Pesan Rahbar

Home » » Pendukung ISIS Indonesia Hanya Sekedar Fans Club?

Pendukung ISIS Indonesia Hanya Sekedar Fans Club?

Written By Unknown on Saturday 15 November 2014 | 18:01:00


Kampanye pro-ISIS di Indonesia, katanya, juga merupakan respon terhadap perpecahan baru-baru ini antara ISIS dan al-Qaeda (AQ). ISIS pertama kali didirikan pada 2006 sebagai Negara Islam Irak (ISI) oleh berbagai kelompok jihad, utamanya al-Qaeda, di Irak, sebelum memutuskan memperluasnya ke Suriah pada 2013.

Kelompok ekstrimis pendukung ISIS Indonesia tak ubahnya "fans club", demikian ungkap analis dari Centre of Excellence for National Security (CENS), Navhat Nuraniyah. "Pada 16 Maret 2014, ratusan ekstrimis Islam (baca: Takfiri) membawa bendera ISIS, sebuah kelompok teroris yang beroperasi di Suriah, dan berunjuk rasa di jantung kota Jakarta," lanjutnya. Kampanye mendukung ISIS juga terjadi di daerah lain.

Munculnya pendukung nyata dari ISIS di Indonesia, kata Nuraniyah, telah menyuarakan keprihatinan mengenai kebangkitan hubungan antara kelompok-kelompok jihad lokal dan global. "Dukungan terbuka ini tidak berarti ISIS dapat berakar di Indonesia," tegasnya.

Namun, ada kekhawatiran bahwa pendukung ISIS mungkin ingin membentuk kelompok afiliasi di Indonesia. "Kendati itu mungkin tidak menimbulkan ancaman langsung, perkembangan ini mungkin menunjukkan makin kaburnya perbedaan antara ekstremisme dan terorisme di Indonesia," papar Nuraniyah.

Acara itu, lanjutnya, tidak selalu menandakan munculnya afiliasi ISIS di Indonesia karena dua alasan. Pertama, aksi unjuk rasa di Jakarta diselenggarakan kelompok-kelompok advokasi pro-syariah setempat, seperti Forum Aktivis Syariah Islam (Faksi), Sharia4Indonesia, Gerakan Reformasi Islam (GARIS), dan Kongres Umat Islam Bekasi (KUIB). "Kelompok-kelompok pro-syariah itu lebih bertindak seperti 'fans club' ISIS ketimbang tentara yang berkomitmen," terang Nuraniyah.

Secara umum, seperti rekan-rekan jihadis mereka, kelompok advokasi pro-syariah menolak demokrasi dan sekularisme. "Keduanya juga percaya pada supremasi sistem politik Islam yang ideal," ujarnya.

Namun, lanjut Nuraniyah, kelompok-kelompok advokasi pro-syariah umumnya berbeda dari kelompok jihadis yang lebih radikal dan lebih fokus pada implementasi bertahap hukum Islam dan peningkatan moralitas publik ketimbang perjuangan bersenjata, sebagai cara membangun sebuah negara Islam. "Meski tentu saja mereka tidak sepenuhnya mengabaikan konflik bersenjata, terutama dalam konteks ketidakstabilan dan kekacauan politik," katanya.

Kelompok-kelompok advokasi pro-syariah mendukung ISIS, terutama karena berharap itu menjadi embrio khalifah transnasional. "Unjuk rasa di Jakarta dikatakan untuk mempromosikan apa yang disebut khalifah yang muncul di masyarakat Indonesia," ujar Nuraniyah. Mengingat misi mereka memenangkan hati dan pikiran masyarakat, mereka lebih memilih pendekatan humas ketimbang kekerasan, sebagaimana tercermin dalam aksi unjuk rasa damai.


Kedua, dalam pandangan dunia jihad, dukungan tidak sama dengan bai'ah (bersumpah setia). "Sementara, kelompok yang berpartisipasi dalam kampanye menyatakan dukungan bagi ISIS; mereka tidak secara eksplisit berkomitmen untuk menjadi tentara ISIS di Suriah," simpul Nuraniyah.

"Fans club" itu hanya menyatakan dukungan pasif. Sebagai contoh, lanjutnya, disebutkan bahwa mereka akan bergabung dengan ISIS dalam skenario jauh, di mana ISIS akan menjadi khalifah internasional, yang bukan agenda ISIS, namun karena menghadapi oposisi yang terus meningkat di Suriah. "Hanya mengikrarkan janji setia yang pendek, pendukung ISIS boleh dibilang tak lebih dari "fans club" sehingga bukan ancaman langsung," papar Nuraniyah.

