Oleh: Mohamad Guntur Romli**
al-nâsû a’dâ’u mâ jahilû –manusia cenderung memusuhi hal yang tidak diketahui
…jangan sekali-kali kebencianmu kepada suatu kaum mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adil-lah, karena keadilan itu lebih dekat pada taqwa (QS al-Maidah: 8 ).
I
Mengaitkan isu homoseksualitas dengan agama sering dianggap seperti bertepuk sebelah tangan. Kita akan mudah menemukan gay dan lesbian yang taat beragama, namun sangat sulit menjumpai tokoh dan lembaga agama yang bersahabat dengan kalangan homoseksual. Pokok persoalan memang bukan antara homseksualitas dengan agama, tapi dengan tokoh-tokoh dan lembaga-lembaga yang merasa memiliki hak cipta dan otoritas keagamaan. Selama ini stigma, kecurigaan hingga kebencian yang dilayangkan pada kalangan homoseksual memang lebih gencar berasal dari tokoh dan lembaga agama ini.
Padahal seseorang yang mau beragama sebenarnya bisa melepaskan diri dari tokoh dan lembaga agama itu, karena agama adalah perkara abstrak, intim, individual yang hanya bisa diketahui orang itu sendiri bukan oleh orang di luar dirinya. Kalau ada yang merasa ada persoalan dari perspektif keagamaan, jangan dibayangkan dia membutuhkan sosok lain di luar dirinya—seperti kalau sakit butuh dokter, kalau punya barang yang rusak perlu mekanik, ada persoalan hukum perlu kepastian dari hakim—jangan membayangkan tokoh agama seperti dokter, mekanik atau hakim atau di sisi lain menganggap lembaga agama seperti bengkel tempat reparasi, atau rumah sakit dan pengadilan yang bisa mengeluarkan kepastian hukum. Dalam agama hakim tertinggi adalah nurani sendiri. Dari sana kita bisa meminta fatwa dan bertanya. Ada ucapan Nabi Muhammad yang sangat dikenal: Istafti qalbak (mintalah fatwa dari hatimu) atau sal dlamîrak (bertanyalah pada nuranimu).
II
Mengaitkan tema homoseksualitas dan agama juga tidak bertujuan mencari ―justifikasi tekstual‖, bukan untuk mengabsahkan homoseksualitas dari sudut pandang agama—seperti label halal yang dikeluarkan MUI. Bagi saya, agama yang baik adalah agama yang santun, toleran dan tidak mencampuri banyak persoalan. ―Agama yang ekonomis‖—ada judul buku Imam Ghazali yang menurut saya sangat menarik al-Iqtishad fi al-I’tiqâd (Berkeyakinan Secara Ekonomis), menjauhi pandangan dan sikap keagamaan yang ekstrim. Saya pun tidak percaya ada yang disebut ―justifikasi tekstual‖ yang murni dari agama. Karena apapun jenis agama dalam praktiknya pasti melewati proses penafsiran. Maka, apa yang disebut justifikasi itu selalu berkelindan dengan argumentasi-subyektif‘ penafsir. Hal lain apakah agama akan dipaksa cerewet yang bisa berbicara banyak hal?
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim suatu hari Nabi Muhammad melewati perkebunan kurma di Madinah, ia mengajari perkawinan 2 pohon kurma. Namun ternyata di tahun berikutnya pohon-pohon kurma itu tidak berbuah yang menandakan instruksi Nabi tadi keliru. Dalam dunia pertanian Nabi Muhammad bisa salah karena ia adalah pedagang bukan petani. Mengetahui hal ini Nabi pun bersabda, antum a’lamu bi umuri dunyakum (kau lebih tahu urusan duniamu). Mengambil inspirasi dari hadits ini ada dua ranah: agama dan akhirat yang dalam ranah ini Nabi memiliki otoritas, dan dunia yang dalam ranah ini menurut Nabi orang yang sebelumnya terlibat dan lebih ahli tentang urusan dunia lebih mengetahui. Maka dalam perkara dunia pun, pandangan keagamaan tidak bisa arogan lebih tahu, apalagi ingin memberi keputusan mana yang benar dan salah.
III
Dua refleksi di atas menurut hemat saya adalah pemikiran yang ideal dalam mengaitkan agama dengan pelbagai isu termasuk homoseksualitas. Kita perlu membedakan antara agama yang bebas dianut, dipahami dan dipraktikkan oleh tiap individu yang menjadi suara nurani—dengan agama yang ada dalam cengkraman tokoh agama dan lembaga agama yang sering mengkleim mewakili kebenaran dan keabsahan Tuhan. Kita pun perlu dengan sadar bahwa ada ‗tempat tersendiri‘ untuk agama. Dalam hal ini agama tidak bisa dipaksa untuk berbicara banyak hal, khususnya yang berkaitan dengan kehidupan duniawi.
Namun yang senyatanya, yang sering terjadi dan kita hadapi berbeda dari yang seharusnya. Kita masih menyaksikan tokoh dan lembaga agama masih menjadi rujukan masyarakat dalam melihat segala persoalan yang ada saat ini. Menyadari hal ini, kita tidak bisa menghindar, akan selalu disodori pertanyaan bagaimana kaitan tema ini-itu dengan agama. Dalam posisi ini suara tokoh dan lembaga agama bisa menjadi semacam alat yang bisa dipergunakan untuk tujuan baik dan buruk. Tokoh/lembaga agama bisa mendorong ajaran agama untuk perdamaian dan kesantunan, namun bisa juga dipakai untuk memobilisasi massa (umat) untuk tujuan politis, mengganyang lawan, dan mendukung kekerasan.
Dalam ranah inilah kita sudah sampai pada alasan mengapa kita masih mengaitkan isu homoseksualitas dengan agama. Suatu ulasan yang bukan seharusnya, tapi karena kita tidak bisa menghindari dari sodoran soal yang ingin mengaitkan dua isu ini.
IV
Pun kita hidup dalam kondisi di mana agama ingin kembali ke ruang publik dengan dua alasan penting: kegagalan modernisme dan sekularisme atau memang syahwat kekuasaan agama yang tidak pernah melemah. Agama menjadi elan emansipatoris untuk perubahan politik, sosial dan ekonomi dalam menentang kesewenang-wenangan. Kita menyaksikan sosok seperti Ghandi dari Hindu, Martin Luther Jr yang menentang rasisme, gerakan Gereja Katolik di Amerika Latin, sosok Gus Dur dalam menentang Orde Baru. Namun di sini lain kita pun menyaksikan sosok seperti Pat Robertson Pendeta fundamentalis Kristen di Amerika, Osama bin Laden, Cholid Ridlwan-MUI dan Tifatul Sembiring-PKSi di Indonesia yang membawa agama ke ruang publik.
Namun kita bisa membedakan pihak 3 yang pertama menjadikan agama sebagai inspirasi bukan aspirasi politik seperti pihak kedua. Pihak pertama mengedepankan nilai dan etika agama yang universal: menentang kesewenang-wenangan, menegakkan perdamaian dan kerukunan, berusaha membangun sebuah dunia untuk bersama yang berasal dari pelbagai keunikan dan perbedaan. Sedangkan pihak kedua ingin membangun dunia untuk satu kelompok, sementara kelompok-kelompok yang lain hanya menumpang. Dari dua pihak kalangan agama di atas, kita pun menyadari siapa yang bisa bersahabat dengan tema homoseksual.
V
Akar kecurigaan hingga kebencian pada homoseksual adalah ketidaktahuan. Ada pepatah Arab yang mengatakan: al-nâsu a’dâ’u mâ jahilû (manusia akan memusuhi apa yang tidak mereka ketahui). Inilah pangkal kecurigaan dan kebencian terhadap homoseksual. Karena tidak tahu, mereka memusuhi. Atau mereka ‗mengetahu‘ homoseksual tapi tidak dengan informasi yang benar dan sehat. Contoh-contoh yang bisa ditemukan dalam individu atau golongan yang membenci homoseksual bisa disamakan: homoseksual adalah penyakit jiwa, bisa menyebarkan penyakit yang mematikan (HIV/AIDS), homoseksual memiliki misi menjadikan manusia semua homoseks lantas bagaimana dengan kembang-biak spesies manusia, homoseksual adalah azab yang menerimanya tinggal menunggu azab dari Tuhan dst dst…. seseorang yang telah menelan informasi tidak benar ini akan curiga dan membenci, serta merasa dirinya terancam.
