Arca dwarapala di Situs Muarajambi (kiri).
Arca dwarapala Muarajambi memiliki figur berbeda, berwujud laiknya manusia sebagai penolak pengaruh asing di kawasan Muarajambi.
EKSPRESI wajahnya ramah, jauh dari kesan menyeramkan. Bibirnya tersenyum lebar. Tak tampak taring yang menyeringai keluar. Ia lebih menyerupai manusia dibanding wujud raksasa yang kerap dijumpai pada kebanyakan arca dwarapala.
Dwarapala ini, arca penjaga pintu yang dalam mitologi Hindu-Buddha berfungsi sebagai penolak pengaruh buruk, berasal dari Situs Muarajambi I. Dwarapala ini ditemukan dalam penggalian di muka gapura Candi Gedong I pada 2002. Keseluruhan arca nyaris utuh, terbuat dari bahan batu pasir, dan berwarna kecoklatan.
Umumnya dwarapala berpasangan dan letaknya di bagian muka pintu masuk bangunan suci. Ia lumrah berpenampilan seram dengan mata melotot menyalak, berambut ikal panjang terurai, bertaring, mengenakan hiasan tengkorak pada tubuhnya, dan dalam posisi duduk memegang gada. Penggambaran dwarapala seperti ini kerap dijumpai di percandian di Jawa.
Agus Aris Munandar dalam Catuspatha Arkeologi Majapahit, menjelaskan bahwa dwarapala mula-mula –dalam mitologi India– dikenal sebagai personifikasi makhluk halus penguasa tanah yang disebut Yaksha. Yaksha dipuja sebagai sumber kehidupan yang melindungi kesuburan tanah. Saat agama Buddha dan Hindu mulai berkembang di India, kedudukan Yaksha disejajarkan dengan kelompok demi-god (setingkat di bawah dewata). Dalam perkembangannya Yaksha dimuliakan sebagai pendamping Buddha. Bersama makhluk segolongannya ia dipahatkan pada bangunan suci Buddha, seperti terdapat di stupa Bharut (abad 1 SM) dan di puncak torana (pintu gerbang) stupa Sanchi abad ke-6 M. Letaknya yang berada di bagian depan kemudian dipercaya melindungi dan menjaga bangunan suci.
Di masa kemudian sosok Yaksha dibuat terpisah, tidak lagi sebagai relief atau pelengkap bangunan suci, melainkan sebagai arca mandiri. Mulai saat itu Yaksha dikenal dengan dwarapala, diwujudkan sebagai arca raksasa penjaga kuil dan lingkungannya.
Berdasarkan hasil temuan terdahulu, diketahui bahwa candi-candi Muarajambi mempunyai latar belakang agama Buddha Mahayana dengan pengaruh aliran Tantrayana yang kuat. Hal itu terbukti dari temuan wajra (berarti petir; sebuah alat upacara khas agama Buddha aliran Tantrayana) dan tulisan-tulisan pendek pada lempeng emas di Candi Gumpung.
“Aliran Tantrayana sudah dianut pada abad 9 M ketika candi dibangun dan terus berkembang mencapai puncaknya pada abad 15 M di seluruh Sumatera,” tulis Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti.
Berbeda dari penggarapan dwarapala pada umumnya yang berwujud raksasa dan menunjukkan sifat ugra (bengis atau menakutkan), dwarapala Muarajambi terkesan jenaka. Wujudnya selaik pria kecil yang berdiri dengan kedua kaki agak ditekuk. Tingginya tak lebih dari 1,5 meter. Tangan kanannya menggenggam tameng kecil, sedang tangan kirinya mengepal sebuah gada yang kondisinya telah rumpang. Tatanan rambutnya tertata rapi hingga ke belakang, dan ditutup hiasan berupa mangkuk. Hiasan pada telinganya berbentuk bunga, bukan tengkorak manusia.
Menurut Junus Satrio Atmodjo dalam “Dwarapala yang Santun dari Muarajambi” pada Prosidings Seminar Internasional Sabdapalon Nayagenggong dalam Naskah Nusantara, kehadiran arca temuan Candi Gedong I ini setidaknya mencerminkan salah satu gaya seni abad ke-10-13 M yang pernah hidup di Jambi. Pengaruh India hampir tak terlihat. Penggarapan figur arca yang berbeda dan tidak lazim, justru terkesan jenaka, secara konseptual merupakan cara menampilkan identitas kelompok yang melakukan pemujaan di Candi Gedong I.
Kesan jenaka ditampilkan untuk menanggalkan model standar tokoh dwarapala yang berpenampilan menyeramkan. Penggarapannya, tulis Junus Satrio, “merupakan kesengajaan untuk menolak secara halus pengaruh asing dalam kehidupan masyarakat Muarajambi.”
(Historia/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email