Kampanye pro-ISIS di Indonesia, katanya, juga merupakan respon terhadap perpecahan baru-baru ini antara ISIS dan al-Qaeda (AQ). ISIS pertama kali didirikan pada 2006 sebagai Negara Islam Irak (ISI) oleh berbagai kelompok jihad, utamanya al-Qaeda, di Irak, sebelum memutuskan memperluasnya ke Suriah pada 2013. "Awal tahun ini, ISIS memisahkan diri dari komando pusat AQ dan keduanya bersaing demi supremasi jihad global," papar Nuraniyah.

Karena telah mengikuti secara dekat peristiwa di Suriah, kaum ekstremis Indonesia dan medianya juga mulai berpihak. "Media pro-ISIS meliputi al-Mustaqbal, yang editornya merupakan tokoh penting dalam Sharia4Indonesia, dan Millahibrahim yang terkait dengan ulama jihadis berpengaruh, Aman Abdurrahman," katanya.

Kendati perkembangan media tampaknya menggembar-gemborkan ISIS, tutur Nuraniyah, namun sebagian besar pejuang Indonesia di wilayah di Suriah dilaporkan tiba di sana melalui Ahrar al-Syam, salah satu saingan ISIS. Wakil anti-ISIS adalah Arrahmah.com. "Perang publikasi" terjadi antara kedua kubu. Arrahmah mengecam keras ISIS karena membunuh takfiri AQ di Suriah, dan media pro-ISIS balik menuduh bahwa laporan Arrahmah penuh bias.

Kampanye tersebut kemungkinan hanya perluasan dari ketegangan antara kedua "fans club". "Deklarasi dukungan yang dibacakan selama kampanye menyebutkan bahwa itu tidak hanya ditujukan untuk menunjukkan dukungan, tapi juga membela ISIS terhadap kritik kelompok lain," kata Nuraniyah.

Karena itu, lanjutnya, kendati Suriah menawarkan peluang baru bagi kelompok-kelompok jihad lokal untuk berpartisipasi dalam jihad global, hal itu juga mengakibatkan meningkatnya gesekan di antara mereka.

Satu-satunya sumber perhatian dari gejala ini adalah kaburnya perbedaan antara ekstremisme dan terorisme. "Ideologi kelompok advokasi pro-syariah yang terlibat dalam kampanye pro-ISIS dapat dikategorikan sebagai ekstremis; dalam arti, mereka mendukung supremasi agama dan menentang sistem demokrasi yang ada, seraya tetap menahan diri dari penggunaan teror," papar Nuraniyah.

Benar, lanjutnya, beberapa kelompok advokasi pro-syariah telah menunjukkan solidaritas pada jihadis yang dipenjara sebagai bentuk dukungan terhadap 'sesama aktivis Islam'. "Namun, secara resmi, mendukung suatu organisasi teroris yang diakui secara internasional merupakan langkah lebih lanjut," terang Nuraniyah.

Prospek kaburnya batas ekstremisme dan terorisme sangat mengkuatirkan karena adanya hubungan nyata kelompok pro-syariah Indonesia dengan Anjem Choudary, juru khutbah ekstremis asal Inggris. "Kelompok advokasi pro-jihad dan pro-syariah Choudary, Islam4UK (sebelumnya disebut al-Muhajirun) dilarang pemerintah Inggris setelah terungkap bahwa sejumlah orang terhukum dengan pasal terorisme, terkait dengan kelompok itu," kata Nuraniyah.

Choudary dan organisasinya memberikan contoh tentang bagaimana ekstremisme non-kekerasan, dalam beberapa kasus, dapat menghasilkan ekstremisme kekerasan. "Karenanya, pertumbuhan gerakannya memiliki kemiripan dengan kelompok-kelompok ekstremis Indonesian," kata Nuraniyah.

Dalam beberapa tahun terakhir, Choudary telah menjadi tokoh yang sangat dihormati di kalangan kelompok advokasi pro-syariah Indonesia. "Ia, misalnya, telah menjadi pembicara reguler dalam konferensi Sharia4Indonesia di Jakarta dan daerah lain di Indonesia," katanya.

Dalam pesan video yang terutama ditujukan pada umat Islam di Indonesia, ungkap Nuraniyah, Choudary mendorong mereka bangkit melawan rezim saat ini dalam upaya mempercepat revolusi Islam. "Pernyataan Choudary yang mendukung ISIS dan jihad di Suriah juga dipublikasikan di media jihadis Indonesia, khususnya al-Mustaqbal," katanya.

Kemungkinan dukungan kelompok-kelompok advokasi pro-syariah Indonesia untuk ISIS sebagianya terinspirasi oleh Choudary. Selain itu, karena al-Muhajirun dan jaringannya diduga merekrut dan memfasilitasi jihadis Eropa pergi ke Suriah, mereka berpotensi memberikan ekstremis Indonesia dengan link lain ke Suriah yang belum diekspos. "Karena itu , situasi ini harus terus dipantau," desak Nuraniyah.

(Islam-Times/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: