Indonesia dibangun di atas reruntuhan kolonialisme. Orde Baru meluluhlantakannya.
OLEH: MAX LANE
SAYA datang ke
Indonesia pertama kali 1969 dan sudah berkali-kali kembali ke Indonesia.
Sebagai seorang yang memulai perjalanan kehidupan intelektual sebagai
mahasiswa jurusan studi Indonesia, sejak semula saya bergairah untuk
belajar sejarah Indonesia –apalagi bila dibandingkan dengan sejarah
Australia. Meskipun sejarah Australia juga penuh dengan kisah perjuangan
rakyatnya (biasanya melawan elit kaya, baik kolonial maupun modern),
ini tak bisa dibandingkan dengan Indonesia. Indonesia mengalami
revolusi; rakyat Indonesia menjalankan sebuah revolusi; negeri Republik
Indonesia, yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 dan berhasil
mengusir kekuatan politik kolonial tahun 1949, tercipta oleh sebuah
revolusi nasional yang prosesnya sudah berlangsung 30-40 tahun
sebelumnya.
Semua revolusi dalam sejarah manusia
adalah fenomena hebat. Sudah beribu-ribu buku ditulis untuk
mendefinisikan dan menganalisa apa itu revolusi. Sudah jelas ada
berbagai jenis revolusi; dan juga cara orang memandang revolusi sering
tergantung ideologinya dan kepentingannya. Kata revolusi dalam bahasa
Inggris bermakna perubahan besar dan drastis dalam situasi politik. Kata
itu mulai digunakan pada pertengahan abad 15 dan berasal dari bahasa
Latin yang artinya bergelombang balik.
Buat saya, ada dua sifat yang harus dimiliki oleh semua revolusi sosial-politik sejati. Pertama, sebuah revolusi akan memutar-balikkan struktur kekuasaan yang berlaku. Kedua,
baik di dalam proses menggulingkan maupun memutarbalikkan struktur
kekuasaan tersebut mestinya bisa melahirkan makhluk yang baru secara
esensi sebagai hasil dari proses revolusi itu sendiri. Revolusi
memutarbalikkan kekuasaan (menghancurkan struktur lama dan mendirikan
yang baru) sekaligus kreatif; menciptakan sesuatu mahluk yang baru, yang
jauh lebih fenomenal daripada sekedar struktur kekuasaan yang baru.
Begitu juga revolusi Indonesia. Struktur kekuasaan kolonial –di mana
kekuasaan politik dan ekonomi terpusat sepenuhnya di Den Haag, Amsterdam
dan Rotterdam– dihancurkan dan sebuah struktur kekuasaan baru
didirikan.
Semula kelas kapitalis Belanda mengisi
kelas penguasa; kekuasaan kelas itu terkalahkan oleh kelas-kelas sosial
lain yang tadinya terkuasai dan tereksplotasi, terutama kelas buruh,
kelas petani kecil maupun kelas borjuis dalam negeri Indonesia. Situasi
mulai teresmikan pada 27 Desember 1949 ketika pemerintah Belanda
mengakui mahluk yang bernama Republik Indonesia Serikat (RIS). Tapi RIS
ini masih mengandung negeri-negeri yang dikuasai secara tak formal oleh
Belanda. Sesudah mengalami berbagai gejolak, RIS bubar dan
diproklamasikan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1950.
Tetapi kreativitas revolusi nasional
Indonesia jauh lebih dahsyat daripada sekadar melahirkan sebuah mahluk
formal, yaitu Republik Indonesia. Revolusi Indonesia yang sebenarnya
sudah mulai sejak awal abad 20 melahirkan orang Indonesia, bangsa
Indonesia dan kebudayaan Indonesia –semuanya yang tak pernah berdiri di
atas muka bumi sebelumnya. Makanya kata atau nama Indonesia juga tadinya
tidak ada; tidak eksis. Yang ada sebelumnya bukan orang Indonesia,
tetapi orang Jawa, orang Aceh, orang Dayak, dan seterusnya. Juga tidak
ada kebudayaan Indonesia. Kebudayaan Indonesia mulai ada dengan
munculnya sastra berbahasa Melayu (baru) dalam bentuk cerpen, roman,
drama, syair, lagu, esei dan pidato yang kemunculannya bersamaan dengan
kelahiran organisasi sosial-politik modern.
