abu Bakar. Tidak pula sampai mengingkari keutamaan yang telah Allah berikan kepada Abu Bakr. Ia berkata “Hanya saja, kami berpandangan bahwa kami lebih berhak dalam masalah ini namun Abu Bakr telah bertindak sewenang-wenang terhadap kami sehingga kami pun merasa marah terhadapnya”. Kaum muslimin pun bergembira atas pernyataan ‘Aliy dan berkata “Engkau benar”. Sehingga kaum muslimin semakin dekat dengan ‘Aliy ketika ‘Aliy mengembalikan keadaan menjadi baik” [Shahih Bukhaari no. 4240-4241].
Hadis riwayat Bukhari ini juga disebutkan dalam Shahih Muslim 3/1380 no 1759 dan Shahih Ibnu Hibban 11/152 no 4823. Dari hadis yang panjang di atas terdapat bukti nyata kalau Imam Ali membaiat Abu Bakar setelah enam bulan yaitu setelah wafatnya Sayyidah Fathimah [‘alaihis salam]. Sisi pendalilannya adalah sebagai berikut. Pehatikan lafaz Perkataan Aisyah:
فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ اسْتَنْكَرَ عَلِيٌّ وُجُوهَ النَّاسِ فَالْتَمَسَ مُصَالَحَةَ أَبِي بَكْرٍ وَمُبَايَعَتَهُ وَلَمْ يَكُنْ يُبَايِعُ تِلْكَ الْأَشْهُرَ
Ketika [Sayyidah Fathimah] wafat ‘Aliy memungkiri penghormatan orang-orang kepadanya, dan ia lebih cenderung berdamai dengan Abu Bakr dan berbaiat kepadanya, meskipun ia sendiri tidak berbaiat di bulan-bulan itu.
Aisyah [radiallahu ‘anha] menyatakan dengan jelas bahwa baiat Imam Ali kepada Abu Bakar adalah setelah kematian Sayyidah Fathimah [‘alaihis salam] yaitu setelah enam bulan dan Imam Ali tidak pernah membaiat pada bulan-bulan sebelumnya. Jadi dari sisi ini tidak ada yang namanya istilah baiat kedua. Itulah baiat Imam Ali yang pertama dan satu-satunya.
Aisyah [radiallahu ‘anha] kemudian menyebutkan dengan jelas peristiwa yang terjadi setelah Sayyidah Fathimah wafat yaitu Imam Ali memanggil Abu Bakar kemudian memutuskan untuk memberikan baiat di hadapan kaum muslimin. Aisyah [radiallahu ‘anha] menyebutkan bahwa Abu Bakar berkhutbah di hadapan kaum muslimin, perhatikan lafaz:
فَلَمَّا صَلَّى أَبُو بَكْرٍ الظُّهْرَ رَقِيَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَتَشَهَّدَ وَذَكَرَ شَأْنَ عَلِيٍّ وَتَخَلُّفَهُ عَنْ الْبَيْعَةِ وَعُذْرَهُ بِالَّذِي اعْتَذَرَ إِلَيْهِ
Ketika Abu Bakr telah shalat Dhuhur, ia menaiki mimbar. Ia mengucapkan syahadat, lalu ia menjelaskan permasalahan ‘Aliy dan ketidakikutsertaan Ali dari bai’at serta alasannya.
Abu Bakar sendiri sebagai khalifah yang akan dibaiat menyatakan di hadapan kaum muslimin alasan Imam Ali tidak memberikan baiat kepadanya. Ini bukti nyata kalau Abu Bakar sendiri merasa dirinya tidak pernah dibaiat oleh Imam Ali. Khutbah Abu Bakar disampaikan di hadapan kaum muslimin dan tidak satupun dari mereka yang mengingkarinya. Maka dari sini dapat diketahui bahwa Abu Bakar dan kaum muslimin bersaksi bahwa Ali tidak pernah membaiat sebelumnya kepada Abu Bakar.
Kemudian mari kita lihat riwayat yang dijadikan hujjah oleh salafy nashibi bahwa Imam Ali telah memberikan baiat kepada Abu Bakar pada awal pembaiatan Abu Bakar.
حدثنا أبو العباس محمد بن يعقوب ثنا جعفر بن محمد بن شاكر ثنا عفان بن مسلم ثنا وهيب ثنا داود بن أبي هند ثنا أبو نضرة عن أبي سعيد الخدري رضى الله تعالى عنه قال لما توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم قام خطباء الأنصار فجعل الرجل منهم يقول يا معشر المهاجرين إن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان إذا استعمل رجلا منكم قرن معه رجلا منا فنرى أن يلي هذا الأمر رجلان أحدهما منكم والآخر منا قال فتتابعت خطباء الأنصار على ذلك فقام زيد بن ثابت فقال إن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان من المهاجرين وإن الإمام يكون من المهاجرين ونحن أنصاره كما كنا أنصار رسول الله صلى الله عليه وسلم فقام أبو بكر رضى الله تعالى عنه فقال جزاكم الله خيرا يا معشر الأنصار وثبت قائلكم ثم قال أما لو فعلتم غير ذلك لما صالحناكم ثم أخذ زيد بن ثابت بيد أبي بكر فقال هذا صاحبكم فبايعوه ثم انطلقوا فلما قعد أبو بكر على المنبر نظر في وجوه القوم فلم ير عليا فسأل عنه فقال ناس من الأنصار فأتوا به فقال أبو بكر بن عم رسول الله صلى الله عليه وسلم وختنه أردت أن تشق عصا المسلمين فقال لا تثريب يا خليفة رسول الله صلى الله عليه وسلم فبايعه ثم لم ير الزبير بن العوام فسأل عنه حتى جاؤوا به فقال بن عمة رسول الله صلى الله عليه وسلم وحواريه أردت أن تشق عصا المسلمين فقال مثل قوله لا تثريب يا خليفة رسول الله صلى الله عليه وسلم فبايعاه
Telah menceritakan kepada kami Abul ‘Abbas Muhammad bin Ya’qub yang berkata telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Muhammad bin Syaakir yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Affan bin Muslim yang berkata telah menceritakan kepada kami Wuhaib yang berkata telah menceritakan kepada kami Dawud bin Abi Hind yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Nadhrah dari Abu Sa’id Al Khudriy radiallahu ta’ala ‘anhu yang berkata “ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat maka khatib khatib di kalangan anshar berdiri kemudian datanglah salah seorang dari mereka yang berkata “wahai kaum muhajirin sungguh jika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyuruh salah seorang diantara kalian maka Beliau menyertakan salah seorang dari kami maka kami berpandangan bahwa yang memegang urusan ini adalah dua orang, salah satunya dari kalian dan salah satunya dari kami, maka khatib-khatib Anshar itu mengikutinya. Zaid bin Tsabit berdiri dan berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berasal dari kaum muhajirin maka Imam adalah dari kaum muhajirin dan kita adalah penolongnya sebagaimana kita adalah penolong Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Abu Bakar radiallahu ta’ala anhu berdiri dan berkata “semoga Allah membalas kebaikan kepada kalian wahai kaum Anshar, benarlah juru bicara kalian itu” kemudian ia berkata “jika kalian mengerjakan selain daripada itu maka kami tidak akan sepakat dengan kalian” kemudian Zaid bin Tsabit memegang tangan Abu Bakar dan berkata “ini sahabat kalian maka baiatlah ia” kemudian mereka pergi.
Ketika Abu Bakar berdiri di atas mimbar, ia melihat kepada orang-orang kemudian ia tidak melihat Ali, ia bertanya tentangnya maka ia menyuruh orang-orang dari kalangan Anshar memanggilnya, Abu Bakar berkata “wahai sepupu Rasulullah dan menantunya apakah engkau ingin memecah belah kaum muslimin?”. Ali berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]” maka ia membaiatnya. Kemudian Abu Bakar tidak melihat Zubair, ia menanyakan tentangnya dan memanggilnya kemudian berkata “wahai anak bibi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan penolongnya [hawariy] “apakah engkau ingin memecah belah kaum muslimin?”. Zubair berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah” maka ia membaiatnya. [Mustadrak Al Hakim juz 3 no 4457].
Hadis riwayat Al Hakim di atas juga diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Sunan Al Kubra 8/143 no 16315 dan Al I’tiqad Wal Hidayah hal 349-350 dengan jalan sanad yang sama dengan riwayat Al Hakim di atas.
Hadis semakna juga diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dalam Tarikh Ibnu Asakir 30/276-277, Baihaqi dalam Sunan Al Kubra 8/143 no 16316 dan Al I’tiqad Wal Hidayah hal 350. Berikut riwayat Ibnu Asakir:
وأخبرنا أبو القاسم الشحامي أنا أبو بكر البيهقي أنا أبو الحسن علي بن محمد بن علي الحافظ الإسفراييني قال نا أبو علي الحسين بن علي الحافظ نا أبو بكر بن إسحاق بن خزيمة وإبراهيم بن أبي طالب قالا نا بندار بن بشار نا أبو هشام المخزومي نا وهيب نا داود بن أبي هند نا أبو نضرة عن أبي سعيد الخدري قال قبض النبي (صلى الله عليه وسلم) واجتمع الناس في دار سعد بن عبادة وفيهم أبو بكر وعمر قال فقام خطيب الأنصار فقال أتعلمون أن رسول الله (صلى الله عليه وسلم) كان من المهاجرين وخليفته من المهاجرين ونحن كنا أنصار رسول الله (صلى الله عليه وسلم) فنحن أنصار خليفته كما كنا أنصاره قال فقام عمر بن الخطاب فقال صدق قائلكم أما لو قلتم غير هذا لم نتابعكم وأخذ بيد أبي بكر وقال هذا صاحبكم فبايعوه وبايعه عمر وبايعه المهاجرون والأنصار قال فصعد أبو بكر المنبر فنظر في وجوه القوم فلم ير الزبير قال فدعا بالزبير فجاء فقال قلت أين ابن عمة رسول الله (صلى الله عليه وسلم) وحواريه أردت أن تشق عصا المسلمين قال لا تثريب يا خليفة رسول الله (صلى الله عليه وسلم) فقام فبايعه ثم نظر في وجوه القوم فلم ير عليا فدعا بعلي بن أبي طالب فجاء فقال قلت ابن عم رسول الله (صلى الله عليه وسلم) وختنه على ابنته أردت أن تشق عصا المسلمين قال لا تثريب يا خليفة رسول الله (صلى الله عليه وسلم) فبايعه هذا أو معنا
Telah mengabarkan kepada kami Abul Qaasim Asy Syahaamiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Al Baihaqi yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Al Al Hafizh Al Isfirayiniy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ali Husain bin ‘Ali Al Hafizh yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Ishaq bin Khuzaimah dan Ibrahim bin Abi Thalib, keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Bindaar bin Basyaar yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Hisyaam Al Makhzuumiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Wuhaib yang berkata telah menceritakan kepada kami Dawud bin Abi Hind yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Nadhrah dari Abu Sa’id Al Khudriy yang berkata “Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat dan orang-orang berkumpul di rumah Sa’ad bin Ubadah dan diantara mereka ada Abu Bakar dan Umar. Pembicara [khatib] Anshar berdiri dan berkata “tahukah kalian bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dari golongan muhajirin dan penggantinya dari Muhajirin juga sedangkan kita adalah penolong Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka kita adalah penolong penggantinya sebagaimana kita menolongnya. Umar berkata “sesungguhnya pembicara kalian benar, seandainya kalian mengatakan selain itu maka kami tidak akan membaiat kalian” dan Umar memegang tangan Abu Bakar dan berkata “ini sahabat kalian maka baiatlah ia”. Umar mulai membaiatnya kemudian diikuti kaum Muhajirin dan Anshar.