Dalam pola relasi yang tidak sehat ini, dikungkung kecurigaan dan kebencian serta merasa terancam ia akan mencari dan membawa-bawa agama untuk menyerang pihak yang ia sebut lawan. Dalam ranah ini, agama hanya dipakai sebagai amunisi untuk meledakkan kebencian terhadap pihak yang disangka musuh yang akan menghabisi dirinya.
VI
Dalam kesempatan ini saya ingin mengulas homofobia yang menjadikan teks-teks agama Islam sebagai alat untuk membenci. Kebencian pada homoseksual (homofobia) dalam masyarakat Islam didasarkan pada dua hal: kisah Luth dalam al-Quran dan hadis-hadis yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad. Kisah Luth disebut berulang-ulang dalam beberapa surat al-Quran: Hud, al-A‘raf, al-Hujarat, al-Hijr, al-Naml, al-Syu‘ara, dan al-Ankabut. Melalui kisah ini disimpulkan dua hal, pertama praktik hubungan seksual kaum Luth yang dicela melalui kutipan kata-kata Luth pada kaumnya: ―Kamu datangi laki-laki penuh syahwat, bukannya perempuan‖ (QS al-A‘raf: 81 dan al-Naml: 55) dan ―…dari semua manusia di dunia ini, mengapa kamu datangi yang laki-laki.‖ QS al-Syu‘ara‘: 165 Kedua, akibat praktik seksual mereka, maka turunnya azab, ―Kami hujani mereka dengan hujan (batu)‖ (al-Araf: 84), ―Kami jungkir-balikkan (kota itu) dan Kami turunkan di atasnya hujan batu (Hud: 82). Kesimpulannya: azab yang mengerikan diturunkan akibat praktik seksual kaum Luth.
Di sinilah kita perlu pertanyakan kembali kesimpulan tadi: benarkah azab hanya berkaitan dengan masalah moral dan praktik seksual saja? Dan benarkah kisah itu benar-benar terjadi sebagai fakta sejarah? Pertanyaan ini juga berhubungan dengan kisah-kisah sebelum Luth sendiri: kaum Nuh, Hud, dan Shaleh yang mendahului cerita kaum Luth. Akhir ceritanya juga sama: mereka dihancurkan dengan azab yang sebabnya—menurut asumsi awam: kekafiran. Saya ingin mengulas kisah-kisah tersebut tidak dari sudut fikih, yang menggunakan petikan kisah sebagai justifikasi hukum, namun saya akan mengulasnya dari sudut studi sastra. Bagi saya, ayat kisah tidak bisa dimasukkan ke dalam konteks ayat hukum. Cara membaca ayat kisah tidak sama dengan cara membaca ayat-ayat hukum: larangan meminum khamar, larangan membunuh, mencuri, perintah salat, zakat, dan lain-lainnya. Saya mengikuti perspektif yang digunakan oleh Muhammad Ahmad Khalafullah yang menulis al-Fann al-Qashashî fil Qur’ân al-Karîm (Seni Kisah dalam al-Quran). Kisah dalam Al-Quran bukan ―fakta sejarah‖ tapi menggunakan narasi sastra yang tidak memperdulikan waktu dan tempat kejadian, nama-nama tokoh, yang menjadi anasir-anasir penting dalam narasi sejarah. Kisah Luth memiliki dua versi yang dari alur ceritanya bertolak-belakang. Dalam versi surat Hud (ayat 77-83), malaikat yang datang kepada Luth mengaku sebagai utusan Allah setelah kehadiran kaum Luth yang ingin menggangu tamu Luth.