Kalau kita mempelajari fenomena
munculnya kebudayaan baru itu – baik sastranya (semua produk tertulis,
kemudian produk budaya lain) bersama kegiatan berorganisasi secara
sosial politik, memang kita pasti akan terinspirasi sekali oleh
kekayaanya akan visi, pengalaman, ide, dan memang kreativitasnya. Belum
lagi perjuangan militer, politik, intelektual, budaya dan dipomatik yang
sangat intensif sekali diantara tahun 1945 dan 1949.
Luar biasa memang. Buat saya sendiri, saat zaman saya mahasiswa (1969-1972) merasa sangat exciting –dan saya selalu ingin berangkat secepatnya ke Indonesia.
Tetapi semakin sering saya berkunjung ke
Indonesia semakin saya terkesan oleh sebuah hal yang, buat orang yang
baru kenal Indonesia pada waktu itu, sangat mengecewakan.
Kegiatan-kegiatan dan suasana menjelang dan pada hari kemerdekaan tak
ada apa-apanya. Ada sebuah pidato oleh presiden Suharto di televisi yang
kurang diperhatikan masyarakat. Ada lomba-lomba buat anak-anak di
kampung. Ada pawai-pawai yang sangat formal. Tidak ada gaung sama sekali
dari kehebatan revolusioner periode 1900-1949. Tak ada penghayatan
perjuangan panjang di semua bidang yang menciptakan Indonesia sendiri.
Ide-ide yang merupakan asal-usul adanya Indonesia sendiri – kemerdekaan,
keadilan, perjuangan, rakyat, pergerakan, kedaulatan, sekali lagi
kemerdekaan – tidak hadir sama sekali.
Serba formal, dangkal dan penuh
kelupaan. Sama garingnya dengan peringatan hari nasional Australia yang
memperingati deklarasi non-revolusioner perkumpulan orang-orang elit
putih Australia tahun 1901. Indonesia memiliki warisan politik dan
budaya revolusioner, tetapi dilupakan.
Sesudah saya semakin kenal dengan
sejarah Indonesia, situasi ini semakin lebih bermakna buat saya. Saya
sempat beberapa kali menonton footage Sukarno bicara pada 17
Agustus sebelum 1965. Saya juga mendengarkan pidato-pidatonya. Saya
memulai membaca tentang kegiatan peringatan 17-an sebelum 1965. Saya
menemukan keadaan yang justru sebaliknya. Sebelum 1965, peringatan 17
Agustus adalah saat diluncurkannya ide-ide politik baru oleh Sukarno
yang kemudian akan ramai dibicarakan oleh puluhan juta orang dan bahkan
diperdebatkan. Boleh setuju atau benci ide-ide itu, tetapi kenyataannya
ialah seluruh masyarakat mendiskusikannya sebagai bagian memikirkan masa
depan Indonesia, bersama-sama, beramai-ramai. Bahkan anggota-anggota
partai-parti terlarang (Masyumi dan PSI, misalnya –yang seharusnya tidak
perlu dilarang) juga ikutan mendiskusikannya, mengingat bahwa berbagai
organisasi mereka masih legal dan aktif. Tetapi arus berbalik tahun
1965.
Saya kira sejak 1965, dalam ideologi
Orde Baru Suharto (OBS), 1 Oktober –Hari Kesaktian Pancasila– lebih
penting daripada 17 Agustus. Ini –antara lain– tercermin olek definisi
OBS terhadap 17 Agustus: hari Proklamasi dan juga definisi politik buat
Sukarno dan Hatta –terutama Sukarno– sebagai sekadar Proklamator. Dengan
definisi tersebut, ide-ide mereka yang merupakan motor penggerak
ideologis revolusi nasional dinegasikan. Terbukti pula bahwa selama OBS,
tulisan-tulisan Sukarno dilarang. Sebenarnya ide revolusi itu sendiri
dilarang. Memang karena apa yang dijalankan oleh kekuatan OBS dari tahun
1965 sampai 1970-an adalah sebuah kontra-revolusi. Tidak
mungkin sebuah kekuatan yang menjalankan kontra-revolusi akan mampu
menghayati secara sejati arti sebuah hari peringatan revolusi –sebuah
hari yang memperingati betapa bergairahnya proses di mana rakyat
tertindas memutarbalikkan struktur kekuasaan serta menciptakan sebuah
mahluk baru bernama Indonesia. Revolusi nasional Indonesia –kalau
sejarah sesungguhnya bisa dihayati– akan ingat kembali bahwa rakyatlah
yang menciptakan Indonesia dan Indonesia adalah milik mereka bersama,
bukan milik segelintir siapa pun.
Celakanya, kontrarevolusi OBS bukan saja
kontra-revolusi yang menggagalkan sebuah revolusi sosial (sosialis)
yang sepertinya mungkin akan segera mengancam memutarbalikkan struktur
ekonomi kapitalis Indonesia, tetapi juga menggagalkan revolusi nasonal
Indonesia yang belum tuntas sebelumnya.
Pemimpin OBS secara sukarela dan dengan
semangat (kerakusan) mengundang masuk kembali penanam modal dari
negeri-negeri imperialis dengan syarat-syarat sangat minimal sesuai
dengan yang diminta oleh Washintgton, London, Tokyo dan lain-lain.
Hampir seluruh warisan budaya dari revolusi nasional Indonesia sengaja
dihilangkan dari medan kebudayaan Indonesia. Sejarah Indonesia ditulis
kembali dengan banyak kepalsuan-kepalsuan dan itu pun hanya untuk
dihapalkan. Pada tahun 1970-an kesusasteraan nasional Indonesia tidak
lagi dipelajari dengan serius di sekolah. Banyak sekali sastra dan
tulisan dilarang. Tindakan ini, dalam bidang ekonomi serta budaya memang
merupakan sebuah pe-negasi-an revolusi nasional Indonesia. Tak mungkin
17 Agustus akan bisa diperingati dan dihayati secara sejati. Indonesia
didirikan dan diciptakan bukan sekadar berkat proklamasi tetapi karena
revolusi. Menghayati 17 Agustus, butuh menghayati apa itu revolusi dan
mengapa revolusi itu sebuah proses yang kreatif dan membebaskan manusia.
Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober
adalah hari memperingati kemenangan pertama kontrarevolusi OBS.
Saya
perlu mencatat di sini bahwa dalam pendapat saya peristiwa Gestapu atau
Gestok adalah perbuatan ngawur, idiot, dan keblinger. Sebuah
konspirasi tengah malam yang tidak bisa dibenarkan. Tetapi
tindakan-tindakan Suharto sebagai panglima Kostrad pada waktu itu tidak
sekadar bertindak merespons sebuah konspirasi malam yang illegal.
Suharto, jelas dengan sadar, meluncurkan sebuah kontarevolusi untuk
membalikkan arus politik yang sedang berkembang. Tindakannya tidak
hendak mengadili segelintir orang –baik Aidit maupun yang militer- yang
menjalankan konspirasi tengah malam yang illegal. Tindakannya merupakan
awal dari sebuah proses membasmi dan menindas gerakan sosial, politik,
dan budaya yang didukung jutaan rakyat Indonesia yang berbasis ideologi
sosialisme.
Ratusan ribu orang kemudian dibunuh
tanpa proses hukum apa pun. Mungkin ratusan ribu juga ditahan untuk
jangka waktu pendek, serta disiksa secara bengis. Puluhan ribu lain
ditahan selama bertahun-tahun tanpa pengadilan apa pun. Ini dijalankan
oleh Suharto, dengan memakai tentara (yang sudah dibersihkan dari
perwira dan serdadu yang pro-Sukarno) dan didukung keras oleh kaum
intektual anti-komunis (Angkatan 66).
Pembasmian dan penindasan ini membuka
jalan untuk program ekonomi dan budaya yang anti-revolusi nasional yang
saya sudah sebut di atas. Represi itu dan semua program politik OBS yang
anti-demokratis yang menyusul kemudian di antara tahun 1968-1990-an
sebagai program politik yang menegasikan peran rakyat Indonesia dalam
kehidupan politik negeri Indonesia sekaligus merupakan tindakan
anti-nasional. Rakyat Indonesia –massa miskin dan marhaen, bersama
mahasiswa dan intelektual muda yang aktivis– adalah mereka yang
menciptakan Indonesia melalui revolusinya. Program politik OBS merampok
kedaulatan politik rakyat dari tangannya. 1 Oktober juga merupakan awal
dari budaya yang berdiri di atas kebohongan-kebohongan besar, mulai dari
kebohongan bahwa wanita-wanita komunis menyiksa para Jenderal yang
diculik tengah malam sampai dengan kabar bohong mutilasi yang tak
berdasar pada otopsi dokter-dokter Angkatan Darat sendiri.
Buat OBS, 1 Oktober jelas lebih
bermakna. Tetapi, saya kira masalahnya lebih dalam, lebih mendasar lagi.
Kontrarevolusi 1965 terjadi 46 tahun yang lalu. 46 tahun merupakan
hampir duapertiga dari kehidupan negeri Indonesia. Mayoritas orang
Indonesia lahir selama zaman OBS. Mayoritas besar orang Indonesia
menjadi dewasa di bawah OBS dan tidak kenal langsung Indonesia sebelum
1965. Karena selama 40 tahun berjuta-juta anak Indonesia tidak diajarkan
untuk menghayati sastra mau pun sejarahnya sendiri, sebagian besar
rakyat Indonesia tidak mengenal proses kelahiran Indonesia itu sendiri.
Selama periode ini pula sel struktur dan kehidupan ekonomi Indonesia
juga berubah. Dulu Indonesia negeri pedesaan; sekarang lebih sebagai
negeri urban dengan puluhan juta rakyat miskin tinggal di pusat kota
yang sangat padat, dan sering kumuh. Dulu, sebelum 1965, kelas kapitalis
Indonesia hanya terdiri dari ribuan pengusaha-pengusaha kecil, dengan
beberapa pengusaha menengah yang dibantu pemerintah.
Pada kurun 1956-1965 hampir semua sektor
modern sudah resmi di tangan negara. Sekarang ada konglomerat kroni
Suharto yang tumbuh selama masa OBS hasil dari KKN nasional. Selain
mereka juga ada ribuan ′konglomerat′ tingkat daerah hasil KKN lokal yang
sekarang ada di mana-mana dan sering maju menjadi bupati dan gubernur
di seluruh penjuru Indonesia. Tanpa landasan kuat berupa pengetahuan dan
penghayatan akan sastra dan sejarah nasionalnya, kebudayaan yang
berkembang lebih terpengaruh konsumerisme kosmopolitan dan “budaya”
sinetron yang tak rasional, dangkal dan melayani keinginan melarikan
diri dari realitas yang pahit daripada bangkit berusaha untuk mengubah
realitas tersebut.
Apakah memang sudah ada dua Indonesia:
Indonesia hasil kontra-revolusi 1965 yang berdiri di atas penindasan,
pembohongan dan KKN atau Indonesia hasil revolusi nasional 1900-1965
yang oleh kekuasaan OBS dieliminasi dari ingatan massa secara
sistematik. Akan tetapi kemudian pelahan-pelahan dengan langkah tegas
mulai bangun kembali dalam bentuk perlawanan-perlawan terhadap OBS
selama tahun 1970an-1990an. Proses melawan dan mengakhiri Orde Baru
(1974-1998) juga sebuah proses kreatif, hanya belum tuntas pula dan
masih menghadapi pilihan.
Jadi sekarang mau pilih Indonesia yang macam apa? Indonesia 17 Agustus 1945 atau Indonesia 1 Oktober 1965?
(ABNS)
(ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email