Abu Bakar naik ke atas mimbar dan melihat kearah orang-orang dan ia tidak melihat Zubair maka ia memanggilnya dan Zubair datang. Abu Bakar berkata “wahai anak bibi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan penolongnya [hawariy] “apakah engkau ingin memecah belah kaum muslimin?”. Zubair berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah” maka ia membaiatnya. Kemudian Abu Bakar melihat kearah orang-orang dan ia tidak melihat Ali maka ia memanggilnya dan Ali pun datang. Abu Bakar berkata “wahai sepupu Rasulullah dan menantunya apakah engkau ingin memecah belah kaum muslimin?”. Ali berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]” maka ia membaiatnya. Inilah riwayatnya atau dengan maknanya [Tarikh Ibnu Asakir 30/276-277]
Salafy berhujjah dengan riwayat Abu Sa’id di atas dan melemparkan riwayat Aisyah dalam kitab shahih. Mereka mengatakan “bisa saja Aisyah tidak menyaksikan baiat tersebut”. Sayang sekali hujjah mereka keliru, riwayat Aisyah shahih dan tsabit sedangkan riwayat Abu Sa’id mengandung illat [cacat] yaitu pada sisi kisah “adanya pembaiatan Ali dan Zubair”.
Perhatikan kedua riwayat di atas yang kami kutip. Kami membagi riwayat tersebut dalam dua bagian. Bagian pertama yang menyebutkan pembaiatan Abu Bakar oleh kaum Anshar dan bagian kedua yang menyebutkan pembaiatan Ali dan Zubair [yang kami cetak biru]. Bagian pertama kedudukannya shahih sedangkan bagian kedua mengandung illat [cacat] yaitu inqitha’. Perawinya melakukan kesalahan dengan menggabungkan kedua bagian tersebut. Buktinya adalah sebagai berikut.
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عفان ثنا وهيب ثنا داود عن أبي نضرة عن أبي سعيد الخدري قال لما توفى رسول الله صلى الله عليه و سلم قام خطباء الأنصار فجعل منهم من يقول يا معشر المهاجرين ان رسول الله صلى الله عليه و سلم كان إذا استعمل رجلا منكم قرن معه رجلا منا فنرى أن يلي هذا الأمر رجلان أحدهما منكم والآخر منا قال فتتابعت خطباء الأنصار على ذلك قال فقام زيد بن ثابت فقال إن رسول الله صلى الله عليه و سلم كان من المهاجرين وإنما الإمام يكون من المهاجرين ونحن أنصاره كما كنا أنصار رسول الله صلى الله عليه و سلم فقام أبو بكر فقال جزاكم الله خيرا من حي يا معشر الأنصار وثبت قائلكم ثم قال والله لو فعلتم غير ذلك لما صالحناكم
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Affan yang berkata telah menceritakan kepada kami Wuhaib yang berkata telah menceritakan kepada kami Dawud dari Abi Nadhrah dari Abi Sa’id Al Khudriy yang berkata “ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat maka khatib khatib di kalangan anshar berdiri kemudian datanglah salah seorang dari mereka yang berkata “wahai kaum muhajirin sungguh jika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menunjuk salah seorang diantara kalian maka Beliau menyertakan salah seorang dari kami maka kami berpandangan bahwa yang memegang urusan ini adalah dua orang, salah satunya dari kalian dan salah satunya dari kami, maka khatib-khatib Anshar itu mengikutinya. Zaid bin Tsabit berdiri dan berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berasal dari kaum muhajirin maka Imam adalah dari kaum muhajirin dan kita adalah penolongnya sebagaimana kita adalah penolong Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Abu Bakar radiallahu ta’ala anhu berdiri dan berkata “semoga Allah membalas kebaikan kepada kalian wahai kaum Anshar, benarlah juru bicara kalian itu” kemudian ia berkata “ demi Allah, jika kalian mengerjakan selain daripada itu maka kami tidak akan sepakat dengan kalian” [Musnad Ahmad 5/185 no 21657, Syaikh Syu’aib berkata “sanadnya shahih sesuai dengan syarat Muslim”].
Hadis riwayat Ahmad ini juga diriwayatkan dalam Mu’jam Al Kabir Ath Thabrani 5/114 no 4785, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 14/562 no 38195, Ahadits ‘Affan bin Muslim no 307, Tarikh Ibnu Asakir 30/278 dengan jalan sanad ‘Affan bin Muslim. ‘Affan bin Muslim memiliki mutaba’ah yitu Abu Dawud Ath Thayalisi sebagaimana disebutkan dalam Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi 1/84 no 602. Riwayat Wuhaib bin Khalid dengan jalan sanad yang tinggi hanya menyebutkan bagian pertama tanpa menyebutkan bagian kedua. Sedangkan bagian kedua adalah perkataan Abu Nadhrah.
حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ الْقَوَارِيرِيُّ ، نا عَبْدُ الأَعْلَى بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى ، نا دَاوُدُ بْنُ أَبِي هِنْدٍ ، عَنْ أَبِي نَضْرَةَ ، قَالَ : ” لَمَّا اجْتَمَعَ النَّاسُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ مَا لِي لا أَرَى عَلِيًّا ، قَالَ : فَذَهَبَ رِجَالٌ مِنَ الأَنْصَارِ فَجَاءُوا بِهِ ، فَقَالَ لَهُ : يَا عَلِيُّ قُلْتَ ابْنُ عَمِّ رَسُولِ اللَّهِ وَخَتَنُ رَسُولِ اللَّهِ ؟ فَقَالَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : لا تَثْرِيبَ يَا خَلِيفَةَ رَسُولِ اللَّهِ ابْسُطْ يَدَكَ فَبَسَطَ يَدَهُ فَبَايَعَهُ ، ثُمَّ قَالَ أَبُو بَكْرٍ : مَا لِي لا أَرَى الزُّبَيْرَ ؟ قَالَ : فَذَهَبَ رِجَالٌ مِنَ الأَنْصَارِ فَجَاءُوا بِهِ ، فَقَالَ : يَا زُبَيْرُ قُلْتَ ابْنُ عَمَّةِ رَسُولِ اللَّهِ وَحَوَارِيُّ رَسُولِ اللَّهِ ؟ قَالَ الزُّبَيْرُ : لا تَثْرِيبَ يَا خَلِيفَةَ رَسُولِ اللَّهِ ابْسُطْ يَدَكَ فَبَسَطَ يَدَهُ فَبَايَعَهُ “
Telah menceritakan kepadaku Ubaidullah bin Umar Al Qawaariiriy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul A’laa bin ‘Abdul A’laa yang berkata telah menceritakan kepada kami Daawud bin Abi Hind dari Abu Nadhrah yang berkata Ketika orang-orang berkumpul kepada Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu, ia berkata “Ada apa denganku, aku tidak melihat ‘Aliy ?”. Maka pergilah beberapa orang dari kalangan Anshaar yang kemudian kembali bersamanya Lalu Abu Bakr berkata kepadanya “Wahai ‘Ali, engkau katakan engkau anak paman Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam dan sekaligus menantu beliau?”. ‘Ali radliyallaahu ‘anhu berkata : “Jangan mencela wahai khalifah Rasulullah. Bentangkanlah tanganmu” kemudian ia membentangkan tangannya dan berbaiat kepadanya. Kemudian Abu Bakr pun berkata “Ada apa denganku, aku tidak melihat Az-Zubair?”. Maka pergilan beberapa orang dari kalangan Anshaar yang kemudian kembali bersamanya. Abu Bakr berkata “Wahai Zubair, engkau katakan engkau anak bibi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan sekaligus hawariy beliau”. Az-Zubair berkata “Janganlah engkau mencela wahai khalifah Rasulullah. Bentangkanlah tanganmu”. Kemudian ia membentangkan tangannya dan berbaiat kepadanya” [As Sunnah Abdullah bin Ahmad no 1292].
Dawud bin Abi Hind dalam periwayatannya dari Abu Nadhrah memiliki mutaba’ah dari Al Jurairiy sebagaimana yang diriwayatkan Al Baladzuri dalam Ansab Al Asyraf 1/252 dengan jalan sanad Hudbah bin Khalid dari Hammad bin Salamah dari Al Jurairy dari Abu Nadhrah. Hammad bin Salamah memiliki mutaba’ah dari Ibnu Ulayyah dari Al Jurairy dari Abu Nadhrah sebagaimana disebutkan Abdullah bin Ahmad dalam As Sunnah no 1293.
Riwayat Al Jurairy juga disebutkan oleh Ibnu Asakir dengan jalan sanad dari Ali bin ‘Aashim dari Al Jurairy dari Abu Nadhrah dari Abu Sa’id [Tarikh Ibnu Asakir 30/278]. Riwayat Ibnu Asakir ini tidak mahzfuzh karena kelemahan Ali bin ‘Aashim. Yaqub bin Syaibah mengatakan ia banyak melakukan kesalahan. Ibnu Ma’in menyatakan tidak ada apa-apanya dan tidak bisa dijadikan hujjah. Al Fallas berkata “ada kelemahan padanya, ia insya Allah termasuk orang jujur”. Al Ijli menyatakan tsiqat. Al Bukhari berkata “tidak kuat di sisi para ulama”. Daruqutni juga menyatakan ia sering keliru. [At Tahdzib juz 7 no 572]. An Nasa’i menyatakan Ali bin ‘Aashim “dhaif” [Ad Dhu’afa no 430]. Ali bin ‘Aashim dhaif karena banyak melakukan kesalahan dan dalam riwayatnya dari Al Jurairiy ia telah menyelisihi Hammad bin Salamah dan Ibnu Ulayyah keduanya perawi tsiqat. Riwayat yang mahfuzh adalah riwayat dari Al Jurairy dari Abu Nadhrah tanpa tambahan dari Abu Sa’id.
Dengan jalan sanad yang tinggi yaitu riwayat Dawud bin Abi Hind dan riwayat Al Jurairiy dari Abu Nadhrah maka diketahui bahwa bagian kedua yang menyebutkan pembaiatan Ali dan Zubair bukan perkataan Abu Sa’id Al Khudriy melainkan perkataan Abu Nadhrah.
Riwayat Wuhaib yang disebutkan Al Hakim, Baihaqi dan Ibnu Asakir dengan sanad yang panjang menggabungkan kedua bagian tersebut dalam satu riwayat padahal sebenarnya bagian pertama adalah perkataan Abu Sa’id Al Khudriy sedangkan bagian kedua adalah perkataan Abu Nadhrah. Riwayat Ja’far bin Muhammad bin Syaakir dari ‘Affan bin Muslim dari Wuhaib dan riwayat Abu Hisyaam dari Wuhaib memiliki pertentangan yang menunjukkan bahwa riwayat tersebut diriwayatkan dengan maknanya sehingga memungkinkan terjadinya pencampuran kedua perkataan Abu Sa’id dan Abu Nadhrah.
Pada riwayat ‘Affan dari Wuhaib disebutkan kalau yang berkata “sesungguhnya juru bicara kalian benar” adalah Abu Bakar tetapi pada riwayat Abu Hisyaam dari Wuhaib yang mengatakan itu adalah Umar.
Pada riwayat ‘Affan dari Wuhaib disebutkan kalau yang memegang tangan Abu Bakar dan berkata “ini sahabat kalian” adalah Zaid bin Tsabit tetapi dalam riwayat Abu Hisyaam dari Wuhaib yang memegang tangan Abu Bakar dan mengatakan itu adalah Umar.
Riwayat yang tsabit dalam penyebutan baiat Ali dan Zubair kepada Abu Bakar adalahriwayat perkataan Abu Nadhrah sedangkan riwayat Wuhaib dengan sanad yang panjang telah terjadi pencampuran antara perkataan Abu Nadhrah dan Abu Sa’id Al Khudri. Hal ini dikuatkan oleh riwayat Wuhaib dengan sanad yang tinggi tidak terdapat keterangan penyebutan baiat Ali dan Zubair. Abu Nadhrah Mundzir bin Malik adalah tabiin yang riwayatnya dari Ali, Abu Dzar dan para sahabat terdahulu [Abu Bakar, Umar dan Utsman] adalah mursal [Jami’ Al Tahsil Fii Ahkam Al Marasil no 800] maka riwayat yang menyebutkan pembaiatan Ali dan Zubair adalah riwayat dhaif.