Pengakuan yang terlambat ini membuat Luth ketakutan sehingga ia perlu menawarkan putri-putrinya agar kaumnya tidak menyakiti tamunya. Sedangkan kisah Luth versi al-Hijr (ayat 61-75) pengakuan malaikat sebagai utusan Allah kepada Luth dan nasehat mereka kepada Luth terjadi sebelum kaum Luth datang kepadanya dan berdialog dengannya. Pun cerita azab yang dahsyat itu tidak bisa dipahami secara harfiah, namun secara ―majazi‖ (metaforis). Muhammad ‗Abduh adalah seorang penafsir yang rasional terhadap kisah dan mukjizat yang sering dipahami di luar rasio manusia. Contohnya laporan al-Quran tentang bantuan ribuan malaikat kepada tentara Islam pada Perang Badar sehingga bisa memenangkan peperangan. Dalam Surat Ali Imran ayat 124-125 jumlah bantuan antara 3,000-5,000 malaikat. Laporan al-Quran itu tidak berdasarkan fakta lapangan, karena kehadiran ribuan malaikat itu tidak terbukti secara nyata. Abduh mengutip pendapat Abu Bakar al-Asham yang menolak bahwa ribuan malaikat ikut membantu tentara Islam dalam pertempuran itu, karena satu malaikat saja bisa menghancurkan banyak musuh. Dan kalau benar orang Islam menang di Perang Badar karena bantuan malaikat, mengapa mereka bisa kalah di Perang Uhud sesudahnya, mengapa Muhammad tidak meminta bantuan malaikat agar terhindar dari kekalahan? Kalau saja al-Quran berani ―mengarang‖ laporannya tentang peristiwa yang disaksikan sendiri oleh Muhammad dan pengikutnya, bagaimana dengan kisah-kisah yang tidak pernah disaksikan oleh Muhammad?
Saya juga menolak apabila ―azab‖ dikaitkan dengan persoalan moral dan keyakinan belaka. Saya memahami sebab-sebab datangnya ―azab‖ berasal dari tindakan-tindakan kasar yang dilakukan umat tersebut pada utusan-utusan Allah: memusuhi, mengusir, dan mengobarkan peperangan, dan hal ini pula yang sedang berlangsung dalam kehidupan Muhammad. Dalam kisah Luth sendiri, ketika Luth menyampaikan dakwah dan ajakan, umatnya malah merespon dengan pengusiran dan ingin mempermalukan Luth. Ini pula respon orang Quraisy yang mengusir Muhammad ketika disampaikan dakwah dan ajakan Islam.
Dalam surat al-A‘raf ayat 82 disebutkan ―tiada lain jawaban kaumnya, mereka berkata, ―usirlah mereka (keluarga Luth) dari kota mu‖ dan di surat al-Ankabut ayat 29 disebutkan tiga sebab: ―sesungguhnya kamu mendatangi laki-laki, menyamun di jalan raya, dan melakukan keonaran di tempat-tempat umummu?‖ dan bandingkan dengan sebab perang (qital) di zaman Muhammad, surat al-Hajj ayat 39, telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, surat al-Baqarah ayat 190, dan perangilah orang-orang yang memerangimu.
Dalam konteks Muhammad, tidak ada laporan ―azab‖ dari Allah, yang ada hanyalah peperangan (al-qitâl) yang terjadi antara Muhammad dan orang Quraisy Makkah. Bagi saya peperangan itu bukan karena alasan keyakinan yakni ―kekafiran‖, namun karena mereka telah mengusir dan memerangi Muhammad. ―Azab‖ yang disebut dalam kisah-kisah itu yang telah menghancurkan umat-umat sebelum Muhammad bagi saya adalah perumpamaan dari kejadian sesungguhnya: perang yang terjadi zaman Muhammad yang akhirnya mampu mengalahkan lawan-lawannya. Dinyatakan pula keterlibatan malaikat dalam Perang Badar, perang pertama kemenangan umat Islam, sebagaimana para malaikat memainkan perannya dalam cerita-cerita ―azab‖ dulu. Selain kisah Luth yang ada dalam al-Quran, dalil-dalil homofobis juga terdapat dalam hadis-hadis Nabi yang bunyinya sangat sadis. Saya ingin mengutip sebuah buku, Khawathir Muslim fi Mas’alah Jinsiyah karya Muhammad Galal Kisyk, seorang penulis Mesir.* Galal Kisyk membandingkan kehidupan seksual tiga agama: Yahudi, Kristen dan Islam.
Kesimpulan dia, Islam lebih bersikap terbuka terhadap masalah-masalah seksual. Seksualitas dalam konteks ―rekreasi‖ sangat diapresiasi oleh Islam, misalnya onani, masturbasi, senggama terputus (‗azl) dan seni erotika lainnya. Galal Kisyk juga menyebut ―perjaka remaja‖ (wildân mukhalladûn) sebagai janji surgawi. Ia mengutip beberapa pendapat ahli tafsir klasik. Buku ini pun sempat ditarik dari pasar karena isinya dituding bertentangan dengan hukum Islam.
* Buku ini kontroversial di Mesir, pernah dibredel atas dasar keputusan Majma‘ Buhuts al-Islamiyah (Lembaga Penelitian Islam) al-Azhar, namun akhirnya keputusan pembredelan itu dibatalkan Pengadilan Mesir. Letak kontroversi buku ini karena dipandang terlalu terbuka memperbincangkan seksualitas Islam untuk tujuan kenikmatan.
Dari penelitian Galal Kisyk ditemukan: tidak adanya sanksi fisik (la hadda) terhadap homoseksual, dan ia melaporkan hadis-hadis yang banyak dikutip untuk mengutuk dan menjatuhkan sanksi fisik pada homoseksual termasuk kategori hadis-hadis yang lemah. Sebuah hadis yang dinisbatkan pada Muhammad, ―Perilaku (seksual) yang paling aku khawatirkan yang bisa terjadi pada umatku adalah prilaku umat Luth, dan terlaknat yang melakukannya,‖ bagi al-Turmudzi, hadis ini ―aneh‖ (gharîb). Demikian hadis yang menjatuhkan hukuman mati bagi homoseksual, ―siapa pun di antara kalian yang menjumpai perilaku umat Luth, maka bunuhlah dua pelakunya,‖ hadis ini ditolak karena ada seorang periwayat bernama Ikrimah. Hadis lain ―perempuan lesbian termasuk perzinahan‖ disebutkan mata-rantai periwayatannya ―terlalu kendor‖ (layyin).
Hadis lain, ―apabila seorang laki-laki menunggangi laki-laki lain, maka singgasana Tuhan berguncang-guncang,‖ hadis ini ―palsu‖ (mawdlu’). Dan hadis lain, ―orang yang melakukan liwâth (sodomi) kalau mati, maka mayatnya di kubur akan berubah menjadi celeng,‖ hadis ini ―bohong‖ (munkar). Galal Kisyk juga menyajikan perdebatan pendapat ulama fikih klasik tentang wacana homoseksual ini. Ia mengutip pendapat mazhab Hanafi yang menolak menyejajarkan homoseksual dengan perzinahan, sehingga bisa dijatuhkan hukuman seperti orang berzina. Bukti yang sangat kuat kata Galal Kisyk, ―tidak ada riwayat satu pun yang mengabarkan Muhammad pernah menjatuhkan sanksi fisik pada homoseksual di zamannya.‖
Oleh karena itu, sumber-sumber homofobia yang selama ini diklaim berdasarkan teks-teks agama nyata-nyatanya alasan yang sangat lemah. Kelemahan pertama, berdasarkan pada ayat-cerita umat Luth, bukan pada ayat-hukum. Pun konteks keseluruhan kisah umat Luth tidak dibaca secara utuh. ―Homofobia‖ lebih menggunakan ―mata-benci‖ (ayn al-sukhthi) sehingga yang dipelototi hanyalah kutipan ―mendatangai laki-laki‖ dari kisah tersebut. Sementara sebab-sebab lain yang diulang-ulang dalam konteks keseluruhan kisah itu: kaum Luth yang ingin mengusir Luth, menyamun, berbuat keonaran, hendak melakukan kejahatan terhadap tamu dan ingin mempermalukan Luth—hingga Luth terpaksa menawarkan putri-putri-nya—tidak dijadikan dasar sama sekali. Padahal sebab-sebab yang tidak manusiawi inilah yang lebih masuk akal dibandingkan dengan sebab ―norma seksual‖. Kelemahan kedua homofobia berdasarkan pada teks yang tidak memiliki otoritas untuk dijadikan landasan hukum: hadis-hadis lemah dan palsu.
