Ada industri fatwa dan jaringan ulama yang berada di baliknya yang sebenarnya mengendalikan ribuan kombatan itu. Dan kita tak pernah tahu—atau kita bisa benar-benar tahu—bahwa ada kekuatan dana dan intelijen yang canggih yang mengelola industri ini untuk sewaktu-waktu dipakai melakukan tugas-tugas “jihad” secara spesifik.
Apa sih sebenarnya Islamic State in Iraq and Syria (dan sebelumnya Al-Qaedah)? Jawabannya singkat: ISIS atau kerap disingkat Daesh (al-Dawlah al-Islāmīyah fī al-Irāq wa-al-Shām) di media-media Timur Tengah adalah a-l-a-t. Ya, alat. Ada sejumlah bos besar yang piawai memanfaatkan alat ini. Udang di balik batu-nya sudah tidak lagi bersembunyi, melainkan sudah cetho welo welo. Inisialnya tak lain dan tak bukan adalah AS: Arab Saudi, eh salah, Amerika Serikat.
Mari kita telusuri argumen yang mendukung pendapat di atas.
Dulu AS (dan tentunya juga Arab Saudi) punya musuh besar bernama komunisme. Permusuhan AS atas komunisme sebetulnya berpusat pada faktor geopolitik di wilayah Timur Tengah dan Samudra Pasifik. Di Timur Tengah, pengaruh komunisme saat itu memang tidak bisa diremehkan. Negara Arab terbesar dan paling berpengaruh, Mesir, pun teribas paham ini. Suriah, sebagai jantung budaya Arab, juga cenderung ke kiri. Demikian pula Irak yang—bersama dengan Suriah—menganut politik Baath yang merupakan terjemahan lokal Arab atas naskah komunisme Rusia.
Pada saat yang sama, Rusia (Uni Soviet kala itu) terlalu berambisi memperluas wilayah dominasinya. Tapi di sinilah Rusia terjebak dan masuk dalam perangkap. AS bergerak cepat mengurung Rusia di Afghanistan dengan senjata NATO, intelijen Pakistan dan intelijen negara-negara Muslim lain – termasuk Indonesia – serta dana petrodolar yang tak terbatas. Sejak saat itu, Arab Saudi membangun jaringan industri fatwa jihad di dunia Islam. Jaringan industri fatwa inilah yang saat ini menjadi bantuan terbesar Arab Saudi atas AS, sekaligus juga merupakan kekuatan terbesar Arab Saudi sendiri.
Nah, jangan heran jika tiba-tiba saja ada semacam konsensus—yang entah datang dari mana—yang menyatakan bahwa berjihad di negara orang lain itu lebih penting ketimbang mengurus diri, keluarga, bangsa dan kampung sendiri. Kalangan pegiat jihad lintas jagat ini akhirnya—suka atau tidak suka—mirip seperti organisasi militer multinasional yang tiap saat siap diparasutkan kemana saja asal ada fatwa dan dana yang membentengi. Dari sinilah kemudian berkembang Al-Qaedah yang merupakan singkatan dari qaedat al-jihad—yang secara harfiah bermakna ‘basis jihad’.
Nah, sampai di sini, menjadi sedikit lebih terang, bukan?
Kembali ke Afghanistan. Dulu, sebagian mujahidin penduduk asli Afghanistan sesungguhnya memang para pejuang kemerdekaan. Seperti para pahlawan kemerdekaan Indonesia, misalnya, mereka bertujuan mulia memerdekakan negeri dari penjajahan, memikul tanggungjawab mulia sebagai anak bangsa yang siap berkorban demi harkat dan martabat bangsa. Tapi ini baru separuh cerita. Separuh lainnya berkenaan dengan seabrek orang asing dari berbagai belahan dunia yang datang untuk berlatih militer dan membangun utopia tata dunia baru yang berlabel Islam. Sebagian dari puluhan ribu mujahidin asing itu, termasuk beribu-ribu orang dari Indonesia, lantas kembali ke kampung halaman masing-masing dengan cita-cita yang sama: mendirikan suatu pemerintahan Islam internasional yang tanpa batas.
Jika kita amati secara dangkal, mungkin sebagian kita mengira bahwa ribuan eks kombatan itu telah menyebar liar tanpa komando yang jelas. Tapi, pada hakikatnya, jika kita mau geledah lebih teliti, maka kita akan menyaksikan bahwa mereka tidak pernah bergerak liar. Mereka tidak pernah bergerak spontan, tanpa setting politik yang memotivasinya. Ada industri fatwa dan jaringan ulama yang berada di baliknya yang sebenarnya mengendalikan ribuan kombatan itu. Dan kita tak pernah tahu—atau kita bisa benar-benar tahu—bahwa ada kekuatan dana dan intelijen yang canggih yang mengelola industri ini untuk sewaktu-waktu dipakai melakukan tugas-tugas “jihad” secara spesifik.