Apalagi telah disebutkan dalam riwayat shahih dan tsabit dari Aisyah sebelumnya bahwa baiat Imam Ali kepada Abu Bakar terjadi setelah kematian Sayyidah Fathimah [‘alaihis salam] yaitu setelah enam bulan. Dalih salafy yang melahirkan istilah “baiat kedua” jelas tidak masuk akal karena jika memang riwayat Abu Sa’id benar maka baiat Imam Ali kepada Abu Bakar itu sudah disaksikan oleh kaum muslimin lantas mengapa perlu ada lagi baiat kepada Imam Ali setelah enam bulan dihadapan kaum muslimin. Apalagi setelah enam bulan Abu Bakar malah dalam khutbahnya menyebutkan kalau Ali belum pernah memberikan baiat dan alasannya. Kemusykilan ini terjelaskan bahwa riwayat Abu Sa’id itu dhaif, Abu Sa’id tidak menyebutkan baiat Ali dan Zubair, itu adalah perkataan Abu Nadhrah yang tercampur dengan riwayat Abu Sa’id.
Jadi jika kita melengkapi riwayat Al Hakim dan yang lainnya [tentang penyebutan baiat Ali] dengan riwayat yang mahfuzh maka riwayat tersebut sebenarnya sebagai berikut:
حدثنا أبو العباس محمد بن يعقوب ثنا جعفر بن محمد بن شاكر ثنا عفان بن مسلم ثنا وهيب ثنا داود بن أبي هند ثنا أبو نضرة عن أبي سعيد الخدري رضى الله تعالى عنه قال لما توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم قام خطباء الأنصار فجعل الرجل منهم يقول يا معشر المهاجرين إن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان إذا استعمل رجلا منكم قرن معه رجلا منا فنرى أن يلي هذا الأمر رجلان أحدهما منكم والآخر منا قال فتتابعت خطباء الأنصار على ذلك فقام زيد بن ثابت فقال إن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان من المهاجرين وإن الإمام يكون من المهاجرين ونحن أنصاره كما كنا أنصار رسول الله صلى الله عليه وسلم فقام أبو بكر رضى الله تعالى عنه فقال جزاكم الله خيرا يا معشر الأنصار وثبت قائلكم ثم قال أما لو فعلتم غير ذلك لما صالحناكم ثم أخذ زيد بن ثابت بيد أبي بكر فقال هذا صاحبكم فبايعوه ثم انطلقوا أبو نضرة قال فلما قعد أبو بكر على المنبر نظر في وجوه القوم فلم ير عليا فسأل عنه فقال ناس من الأنصار فأتوا به فقال أبو بكر بن عم رسول الله صلى الله عليه وسلم وختنه أردت أن تشق عصا المسلمين فقال لا تثريب يا خليفة رسول الله صلى الله عليه وسلم فبايعه ثم لم ير الزبير بن العوام فسأل عنه حتى جاؤوا به فقال بن عمة رسول الله صلى الله عليه وسلم وحواريه أردت أن تشق عصا المسلمين فقال مثل قوله لا تثريب يا خليفة رسول الله صلى الله عليه وسلم فبايعاه
Telah menceritakan kepada kami Abul ‘Abbas Muhammad bin Ya’qub yang berkata telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Muhammad bin Syaakir yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Affan bin Muslim yang berkata telah menceritakan kepada kami Wuhaib yang berkata telah menceritakan kepada kami Dawud bin Abi Hind yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Nadhrah dari Abu Sa’id Al Khudriy radiallahu ta’ala ‘anhu yang berkata “ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat maka khatib khatib di kalangan anshar berdiri kemudian datanglah salah seorang dari mereka yang berkata “wahai kaum muhajirin sungguh jika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyuruh salah seorang diantara kalian maka Beliau menyertakan salah seorang dari kami maka kami berpandangan bahwa yang memegang urusan ini adalah dua orang, salah satunya dari kalian dan salah satunya dari kami, maka khatib-khatib Anshar itu mengikutinya. Zaid bin Tsabit berdiri dan berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berasal dari kaum muhajirin maka Imam adalah dari kaum muhajirin dan kita adalah penolongnya sebagaimana kita adalah penolong Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Abu Bakar radiallahu ta’ala anhu berdiri dan berkata “semoga Allah membalas kebaikan kepada kalian wahai kaum Anshar, benarlah juru bicara kalian itu” kemudian ia berkata “jika kalian mengerjakan selain daripada itu maka kami tidak akan sepakat dengan kalian” kemudian Zaid bin Tsabit memegang tangan Abu Bakar dan berkata “ini sahabat kalian maka baiatlah ia” kemudian mereka pergi.
Abu Nadhrah berkata Ketika Abu Bakar berdiri di atas mimbar, ia melihat kepada orang-orang kemudian ia tidak melihat Ali, ia bertanya tentangnya maka ia menyuruh orang-orang dari kalangan Anshar memanggilnya, Abu Bakar berkata “wahai sepupu Rasulullah dan menantunya apakah engkau ingin memecah belah kaum muslimin?”. Ali berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]” maka ia membaiatnya. Kemudian Abu Bakar tidak melihat Zubair, ia menanyakan tentangnya dan memanggilnya kemudian berkata “wahai anak bibi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan penolongnya [hawariy] “apakah engkau ingin memecah belah kaum muslimin?”. Zubair berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah” maka ia membaiatnya
Akhir kata sepertinya Salafy nashibi harus berusaha lagi mengais-ngais riwayat dhaif untuk melindungi doktrin mereka. Atau mungkin akan keluar jurus “ngeyelisme” yang seperti biasa adalah senjata pamungkas orang yang berakal kerdil. Lebih dan kurang kami mohon maaf [kayak bahasa “kata sambutan”].
___________________________________
Mengapa Ali membai’at?
Tanya:
Ali sejak sebelumnya pasti tahu bahwa ia adalah khalifah Tuhan setelah Nabi. Lalu mengapa ia membai’at Abu Bakar, Umar dan Utsman? Jika ia tidak mempunyai kekuatan untuk melawan, maka dia bukan khalifah Tuhan. Jika punya, mengapa tidak menggunakan kekuatan itu? Bukankah itu penghianatan? Apa jawaban anda?
Jawab:
Dalam sejarah tidak pernah tercatat bahwa Ali bin Abi Thalib membai’at Umar dan Utsman. Karena kekhilafahan Umar bin Khattab telah ditentukan oleh Abu Bakar. Orang-orang banyak yang menanyai Abu Bakar, “Mengapa engkau memilih seseorang yang berwatak keras untuk menjadi khalifah? Kelak ia akan menjadi semakin keras dengan begitu. Apa yang akan kau jawab di hadapan Tuhan nanti karena telah menjadikan orang sepertinya sebagai khalifah kami?”Abu Bakar menjawab mereka, “Jawabanku untuk Tuhan kelak adalah: Aku telah memilih orang terbaik untuk menjadi khalifah.” [Al-Kharaj, Abu Yusuf Baghdadi, hlm. 100].
Begitupula kekhilafahan Utsman bin Affan, kekhalifahannya juga atas usaha Abdurrahman bin ‘Auf. Dengan demikian apa arti bai’at Ali bin Abi Thalib? Sama sekali mereka tidak membutuhkan bai’atnya untuk menjadi khalifah.Lalu bagaimana anda menyatakan bahwa Ali membai’at mereka?Adapun mengenai pembai’atan Ali bin Abi Thalib untuk Abu Bakar, dapat dikatakan bahwa menurut Syiah itu bukanlah bai’at. Adapun dalam versi Ahlu Sunah, Ali bin Abi Thalib membai’at Abu Bakar setelah enam bulan dan sepeninggal istrinya, Fathimah Az-Zahra.
Lalu dapat dipertanyakan mengapa Ali bin Abi Thalib mengulur waktu sedemikian lama untuk melakukan perbuatan yang benar (bai’at)? Anggap saja Ali bukan Washi Nabi. Siapapun Ali meski ia bukan Washi Nabi, tak dielakkan bahwa ia pun juga sahabat. Sedang jelas sahabat Nabi seperti apa kedudukannya tetaplah junjungan kita. Lalu mengapa sahabat Nabi ini tidak langsung membai’at Abu Bakar begitu bai’atnya diminta? Apa alasannya? Bahkan istrinya, mengapa ia tidak membai’at Abu Bakar sama sekali sampai akhir hayatnya? Bukankah orang yang meninggal dunia dalam keadaan belum membai’at (mengakui) Imam zamannya mati sebagai matinya orang jahil? [Shaih Muslim, jld. 6, hlm. 22; Sunan Baihaqi, jld. 8, hlm. 156].
Satu lagi, ungkapan penanya yang berbunyi: “Jika ia tidak punya kekuatan, maka ia bukan Khalifah.” Apakah ia mengira kekhilafahan adalah kedudukan yang dapat dicapai dengan pendapat masyarakat? Bagi kami kekhilafahan adalah kedudukan yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Kekhilafahan di mata kami tidak membutuhkan pendapat masyarakat sama sekali. Bagi kami sama seperti kenabian. Apakah menurut anda jika seorang Nabi tidak memiliki kekuatan atau pengikut yang banyak maka ia bukan Nabi?
Pertama: Imam Ali As, sejumlah sahabatnya dan sebagian sahabat Rasulullah Saw pada mulanya tidak memberikan baiat kepada Abu Bakar dan tatkala memberikan baiat hal itu dilakukan semata-mata untuk menjaga Islam dan kemaslahatan pemerintahan Islam.
Kedua, seluruh problema yang ada tidak dapat diselesaikan dengan pedang dan keberanian. Tidak setiap saat otot dan kekuatan fisik harus digunakan. Manusia bijak dan cendekia memecahkan setiap persoalan dengan perantara media-media tertentu.
Ketiga, apabila Imam Ali As memberikan baiat kepada beberapa orang tertentu lantaran kemaslahatan yang bernilai seperti menjaga agama Tuhan dan segala jerih payah Rasulullah Saw maka hal itu tidak bermakna bahwa beliau lebih menguatirkan kekuasaan mereka ketimbang jiwanya atau mereka lebih memiliki kemampuan dan kekuasaan dalam masalah kepemimpinan dan leadership umat Islam.
Keempat, yang dapat disimpulkan dari sejarah dan tuturan Imam Ali bahwa beliau berulang kali menyampaikan protes terhadap situasi dan kondisi di masa tiga khalifah namun upaya maksimal beliau dikerahkan untuk menjaga dan menguatkan pemerintahan Islam di hadapan musuh-musuhnya.
Dengan menyimak sejarah masa awal-awal kemunculan Islam maka menjadi jelas bahwa Pertama, Rasulullah Saw belum lagi dikebumikan orang-orang berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah dan sebagian orang memberikan baiat kepada orang selain Ali As sementara Ali As sedang sibuk mengurus pemakaman Rasulullah Saw, mengafani dan mengebumikan Rasulullah Saw.[1] Sebagaian kecil sahabat beserta pemuka kabilah seperti Abbas bin Abdul Muththalib, Fadhl bin Abbas, Zubair bin Awwam, Khalid bin Sa’id, Miqdad bin Amr, Salman Parsi, Abu Dzar Ghiffari, Ammar bin Yasir, Bara’a bin ‘Azib, Ubay bin Ka’ab tidak memberikan baiat kepada segelintir orang yang berkumpul di Saqifah dan berpihak pada Imam Ali As.[2] Sesuai dengan nukilan lugas dari Ahmad bin Hanbal dalam Musnad 1/55 dan Thabari 2/466 sebagian orang ini berkumpul di rumah Fatimah Zahra As dan menolak memberikan baiat kepada Abu Bakar.[3]
Disebutkan dalam kitab sejarah bahwa Baginda Ali As dalam menjawab mereka yang berkumpul di rumahnya dan permintaan mereka untuk memberikan baiat kepadanya, “Besok pagi datanglah (kemari) dan cukurlah rambut kalian!” Akan tetapi keesokan harinya hanya tiga orang yang datang.[4]
Demikian juga dalam sejarah diriwayatkan bahwa Ali As tidak memberikan baiat selama Fatimah Zahra masih hidup namun tatkala melihat orang-orang mengabaikannya maka beliau terpaksa berdamai dengan Abu Bakar.[5]
Karena itu, Imam Ali As dan sebagian sahabatnya demikian juga sebagian sahabat Rasulullah Saw mula-mula dan hingga masa tertentu pasca wafatnya Rasulullah Saw tidak memberikan baiat kepada Abu Bakar dan tatkala mereka memberikan baiat hal itu dilakukan untuk kemaslahatan dan keselamatan pemerintahan Islam.