Walhasil homofobia atau kebencian pada homoseksualitas (relasi seksual non-heteroseksual) seperti ujaran bijak di atas al-nâsû a’dâ’u mâ jahilû (manusia cenderung memusuhi hal yang tidak diketahui). Pada akhir bulan September 2010 Tifatul Sembiring Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkoinfo) bercuit-cuit dalam akun twitternya tentang AIDS. Cuit Tifatul adalah wacana, bukan sekadar kicauan semata dengan dua alasan. Pertama, Tifatul Sembiring adalah mantan presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mengkleim sebagai partai Islam. kedua posisi Tifatul sebagai menteri dalam kabinet pemerintahan. Oleh sebab itu cuit dia diperhitungkan bukan karena isinya bermutu—malah sebagian besar tidak sama sekali dan berpantun ria—tapi karena dia yang dianggap sebagai representasi dari parpol Islam yang memperoleh suara lumayan dan posisinya dalam pemerintahan.
Cuit Tifatul sebanyak 6 poin itu meneruskan mitos tentang HIV/AIDS. Berikut cuit @tisembiring:
1. Cegahlah diri anda dan keluarga dari penularan virus HIV/AIDS. Angka2 penderita dan penularannya selalu meningkat tajam setiap tahunnya.
2. MI 12/11/2009: “Penyebab HIV/AIDS dr Kaum Gay Meningkat Tajam”. Kata dokter: perilaku seks yg menyimpang adalah sbg penular virus tsb.
3. Kata Al-Qur’an: Allah swt membalikkan bumi kaum nabi Luth, pelaku homoseks, menghujani mrk dngn batu, dari tanah yg terbakar QS 11:81-82
4. Penularan virus HIV/AIDS harus dicegah, juga penularan perilaku2 yg potensial membawa virus2 tsb. Sampai kini obat AIDS belum ditemukan.
5. Kata Prof. Sujudi, mantan menteri kesehatan, agar mudah diingat singkatannya AIDS=Akibat Itunya Dipakai Sembarangan.
6. Kata seorang Kiyai, jika melihat kemungkaran diam saja, itu sama spt syaithanul akhlash, maksudnya syetan gagu. Maka cegahlah kmungkaran.
Dari cuit Tifatul itu kita bisa mengambil beberapa poin yang mewakili wacana agama dalam memandang HIV/AIDS yakni: (1) hanya berkaitan (penularannya) dengan hubungan seksual (2) identik dengan homoseksual (3) berkaitan dengan azab Tuhan yang contohnya adalah umat Luth (4) diskrimnasi terhadap orang yang hidup dengan HIV/AIDS dengan memplesetkan singkatannya: Akibat Itunya Dipakai Sembarangan.
Sebenarnya Tifatul kalau mau berkomunikasi dengan Kementrian Kesehatan akan memperoleh penjelasan yang valid tentang HIV/AIDS, namun hal ini tampaknya tidak dilakukan, atau ada miskomunikasi antara dua kementrian tadi, sehingga Tifatul merilis cuit yang isinya disinformasi tentang HIV/AIDS. Memang dalam memegang jabatan sebagai Menkoinfo, Tifatul sering berpendapat dan bersikap yang menyatakan dia terus-menerus mengalamai miskomunikasi dan disinformasi. Cocoknya Tifatul bukan sebagai menteri komunikasi dan informasi tapi menteri miskomunikasi dan disinformasi serta pornografi (karena hanya mau blokir website yang ditudingnya porno tapi tidak mau memblokir website teroris yang mengajarkan pembuatan bom).
Catatan:
*Makalah ini dipaparkan dalam diskusi publik peringatan International Day Against Homophobia (IDAHO) 2011 dengan tema “Keberagaman Orientasi Seksual dan Identitas Gender Untuk Perdamaian Sosial”, 26 Mei 2011 di Universitas Paramadina.
** Pengelola diskusi Komunitas Salihara, alumnus Santri Pondok Pesantren dan mahasiswa Universitas Al Azhar Kairo-Mesir
(Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email