Mari kita ambil dua contoh paling gres di Suriah dan Irak. Siapa yang menggerakan ribuan “mujahilin” untuk datang ke bumi Syam, dalam dalam gerombolan brutal ISIS dan Jabhat An-Nusra, dan menyalakan api jihad melawan Bashar Assad? Coba bertanya ke diri sendiri: kenapa tak ada dari mereka yang bergerak beberapa kilometer melintasi perbatasan Israel untuk membebaskan Palestina yang terjajah? Mengapa harus Assad dan bukan yang lain-lain, yang juga mewarisi kekuasaan dari ayah-ayahnya seperti Raja Abdullah Jordan, Raja Saudi, Qatar, Kuwait? Siapa yang mondar-mandir ke berbagai ibukota dunia dan menggelar puluhan konferensi pers untuk menyatakan motif politik di balik aksi-aksi kekerasan kaum mujahilin ini?
Jangan ragu lagi: John Kerry dan sebelumnya Hillary Clinton. Ya, ternyata AS dan Saudi Arabia yang secara gigih menyampaikan agenda politik kaum mujahilin ini. Untuk kasus Suriah, mewakili kepentingan kaum mujahilin, AS dan Saudi Arabi meminta Bashar menyingkir dari kekuasaan. Untuk kasus Irak, yang ironisnya juga disampaikan oleh John Kerry beberapa hari setelah Mosul jatuh ke tangan ISIS, Maliki harus membangun pemerintahan koalisi.
Sekarang, aliansi yang tidak lagi terselubung antara AS-ISIS inilah yang menjelaskan mengapa media arus utama seperti Kompas, Media Indonesia, MetroTV, TVOne, dan sebagainya bisa berbicara persis seperti yang dikatakan oleh kaum takfiri ISIS. Media arus utama di Indonesia ini, seperti juga di AS dan Barat lainnya, hanya membaca naskah berita yang sama—yang terkadang sama sekali tidak berhubungan dengan fakta yang terjadi; bahwa ISIS di Suriah adalah militan Sunni yang bergerak melawan rezim Syiah Assad, sebagaimana ISIS di Irak adalah juga militan Sunni yang bergerak melawan rezim Syiah Maliki.
Ironis. ISIS (dan sebelumnya Al-Qaeda) sebenarnya bukan organisasi yang bergerak sendiri, apalagi bergerak spontan dan liar. Ia merupakan senjata pembunuh massal dari sistem yang lebih besar, yang lebih canggih dan yang lebih luas. Sistem inilah yang menyediakan fatwa atau dalil agama, dana, motif politik, sosial, logistik, informasi, intelijen, liputan media dan sebagainya. Puncaknya, jaringan itu pula yang memanfaatkan aksi-aksi brutal mereka, termasuk aksi bunuh diri mereka yang sangat mengerikan.
Tanpa memahami konteks hubungan ISIS-AS ini kita tak mungkin dapat bisa memahami peta politik di Timur Tengah. Mengapa ada dukungan dana dan media yang begitu besar bagi kaum mujahilin, yang dianggap sebagai teroris oleh hampir seluruh negara di dunia untuk menggulingkan Assad, namun hampir tidak ada kasus serupa di negara-negara dalam orbit AS? Mengapa ada penekanan bertubi-tubi di luar kebiasaan tentang adanya konflik sektarian di Suriah dan Irak, dan nyaris tidak kita temukan diksi dan penekanan serupa di negara-negara yang hancur lebur akibat ulah mujahilin takfiri berideologi serupa seperti di Afghanistan, Pakistan, Somalia, Chechnya (beberapa tahun silam), dan sebagainya? Dan terakhir, mengapa para menlu AS, Barat dan negara-negara Teluk selalu terdepan menyampaikan motif, agenda, kepentingan dan tuntutan politik (yang dikemas dalam bahasa solusi) kaum mujahilin takfiri?
Sekali lagi, bukanlah kebetulan apabila Menlu AS dan Inggris sama-sama berkunjung ke Irak persis beberapa hari pasca jatuhnya Mosul ke tangan ISIS untuk menekan Maliki merajut pemerintahan koalisi. Ini adalah koordinasi antara operator di lapangan dan politisi yang menyampaikan tuntutan. Adegan serupa sebenarnya dapat dengan mudah kita lihat tiruannya di Indonesia saat ada demonstrasi di sebuah lokasi, kemudian perwakilan dari para pendemo masuk gedung DPR untuk menyampaikan tuntutan.
Masalahnya, mengapa para menteri luar negeri seperti sudah kehilangan rasa malu memperlihatkan koordinasi mereka dengan kelompok yang mereka labeli sendiri sebagai teroris? Jawabannya juga jelas: mereka sudah sampai pada kesimpulan bahwa mereka tidak dapat berbuat apa-apa dengan tangan mereka sendiri dalam menghadapi kekuatan Poros Perlawanan atas hegemoni di Timur Tengah. Media arus utama seperti Kompas (yang by the way punya konglomerasi Katholik), TVOne (sebagian sahamnya sudah dibeli Qatar) dan MetroTV (yang banyak ambil modal dari AS) yang biasa makan sampah dari kantor-kantor berita Barat tentu hanya bisa memberitakan naskah yang sudah tertulis. Dan ketika ada yang menyatakan sebaliknya, maka media arus utama itu tidak akan pernah mempedulikannya lagi.
Sayangnya, untuk semua rekayasa palsu ini, lagi-lagi umat Muhammad yang jadi korbannya. Bukan seratus dua ratus orang, tapi ratusan ribu, dan untuk waktu yang belum jelas akhirnya.
(Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email