Beladzuri dalam menjelaskan sebab mengapa Imam Ali memberikan baiat berkata, “Pasca wafatnya Rasulullah Saw dimana sebagian suku Arab telah murtad, Usman datang ke hadapan Ali dan berkata, “Wahai Putra Paman! Selama Anda tidak memberikan baiat tiada seorang pun yang akan pergi berperang melawan musuh.” Usman senantiasa membicarakan hal ini dengan Ali hingga pada akhirnya Baginda Ali As memberikan baiat kepada Abu Bakar.”[6] Akan tetapi Baginda Ali As sendiri senantiasa menyampaikan keluhan dan protes (terhadap proses perampasan khilafah ini) pada masa Abu Bakar dan setelahnya.
Terkait dengan hal ini, Imam Ali As bersabda, “Ketahuilah! Demi Allah putra Abu Quhafah (Abu Bakar) membusanai dirinya dengan (kekhalifahan) itu, padahal ia tahu pasti bahwa kedudukanku sehubungan dengan itu adalah sama dengan kedudukan poros pada penggiling. Air bah mengalir (menjauh) dariku dan burung tak dapat terbang sampai kepadaku. Aku memasang tabir terhadap kekhalifahan dan melepaskan diri darinya. Kemudian aku mulai berpikir, apakah aku harus menyerang ataukah menanggung dengan tenang kegelapan membutakan dan azab, dimana orang dewasa menjadi lemah dan orang muda menjadi tua, dan orang mukmin yang sesungguhnya hidup di bawah tekanan sampai ia menemui Allah (saat matinya). Aku dapati bahwa kesabaran atasnya lebih bijaksana. Maka aku mengambil kesabaran, walaupun ia menusuk di mata dan mencekik di kerongkongan.”[7]
Adapun terkait mengapa Imam Ali As dengan keberanian yang dimilikinya namun tidak angkat senjata? Maka jawabannya adalah bahwa seluruh problema yang terjadi tidak dapat diselesaikan dengan pedang dan perang. Tidak setiap saat otot dan kekerasan fisik harus digunakan. Manusia bijak dan cendekia memecahkan setiap persoalan dengan media-media tertentu. Memiliki kekuasaan dan kemampuan serta keberaninan di medan perang sekali-kali tidak dapat menjadi dalih untuk melakukan pelbagai perbuatan yang tidak mendatangkan kemasalahatan.
Sebagaimana Nabi Harun As tatkala melihat kaum Musa berpaling menjadi penyembah sapi meski beliau adalah seorang elokuen (fasih) dan merupakan washi (penyampai wasiat) Nabi Musa As akan tetapi beliau tidak melakukan apa pun kecuali menyampaikan kebenaran dan peringatan kepada mereka. Al-Qur’an menandaskan tuturan Harun sebagai jawaban dari protes keras Nabi Musa As atas sikapnya yang berdiam diri tidak mencegah penyembahan sapi Bani Israil, “Harun menjawab, “Hai putra ibuku, janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku; sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku), “Kamu telah memecah antara Bani Isra’il dan kamu tidak memelihara amanahku.” (Qs. Thaha [20]:94).
Ihwal Nabi Ibrahim, al-Qur’an memberitakan bahwa Nabi Ibrahim menjauhkan diri dari penyembah berhala, “Maka ketika Ibrahim sudah menjauhkan diri dari mereka” (Qs. Maryam [19]:49) Demikian juga terkait dengan tindakan para pemuda Ashabul Kahf yang menarik diri dari kaum zalim, “(Kami berkata kepada mereka), “Apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan rahmat-Nya kepadamu dan menghamparkan ketenangan bagimu dalam urusan kamu ini.” (Qs. Al-Kahf [18]:16) Apakah benar kita memandang mereka dalam proses toleransi dan menahan diri ini atau takut atau pengkhianat? Padahal dalam kondisi seperti ini jalan toleransi dan menahan diri merupakan jalan terbaik.
Apabila Imam Ali As memberikan baiat kepada sebagian orang karena kemaslahatan seperti menjaga agama Tuhan dan hasil kerja keras Rasulullah Saw hal ini tidak bermakna bahwa beliau takut dari kekuatan dan kekuasaan mereka atau lebih kurang kekuasaan dan kekuatannya dalam masalah kepemimpinan umat Islam dimana apabila kepemimpinan diserahkan kepadanya maka pada masa-masa tersebut kekuasaan kepemimpinannya dapat dibuktikan.
Baginda Ali As menjelaskan mengapa dirinya tidak angkat senjata. Hal itu disebabkan karena beliau sendiri, sebagaimana yang dijelaskan, “Saya melihat dan mendapatkan bahwa tidak ada pendukung bagi aku kecuali keluarga saya; maka aku hindarkan mereka dari terjerumus ke dalam kematian. Aku terus menutup mata saya walaupun kelilipan. Aku minum walaupun kerongkongan terteguk. Aku bersabar walaupun susah bernapas dan walaupun harus menelan jadam sebagai makanan.”[8]
Pada kesempatan lain, Baginda Ali menjelaskan alasannya mengapa tidak angkat senjata sedemikian, “Apabila aku katakan maka mereka akan menyebut aku serakah akan kekuasaan, tetapi apabila aku berdiam diri mereka akan mengatakan bahwa aku takut mati. Sungguh sayang, setelah segala pasang surut (yang saya alami)! Demi Allah, putra Abu Thalib lebih akrab dengan kematian daripada seorang bayi dengan dada ibunya. “[9]
Kesimpulannya bahwa alasan mengapa Baginda Ali As memberikan baiat kepada para khalifah hal itu bukan lantaran takut (karena semua orang, kawan dan lawan tahu tentang keberaniaan tiada tara yang dimiliki Baginda Ali As) melainkan kurangnya pendukung di jalan kebenaran dan juga didorong oleh kemaslahatan untuk menjaga kesatuan, keutuhan dan kemaslahatan Islam. Sebuah tindakan yang dilakukan oleh setiap pemimpin sejati bahkan Rasulullah Saw sendiri, dimana lantaran kurangnya pendukung dan untuk menjaga pendukung yang sedikit itu dan menjaga kemaslahatan Islam, terpaksa menarik diri dari kaumnya dan berhijrah ke Madinah hingga beliau mendapatkan banyak pengikut yang berujung pada peristiwa Fathu Makkah. Atau pada masa lainnya, Rasulullah Saw terpaksa memilih berdamai dengan orang-orang Musyrik. Apakah tindakan seperti ini dapat disebut sebagai tindakan pengecut bahwa apabila Rasulullah Saw memandang dirinya sebagai Rasululullah lantas mengapa berdamai dengan orang-orang musyrik? Dimana apabila beliau tidak memiliki kekuataan yang dapat menandingi lantas ia tidak memiliki kelayakan untuk menjabat sebagai seorang nabi dan pemimpin?!
Karena itu, Baginda Ali As, meski beliau adalah khalifah Rasulullah Saw, lebih memilih bersabar dan menahan diri. Hal itu didorong oleh keinginan yang luhur untuk menjaga kemaslahatan masyarakat Islam. Karena beliau dengan baik memahami bahwa bukan tempatnya untuk angkat senjata, menghunus pedang dan memamerkan keberanian dan adu otot di jalan Allah. Akan tetapi kondisi masyarakat Islam pasca wafatnya Rasulullah menuntut kesabaran lebih tinggi nilainya ketimbang keberanian. Beliau mengetahui bahwa dalam kondisi seperti ini bahwa menghunus pedang akan lebih banyak dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam untuk melenyapkan dan mencerabut Islam hingga ke akar-akarnya. Karena itu, kemaslahatan pribadi dikorbankan untuk kemaslahatan yang lebih penting yaitu asas Islam.
Catatan Kaki:
[1]. Kanz al-‘Ummâl, 5/652.
[2]. Suyuthi, Târikh al-Khulâfah, hal. 62, Dar al-Fikr, Libanon. Târikh Ya’qubi, 124/125-2. Thabari, Târikh al-Umam wa al-Muluk, jil. 2, hal. 443, Istiqamat, Kairo. Musnad Ahmad, jil. 3, hal. 165, Dar al-Shadir.
[3]. Ibid.
[4]. Ma’âlim al-Madrasatain, Allamah ‘Askari, jil. 1, hal. 162.
[5]. Thabari, Târikh al-Umam wa al-Muluk, 2/448, Istiqamat, Kairo.
[6]. Ansab al-Asyrâf, 1/587.
[7]. Nahj al-Balâgha, Khutbah 3, hal. 45.
[8]. Nahj al-Balâgha, Khutbah 36, hal. 73.
[9]. Nahj al-Balâgha, Khutbah 5, hal. 51.
___________________________________
Telah ditentukannya kekhalifahan Imam Ali as
Jika Imam Ali as memang telah ditunjuk oleh Rasulullah saw untuk menjadi khalifah, lalu mengapa beliau bersedia membai’at Abu Bakar? Kalau beliau membai’at Abu Bakar, berarti beliau memang tidak ditentukan nabi sebagai khalifah, atau paling tidak berarti beliau telah menyerahkan haknya kepada orang lain.
Pertanyaan ini memiliki dua sisi:
1. Telah ditentukannya kekhalifahan Imam Ali as oleh nabi.
2. Imam Ali as membai’at Abu Bakar.
Tentang telah ditentukannya kekhalifahan Imam Ali as oleh nabi, dalil-dalilnya sangat banyak dan jelas sekali. Dalil-dalil tersebut tentunya sangat lebih dari cukup bagi orang yang berniat mencari kebenaran tanpa fanatisme. Dalil-dalil tersebut diantaranya adalah:
1. Hadits Yaumul Indzar: Rasulullah saw sejak hari pertama beliau mengumumkan kenabiannya kepada keluarga besarnya telah menjelaskan kekhalifahan Imam Ali as. Di hari yang dikenal dengan Yaumul Indzar atau Yaumud Daar, dalam ucapan-ucapannya kepada Bani Hasyim beliau berkata: “Aku diutus oleh Allah swt untuk mengajakmu kepada kebaikan dunia dan akherat. Siapakah di antara kalian yang bersedia untuk membantuku dalam hal ini?”
Beliau menanyakan hal yang sama sebanyak tiga kali namun tak ada yang menjawab beliau selain Ali bin Abi Thalib as. Dua kali Rasulullah saw memintanya untuk diam, namun kali ketiga beliau menerimanya. Lalu beliau bersabda: “Ia adalah saudaraku, pewarisku, dan khalifah setelahku di antara kalian. Maka dengarkanlah perkataannya dan taati ia.”[1]
2. Hadits Manzilah: Selain itu sering sekali beliau menjelaskan kepada semua orang tentang kedudukan Imam Ali as baginya. Ungkapan-ungkapan yang beliau gunakan dalam ucapannya menunjukkan bahwa Imam Ali as adalah pengganti sepeninggal beliau. Saat Imam Ali as kesal mendengar ucapan-ucapan orang munafik, beliau mengadukannya kepada Rasulullah saw. Kemudian nabi berkata kepadanya: “Wahai Ali, tidakkah engkau ridha di sisiku berkedudukan bagai Harun as di sisi Musa as? Hanya saja tidak ada nabi setelahku.”[2] Di riwayat lain disebutkan: “Bagiku engkau seperti Harun as di sisi Musa as, hanya saja tak ada nabi setelahku.”[3]
Dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa kedudukan Imam Ali as di sisi nabi bagaikan kedudukan Harun as di sisi Musa as. Jelas jika seandainya dulu nabi Harun as masih hidup, ia pasti menjadi pengganti nabi Musa as.
3. Hadits Tsaqalain: Beberapa kali Rasulullah saw mengucapkan hadits ini. Beliau bersabda: “Sesungguhnya aku meninggalkan dua hal berharga bagi kalian yang jika kalian berpegang teguh kepada keduanya kalian tidak akan pernah tersesat selamanya, dan salah satunya lebih agung dari lainnya: Kitab Allah swt, tali yang menjulur dari langit ke bumi, dan yang kedua Ahlul Baitku; keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya masuk ke dalam telaga surga. Maka lihatlah bagaimana diri kalian kelak akan bersikap.”[4] Dalam hadits tersebut beliau menjelaskan bahwa Al-Qur’an adalah pegangan utama umat Islam dan Ahlul-Bait adalah penafsir Al-Qur’an yang harus dijadikan rujukan. Karena Imam Ali as adalah Ahlul-Bait nabi, hendaknya umat Islam menjadikannya rujukan sepeninggal nabi.
4. Hadits Ghadir: Begitu juga saat Rasulullah saw berada di Ghadir Khum, setelah beliau meminta kesaksian dari seluruh umat Islam bahwa dirinya lebih dahulu daripada harta dan jiwa mereka, beliau bersabda: “Barang siapa menjadikanku tuannya, maka hendaknya menjadikan Ali sebagai tuannya pula. Ya Tuhan, tolonglah orang yang menolongnya, dan hinakanlah orang yang menghinanya.”[5]
Ahlu Sunah Meragukan Hadits Ghadir.
Meskipun Ahlu Sunah dikenal meragukan hadits Ghadir sebagai bukti kekhalifahan Imam Ali as, namun dengan melihat indikasi-indikasi sebelum dan sesudah beliau mengucapkan hadits itu, kenyataannya akan jelas bahwa yang dimaksud “tuan” dalam hadits tersebut berarti “pemimpin”. Sebelum mengucapkan hadits itu Rasulullah saw meminta kesaksian umatnya: “Bukankah aku paling berhak atas kalian? Atas jiwa dan harta kalian?” Setelah semua orang mengiyakan, beliau menyatakan bahwa demikian juga Ali bin Abi Thalib memilki wewenang yang sama sepertinya. Lalu setelah itu nabi berdoa agar melaknat orang yang memusuhi Ali bin Abi Thalib as dan menolong orang yang menolongnya. Nabi juga menjelaskan bahwa mencintai Ali as berarti mencintai Allah swt dan nabi-Nya, memusuhi Ali as juga berarti memusuhi Allah swt dan nabi-Nya. Hal-hal sedemikian rupa membuktikan bahwa maksud Rasulullah dalam hadits Ghadir adalah menyatakan kepada semua orang bahwa Imam Ali as adalah pengganti sepeninggal beliau.
Alasan Imam Ali as membai’at Abu Bakar
Adapun Imam Ali as membai’at Abu Bakar, jika itu memang benar, hal itu tidak bertentangan dengan telah ditentukannya kekhalifahan Imam as oleh nabi. Karena tugas beliau adalah memimpin umat; entah beliau diangkat oleh umatnya ataupun tidak, beliau tetap dapat menjalankan tugasnya semaksimal mungkin yang beliau bisa. Imam Ali as membai’at Abu Bakar karena tidak ingin menimbulkan kericuhan di dalam umat Islam. Karena jika tidak maka kekacauan dan perpecahan tersebut akan digunakan oleh musuh-musuh Islam dari Luar, seperti Roma dan Persia saat itu, untuk menyerang dan menghancurkan Islam. Dengan kebijakan tersebut Imam Ali as dapat menghindari keributan di dalam demi memfokuskan fikiran umat Islam bersama untuk menghadapi bahaya musuh-musuh di luar.
Dalam segala keadaan Imam Ali as rela mengorbankan apapun demi Islam. Bagaikan seorang ibu sejati yang rela mengorbankan nyawanya pun demi anaknya.[6] Imam Ali as sendiri berkata: “Demi Allah, aku sama sekali tidak berfikir bahwa Arab akan merampas kekhalifahan dari tangan Ahlul Bait dan menjauhkannya dariku. Aku melihat mereka berbondong-bondong membai’at seseorang. Aku pun enggan untuk membai’atnya. Namun aku melihat ada sekelompok orang yang hendak menghancurkan agama Muhammad saw. Maka aku takut jika aku tidak berbuat apa-apa untuk Islam dan Muslimin maka akan timbul perpecahan di dada Islam, yang mana musibah itu bagiku lebih besar daripada kehilangan kedudukan yang menurut kalian sangat diidamkan.”[7]
Untuk mengkaji lebih jauh:
1. Allamah Sayid Muhammad Husain Husaini Thabthabai, Emam Shenashi, penerbit Hekmat, 1421, jil. 4-7.
2. Sayid Syarafuddin Al-Musawi, Rahbari e Emam Ali as Dar Qor’an va Sonnat, terjemahan Muhammad Ja’far Emami, Moawenat e Farhanggi Sazman e Tablighat, 1370.
Hadits akhir:
Rasulullah saw bersabda: “Wahai Bani Hasyim! Sesungguhnya saudaraku, pewarisku, dan penggantiku di antara keluargaku adalah Ali bin Abi Thalib as. Ia yang akan menunaikan hutang-hutangku dan menjalankan tugas-tugasku.”[8]
Referensi:
[1] Muhammad bin Jarir Thabari, Tarikh Thabari, jil. 2, hal. 321, Tahkik: Muhammad Abul Fadhl Ibrahim; Abdul Rahman bin Muhammad bin Khuldun,Tarikh Ibnu Khuldun, jil. 1, hal. 647; Al-Kamil, jil. 2, hal. 32.
[2] Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Atsir, Usdul Ghabah Fi Ma’rifati Ash-Shahabah, jil. 3, hal. 601.
[3] Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyiiz Ash-Shahabah, Tahkik: Adil Ahmad Abdul Maujud dan Ali Muhammad Mu’awidh, jil. 3, hal. 1097;Ahmad bin Yahya bin Jabir Baladzari, Ansab Al Asyraf, Tahkik: Muhammad Hamidullah, jil. 2, hal. 94.
[4] Usdul Ghabah, jil. 1, hal. 490.
[5] Ibid, jil. 1, hal. 439; Abul Fida’ Ismail bin ‘Amr bin Katsir Al-Dimashqi, Al-Bidayah wa An-Nihayah, jil. 5, hal. 210.
[6] Di jaman Umar ada dua orang wanita berselisih mengaku seorang bayi sebagai anaknya. Supaya dapat membuktikan siapa ibu anak itu yang sebenarnya, Imam Ali as berencana untuk memotong anak menjadi dua lalu dibagikan tiap potongnya kepada setiap wanita itu. Salah seorang wanita itu bersedia, namun satunya lagi tidak bersedia dan berkata: “Jangan, lebih baik berikan saja jatahku untuk wanita itu.” Lalu akhirnya Imam Ali menyatakan bahwa ibu yang tidak bersedia anaknya dipotong itu adalah ibu yang sebenarnya. (Qezavat Haye Mohayerol Oqul, Sayid Hasan Muhsin Amin ‘Amili, hal. 37)
[7] Nahjul Balaghah, Faidz Al-Kashani, surat ke 62.
[8] Amali Thusi, 602/1244.
___________________________________
Ali pengganti nabi.
Pada suatu hari Dhirar bin Dhab, salah seorang ulama Ahlu Sunah, berkata kepada Yahya bin Khalid, wazir Harun Ar Rasyid: “Aku siap untuk berdebat. Siapapun yang berani mengajakku, silahkan.”
Yahya: “Apa kamu siap berdebat tentang ‘Rukun Syiah’?”
Dhirar: “Aku siap, dengan siapapun saja.”
Akhirnya Yahya pun menawarkannya untuk berdebat dengan Hisyam bin Hakam, seorang murid Imam Shadiq. Demikian perdebatan itu:
Hisyam: “Tentang imamah (ke-imam-an), apakah kelayakan seseorang untuk menjadi imam dan pemimpin ada di batin (yang tidak nampak) atau di lahir (yang nampak)?”
Dhirar: “Kita memahami dari lahir. Karena kita tidak bisa mengetahui batin seseorang kecuali nabi yang mendapatkan pengetahuan dari wahyu.”
Hisyam: “Benar yang kau katakan. Coba katakan padaku, jika dilihat dari segi lahiriah, antara Ali dan Abu Bakar, siapa yang sering membela nabi dengan pedang dan nyawanya? Menembus barisan musuh membasmi orang-orang yang memusuhi nabi? Siapa yang paling berperan dalam kemenangan-kemenangan umat Islam dalam peperangan mereka?”
Dhirar: “Ya, memang dari segi perang berperang, Ali memang unggul. Namun Abu Bakar punya kriteria maknawiah yang tidak dipunyai Ali, dan Abu Bakar lebih tinggi darinya.”
Hisyam: “Bukannya kriteria maknawi itu adalah perkara batin? Bukannya kau katakan tadi kamu tidak bisa menilai seseorang dari batinnya? Kamu dapat berkata begitu kalau nabi memang pernah menyatakan keunggulan Abu Bakar atas dasar wahyu yang beliau terima. Namun nyatanya nabi lebih sering mengungkap keutamaan-keutamaan Ali bin Abi Thalib. Misalnya beliau berkata, “Waha Ali, engkau di sisiku bagai Harun di sisi Musa.” Apakah nabi pernah mengatakan perkataan seperti itu tenang Abu Bakar? Lalu jawab juga pertanyaanku ini, apakah ketika nabi berkata seperti itu, perkataannya tidak sesuai dengan apa yang ada di batin Ali? Apakah perkataan nabi salah dan wahyu itu salah?”
Hisyam pun tidak menjawab pertanyaannya. Lalu Hisyam berkata, “Bukankah dari segi lahir dan batin Ali bin Abi Thalib lebih layak untuk menjadi khalifah dari pada Abu Bakar?”[1]
Referensi:
[1] Fushulul Mukhtarah, Sayid Murtadha, jilid 1, halaman 9; Qamus Ar Rijal, jilid 9, halaman 342.
___________________________________
Peristiwa Saqifah yang penuh keributan.
Tanya: Yang jelas Ali hanya duduk di rumah… Pertamanya, Anshar menentang Abu Bakar dan bersikeras untuk membai’at Sa’ad bin ‘Ubadah namun akhirnya semuanya membai’at Abu Bakar. Bai’at mereka mungkin memiliki salah satu dari beberapa alasan ini:
1. Mereka dipaksa membai’at.
2. Akhirnya mereka sadar bahwa Abu Bakar layak untuk menjadi khalifah.
3. Mereka asal membai’at begitu saja, tanpa ada tujuan.
Karena yang pertama dan ketiga tidak mungkin, dan tidak ada kemungkinan keempat; jadi yang benar adalah yang kedua. Betul bukan?
Jawab: Padahal sebelumnya penanya pernah menyatakan bahwa semua sahabat telah membai’at Abu Bakar, namun di sini ia berkata bahwa Anshar tidak membai’atnya, namun akhirnya mereka pun membai’at Abu Bakar.
Sejarah mencatat bahwa dalam peristwia Saqifah, hanya pemimpin kaum Aus yang membai’at Abu Bakar; karena kaum Aus berkeyakinan bahwa kalau sampai orang-orang Khazraj memilih seorang pemimpin untuk mereka, mereka pasti akan membanggakan itu dan kaum Aus tidak akan mendapatkan apa-apa, oleh karenanya pemimpin Kaum Aus bangkit membai’at Abu Bakar.[1]
Kalau begini kenyataannya, bagaimana bisa dikatakan semua kaum Anshar membai’at Abu Bakar?
Sepertinya penanya mengira peristiwa Saqifah berjalan lancar dan dengan tanpa ada perdebatan dan percekcokan. Jika ia membaca sejarah Saqifah dengan benar, pasti ia akan fahami bagaimana kenyataannya.
Baiklah, di sini saya akan menggambarkan peristiwa Saqifah untuk para pembaca secara singkat:
Hanya ada tiga orang dari kaum Muhajirin saat itu, mereka adalah Abu Bakar, Umar dan Abi ‘Ubaidah Jarrah.
Thabari menulis: Kaum Muhajirin sedang bersiap untuk memandikan dan mengkafani jenazah Rasulullah Saw. Sedangkan kaum Anshar berkumpul di Saqifah membentuk satu kelompok. Mereka sengaja mengadakan suatu perundingan guna menentukan khalifah tanpa dihadiri kaum Muhajirin. Tiba-tiba datang dua orang penentang Sa’ad bin ‘Ubadah yang bernama Mu’an bin ‘Uday dan ‘Uwaiyam bin Sa’idah datang[2] dan berkata kepada Abu Bakar: “Bibit fitnah telah tertanam! Anshar berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah untuk membai’at Sa’ad bin ‘Ubadah menjadi khalifah.” Abu Bakar tanpa memberitahukan orang-orang Muhajirin yang lainnya bergegas menuju Saqifah bersama Umar dan Abu Ubaidah. Dengan demikian mereka meninggalkan upacara pemandian dan pemakaman jenazah Nabi.
Mereka sampai di Saqifah sedang Sa’ad bin ‘Ubadah berpidato yang isinya:
“Wahai kaum Anshar, kalian telah memeluk Islam lebih dahulu. Oleh karena itu kalian memiliki keutamaan dibanding yang lainnya. Bangkitlah dan genggamlah tali kendali urusan ini.”
Abu Bakar berkata: “Tuhan telah mengutus Muhammad saw sebagai Nabi dan kaum Muhajirin lah yang telah mengimaninya terlebih dahulu.”
Lalu Abu Bakar menyinggung masalah pertikaian antara dua kabilah dalam Anshar, yakni Uais dan Khazraj; yang mana jika Uais berkuasa, pasti Khazraj tidak terima, begitu juga sebaliknya.
Ketika pembicaraan Abu Bakar telah usai, Habbab bin Mundzir, seorang sahabat dari Anshar bangkit dan berkata, “Hai Anshar, bangkitlah, rebutlah kekuasaan ini! Banyak penentang kalian yang hidup di bawah bayangan kalian, namun mereka sama sekali tidak akan berani menentang kalian.” Lalu ia menghadap ke arah Abu Bakar seraya berkata, “Sumpah demi Tuhan, tidak ada yang bisa menentang perkataanku kecuali aku akan menghantam hidungnya dengan pangkal pedang ini!”
Umar berkata kepadanya, “Semoga Tuhan membinasakanmu!”
Ia menjawab, “Engkau yang akan dibinasakan Tuhan!”
Akhirnya semua orang bangkit merampas pedangnya dan menenangkannya.
Tak lama kemudian Umar berpidato. Nada bicaranya begitu keras dalam menentang perkataan Habbab bin Mundzir. Ia berkata: “Arab tidak akan pernah tunduk di hadapan kalian dan mustahil menerima kalian sebagai khalifah. Sungguh Nabi dari pihak selain Anshar.”
Sejenak suasana menjadi sepi. Lalu berdirilah Basyir bin Sa’ad, dari kabilah Khazraj. Ia adalah sepupu Sa’ad bin ‘Ubadah yang begitu membencinya. Ia memecah keheningan dengan berteriak, “Nabi dari Quraisy, dan keluarga Nabi lebih layak untuk memimpin setelahnya.”
Abu Bakar menggunakan kesempatan ini lalu berkata, “Bai’atlah salah satu di antara Umar atau Abu Ubaidah.” Ucapannya itu sebenarnya tidak terlalu serius, hanya pembukaan agar kedua orang tersebut membawa Abu Bakar maju ke depan lalu keduanya membai’at Abu Bakar. Tanpa basa basi, Abu Bakar menjulurkan tangannya untuk dibai’at. Basyir bin Sa’ad pun juga senang dan membai’atnya.
Habbab bin Mundzir dari Anshar berkata, “Engkau adalah anak durhaka Khazraj yang penuh kedengkian!” Dengan demikian, pimpinan Aus yang sempat senang dengan pengunduran diri kaum Khazraj berbincang-bincang dengan anggota kabilah lalu berkata kepada mereka, “Jika Khazraj mencuri kekhilafahan ini, artinya mereka akan mendapatkan keutamaan yang spesial, jadi lebih baik kita membai’at Abu Bakar saja.”
Setelah para pembesar Aus membai’at Abu Bakar, mulailah percekcokan terjadi, dan Sa’ad bin ‘Ubadah yang sedang sakit hampir saja terbunuh.
Umar berteriak, “Bunuhlah Sa’ad! Semoga Tuhan membunuhnya. Ia adalah orang munafik dan penebar fitnah.” Anak Sa’ad yang bernama Qais bin Sa’ad marah atas kelancangan Umar dan menggenggam jenggotnya seraya berkata, “Kalau sampai ada satu helaipun rambut ayahku yang tercabut, aku tidak akan membiarkan ada satupun gigimu yang tersisa.”
Muhajirin yang hadir di Saqifah tidak merasa cukup hanya dengan bai’at itu saja. Mereka pergi keluar Saqifah dan mendatangi masjid. Secara bertahap mereka mengambil bai’at dari setiap orang. Namun mereka terhambat dengan keberadaan 18 orang dari Bani Hasyim di rumah Fathimah Azzahra as. Mereka tidak mau membai’at Abu Bakar, bagi mereka pemimpin yang sebenarnya adalah Ali as. Mereka memaksa 18 orang tersebut sedemikian rupa yang mana apa yang seharusnya tak terjadi akhirnya terjadi juga dan sejarah telah mencatatnya, saya tidak ingin menyinggungnya di sini.[3]
Dengan ulasan di atas, ada beberapa poin yang menjadi jelas:
1. Apa yang terjadi di Saqifah, semuanya berada di luar kemaslahatan Islam dan umatnya. Yang ada hanyalah pertikaian antar kelompok yang saling berebut kekuasaan. Anshar membanggakan pertolongannya terhadap Nabi saat berhijrah, Muhajirin membanggakan kebersamaan mereka dengan Nabi. Mereka saling membanggakan diri dan melupakan perintah Tuhan dan pesan Nabi-Nya.
2. Pada dasarnya, dari sekumpulan orang yang hadir di Saqifah, hanya ada empat orang yang membai’at Abu Bakar; dua orang dari Muhajirin, yakni Umar dan Abu ‘Ubaidah, dan dua orang lagi dari Anshar, yang bernama Basyir bin Sa’ad dari Khazraj dan Usaid bin Khadhir dari Uais. Selebihnya sama sekali tidak dijelaskan bagaimana pendapat mereka, karena mereka dianggap telah terwakili oleh pemimpin mereka.
3. Peristiwa Saqifah berlangsung dengan penuh pertikaian dan kekerasan yang tak patut.
Akhirnya bai’at pun terjadi dan Sa’ad bin ‘Ubadah pimpinan kaum Khazraj terbunuh di tengah gurun dan dikira jin adalah pembunuhnya, lalu dikenal dengan sebutan “orang yang dibunuh jin”.
Thabari menukil dari Umar bin Khattab mengenai Saqifah: “Sungguh peristiwa yang tak terorganisir dan tidak jelas, sama seperti yang sering terjadi di masa Jahiliah.”[4] Bahkan setelah itu Umar sendiri berkata dengan jelas, “Sungguh bai’at Abu Bakar adalah keputusan yang terburu-buru dan tak dilandasi oleh pemikiran. Semoga Tuhan menjauhkan kita dari keburukannya.”[5]
Referensi:
[1] Tarikh Thabari, jld. 2, hlm. 458.
[2] Ibid
[3] Silahkan merujuk Tarikh Thabari, jld. 2, peristiwa tahun 11 Hijriah, hlm. 456;Tarikh Ibnu Atsir, jld. 2, hlm. 137; ‘Aqdul Farid, jld. 2, hlm. 249; dan masih banyak lagi…
[4] Tarikh Thabari, jili d2, hlm. 459.
[5] Ibid, jld. 2, hlm. 446.
___________________________________
Bukankah kekhalifahan Abu Bakar sah?
Tanya: Menurut kami kekhalifahan Abu Bakar sah karena dua hal: pertama, karena para sahabat menerimanya dan tidak ada yang bertentangan dengan itu; kedua, Ali tidak menentang Abu Bakar bahkan sampai memeranginya. Benarkah demikian?
Jawab: Anda katakan para sahabat menerima Abu Bakar sebagai khalifah. Ini hanya ungkapan tak beralasan. Ternyata anda tidak tahu bagaimana ceritaSaqifah. Banyak sekali percekcokan seputar kekhilafahan Abu Bakar; saya hanya membawakan beberapa contoh saja:
1. Kaum Khazraj, yang jumlahnya adalah separuh dari Anshar, tidak membai’at Abu Bakar; karena mereka sebelumnya sudah berniat untuk menjadikan Sa’ad bin ‘Ubadah sebagai khalifah. Namun karena Sa’ad bin ‘Ubadah tidak dapat diharapkan lagi dalam peristwia Saqifah, akhirnya mereka berkata, “Kami tidak membai’at siapapun selain Ali.” Pimpinan kelompok ini suatu saat pergi meninggalkan Madinah menuju Syam karena takut pemerintah akan menjatuhkan hukuman atas pendapatnya. Namun pada akhirnya ia diteror di Syam dan mati secara tragis sampai-sampai semua orang berkata ia dibunuh jin!
2. Bani Hasyim dan sekelompok sahabat tetap tinggal di rumah Nabi dan enggan berbai’at. Karena itu mereka pun diancam dibakar di dalam rumah itu. Dan ini adalah masalah yang tidak dapat diingkari.
Umar bersama kawan-kawannya mendatangi rumah Ali as lalu ia mencelakai putri Nabi dengan mengancam, “Aku akan bakar rumah ini!” Mereka ingin Ali keluar lalu membai’at Umar. Kejadian bersejarah ini benar-benar tercatat jelas.[1]
Lalu mengapa Ali bin Abi Thalib as tidak melawan? Sebelumnya telah dijelaskan dan bahkan beliau sendiri telah menerangkan alasan “diam”nya.[2] Beliau tidak ingin memperunyam suasana saat itu dengan tindakan yang gegabah hanya karena masalah kekuasaan yang dikejar oleh mereka. Lagi pula itu juga telah diwasiatkan oleh Nabi kepada beliau. Namun bukan berarti Imam Ali as selalu diam di hadapan siapapun, buktinya ia juga pernah memerangi kaum Qasithin,Nakitsin dan Mariqin.
Referensi:
[1] Al-Mushafi Ibnu Syaibah, jld. 8, hlm. 572; Ansabul Asyraf, Baladzari, jld. 1, hlm. 586; Al-Imamah wa As Siyasah, Ibnu Qutaibah, jld. 1, hlm. 12 dan 13;Thabari, jld. 2, hlm. 443; Al-Aqdul Farid, Ibnu Abdul Barr, jld. 4, hlm. 87; Al-Istiy’ab, jld. 3, hlm. 979; dan…
[2] Nahjul Balaghah, khutbah 56.
___________________________________
Di masa kekhalifahan Ali justru umat Islam berikhtilaf
Tanya: Pada masa pemerintahan dua khalifah pertama, Islam mendapatkan kejayaan bermacam-macam seperti memenangkan negri-negri seberang. Islam tidak mengalami kejayaan lain yang lebih besar dari masa itu; apa lagi di masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib yang kalian anggap sebagai Imam maksum, umat Islam malah berikhtilaf di dalam. Bukankah demikian?
Jawab: Jika anda menganggap keunggulan seorang pemimpin terletak pada luasnya kekuasan secara geografis, maka sungguh Abu Bakar dan Umar lebih mulia dari Nabi Muhammad Saw! Karena kekuatan yang dimiliki oleh Islam (di jaman nabi) saat itu lebih kecil dari masa-masa pemerintahan dua khalifah pertama.
Apakah anda tidak salah mengatakan tidak ada masa Islam yang lebih berjaya dari masa itu? Jika yang anda tekankan adalah luasnya daerah kekuasaan Islam, di masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid, kekuasaan Islam lebih luas dari yang pernah ada sebelumnya. Kalau begitu Harun seharusnya lebih tinggi dari semua khalifah, bahkan dari Nabi!
Hal yang mungkin anda lupakan adalah, menyebarnya Islam dengan cepat bukanlah berkat pemerintahan dua khalifah itu (Abu Bakar dan Umar); namun karena memang ajaran Islam mengandung pesan-pesan mulia yang dapat diterima semua orang.
Syi’ar “laa ilaaha illallah” (tiada Tuhan selain Allah) menyerukan teriakan keadilan sosial yang begitu menarik perhatian semua orang. Selain itu memang juga ada budaya Jihad dan Kesyahidan yang begitu berpengaruh dalam hal ini.
Ikhtilaf umat Islam di masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib justru buah yang dihasilkan oleh kekhalifahan sebelumnya, khususnya khalifah ketiga yang mana ia telah menyebarkan hasrat kecintaan pada harta benda. Ulah khalifah ketiga lah yang membuat umat Islam berpecah belah. Karena Ali memaksa umatnya untuk kembali ke masa kenabian Rasulullah Saw, kaum pecinta dunia jelas menentangnya lalu dengan bantuan harta yang telah mereka timbun sebelumnya mereka bangkit berperang melawan Ali. Ali pun berdasarkan Al-Qur’an dan perintah Nabi dengan teguh menghadapi, dan bahkan memerangi mereka.[1]
Oleh karenanya itu ikhtilaf yang ada tidak bisa dikaitkan kepada kekhalifahan Ali bin Abi Thalib; karena ikhtilaf tersebut muncul dikarenakan didikan khalifah sebelumnya yang membuat mereka enggan menerima pemerintahan Ilahi yang sebenarnya.
Referensi:
[1] Shahih Ibnu Hayyan, jld. 15, hlm. 258; Mustadrak Al-Hakim, jld. 3, hlm. 122;Musnad Ahmad bin Hambal, jld. 17, hlm. 360, hadits 11258.
___________________________________
Nama para khalifah pada anak-anak Ali?
Tanya: Mengapa Ali bin Abi Thalib memberi nama anak-anaknya dengan nama para khalifah?
Jawab: Kita mengetahui bahwa nama ketiga khalifah, yakni Abu Bakar, Umar dan Utsman, bukanlah nama spesial yang hanya khusus dimiliki mereka saja. Sesungguhnya nama-nama tersebut memang sudah ada dan sering digunakan di tengah-tengah masyarakat Arab baik setelah Islam maupun sebelumnya. Jadi pemberian nama tersebut didak memiliki arti apa-apa yang berkenaan dengan para khalifah. Anda dapat merujuk ke kitab-kitab Rijal seperti Al-Istii’aab tulisan Ibnu Abdul Barr dan Usd Al-Ghabah tulisan Ibnu Atsir untuk mencari tahu siapa saja sahabat nabi yang juga memiliki nama Abu Bakar, Umar dan Utsman.
Di sini kami ingin membawakan bukti kecil dari Usd Al-Ghabah, bahwa ada beberapa sahabat yang namanya juga Umar. Seperti: Umar Al-Aslami, Umar Al-Jam’i, Umar bin Al-Hakam, Umar bin Salim Al-Khaza’i, Umar bin Saraqah, Umar bin Sa’ad Al-Anmari, Umar bin Sa’ad As Salami, Umar bin Sufyan, Umar bin Abi Salamah, Umar bin Amir As Salami, Umar bin Abaidillah, Umar bin ‘Akramah, Umar bin ‘Amr bin Lahiq, Umar bin Malik bin Aqabah, Umar bin Malik Al-Anshari, Umar bin Mu’awiyah Al-Ghadhiri, Umar bin Yazid, Umar bin Al-Yamani.
Semua itu adalah nama-nama yang pernah disebutkan oleh Ibnu Atsir dalam kitabnya. Padahal itu baru sahabat saja, masih banyak lagi yang termasuk Tabi’in yang memiliki nama Umar juga. Oleh karena itu nama-nama tersebut adalah nama biasa di kalangan Arab dan sering dipakai oleh siapa saja; bukan nama spesial yang hanya dimiliki ketiga khalifah.
Dengan demikian, hanya karena nama yang sama kita tidak bisa mengingkari kezaliman-kezaliman yang pernah dilakukan terhadap Ahlul Bait sepanjang sejarah.
Perlu ditambahkan lagi, bahwa para Imam di saat-saat terdesak yang sekiranya kondisi itu menyulitkan pengikut-pengikutnya, mereka berhak melakukan tindakan-tindakan seperti memberi nama anak-anak mereka dengan nama para khalifah, menjalin ikatan dengan khalifah dengan cara menikahkan anak-anak mereka, atau dengan cara lainnya. Tentu tujuannya adalah untuk mencari aman dari tekanan pemerintah zalim saat itu. Lalu dengan demikian para khalifah tidak bisa sewena-wena lagi terhadap mereka, dan tak bisa menyalahgunakan kedudukannya untuk melakukan kezaliman kepada umat Syiah.
___________________________________
Bai’at Ali bin Abi Thalib untuk khalifah
Tanya: Bukankah Ali bin Abi Thalib telah membai’at khalifah? Artinya kekhalifahan itu benar bagi Ali?
Jawab: Syiah berkeyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib tidak membai’at siapapun. Karena ia mengaku bahwa dirinya-lah khalifah yang telah ditetapkan Tuhan. Namun ternyata kekhilafahan jatuh ke tangan orang lain, yang kemudian “kemaslahatan bersama” menuntutnya untuk menyertai mereka. Ia sendiri pernah berkata:
“Aku melihat bahwa jika aku bersikeras mengambil hakku (kekhalifahan), maka Islam yang ada sekarang ini pun juga akan musnah.”[1]
Ia tidak menemukan cara lain selain menyertai khalifah-khalifah yang ada dan membimbing mereka.
Bahkan ketika sebagian orang-orang Arab menolak untuk membayar zakat, dan akhirnya mereka dikecam, beliau pun juga tidak bisa melakukan apa-apa selain diam. Namun tidak selamanya seperti itu, pada saat-saat tertentu ia menguak kenyataan yang ada dan berseru mengingatkan masyarakat akan hak-haknya.
Menurut para perawi Ahlu Sunah, Ali bin Abi Thalib membai’at khalifah sepeninggal Fathimah Az-Zahra. Namun selama Fathimah Az-Zahra masih hidup, ia terus menerus kesal terhadap Abu Bakar dan tidak mau berbicara dengannya karena marah.[2]
Anggap saja Ali bin Abi Thalib memang betul telah membai’at khalifah sepeninggal istrinya. Namun seluruh ahli hadits bersepakat bahwa Fathimah Az-Zahra sampai akhir hayatnya tidak pernah membai’at bahkan berpaling dari mereka.
Ibnu Hajar dalam Syarah Shahih Bukhari menukilkan: “Fathimah Az-Zahra marah terhadap Abu Bakar dan selalu menjauhinya. Ia tetap dalam keadaan seperti itu hingga enam hari, baru setelah itu ia meninggal dunia. Ali menyolati jasad istrinya dan ia tidak memberitahukan hal itu kepada Abu Bakar.”[3]
Kini kami bertanya, bukankah Fatimah Az-Zahra juga diakui oleh Shahih Bukhari sebagai wanita terbaik di muka bumi? Lalu mengapa ia tidak membai’at Abu Bakar? Jika Abu Bakar berhak untuk menjadi khalifah, lalu mengapa putri nabi ini marah terhadapnya? Rasulullah Saw pernah bersabda:
“Barang siapa mati dan tidak membai’at serta mengakui khalifah/imam di jamannya, maka ia mati sebagai matinya orang di jaman jahiliah.”[4]
Lalu salah satu dari dua pertanyaan ini harus dijawab:
1. Putri nabi Muhammad Saw tidak membai’at Abu Bakar dan tidak mengakuinya. Apakah ia mati sebagai orang jahiliah?
2. Apakah orang yang mengaku khalifah itu sebenarnya bukan khalifah? Yakni ia tidak berhak untuk menjabat sebagai khalifah?
Kita tidak bisa menjawab “ya” untuk pertanyaan pertama. Karena putri Rasulullah Saw adalah orang yang telah disucikan oleh Allah Swt dari noda dan kesalahan; nabi pun berkata tentangnya: “Fathimah adalah penghulu wanita penghuni surga.”[5]
Beliau juga bersabda, “Wahai Fathimah, sesungguhnya Allah Swt marah karena amarahmu dan Ia ridha karena keridhaanmu.”[6]
Lalu jika demikian, maka Fathimah Az-Zahra adalah perempuan suci yang tidak mungkin ia mati sebagai orang jahiliah.
Kita simpulkan, Fathimah Az-Zahra tidak membai’at khalifah itu karena baginya pengaku khalifah itu bukan khalifah yang layak. Sampai akhir hayat ia dalam hatinya mengakui hanya seorang lah khalifah yang sah, yaitu suaminya, Ali bin Abi Thalib.
Menurut Bukhari (jika memang itu benar), Ali bin Abi Thalib membai’at khalifah setelah enam bulan. Lalu jika memang ia layak dibai’at kenapa harus tertunda sekian lama?
Sungguh aneh jika anda hanya mengandalkan sepenggal kisah sejarah bahwa “Ali membai’at khalifah”, itu saja, sedang anda melupakan segala kesedihan yang pernah menimpa Fathimah Az-Zahra selama hidupnya, sepeninggal nabi.
Dengan penjelasan ini dapat kami jelaskan bahwa bai’at Ali bin Abi Thalib setelah enam bulan tersebut tidaklah berarti apa-apa. Karena khalifah sama sekali tidak membutuhkan bai’at darinya; yakni ia (khalifah) telah duduk di tahta kekhalifahan dengan nyaman saat itu juga. Dan, Ali pun bukan orang yang bisa meninggalkan kewajiban hanya karena seorang istri menghalanginya.
Apapun yang dilakukan Ali bin Abi Thalib bersama khalifah masa itu hanya sebatas menyertai dan mengarahkan khalifah demi terjaganya Islam dari perpecahan dan kemusnahan. Bahkan perlu ditambahkan, bahwa bai’at Ali bin Abi Thalib berdasarkan paksaan dari pihak khalifah. Kenyataan tersebut dapat kita fahami dari sepucuk surat yang pernah ditulis oleh Mu’awiyah kepada Ali bin Abi Thalib.
Referensi:
[1] Nahjul Balaghah, surat ke-62.
[2] Shahih Bukhari, jld. 4, hlm. 42; jld. 5, hlm. 82; jld. 8, hlm. 30.
[3] Fathul Bari, kitab Al-Maghazi, bab Ghazwah Khaibar, jld. 7, hlm. 493, hadits 4240 dan juga kitab Al-Faraidh, jld. 12, hlm. 5, hadits 6726.
[4] Shahih Bukhari, jld. 6, hlm. 22, bab Man Farraqa Amr Al-Muslimin; Sunan Al-Baihaqi, jld. 8, hlm. 156.
[5] Ibid, jld. 4, hlm. 25, bab Manaqib Qarabah Rasulullah.
[6] Ibid, jld. 4, hlm. 210; Mustadrak Al-Hakim, jld. 3, hlm. 154.
___________________________________
Mengapa Imam Ali as. Akhirnya Membaiat Abu Bakar?
Adapun mengapa akhirnya Imam Ali as. memberikan baitannya untuk Abu Bakar? Riwayat-riwayat dari Aisyah di atas mengatakan bahwa ia memohon perdamaian dengan pihak Abu Bakar dikarenakan kematian Fatimah yang mengakibatkan berpalingnya orang-orang dari Ali as.
Demikian Aisyah menganalisa sikap politis Imam Ali as. dan itu adalah hak Aisyah untuk mengatakannya! Sebagaimana orang lain juga boleh mengutarakan analisanya dalam masalah tersebut. Akan tetapi Imam Ali as. menerangkan kepada kita sebab mengapa beliau pada akhirnya memberikan baiat untuk Abu Bakar dan tidak terus mengambil sikap oposisi, apalagi perlawanan bersenjata!
Dalam keterangan-keterangan yang dinukil dari Imam Ali as. ada beberapa sebab:
Pertama, tidak adanya pembela yang cukup untuk mengambil alih kembali hak kewalian beliau.
Sikap Imam Ali as. itu telah beliau abadikan dalam benyak kesempatan, di antara dalam pidato beliau yang terkenal dengan nama khuthbah Syiqsyiqiyyah.
Imam Ali as. berpidato:
أَمَا وَاللهِ لَقَدْ تَقَمَّصَهَا إبْنُ اَبِيْ قُحَافَةَ وَإِنَّهُ لَيَعْلَمُ أَنَّ مَحَلِّي مِنْهَا مَحَلُّ اْلقُطْبِ مِنَ الْرُحَى , يَنْحَدِرُ عَنِّي اْلسَيْلُ وَ لاَ يَرْقَى إلَىَّ الْطَيْرُ. فَسَدَلْتُ دُوْنَهَا ثَوْبًا وَ طَوَيْتُ عَنْهَا كَشْحًا . وَ طَفِقْتُ أَرْتَئِ بَيْنَ أنْ أَصُوْلَ بِيَدٍ جَذَّاءَ أوْ أَصْبِرَ عَلَى طِخْيةٍ عَمْيَاءَ , يَهْرَمُ فِيْهَا الْكَبِيْرُ وَ يَشِيْبُ فِيْهَا الْصَغِيْرُ, وَ يَكْدَحُ فِيْهَا الْمُؤْمِنُ حَتَّى يَلْقَى رَبَّهُ !
فَرَاَيْتُ اَنَّ الْصَبْرَ عَلَى هَاتَا أَحْجَى . فَصَبَرْتُ , وَ فِي الْعَيْنِ قَذًى, و فِي الْحَلْقِ شَجًا أَرَى تُرَاثِيْ نَهْبًا.
فَرَاَيْتُ اَنَّ الْصَبْرَ عَلَى هَاتَا أَحْجَى . فَصَبَرْتُ , وَ فِي الْعَيْنِ قَذًى, و فِي الْحَلْقِ شَجًا أَرَى تُرَاثِيْ نَهْبًا.
“Demi Allah, sesungguhnya putra Abu Quhafah (Abu ABakar) telah mengenakan busana kekhilafahan itu, padahal ia tahu bahwa kedudukanku sehubungan dengan itu adalah bagaikan kedudukan poros pada penggiling. Air bah mengalir dariku dan burung tak dapat terbang sampai kepadaku. Maka aku mengulur tabir terhadap kekhilafahan dan melepaskan diri darinya.
Kemudian aku mulai berpikir, apakah aku harus menyerang dengan tangan terputusatau bersabar atas kegelapan yang membutakan, dimana orang dewasa menjadi tua bangka dan anak kecil menjadi beruban dan orang mukmin yang sesungguhnya hidup dalam tekanan sampai ia menemui Tuhannya!
Maka aku dapati bahwa bersabar atasnya lebih bijaksana. Maka aku bersabar, walaupun ia menusuk mata dan mencekik kerongkongan. Aku menyaksikan warisanku dirampok … “ [1]
Kedua, sikap enggan memberikan baiat itu sudah cukup membuktikan hak kewalian beliau yang mereka bekukan.
Dan ketiga, mengingat maslahat umat Islam menuntut agar beliau mengorbankan hak beliau demi meraih maslahat Islam yang lebih abadi. Sebab eksistenti kaum Muslimin dan Dawlah Islam sedang terancam dengan maraknya kaum murtad yang meninggalkan agama Islam dan berniat untuk menyerang kota suci Madinah dan memerangi kaum Muslim!
Dalam sebuah pernyataannya, Imam Ali as. menjelaskan sebab mengapa beliau sudi memberikan baiat untuk Abu Bakar:
فأَمْسَكْتُ يدي حتَّى رأيتُ راجِعَةَ الناسِ قد رجعت عن الإسلامِ , يدعون إلى مَحقِ دين محمد (ص), فَخَشيتُ إن لم أنصرِ الإسلامِ و أهلَه أن أرى فيه ثَلْمًا أو هدمًا تكون المصيبةُ بِهِ عليَّ أعظَم من فوتِ ولايَتِكم.
“Dan ketika aku saksikan kemurtadan orang-orang telah kembali meninggalkan Islam, mereka mengajak kepada pemusnahan agama Muhammad saw., maka aku khawatir jika aku tidak membela Islam dan para pemeuluknya aku akan menyaksikan celah atau keruntuhan Islam yang bencananya atasku lebih besar dari sekedar hilangnya kekuasaan atas kalian.”[2]
Inilah sebab hakiki dalam maalah ini, bukan seperti yang diasumsikan sebagian orang.
Adapaun tuduhan Syeikh bahwa dengan demikian kaum Syi’ah menuduh Imam mereka bersikap pengecut, maka kesimpulan miring itu sama sekali tidak berdasar, sebab pada diri Nabi Harun as. terdapat uswah, teladah baik bagi Imam Ali as. ketika beliau berkata, seperti diabadikan dalam Al Qur’an:
وَ لَمَّا رَجَعَ مُوسى إِلى قَوْمِهِ غَضْبانَ أَسِفاً قالَ بِئْسَما خَلَفْتُمُوني مِنْ بَعْدي أَ عَجِلْتُمْ أَمْرَ رَبِّكُمْ وَ أَلْقَى الْأَلْواحَ وَ أَخَذَ بِرَأْسِ أَخيهِ يَجُرُّهُ إِلَيْهِ قالَ ابْنَ أُمَّ إِنَّ الْقَوْمَ اسْتَضْعَفُوني وَ كادُوا يَقْتُلُونَني فَلا تُشْمِتْ بِيَ الْأَعْداءَ وَ لا تَجْعَلْني مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمينَ
“Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati berkatalah dia: “Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu?” Dan Musa pun melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya. Harun berkata: “Hai anak ibuku,sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku, sebab itu janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang lalim.” (QS.A’râf [7];150).
Imam Ali as. mengalami kondisi serupa dengan parnah dialami oleh Nabi Harun as. ketika kaumnya membangkang dengan kesesatan akibat provokasi Samiri.
Ketertindasan dan ketidak-berdayaan Imam Ali as. itu telah diberitakan Nabi saw. dalam banyak sabda beliau, di antaranya adalah hadis yang sangat terkenal yang berbunyi:
أنتم المستَضْغَفٌون بَعدي
“Sepeninggalku, kalian akan ditindas.”[3]
Nabi saw. Mengabarkan Bahwa Umat Akan Mengkhianati Imam Ali as.
Bahkan lebih dari itu, Nabi saw. telah memberitakan dari balik tirai ghaib, bahwa umat ini akan menelantarkan Ali as. dan tidak memberikan kesetian pembelaan untuknya. Mereka akan mengkhianatinya!
Imam Ali as. berulang kali mengatakan:
إنّه ممّا عهد إليّ النبي (صلى الله عليه وآله وسلم) أنّ الاُمّة ستغدر بي بعده.
“Termasuk yang dijanjikan Nabi kepadaku bahwa umat akan mengkhianatiku sepeninggal beliau.”
Hadis ini telah diriwayatkan dan dishahihkan al Hakim dan adz Dzahabi. Ia berkata:
صحيح الاسناد
“Hadis ini sahih sanadnya.”
Adz Dzahabi pun menshahihkannya. Ia berkata:
صحيح
“Hadis ini shahih.” [4]
Sebagaimana juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, al Bazzâr, ad Dâruquthni, al Khathib al Baghdâdi, al Baihaqi dkk.
Nabi saw. Mengabarkan Bahwa Umat Akan Menuangkan Kedengkian Mereka Kepada Imam Ali as.
Demikian juga, sebagian orang yang memendam dendam kusumat dan kebencian kepada Nabi saw. akan menuangkannya kepada Imam Ali as., dan puncaknya akan mereka lakukan sepeninggal Nabi saw.
Kenyataan itu telah diberitakan Nabi saw. kepada Ali as. Para ulama meriwayatkan banyak hadis tentangnya, di antaranya adalah hadis di bawah ini:
Imam Ali as. berkata:
بينا رسول الله (صلى الله عليه وسلم) آخذ بيدي ونحن نمشي في بعض سكك المدينة، إذ أتينا على حديقة، فقلت: يا رسول الله ما أحسنها من حديقة ! فقال: إنّ لك في الجنّة أحسن منها، ثمّ مررنا بأُخرى فقلت: يا رسول الله ما أحسنها من حديقة ! قال: لك في الجنّة أحسن منها، حتّى مررنا بسبع حدائق، كلّ ذلك أقول ما أحسنها ويقول: لك في الجنّة أحسن منها، فلمّا خلا لي الطريق اعتنقني ثمّ أجهش باكياً، قلت: يا رسول الله ما يبكيك ؟ قال: ضغائن في صدور أقوام لا يبدونها لك إلاّ من بعدي، قال: قلت يا رسول الله في سلامة من ديني ؟ قال: في سلامة من دينك.
“Ketika Rasulullah saw. memegang tanganku, ketika itu kami sedang berjalan-jalan di sebagian kampong kota Madinah, kami mendatangi sebuah kebun, aku berkata, ‘Wahai Rasulullah alangkah indahnya kebun ini!’ Maka beliau bersabda, ‘Untukmu di surga lebih indah darinya.’ Kemudian kami melewati tujuh kebun, dan setiap kali aku mengatakannya, ‘Alangkah indahnya’ dan nabi pun bersabda, ‘Untukmu di surga lebih indah darinya.’ Maka ketika kami berda di tempat yang sepi, Nabi saw. memelukku dan sepontan menangis. Aku berkata, ‘Wahai Rrasulullah, gerangan apa yang menyebabkan Anda menangis?’ Beliau menjawab, ‘Kedengkian-kedengkian yang ada di dada-dada sebagian kaum yang tidak akan mereka tampakkan kecuali setelah kematianku.’ Aku berkata, ‘Apakah dalam keselamatan dalam agamaku?’ Beliau menjawab, ‘Ya. Dalam keselamatan agamamu.’”
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la, al Bazzâr dengan sanad shahih, al Hakim dan adz Dzahabi dan mereka menshahihkannya,[5] Ibnu Hibbân dkk. [6]
Ia juga disebutkan oleh asy Syablanji dalam kitab Nûr al Abshârnya:88
Jadi jelaslah bagi kita apa yang sedang dialami oleh Imam Ali as. dari sebagian umat ini!
Imam Ali as. Mengeluhkan Pengkhiatanan Suku Quraisy!
Dalam banyak pernyataannya, Imam Ali as. telah mengeluhkan kedengkian, kejahatan dan sikap arogan suku Quraisy terhadap Nabi saw. yang kemudian, ketika mereka tidak mendapatkan jalan untuk meluapkannya kepada beliau saw., mereka meluapkan dendanm kusumat kekafiran dan kemunafikan kepadanya as.
Di bawah ini akan saya sebutkan sebuah kutipan pernyataan beliau as. tersebut.
اللهمّ إنّي أستعديك على قريش، فإنّهم أضمروا لرسولك (صلى الله عليه وآله وسلم) ضروباً من الشر والغدر، فعجزوا عنها، وحُلت بينهم وبينها، فكانت الوجبة بي والدائرة عليّ، اللهمّ احفظ حسناًوحسيناً، ولا تمكّن فجرة قريش منهما ما دمت حيّاً، فإذا توفّيتني فأنت الرقيب عليهم وأنت على كلّ شيء شهيد.
“Ya Allah, aku memohon dari Mu agar melawan Quraisy, karena mereka telah memendam bermacam sikpa jahat dan pengkhianatan kepada Rasul-Mu saw., lalu mereka lemah dari meluapkannya, dan Engkau menghalang-halangi mereka darinya, maka dicicipkannya kepadaku dan dialamatkannya ke atasku. Ya Allah peliharalah Hasan dan Husain, jangan Engkau beri kesempatan orang-orang durjana dari Quraisy itu membinasakan keduanya selagi aku masih hidup. Dan jika Engkau telah wafatkan aku, maka Engkau-lah yang mengontrol mereka, dan Engkau Maha Menyaksikan segala sesuatu.”[7]
Coba Anda perhatikan pernyataan Imam Ali as. di atas, bagaimana dendam dan pengkhianatan Quraisy terhadap Nabi saw. akan mereka luapkan kepadanya! Dan di dalamnya juga terdapat penegasan bahwa mereka tidak segan-segan akan menghabisi nyawa bocah-bocah mungil kesayangan Rasulullah saw.; Hasan dan Husain as. yang akan meneruskan garis keturunan kebanian sebagai melampiasan dendam mereka kepada Nabi saw.!
Referensi:
[1]Nahjul Balaghah, pidato ke3.
[2] Ibid. pidato ke74.
[3] Musnad Ahmad,6/339.
[4] Mustadrak al Hakim,3/140 dan 142.
[5] Al Mustadrak,3/139 hanya saja bagian akhir radaksi hadis ini terpotong, sepertinya ada “tangan-tangan terampil” yang sengaja menyensor hadis di atas.
[6]Teks hadis di atas sesuai dengan yang terdapat Majma’ az Zawâid,9/118.
[7] Syarah Nahjul Balaghhah, 20/298.
(Jakfari/Hauzah-Maya/Islam-Quest/Syiah-Ali/Scondprince/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email